Wartawan bukan manusia yang selalu benar. Mereka juga manusia biasa yang bisa saja salah. Sehingga ada kalanya berita-berita yang mereka tulis salah. Misalnya kesalahan persepsi wartawan atau tidak berimbang, menyudutkan pihak yang terlibat dalam berita. Tetapi, terkadang kesalahan yang mereka lakukan dikarenakan rasa malas dalam melakukan konfirmasi tentang berita yang mereka tulis. Sehingga, berita yang terbit tidak cover both side atau tidak berimbang.
Dengan berita yang seperti itu, rentan membuat wartawan diprotes bahkan bisa dituntut, yang tentunya berdampak pada nama baik media yang ditungganginya. Berita-berita seperti ini merupakan berita yang kuhindari, tapi ada kalanya berita-berita seperti ini akhirnya tertulis karena ya itu tadi, waktu yang sempit dan juga rasa malas itu tadi.
Berita-berita seperti itu seringkali menimbulkan kemarahan bagi pihak-pihak yang merasa tersudutkan. Sebagaimana yang pernah kualami, sehingga disidang oleh para dokter dan manejemen Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di kotaku. Namun, bukan aku yang melakukan kesalahan, melainkan dua media lain yang lantas membuatku ikut terlibat di dalamnya. Ya, Rabu tanggal 4 September 2013 pagi itu aku mendapat pesan dari rekanku serta dari humas RSUD yang memintaku datang ke RSUD.
Kabarnya, RSUD bakal melakukan konferensi pers. Aku pun bertanya-tanya, konferensi pers tentang apa yang akan dilakukan RSUD. Apa nanti bakal berakhir berita promosi sebagaimana yang kualami sebelumnya. Yeah, sebelumnya aku memang pernah diminta untuk datang ke RSUD, tapi yang kudapatkan aku diminta menulis tentang dokter penyakit kulit dan kelamin yang baru tiba di RSUD. Padahal kan aku wartawan utama. Hiks.
So, Rabu itu sebagaimana yang dijanjikan yaitu pukul 12.00 Wita (kalau tidak salah), aku tiba di RSUD. Melalui pesan singkatnya, humas RSUD memintaku untuk naik ke lantai lima, di salah satu ruang yang aku lupa namanya. Aku pun beranjak naik dan tiba di ruangan yang dimaksud. Ketika aku masuk, baru ada dua staf rumah sakit di dalam ruangan dengan meja-meja dengan kursi-kursi yang diatur sedemikian rupa sehingga yang duduk di kursi dapat saling berhadap-hadapan, semasam meja besar yang dipakai untuk mengadakan rapat. Humas mempersilakanku duduk sembari menunggu dua media lain yang diundang, S*pos dan T**bun Kaltim.
Tak lama, manajemen RSUD datang disusul para dokter. Mereka duduk pada tempat mereka masing-masing, seolah mengepungku dan siap menghakimiku. Langsung saja, aku disuguhi kliping berita dari dua harian lokal, S*pos dan T**bun Kaltim, sebuah berita berbeda namun menampilkan informasi yang sama tentang bayi pengidap HIV yang mendapat perlakukan tidak manusiawi dari RSUD. Bahkan judul yang digeber Sap*s begitu mengerikan dengan judul: Ditelantarkan Hingga Tewas. Sontak aku terkejut membaca dua berita yang ditulis dua media itu.
Segera saja aku menemukan apa yang menjadi alasan RSUD menggelar konferensi pers, berita yang ditulis dua media itu tidak beirmbang. Sama sekali tidak ada statement dari RSUD untuk memberikan hak jawab. Padahal berita itu telah lewat satu pekan, sementara dalam satu pekan itu belum ada satu pun hak jawab dari RSUD. Narasumber utama dalam berita itu adalah pekerja LSM yang konsen terhadap kasus HIV yang menjadi narasumber utama, yang dilanjutkan pada DPRD Bontang dan Wali Kota. Namun sama sekali belum ada konfirmasi ke RSUD yang seharusnya ada, mengingat RSUD menjadi pihak yang disudutkan pemberitaan itu.
