Tak bisa dimungkiri, olahraga yang dibawa oleh penjajah Belanda ini memang memiliki tempat tersendiri di hati masyarakat Indonesia. Permainannya yang mudah, serta keseruan memainkannya, membuat hampir semua keluarga di Indonesia bisa dan senang memainkan olahraga ini, walaupun tidak secara profesional. Hampir di setiap rumah keluarga Indonesia memiliki raket bulutangkis, entah raket murahan atau raket standar turnamen. Hanya dengan berbekal sepasang raket dan sebuah shuttlecock, kita bisa memainkan olahraga ini sebagai permainan sehari-hari.
Pun demikian dengan diriku, bulutangkis adalah olahraga pilihan. Ini menjadi olahraga favoritku selain futsal. Senada dengan futsal, aku menyukai bulutangksi dikarenakan elemen refleks yang muncul bila memainkannya. Memainkan bulutangkis seakan membimbingku untuk menggerakkan badan mengejar kok. Aku tak perlu berpikir keras menggerakkan tubuh, karena kok yang melayang seakan membuat tubuhku bergerak dengan sendirinya, untuk mengembalikan kok ke lawan, mencegahnya masuk ke areaku.
Ihwal kegemaranku akan olahraga ini sudah bermula sejak aku kecil, sejak aku duduk di bangku kelas 2 SD. Saat itu aku tinggal bersama Pamanku di Jombang. Kebetulan keluarga paman menyukai bulutangkis dan memiliki beberapa pasang raket. Dari merekalah aku belajar memainkan bulutangkis, di mana kami kerap memainkannya di setiap senja atau di Minggu pagi bersama tetangga yang kebetulan juga menggemari bulutangkis. Kami memainkannya di lapangan rumput terbuka secara santai, atau terkadang mencoba memainkannya dengan gaya turnamen.
Sejak saat itu, aku hampir selalu memainkan bulutangkis di waktu luangku, terutama dengan teman sepermainanku waktu itu. Namun kemudian, aku sempat tak memainkan olahraga ini dalam kurun waktu yang lama ketika aku pindah ke Kediri. Barulah saat duduk di bangku SMA, aku kembali rutin memainkan olahraga ini. Berawal dari sepasang raket murah warna merah dan biru yang dibeli adikku, aku mulai memainkan bulutangkis. Hampir setiap senja, aku bermain bulutangkis bersama adikku dan juga tetangga-tetanggaku.
Kebetulan ada latar yang cukup luas di samping rumah kami yang kami jadikan arena bermain bulutangkis. Latar yang diapit dinding rumah kami dan pagar pembatas rumah tetangga itu awalnya difungsikan untuk tempat menjemur padi dan hasil bumi lainnya. Namun di luar musim panen, latar itu menjadi tempat bermainku. Untuk menciptakan suasana pertandingan bulutangkis yang sebenarnya, aku membuatkan net dari tali rafia yang kubentangkan antara dinding rumah dan pagar pembatas. Aku pun menentukan batas-batas arena sesuai standar resmi pertandingan bulutangkis.
Latar itu kuberi nama ‘Fatimah Arena’, diambil dari nama nenekku karena memang latar itu berdiri di atas tanah beliau. Di latar itulah, setiap sore sepulang sekolah, bila cuaca mendukung, aku berupaya untuk memainkan bulutangkis. Entah dengan mengajak adikku atau meminta tetanggaku untuk menjadi teman bermainku. Terkadang kami bermain santai, tapi terkadang kami bermain menggunakan sistem pertandingan. Kami baru berhenti ketika satu permainan selesai, atau ketika kami sudah sangat kelelahan dengan keringat dingin yang mulai melekat di tubuhku.
Selain melawan saudara dan tetanggaku, aku juga bermain bulutangkis dengan teman sebangkuku di SMA, Deni Kurniawan. Dia adalah seorang penggemar bulutangkis dan termasuk dalam salah satu atlet bulutangkis dari Desa Jajar, Kecamatan Wates, Kota Kediri. Kemampuan Deni sangat baik dalam bermain bulutangkis, sangat jauh bila dibandingkan denganku. Ya, bila dibandingkan ibarat bumi dan langit. Aku pernah bertarung dengannya di arena bulutangkis Desa Jajar dan aku kalah telak. Aku tak bisa menandingi kemampuan dan kecepatannya.
