Aku bukan orang yang gemar berolahraga. Namun, terkadang aku memaksakan diriku berlari. Dulunya, aku juga sering berjalan kaki menempuh jarak yang jauh, kalaupun itu disebut olahraga.
Tapi ada dua jenis olahraga yang membuat tubuhku bergerak secara otomatis dan menikmatinya saat aku melakukannya. Dua olahraga itu adalah bulutangkis dan futsal. Kedua olahraga ini memang berbeda jenis, yang satu olahraga tangan dengan raket dan shuttlecock, sementara satunya lagi olahraga kaki dengan bola bundar. Tetapi, dua olahraga ini memiliki kesamaan yang membuatku menyukainya, sehingga tubuhku reflek bergerak. Apa itu? Mengejar dan melompat.
Maksudnya, dalam bulutangkis, kita mesti bergerak memngejar shuttlecock dan menangkisnya. Terkadang, kita mesti melompat untuk melakukannya. Sementara dalam futsal, khususnya posisi favoritku yaitu kiper pun sama. Aku mesti bergerak dan kadang melompat untuk bisa menghentikan laju bola ke gawang, entah itu kutangkap atau kutangkis. Ya, aku memang menyukai olahraga reflek, dimana tugasku adalah menangkap objek permainan olahraga tersebut, dalam hal ini shuttlecock dan futasl.
Tapi pada kesempatan ini aku hanya akan bercerita tentang futsal. Olahraga kegemaranku yang sebenarnya adalah versi mini dari sepak bola. Sebenarnya, aku menyukai sepak bola. Namun karena keterbatasan fisikku, aku lebih memilih melakoni futsal. Apa pasal? Sebagai kiper, dengan tinggi tubuhku aku mampu mencapai mistar gawang futsal. Sementara gawang sepak bola begitu lebar dan tinggi. Yang pasti, aku tidak akan diandalkan dan menjadi pilihan menjadi kiper bila bermain di sepak bola. Meskipun reflekku sebagai kiper bagus.
Beda bila aku bermain futsal. Reflekku sebagai kiper mendapat apresiasi bila aku bermain dalam tim. Memang, setiap kali aku bermain futsal, aku selalu meminta menjadi kiper. Selain karena reflekku yang bagus dan aku suka menjadi kiper, staminaku mampu bertahan sebagai kiper. Beda kasus bila aku menjadi pemain penyerang. Dan faktanya, aku tidak pernah mengecewakan tim yang kubela setiap kali aku menjadi kiper futsal. Reflek yang cepat membuatku mampu menyelamatkan gawang dari tendangan-tendangan mematikan ke arah gawang.
Aku memang selalu tampil maksimal setiap kali menjadi kiper. Aku selalu berdiri di gawangku dengan penuh percaya diri. Entah kenapa, reflekku yang kuakui cukup baik dalam mengejar bola membuatku tak segan bergerak demi menangkap bola. Alhasil, aku kerap berjibaku saat menyelamatkan gawang. Melompat jauh, jatuh berguling-guling, bentrok dengan pemain lawan, sudah kerap terjadi dalam sejarahku bermain futsal.
Permainanku yang begitu ‘kesetanan’ tersebut membuat banyak rekan tim dan juga pemain lawan kagum. Mereka hampir selalu memuji penampilanku sebagai kiper. Mereka menyebutku sebagai kiper yang berani bertarung dan berani jatuh. Sebagai penjaga gawang, aku tampak tak takut terluka, baik saat terjatuh dalam upaya menyelamatkan gawang ataupun saat menghadapi tendangan-tendangan keras. Mereka mengakui reflekku yang sangat baik dalam merespon setiap tendangan lawan. Tak ayal, mereka kerap memercayaiku menjadi kiper utama.
Sayangnya, reflek bagusku tak diimbangi akan pengetahuan teknik bermain bola. Khususnya teknik menangkap bola. Ada kalanya bola-bola yang semestinya kutangkis malah berusaha kutangkap sehingga selalu lepas dari tangan. Selain berisiko kebobolan, juga berisiko menyakiti tanganku, apalagi bila aku tidak pakai sarung tangan. Tak heran, rekan-rekanku berkali-kali mengingatkanku untuk memukul atau menangkis bola untuk bola-bola yang tak dapat kutangkap.