Yeah, wajar bila kemudian RSUD berang. Segera saja mereka mencecarku dengan berbagai pertanyaan terkait berita itu. Segera saja kujelaskan kalau aku berasal dari Bontang Post dan berita tentang anak penderita HIV tersebut belum pernah dimuat di surat kabar tempatku bekerja. Saat itu, segera saja ingatanku kembali pada beberapa hari ke belakang, saat seorang pekerja sosial kenalanku memberikan informasi dari salah seorang pekerja LSM mengenai bayi HIV yang mendapat perlakukan diskriminasi dan tidak manusiawi di RSUD. Bahkan akhirnya bayi itu, sebut saja dia Kamboja (bukan nama sebenarnya), meninggal dunia. Insting wartawanku langsung muncul dan aku berniat menjadikannya berita. Pekerja sosial itu lalu memberikanku nomor ponsel pekerja LSM. Rencanaku waktu itu, mewawancarai pekerja LSM lalu langsung mengonfirmasi kebenaran berita pada pihak RSUD.
Sayangnya, pekerja LSM itu, sebut saja Kenanga (bukan nama sebenarnya) tidak mengangkat teleponku. Aku tidak menyerah, lantas kukirimkan pesan singkat ke ponsel Kenanga. Namun tetap saja tidak mendapat balasan. Aku pun mengadukan hal itu pada pekerja sosial yang memberiku informasi tersebut, bahwa Kenanga tidak dapat dihubungi. Pekerja sosial itu yang juga kontributor kantor berita, lantas memberiku berita tulisannya hasil wawancara dengan Kenanga. Namun karena aku tidak melakukan wawancara, selain itu berita yang ditulis pekerja sosial itu berat sebelah, aku urung menjadikannya berita. Aku ahu risikoku bila memuat berita itu tanpa wawancara, sehingga aku meminta pekerja sosial itu untuk menghubungkanku kembali dengan Kenanga agar aku bisa bertemu dengannya.
Pekerja sosial itu lalu sempat mengupayakanku agar terhubung dengan Kenanga, namun tetap saja Kenanga tidak mengangkat teleponku. So, aku pun memutuskan tidak mengekspose berita ini. Hingga kemudian Rabu itu aku mesti mendatangi konferensi pers terkait pemberitaan bayi meninggal karena HIV. Ya, pemberitaan dari dua media itu membuatku mesti terlibat dalam konferensi pers. Terkadang aku bersyukur juga tidak sempat menulis berita itu. Sembari menunggu wartawan T**bun Kaltim, RSUD lantas menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya. RSUD bahkan sudah menyiapkan rilis sebagai hak jawab yang tertunda.
Tak lama, wartawan T**bun Kaltim datang dan mulailah manajemen RSUD yang terdiri dari wakil direktur, manajemen, dan para dokter terkait menjelaskan duduk permasalahan, sembari kami wartawan beberapa kali melemparkan pertanyaan. Kemudian wartawan S*pos juga datang setelah aku meneleponnya. Kebetulan, S*pos juga berada dalam satu grup dengan Bontang Post. Dan kemudian bisa ditebak, RSUD mencecar para wartawan. Sementara para wartawan memberikan pembelaan.
Dari konferensi inilah aku menemukan sebuah hal baru, tentang pemberitaan HIV AIDS. Semestinya, informasi tentang pengidap HIV harus dirahasiakan demi kebaikan pasien tersebut. Tapi Kenanga justru menyebutkan alamat lengkap dan diagnosis pasien yang bukan wewenangnya untuk menyampaikan. Selain itu, manajemen RSUD menyebut, sebagai seorang fasilitator atau pendamping pasien, Kenanga telah bertindak melebihi kapasitasnya. Dia bahkan ikut campur dalam proses pengobatan dan mengganggu kinerja dokter. Sebenarnya, apa yang disebut diskriminasi oleh Kenanga bukanlah seperti yang diceritakan. Melalui penjelasan RSUD berikut bukti-bukti yang dibeberkan, tidak ada diskriminasi yang telah dilakukan RSUD terhadap bayi yang disebut-sebut pengidap HIV.
Aku tidak akan menguraikan lebih banyak mengenai percakapan dan pembelaan antara manajemen dengan dua wartawan lain dalam konferensi pers tersebut, yang pasti pihak RSUD berang kepada dua wartawan tersebut karena berita yang ditulis berat sebelah. Bahkan salah satu petinggi RSUD sempat melontarkan niat menuntut dua media tersebut. Meski begitu, konferensi pers tersebut berakhir damai dan para wartawan bersedia memuat hak jawab RSUD.
Konferensi pers ini menambah pengalamanku sebagai wartawan, agar selalu berhati-hati dalam menulis berita. Karena berita yang kita tulis, terutama berita-berita sensitif dan cenderung bersifat kasus, berhubungan dengan nama baik pihak-pihak terkait. Jangan sampai apa yang kita terus lantas menjadi fitnah atau pencemaran nama baik.
