Catatan ini terbit di halaman utama Bontang Post edisi Jumat, 7 Maret 2014.
AJANG Pemilu 2014 tinggal menghitung hari. Gerak kampanye partai politik (parpol) dan calon anggota legislatif (caleg) pun semakin menggeliat, bahkan bisa dibilang kebablasan, membabi buta. Hal ini tampak jelas pada pinggiran-pinggiran jalan Bontang. Pemandangan baliho, banner, atau poster menampilkan wajah ‘narsis’ para caleg yang akan dipilih 9 April mendatang, dalam pemilihan legislatif (pileg) Pemilu 2014 seolah merupakan hal yang lumrah dijumpai.
Padahal, pemasangan dalam berbagai bentuk dan lokasi tersebut kerap melanggar aturan yang berlaku. Baik itu Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) maupun peraturan-peraturan lainnya. Coba tengok baliho seorang caleg yang jumlahnya berlipat-lipat, bisa ditemukan di berbagai sudut Bontang. Padahal PKPU Nomor 15 Tahun 2013 sudah menegaskan aturan ini. Jangankan jumlah yang berlipat-lipat, satu unit baliho bergambar caleg saja sudah dilarang. Karena, sesuai peraturan ini, caleg dilarang memasang baliho. Hanya diperbolehkan memasang spanduk, itu pun dengan jumlah dan ukuran yang dibatasi.
Lalu ada algaka-algaka berupa banner atau poster yang ditempelkan begitu saja di pohon-pohon milik pemerintah, di pinggiran jalan-jalan utama. Padahal, Pemkot Bontang melalui dinas terkait sudah mewanti-wanti untuk tidak memasang algaka atau sejenis itu pada pohon. Karena dikhawatirkan dapat merusak pohon tersebut, selain tentunya merusak pemandangan dan estetika kota. PKPU pun melarang pemasangan tersebut. Tapi saya tidak akan membahas larangan tersebut. Karena saya yakin masing-masing caleg mencoba mencari celah pembenaran atas larangan ini, yang bisa berujung debat kusir.
Jujur, saya kaget dengan pemasangan atribut kampanye tersebut yang begitu sporadis. Saya ingat saya, setelah Satpol PP melakukan penertiban algaka bersama Panitia Pengawas Pemilu beberapa waktu lalu, saya pikir keberadaan algaka tersebut tak berulang. Saya melihat pinggiran jalan yang sebelumnya penuh beragam ekspresi wajah, mulai dari yang senyum, datar, hingga merengut kini menjadi bersih. Kalaupun ada, jumlahnya sedikit dan dapat dihitung dengan jari. Tapi kesokan harinya, ‘rentetan peluru’ baliho dan benda sejenis itu kembali ‘menyerang’ saya ketika saya melintasi jalan.
Dalam semalam, ratusan algaka muncul siap menyambut para pengguna jalan. Di Jalan Ahmad Yani saja, semua pohon-pohon kecil mesti merelakan batang mereka tertempel poster caleg DPR RI yang mengadu nasib di daerah Kaltim. Sepertinya tim sukses caleg tersebut sudah overdosis semangat, sementara sang caleg sendiri itu sudah overdosis rupiah. Mengerikan, batin saya, mengerikan (kalau tidak dibilang terlalu hiperbola). Padahal logikanya, tidak ada manfaat algaka-algaka itu, kecuali untuk si empunya gambar itu sendiri. Apa manfaat yang kita, masyarakat dapat? Paling-paling cuma kalimat, “Oh, jadi si Fulan itu ikutan nyaleg ya?” Sudah, itu saja. Atau mungkin kasarnya, “Jadi si Fulan itu caleg ya? Terus, gue mesti bilang WOW, gitu?”