Selain kelemahan dalam teknik menangkap bola, aku juga memiliki kelemahan dalam hal menendang ataupun lemparan bola. Sebagai kiper, kemampuan menendang dan lemparan bola perlu untuk memberikan bola pada rekan setim. Karena, bila tendangan atau lemparan kita jelek, katakanlah kurang tinggi dan kurang jauh, bisa membuat pemain lawan merebut bola. Alhasil, bisa membahayakan gawang. Karenanya, untuk meminimalisir kesalahan setelah bola berhasil kutangkap atau kukuasai, aku lebih memilih mengoperkan bola dengan lemparan-lemparan pendek pada teman-temanku yang berada dekat denganku. Akibatnya, jarang ada serangan balik yang tercipta setelah gawang terselamatkan.
Memang, aku berbeda dengan anak-anak laki-laki lain yang biasanya telah jago bermain bola sejak kecil karena kerap bermain di lapangan. Saat kecil, aku tidak banyak bergabung dengan teman-temanku bermain bola di lapangan. Selain itu, di sekolah aku hampir tak pernah mendapatkan kesempatan bermain sepak bola, mengingat fisikku yang pendek dan kurus dibandingkan anak-anak lainnya. Aku lantas lebih banyak menghabiskan waktu dengan berimajinasi, bermain seorang diri. Bisa dibilang seorang introvert, anti sosial atau kuper. Tapi, meski begitu aku mengikuti perkembangan sepak bola, khususnya Liga Champion dan Piala Dunia. Aku bahkan terobsesi dengan bentuk-bentuk turnamen sepak bola, mulai dari liga maupun turnamen sistem gugur.
Karena obsesi itu, dalam dunia imajinasiku, aku membuat sebuah simulasi asosiasi futsal yang kunamakan Maya Futsal Confederation atau asosiasi futsal maya, disingkat MFC. Dalam asosiasi ini terdapat puluhan klub futsal yang berkompetisi dalam beragam jenis kompetisi yang kubuat dan mulai kugulirkan sejak tahun 2000. Seperti kompetisi liga yang kuberi nama Liga Maya serta kompetisi bergengsi sekelas piala dunia/piala eropa yang kuberi nama Lukman Cup. Untuk Lukman Cup, pada tahun pertamanya kuberi nama Tweety Cup karena pialanya merupakan figurin model Tweety.
Dalam asosiasi ini, aku menempatkan diriku sebagai manajer salah satu klub, sementara rekan-rekan saudaraku dan teman sepermainanku sebagai manajer klub-klub lainnya. Aku pun menciptakan para pemain dalam asosiasi ini, lengkap dengan latar belakang sejarah mereka masing-masing. Terkadang, dalam mendukung asosiasi khayal ini, aku turut menggunakan permainan video sepak bola untuk menentukan hasil pertandingan. Terkadang aku juga menggunakan dadu. Permainan imajinasi ini terus berlangsung hingga bertahun-tahun lamanya, dan mulai tak kulakukan saat aku duduk di bangku kuliah. Saat itu aku mulai menghadapi dunia yang sesungguhnya, dan bermain futsal di arena sesungguhnya.
Meski tak lagi hidup di dunia imajinasi itu, aku masih sering terbayang bila imajinasi itu menjadi kenyataan. Yaitu, ada sebuah asosiasi futsal bergengsi di Indonesia dengan jenis-jenis kompetisi yang menantang. Dan, aku termasuk di dalamnya sebagai manajer salah satu klub yang berkompetisi di dalamnya. Konsep permainan imajinasi itu sendiri sempat kuterapkan dalam dunia nyata dengan membuat sebuah turnamen pertarungan Pokemon melalui simulasi online di internet. Turnamen yang diikuti 11 orang nyata ini kuberi nama Lukman Cup, sebagaimana nama turnamen di imajinasiku dulu.
Dan di masa sekarang ini, aku berharap bisa selalu bermain futsal. Walaupun kenyataannya aku jarang sekali bermain futsal dengan rekan-rekanku. Tujuanku bermain futsal sendiri bukan sekadar untuk olahraga, melainkan untuk memuaskan reflekku yang terkungkung dalam lelahnya tubuhku karena pekerjaan maupun dalam aktivitas malasku seperti tidur dan bermain video games. Aku selalu ingin membuktikan, bahwa di lapangan futsal aku mampu menjadi seorang kiper yang tangguh dan garang. Aku selalu ingin aku mampu menyelamatkan gawang timku, turut andil dalam kemenangan timku. Sebagaimana yang ditampilkan sosok kiper dunia idolaku asal timnas Jerman, Oliver Kahn. (luk)
Tapi ada dua jenis olahraga yang membuat tubuhku bergerak secara otomatis dan menikmatinya saat aku melakukannya. Dua olahraga itu adalah bulutangkis dan futsal. Kedua olahraga ini memang berbeda jenis, yang satu olahraga tangan dengan raket dan shuttlecock, sementara satunya lagi olahraga kaki dengan bola bundar. Tetapi, dua olahraga ini memiliki kesamaan yang membuatku menyukainya, sehingga tubuhku reflek bergerak. Apa itu? Mengejar dan melompat.