Selain itu aku juga belajar, bahwa wartawan senior belum tentu menyajikan berita secara cover both side alias berimbang. Padahal, dua wartawan dari S*pos dan T**bun Kaltim tersebut usia karirnya sebagai wartawan jauh lebih lama bila dibandingkan diriku. Durasi atau jam terbang wartawan ternyata bukan jaminan wartawan tersebut menulis berita dengan baik. Aku pun menjadi semakin percaya diri untuk menulis berita versiku dengan lebih baik lagi. Lamanya seorang wartawan, bukan jaminan kualitas wartawan tersebut. Selagi kita memiliki keinginan untuk terus belajar dan memperbaiki diri, lama atau baru bukan menjadi masalah.
Tapi sebenarnya aku pernah juga diprotes keras akibat salah satu beritaku yang menjadi headline. Kuakui aku melakukan kesalahan dalam pemaknaan, yang lantas membuatku dipanggil pengelola gas alam yang ada dalam beritaku. Semacam sidang, narasumberku yang merasa keberatan lantas membedah satu persatu kata-kata dan kalimat-kalimat dalam beritaku yang dinilainya mengalami kesalahan penafsiran. Aku sendiri masih bingung dan tidak tahu pasti apakah aku melakukan kesalahan atau tidak. Karena apa yang kutulis merupakan apa yang kudengar. Kejadian ini sempat membuatku down dan selalu terpikirkan sampai sekarang. Karena bisa dibilang, beritaku tersebut bisa meresahkan masyarakat. Mengingat judulnya yang fantastis: Tidak Beli Kompor, Gas Dicabut.
Selain berita tersebut, beberapa beritaku juga sempat mendapatkan protes. Ada yang karena kesalahanku, ada juga yang kesalahan redaktur, tapi ada juga karena ketajaman beritaku yang membuatku sempat diancam. Kuakui aku juga orang biasa dan juga wartawan biasa, yang tak lepas dari kesalahan. Tapi dari kesalahan-kesalahan itu kita harus belajar untuk menjadi lebih baik, untuk tidak mengulang kesalahan itu di kemudian hari. Karena memang pada dasarnya kita semua belajar dari kesalahan. Sebuah pelajaran yang harus diingat oleh para wartawan, untuk selalu menyajikan berita-berita yang berimbang, cover both side, memenuhi hak jawab, sebagaimana diatur dalam kode etik. Wartawan itu menyebarkan fakta, bukan fitnah atau opini yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. (luk)
Dengan berita yang seperti itu, rentan membuat wartawan diprotes bahkan bisa dituntut, yang tentunya berdampak pada nama baik media yang ditungganginya. Berita-berita seperti ini merupakan berita yang kuhindari, tapi ada kalanya berita-berita seperti ini akhirnya tertulis karena ya itu tadi, waktu yang sempit dan juga rasa malas itu tadi.
Berita-berita seperti itu seringkali menimbulkan kemarahan bagi pihak-pihak yang merasa tersudutkan. Sebagaimana yang pernah kualami, sehingga disidang oleh para dokter dan manejemen Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di kotaku. Namun, bukan aku yang melakukan kesalahan, melainkan dua media lain yang lantas membuatku ikut terlibat di dalamnya. Ya, Rabu tanggal 4 September 2013 pagi itu aku mendapat pesan dari rekanku serta dari humas RSUD yang memintaku datang ke RSUD.
Kabarnya, RSUD bakal melakukan konferensi pers. Aku pun bertanya-tanya, konferensi pers tentang apa yang akan dilakukan RSUD. Apa nanti bakal berakhir berita promosi sebagaimana yang kualami sebelumnya. Yeah, sebelumnya aku memang pernah diminta untuk datang ke RSUD, tapi yang kudapatkan aku diminta menulis tentang dokter penyakit kulit dan kelamin yang baru tiba di RSUD. Padahal kan aku wartawan utama. Hiks.
So, Rabu itu sebagaimana yang dijanjikan yaitu pukul 12.00 Wita (kalau tidak salah), aku tiba di RSUD. Melalui pesan singkatnya, humas RSUD memintaku untuk naik ke lantai lima, di salah satu ruang yang aku lupa namanya. Aku pun beranjak naik dan tiba di ruangan yang dimaksud. Ketika aku masuk, baru ada dua staf rumah sakit di dalam ruangan dengan meja-meja dengan kursi-kursi yang diatur sedemikian rupa sehingga yang duduk di kursi dapat saling berhadap-hadapan, semasam meja besar yang dipakai untuk mengadakan rapat. Humas mempersilakanku duduk sembari menunggu dua media lain yang diundang, S*pos dan T**bun Kaltim.