Melihat fenomena merebaknya algaka yang ‘mengerikan’ ini, saya jadi berpikir, tampaknya duduk di kursi empuk legislatif merupakan suatu ambisi yang mesti terpenuhi. Saya tidak salah dong menyimpulkan seperti itu. Karenanya kenyataannya, banyak oknum caleg yang rela ‘berjudi’ menginvestasikan dana yang mereka punya pada lembaran-lembaran bergambar dalam jumlah yang banyak. Mungkin malah sangat banyak. Mereka seakan tak berpikir berapa rupiah yang mesti mereka habiskan dalam pengadaan material-material itu. Padahal, baliho-baliho itu pastinya akan terbuang juga, entah disingkirkan Satpol PP, diambil penjual nasi goreng, atau syukur-syukur ditertibkan sendiri oleh caleg. Syukur-syukur kalau caleg itu terpilih, jadi pengeluaran untuk gambar-gambar narsis itu mungkin saja tak sia-sia. Tapi bagaimana kalau ternyata masyarakat tak melirik sama sekali, dan caleg itu tak mendapatkan suara yang ditargetkan? Well, saya tidak berani menjawab.
Duduk di kursi anggota dewan seakan menjadi hal yang sangat penting bagi caleg. Hingga mereka berani menggelontorkan dana dalam jumlah besar untuk pengadaan algaka bergambar wajah mereka. Padahal dalam kertas suara hanya tertera nama caleg, tidak ada gambar mereka. Ya bagi orang awam, dana yang tidak sedikit itu tentu lebih berharga ditunaikan untuk kebutuhan sehari-hari. Satu porsi Gammi Bawis rasanya sudah bikin puas, apalagi kalau porsinya lebih banyak dan dimakan bersama anak-anak yatim. Sudah kenyang, berpahala pula. Dan mungkin, anak-anak yatim ini bisa mendoakan caleg agar terpilih. Doa anak yatim itu manjur lho!
Ya mungkin bagi caleg dana itu tidak seberapa, mereka mungkin punya harta berlimpah. Tapi bukan berarti caleg serta merta tidak paham dana hal itu. Saya yakin kok kalau mereka paham akan dana yang dikeluarkan dan merasa sayang kalau pengeluaran mereka tidak efektif. Hal ini tergambar dari seseorang yang mengaku tim sukses caleg. Saya ingat, dalam penertiban yang dilakukan Satpol PP bersama Panwaslu, orang ini sempat memaki kasar pimpinan Panwaslu akibat penertiban atas algaka yang dinilai melanggar aturan. Kalau tidak salah ingat, makiannya seperti ini: “Bapak jangan sembarangan copot baliho saya. Saya cetak baliho itu pakai uang Pak dan tidak sedikit. Emangnya Bapak mau mengganti uang saya?”
Tapi tentu, tidak semua caleg menggantungkan nasib mereka pada baliho atau gambar-gambar sejenis itu. Ada juga caleg yang taat aturan, tidak memasang gambar di jalanan. Mereka lebih cenderung memilih aksi sosialisasi melalui pertemuan-pertemuan langsung. Mereka menyadari, pemasangan algaka secara spotadis berdampak buruk bagi lingkungan. Merusak pohon, merusak esetika kota, dan pemborosan biaya. Juga tidak efektif. Mereka-mereka ini layak diperhitungkan untuk dipilih, meskipun bukan menjadi jaminan sesuai dengan harapan. Di sinilah kita sebagai pemilih dituntut cerdas, melihat latar belakang seorang caleg, menilai visi dan misi mereka terukur atau tidak. Masuk akalkah visi dan misi mereka? Atau sekadar politisasi masalah air dan listrik?
Saya sendiri kurang begitu paham dengan efektivitas penggunaan algaka khususnya baliho atau yang sejenis itu. Menurut saya, penggunaan algaka mesti dibarengi pendekatan kepada warga sebagai pemilih, dengan terjun bertemu langsung. Memperkenalkan diri, memperkenalkan visi dan misi. Kalaupun hanya dengan pemasangan gambar caleg lantas caleg itu terpilih, tentu patut dipertanyakan kualitas anggota dewan terpilih. Ujungnya, patut dipertanyakan system pemilu yang dianut negara kita. Ah sudahlah, buat apa diambil pusing. Biarlah para caleg ‘berjudi’ dengan gambar-gambar mereka sendiri. Mungkin bagi mereka, semakin banyak gambar mereka terpampang, semakin besar peluang untuk menang. Ah, sudahlah! ([email protected])
AJANG Pemilu 2014 tinggal menghitung hari. Gerak kampanye partai politik (parpol) dan calon anggota legislatif (caleg) pun semakin menggeliat, bahkan bisa dibilang kebablasan, membabi buta. Hal ini tampak jelas pada pinggiran-pinggiran jalan Bontang. Pemandangan baliho, banner, atau poster menampilkan wajah ‘narsis’ para caleg yang akan dipilih 9 April mendatang, dalam pemilihan legislatif (pileg) Pemilu 2014 seolah merupakan hal yang lumrah dijumpai.