Maksudnya, dalam bulutangkis, kita mesti bergerak memngejar shuttlecock dan menangkisnya. Terkadang, kita mesti melompat untuk melakukannya. Sementara dalam futsal, khususnya posisi favoritku yaitu kiper pun sama. Aku mesti bergerak dan kadang melompat untuk bisa menghentikan laju bola ke gawang, entah itu kutangkap atau kutangkis. Ya, aku memang menyukai olahraga reflek, dimana tugasku adalah menangkap objek permainan olahraga tersebut, dalam hal ini shuttlecock dan futasl.
Tapi pada kesempatan ini aku hanya akan bercerita tentang futsal. Olahraga kegemaranku yang sebenarnya adalah versi mini dari sepak bola. Sebenarnya, aku menyukai sepak bola. Namun karena keterbatasan fisikku, aku lebih memilih melakoni futsal. Apa pasal? Sebagai kiper, dengan tinggi tubuhku aku mampu mencapai mistar gawang futsal. Sementara gawang sepak bola begitu lebar dan tinggi. Yang pasti, aku tidak akan diandalkan dan menjadi pilihan menjadi kiper bila bermain di sepak bola. Meskipun reflekku sebagai kiper bagus.
Beda bila aku bermain futsal. Reflekku sebagai kiper mendapat apresiasi bila aku bermain dalam tim. Memang, setiap kali aku bermain futsal, aku selalu meminta menjadi kiper. Selain karena reflekku yang bagus dan aku suka menjadi kiper, staminaku mampu bertahan sebagai kiper. Beda kasus bila aku menjadi pemain penyerang. Dan faktanya, aku tidak pernah mengecewakan tim yang kubela setiap kali aku menjadi kiper futsal. Reflek yang cepat membuatku mampu menyelamatkan gawang dari tendangan-tendangan mematikan ke arah gawang.
Aku memang selalu tampil maksimal setiap kali menjadi kiper. Aku selalu berdiri di gawangku dengan penuh percaya diri. Entah kenapa, reflekku yang kuakui cukup baik dalam mengejar bola membuatku tak segan bergerak demi menangkap bola. Alhasil, aku kerap berjibaku saat menyelamatkan gawang. Melompat jauh, jatuh berguling-guling, bentrok dengan pemain lawan, sudah kerap terjadi dalam sejarahku bermain futsal.
Permainanku yang begitu ‘kesetanan’ tersebut membuat banyak rekan tim dan juga pemain lawan kagum. Mereka hampir selalu memuji penampilanku sebagai kiper. Mereka menyebutku sebagai kiper yang berani bertarung dan berani jatuh. Sebagai penjaga gawang, aku tampak tak takut terluka, baik saat terjatuh dalam upaya menyelamatkan gawang ataupun saat menghadapi tendangan-tendangan keras. Mereka mengakui reflekku yang sangat baik dalam merespon setiap tendangan lawan. Tak ayal, mereka kerap memercayaiku menjadi kiper utama.
Sayangnya, reflek bagusku tak diimbangi akan pengetahuan teknik bermain bola. Khususnya teknik menangkap bola. Ada kalanya bola-bola yang semestinya kutangkis malah berusaha kutangkap sehingga selalu lepas dari tangan. Selain berisiko kebobolan, juga berisiko menyakiti tanganku, apalagi bila aku tidak pakai sarung tangan. Tak heran, rekan-rekanku berkali-kali mengingatkanku untuk memukul atau menangkis bola untuk bola-bola yang tak dapat kutangkap.