Tak lama, manajemen RSUD datang disusul para dokter. Mereka duduk pada tempat mereka masing-masing, seolah mengepungku dan siap menghakimiku. Langsung saja, aku disuguhi kliping berita dari dua harian lokal, S*pos dan T**bun Kaltim, sebuah berita berbeda namun menampilkan informasi yang sama tentang bayi pengidap HIV yang mendapat perlakukan tidak manusiawi dari RSUD. Bahkan judul yang digeber Sap*s begitu mengerikan dengan judul: Ditelantarkan Hingga Tewas. Sontak aku terkejut membaca dua berita yang ditulis dua media itu.
Segera saja aku menemukan apa yang menjadi alasan RSUD menggelar konferensi pers, berita yang ditulis dua media itu tidak beirmbang. Sama sekali tidak ada statement dari RSUD untuk memberikan hak jawab. Padahal berita itu telah lewat satu pekan, sementara dalam satu pekan itu belum ada satu pun hak jawab dari RSUD. Narasumber utama dalam berita itu adalah pekerja LSM yang konsen terhadap kasus HIV yang menjadi narasumber utama, yang dilanjutkan pada DPRD Bontang dan Wali Kota. Namun sama sekali belum ada konfirmasi ke RSUD yang seharusnya ada, mengingat RSUD menjadi pihak yang disudutkan pemberitaan itu.
Yeah, wajar bila kemudian RSUD berang. Segera saja mereka mencecarku dengan berbagai pertanyaan terkait berita itu. Segera saja kujelaskan kalau aku berasal dari Bontang Post dan berita tentang anak penderita HIV tersebut belum pernah dimuat di surat kabar tempatku bekerja. Saat itu, segera saja ingatanku kembali pada beberapa hari ke belakang, saat seorang pekerja sosial kenalanku memberikan informasi dari salah seorang pekerja LSM mengenai bayi HIV yang mendapat perlakukan diskriminasi dan tidak manusiawi di RSUD. Bahkan akhirnya bayi itu, sebut saja dia Kamboja (bukan nama sebenarnya), meninggal dunia. Insting wartawanku langsung muncul dan aku berniat menjadikannya berita. Pekerja sosial itu lalu memberikanku nomor ponsel pekerja LSM. Rencanaku waktu itu, mewawancarai pekerja LSM lalu langsung mengonfirmasi kebenaran berita pada pihak RSUD.
Sayangnya, pekerja LSM itu, sebut saja Kenanga (bukan nama sebenarnya) tidak mengangkat teleponku. Aku tidak menyerah, lantas kukirimkan pesan singkat ke ponsel Kenanga. Namun tetap saja tidak mendapat balasan. Aku pun mengadukan hal itu pada pekerja sosial yang memberiku informasi tersebut, bahwa Kenanga tidak dapat dihubungi. Pekerja sosial itu yang juga kontributor kantor berita, lantas memberiku berita tulisannya hasil wawancara dengan Kenanga. Namun karena aku tidak melakukan wawancara, selain itu berita yang ditulis pekerja sosial itu berat sebelah, aku urung menjadikannya berita. Aku ahu risikoku bila memuat berita itu tanpa wawancara, sehingga aku meminta pekerja sosial itu untuk menghubungkanku kembali dengan Kenanga agar aku bisa bertemu dengannya.
Pekerja sosial itu lalu sempat mengupayakanku agar terhubung dengan Kenanga, namun tetap saja Kenanga tidak mengangkat teleponku. So, aku pun memutuskan tidak mengekspose berita ini. Hingga kemudian Rabu itu aku mesti mendatangi konferensi pers terkait pemberitaan bayi meninggal karena HIV. Ya, pemberitaan dari dua media itu membuatku mesti terlibat dalam konferensi pers. Terkadang aku bersyukur juga tidak sempat menulis berita itu. Sembari menunggu wartawan T**bun Kaltim, RSUD lantas menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya. RSUD bahkan sudah menyiapkan rilis sebagai hak jawab yang tertunda.
Tak lama, wartawan T**bun Kaltim datang dan mulailah manajemen RSUD yang terdiri dari wakil direktur, manajemen, dan para dokter terkait menjelaskan duduk permasalahan, sembari kami wartawan beberapa kali melemparkan pertanyaan. Kemudian wartawan S*pos juga datang setelah aku meneleponnya. Kebetulan, S*pos juga berada dalam satu grup dengan Bontang Post. Dan kemudian bisa ditebak, RSUD mencecar para wartawan. Sementara para wartawan memberikan pembelaan.