Padahal, pemasangan dalam berbagai bentuk dan lokasi tersebut kerap melanggar aturan yang berlaku. Baik itu Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) maupun peraturan-peraturan lainnya. Coba tengok baliho seorang caleg yang jumlahnya berlipat-lipat, bisa ditemukan di berbagai sudut Bontang. Padahal PKPU Nomor 15 Tahun 2013 sudah menegaskan aturan ini. Jangankan jumlah yang berlipat-lipat, satu unit baliho bergambar caleg saja sudah dilarang. Karena, sesuai peraturan ini, caleg dilarang memasang baliho. Hanya diperbolehkan memasang spanduk, itu pun dengan jumlah dan ukuran yang dibatasi.
Lalu ada algaka-algaka berupa banner atau poster yang ditempelkan begitu saja di pohon-pohon milik pemerintah, di pinggiran jalan-jalan utama. Padahal, Pemkot Bontang melalui dinas terkait sudah mewanti-wanti untuk tidak memasang algaka atau sejenis itu pada pohon. Karena dikhawatirkan dapat merusak pohon tersebut, selain tentunya merusak pemandangan dan estetika kota. PKPU pun melarang pemasangan tersebut. Tapi saya tidak akan membahas larangan tersebut. Karena saya yakin masing-masing caleg mencoba mencari celah pembenaran atas larangan ini, yang bisa berujung debat kusir.
Jujur, saya kaget dengan pemasangan atribut kampanye tersebut yang begitu sporadis. Saya ingat saya, setelah Satpol PP melakukan penertiban algaka bersama Panitia Pengawas Pemilu beberapa waktu lalu, saya pikir keberadaan algaka tersebut tak berulang. Saya melihat pinggiran jalan yang sebelumnya penuh beragam ekspresi wajah, mulai dari yang senyum, datar, hingga merengut kini menjadi bersih. Kalaupun ada, jumlahnya sedikit dan dapat dihitung dengan jari. Tapi kesokan harinya, ‘rentetan peluru’ baliho dan benda sejenis itu kembali ‘menyerang’ saya ketika saya melintasi jalan.
Dalam semalam, ratusan algaka muncul siap menyambut para pengguna jalan. Di Jalan Ahmad Yani saja, semua pohon-pohon kecil mesti merelakan batang mereka tertempel poster caleg DPR RI yang mengadu nasib di daerah Kaltim. Sepertinya tim sukses caleg tersebut sudah overdosis semangat, sementara sang caleg sendiri itu sudah overdosis rupiah. Mengerikan, batin saya, mengerikan (kalau tidak dibilang terlalu hiperbola). Padahal logikanya, tidak ada manfaat algaka-algaka itu, kecuali untuk si empunya gambar itu sendiri. Apa manfaat yang kita, masyarakat dapat? Paling-paling cuma kalimat, “Oh, jadi si Fulan itu ikutan nyaleg ya?” Sudah, itu saja. Atau mungkin kasarnya, “Jadi si Fulan itu caleg ya? Terus, gue mesti bilang WOW, gitu?”