Selain kelemahan dalam teknik menangkap bola, aku juga memiliki kelemahan dalam hal menendang ataupun lemparan bola. Sebagai kiper, kemampuan menendang dan lemparan bola perlu untuk memberikan bola pada rekan setim. Karena, bila tendangan atau lemparan kita jelek, katakanlah kurang tinggi dan kurang jauh, bisa membuat pemain lawan merebut bola. Alhasil, bisa membahayakan gawang. Karenanya, untuk meminimalisir kesalahan setelah bola berhasil kutangkap atau kukuasai, aku lebih memilih mengoperkan bola dengan lemparan-lemparan pendek pada teman-temanku yang berada dekat denganku. Akibatnya, jarang ada serangan balik yang tercipta setelah gawang terselamatkan.
Memang, aku berbeda dengan anak-anak laki-laki lain yang biasanya telah jago bermain bola sejak kecil karena kerap bermain di lapangan. Saat kecil, aku tidak banyak bergabung dengan teman-temanku bermain bola di lapangan. Selain itu, di sekolah aku hampir tak pernah mendapatkan kesempatan bermain sepak bola, mengingat fisikku yang pendek dan kurus dibandingkan anak-anak lainnya. Aku lantas lebih banyak menghabiskan waktu dengan berimajinasi, bermain seorang diri. Bisa dibilang seorang introvert, anti sosial atau kuper. Tapi, meski begitu aku mengikuti perkembangan sepak bola, khususnya Liga Champion dan Piala Dunia. Aku bahkan terobsesi dengan bentuk-bentuk turnamen sepak bola, mulai dari liga maupun turnamen sistem gugur.
Karena obsesi itu, dalam dunia imajinasiku, aku membuat sebuah simulasi asosiasi futsal yang kunamakan Maya Futsal Confederation atau asosiasi futsal maya, disingkat MFC. Dalam asosiasi ini terdapat puluhan klub futsal yang berkompetisi dalam beragam jenis kompetisi yang kubuat dan mulai kugulirkan sejak tahun 2000. Seperti kompetisi liga yang kuberi nama Liga Maya serta kompetisi bergengsi sekelas piala dunia/piala eropa yang kuberi nama Lukman Cup. Untuk Lukman Cup, pada tahun pertamanya kuberi nama Tweety Cup karena pialanya merupakan figurin model Tweety.
Dalam asosiasi ini, aku menempatkan diriku sebagai manajer salah satu klub, sementara rekan-rekan saudaraku dan teman sepermainanku sebagai manajer klub-klub lainnya. Aku pun menciptakan para pemain dalam asosiasi ini, lengkap dengan latar belakang sejarah mereka masing-masing. Terkadang, dalam mendukung asosiasi khayal ini, aku turut menggunakan permainan video sepak bola untuk menentukan hasil pertandingan. Terkadang aku juga menggunakan dadu. Permainan imajinasi ini terus berlangsung hingga bertahun-tahun lamanya, dan mulai tak kulakukan saat aku duduk di bangku kuliah. Saat itu aku mulai menghadapi dunia yang sesungguhnya, dan bermain futsal di arena sesungguhnya.
Meski tak lagi hidup di dunia imajinasi itu, aku masih sering terbayang bila imajinasi itu menjadi kenyataan. Yaitu, ada sebuah asosiasi futsal bergengsi di Indonesia dengan jenis-jenis kompetisi yang menantang. Dan, aku termasuk di dalamnya sebagai manajer salah satu klub yang berkompetisi di dalamnya. Konsep permainan imajinasi itu sendiri sempat kuterapkan dalam dunia nyata dengan membuat sebuah turnamen pertarungan Pokemon melalui simulasi online di internet. Turnamen yang diikuti 11 orang nyata ini kuberi nama Lukman Cup, sebagaimana nama turnamen di imajinasiku dulu.
Dan di masa sekarang ini, aku berharap bisa selalu bermain futsal. Walaupun kenyataannya aku jarang sekali bermain futsal dengan rekan-rekanku. Tujuanku bermain futsal sendiri bukan sekadar untuk olahraga, melainkan untuk memuaskan reflekku yang terkungkung dalam lelahnya tubuhku karena pekerjaan maupun dalam aktivitas malasku seperti tidur dan bermain video games. Aku selalu ingin membuktikan, bahwa di lapangan futsal aku mampu menjadi seorang kiper yang tangguh dan garang. Aku selalu ingin aku mampu menyelamatkan gawang timku, turut andil dalam kemenangan timku. Sebagaimana yang ditampilkan sosok kiper dunia idolaku asal timnas Jerman, Oliver Kahn. (luk)