Deni bukan hanya menjadi lawan tanding yang kuat. Tetapi dia juga mengajariku banyak hal tentang bulutangkis. Dari dia, aku mengetahui kuda-kuda pertandingan, serta bagaimana pola latihan seorang atlet bulutangkis. Saat bertarung dengannya, aku menyadari bahwa menjadi seorang atlet bukan sekadar bermodalkan keinginan. Melainkan, membutuhkan kedisiplinan, latihan keras, dan mental untuk menang. Sangat berbeda denganku yang sekadar main, agar tubuhku bisa bergerak dan berkeringat.
Bulutangkis memang sudah menjadi salah satu olahraga kesukaanku. Karenanya, hingga sekarang aku tetap memainkan olahraga ini. Walaupun, kegemaranku ini sempat terhenti ketika aku memasuki dunia kerja di Kalimantan. Kini, sekembalinya aku di Kediri, aku kembali memainkan bulutangkis. Aku membeli sepasang raket murahan di toko terdekat, harganya Rp 15 ribu dan satu tabung shuttlecock seharga Rp 18 ribu. Dengan raket ini, aku berencana dapat memainkan bulutangkis dengan istriku.
Sepasang raket berwarna merah dan biru, warna yang sama dengan milik adikku ini juga kugunakan dalam pertandingan melawan sahabatku kala SMP, Suhari. Anak ini semasa sekolah dulu tidak menyukai olahraga bulutangkis, melainkan menyukai olahraga basket ball. Karenanya, saat masih sekolah dulu, dia tidak tertarik dengan ajakanku bermain bulutangkis. Pada akhirnya Suhari menjadi gemar bermain bulutangkis, ketika dia mulai bekerja di Surabaya.
Mengetahui kegemaranku bermain bulutangkis, dia beberapa kali mengajakku bertanding. Namun, pertandingan itu baru terjadi beberapa waktu lalu, tepatnya beberapa tahun setelah dia menggemari bulutangkis. Pertandinganku melawan Suhari itu berlangsung di lapangan sekolah kami dulu, SMP 4 Kediri, yang kini telah berubah menjadi begitu cantik. Pertarungan kami hari Minggu pagi itu sendiri berlangsung alot dan lama. Salah satunya dikarenakan angin yang terus menerus berhembus menerbangkan kok.
Hari itu kami memainkan bulutangkis dengan menggunakan sistem turnamen. Itu adalah pertama kalinya sejak beberapa tahun yang lalu aku kembali memainkan bulutangkis dengan sistem turnamen. Pada akhirnya, melalui permainan dua set, kami menyudahi pertandingan dengan kemenangan di tanganku. Rasanya sangat menyenangkan bisa kembali memainkan bulutangkis. Walaupun kini tubuhku tak secepat dulu dikarenakan tubuhku yang bertambah gemuk.
Sebagai olahraga yang telah kukenal sejak kecil, sepertinya aku akan tetap memainkan bulutangkis hingga hari-hari berikutnya. Ini adalah olahraga yang menyenangkan, yang sayangnya bukan pilihan utama olahraga yang diajarkan di sekolah. Padahal ini adalah olahraga prestasi, berbeda dengan basket ball atau volley ball yang selama ini belum pernah bisa bicara di tingkat dunia. Memang wajar sih, karena bulutangkis adalah olahraga dengan jumlah pemain yang sangat sedikit dibandingkan dua olahraga tadi.
Meski begitu aku berharap bulutangkis dapat masuk dalam kurikullum sekolah dan jadi bagian praktik siswa. Agar, dari situ dapat dicetak generasi-generasi emas pebulutangkis Indonesia berikutnya. Sehingga, Indonesia dapat kembali merajai jagad pertepokbuluan dunia seperti era Rudi Hartono dulu. Biarlah sepak bola Indonesia tak bisa menembus piala dunia, yang penting bulutangkis Thomas Cup dan Olimpiade dapat kita kuasai. Sudah saatnya masyarakat Indonesia dapat melihat kenyataan itu, bahwa kita pernah berjaya di bulutangkis, dan kita punya potensi. Indonesia tentu menunggu lahirnya pasangan-pasangan juara seperti Alan Budikusuma dan Susi Susanti. Aamiin. (luk)