Melihat fenomena merebaknya algaka yang ‘mengerikan’ ini, saya jadi berpikir, tampaknya duduk di kursi empuk legislatif merupakan suatu ambisi yang mesti terpenuhi. Saya tidak salah dong menyimpulkan seperti itu. Karenanya kenyataannya, banyak oknum caleg yang rela ‘berjudi’ menginvestasikan dana yang mereka punya pada lembaran-lembaran bergambar dalam jumlah yang banyak. Mungkin malah sangat banyak. Mereka seakan tak berpikir berapa rupiah yang mesti mereka habiskan dalam pengadaan material-material itu. Padahal, baliho-baliho itu pastinya akan terbuang juga, entah disingkirkan Satpol PP, diambil penjual nasi goreng, atau syukur-syukur ditertibkan sendiri oleh caleg. Syukur-syukur kalau caleg itu terpilih, jadi pengeluaran untuk gambar-gambar narsis itu mungkin saja tak sia-sia. Tapi bagaimana kalau ternyata masyarakat tak melirik sama sekali, dan caleg itu tak mendapatkan suara yang ditargetkan? Well, saya tidak berani menjawab.
Duduk di kursi anggota dewan seakan menjadi hal yang sangat penting bagi caleg. Hingga mereka berani menggelontorkan dana dalam jumlah besar untuk pengadaan algaka bergambar wajah mereka. Padahal dalam kertas suara hanya tertera nama caleg, tidak ada gambar mereka. Ya bagi orang awam, dana yang tidak sedikit itu tentu lebih berharga ditunaikan untuk kebutuhan sehari-hari. Satu porsi Gammi Bawis rasanya sudah bikin puas, apalagi kalau porsinya lebih banyak dan dimakan bersama anak-anak yatim. Sudah kenyang, berpahala pula. Dan mungkin, anak-anak yatim ini bisa mendoakan caleg agar terpilih. Doa anak yatim itu manjur lho!
Ya mungkin bagi caleg dana itu tidak seberapa, mereka mungkin punya harta berlimpah. Tapi bukan berarti caleg serta merta tidak paham dana hal itu. Saya yakin kok kalau mereka paham akan dana yang dikeluarkan dan merasa sayang kalau pengeluaran mereka tidak efektif. Hal ini tergambar dari seseorang yang mengaku tim sukses caleg. Saya ingat, dalam penertiban yang dilakukan Satpol PP bersama Panwaslu, orang ini sempat memaki kasar pimpinan Panwaslu akibat penertiban atas algaka yang dinilai melanggar aturan. Kalau tidak salah ingat, makiannya seperti ini: “Bapak jangan sembarangan copot baliho saya. Saya cetak baliho itu pakai uang Pak dan tidak sedikit. Emangnya Bapak mau mengganti uang saya?”
Tapi tentu, tidak semua caleg menggantungkan nasib mereka pada baliho atau gambar-gambar sejenis itu. Ada juga caleg yang taat aturan, tidak memasang gambar di jalanan. Mereka lebih cenderung memilih aksi sosialisasi melalui pertemuan-pertemuan langsung. Mereka menyadari, pemasangan algaka secara spotadis berdampak buruk bagi lingkungan. Merusak pohon, merusak esetika kota, dan pemborosan biaya. Juga tidak efektif. Mereka-mereka ini layak diperhitungkan untuk dipilih, meskipun bukan menjadi jaminan sesuai dengan harapan. Di sinilah kita sebagai pemilih dituntut cerdas, melihat latar belakang seorang caleg, menilai visi dan misi mereka terukur atau tidak. Masuk akalkah visi dan misi mereka? Atau sekadar politisasi masalah air dan listrik?
Saya sendiri kurang begitu paham dengan efektivitas penggunaan algaka khususnya baliho atau yang sejenis itu. Menurut saya, penggunaan algaka mesti dibarengi pendekatan kepada warga sebagai pemilih, dengan terjun bertemu langsung. Memperkenalkan diri, memperkenalkan visi dan misi. Kalaupun hanya dengan pemasangan gambar caleg lantas caleg itu terpilih, tentu patut dipertanyakan kualitas anggota dewan terpilih. Ujungnya, patut dipertanyakan system pemilu yang dianut negara kita. Ah sudahlah, buat apa diambil pusing. Biarlah para caleg ‘berjudi’ dengan gambar-gambar mereka sendiri. Mungkin bagi mereka, semakin banyak gambar mereka terpampang, semakin besar peluang untuk menang. Ah, sudahlah! ([email protected])