Dari konferensi inilah aku menemukan sebuah hal baru, tentang pemberitaan HIV AIDS. Semestinya, informasi tentang pengidap HIV harus dirahasiakan demi kebaikan pasien tersebut. Tapi Kenanga justru menyebutkan alamat lengkap dan diagnosis pasien yang bukan wewenangnya untuk menyampaikan. Selain itu, manajemen RSUD menyebut, sebagai seorang fasilitator atau pendamping pasien, Kenanga telah bertindak melebihi kapasitasnya. Dia bahkan ikut campur dalam proses pengobatan dan mengganggu kinerja dokter. Sebenarnya, apa yang disebut diskriminasi oleh Kenanga bukanlah seperti yang diceritakan. Melalui penjelasan RSUD berikut bukti-bukti yang dibeberkan, tidak ada diskriminasi yang telah dilakukan RSUD terhadap bayi yang disebut-sebut pengidap HIV.
Aku tidak akan menguraikan lebih banyak mengenai percakapan dan pembelaan antara manajemen dengan dua wartawan lain dalam konferensi pers tersebut, yang pasti pihak RSUD berang kepada dua wartawan tersebut karena berita yang ditulis berat sebelah. Bahkan salah satu petinggi RSUD sempat melontarkan niat menuntut dua media tersebut. Meski begitu, konferensi pers tersebut berakhir damai dan para wartawan bersedia memuat hak jawab RSUD.
Konferensi pers ini menambah pengalamanku sebagai wartawan, agar selalu berhati-hati dalam menulis berita. Karena berita yang kita tulis, terutama berita-berita sensitif dan cenderung bersifat kasus, berhubungan dengan nama baik pihak-pihak terkait. Jangan sampai apa yang kita terus lantas menjadi fitnah atau pencemaran nama baik.
Selain itu aku juga belajar, bahwa wartawan senior belum tentu menyajikan berita secara cover both side alias berimbang. Padahal, dua wartawan dari S*pos dan T**bun Kaltim tersebut usia karirnya sebagai wartawan jauh lebih lama bila dibandingkan diriku. Durasi atau jam terbang wartawan ternyata bukan jaminan wartawan tersebut menulis berita dengan baik. Aku pun menjadi semakin percaya diri untuk menulis berita versiku dengan lebih baik lagi. Lamanya seorang wartawan, bukan jaminan kualitas wartawan tersebut. Selagi kita memiliki keinginan untuk terus belajar dan memperbaiki diri, lama atau baru bukan menjadi masalah.
Tapi sebenarnya aku pernah juga diprotes keras akibat salah satu beritaku yang menjadi headline. Kuakui aku melakukan kesalahan dalam pemaknaan, yang lantas membuatku dipanggil pengelola gas alam yang ada dalam beritaku. Semacam sidang, narasumberku yang merasa keberatan lantas membedah satu persatu kata-kata dan kalimat-kalimat dalam beritaku yang dinilainya mengalami kesalahan penafsiran. Aku sendiri masih bingung dan tidak tahu pasti apakah aku melakukan kesalahan atau tidak. Karena apa yang kutulis merupakan apa yang kudengar. Kejadian ini sempat membuatku down dan selalu terpikirkan sampai sekarang. Karena bisa dibilang, beritaku tersebut bisa meresahkan masyarakat. Mengingat judulnya yang fantastis: Tidak Beli Kompor, Gas Dicabut.
Selain berita tersebut, beberapa beritaku juga sempat mendapatkan protes. Ada yang karena kesalahanku, ada juga yang kesalahan redaktur, tapi ada juga karena ketajaman beritaku yang membuatku sempat diancam. Kuakui aku juga orang biasa dan juga wartawan biasa, yang tak lepas dari kesalahan. Tapi dari kesalahan-kesalahan itu kita harus belajar untuk menjadi lebih baik, untuk tidak mengulang kesalahan itu di kemudian hari. Karena memang pada dasarnya kita semua belajar dari kesalahan. Sebuah pelajaran yang harus diingat oleh para wartawan, untuk selalu menyajikan berita-berita yang berimbang, cover both side, memenuhi hak jawab, sebagaimana diatur dalam kode etik. Wartawan itu menyebarkan fakta, bukan fitnah atau opini yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. (luk)
kliping_berita_dari_tribun_kaltim.jpg |