Sambungan dari bagian pertama (klik)
Di hari pertama Anwar alias si Bebek berada di bawah pengawasanku, sekitar awal Juli 2013, aku mengajaknya menikmati santapan malam di sebuah kafe di pinggiran Kota Bontang. Sebagai redakturnya, aku berbincang santai, membicarakan mengenai seperti apa menjadi seorang wartawan. Aku memberikannya gambaran tentang bagaimana kehidupan seorang wartawan, agar dia bisa mengerti dan memahami bagaimana pekerjaan sebagai kuli tinta ini. Sehingga dia tidak akan kaget. Itulah awal dari keakraban kami, yang kemudian terus berlanjut hingga aku meninggalkan Kota Taman.
Sejak itu, aku beberapa kali mengajaknya makan di kafe. Kami saling mentraktir satu sama lain, bergantian dari kafe ke kafe. Aku juga sering mengajaknya makan, mentraktirnya makan sate ayam di warung langgananku. Kebiasaan ini lantas mulai pudar ketika aku berumah tangga. Aku tak pernah lagi mengajakknya makan di luar, sehingga sering kali dia sering bercanda denganku, meminta traktiran. Memang, kesibukanku setelah berumah tangga bertambah. Aku tak hanya bekerja, tapi juga mesti mengurus istriku. Hal ini membuatku tak memiliki waktu, atau sulit menyempatkan waktu untuk mengajak wartawan kesayanganku itu makan di luar.
Barulah di hari-hari terakhirku bekerja di Bontang Post, di awal-awal Agustus 2014, aku bisa kembali mentraktirnya makan. Makan malam itu kutujukan sebagai makan malam perpisahan sekaligus sebagai hadiah kepada Bebek, sebagai perayaan karena dia telah berhasil menjadi wartawan dengan produktivitas tertinggi. Setelah sebelumnya dia protes kepadaku karena tidak mendapat penghargaan apapun dari kantor atas pencapaian berita terbanyak yang dibukukannya.
Rencananya kami hendak makan sate ayam di langgananku, tapi rupanya sate langgananku itu belum buka pasca lebaran. Membuat kami makan malam di Koperasi Karyawan Pupuk Kaltim (Kopkar PKT). Malam itu, selain si Bebek, aku turut mengajak istriku dan Herdi Jaffar, wartawan hunter yang diproyeksikan menjadi wartawan utama, menggantikanku. Malam itu, kupikir merupakan malam terakhirku makan bersama Bebek di Bontang. Nyatanya, aku salah.
Senin, 11 Agustus 2014, tiga jam sebelum keberangkatanku meninggalkan Bontang, sekitar pukul 19.30 Wita, Bebek mengirimkan pesan singkat ke ponselku. Dia menanyakan, malam itu aku sedang berada di mana. Kujawab saja kalau aku sedang ada di rumah, padahal aku dan istriku sedang mengambil empek-empek pesanan kerabat di Jawa dari tetanggaku. Bebek lantas membalas pesanku, dan menjawab kalau dia sekarang ada di depan rumahku, dari tadi (gagal bohong deh!). Aku dan istri lalu bergegas pulang, dan mendapati dia duduk menunggu di dipan kayu yang ada di depan rumah. Dengan ngeles aku pun bilang kalau aku tadi sedang ada di rumah…. tetangga.
Kedatangan Bebek malam itu rupanya ingin mengucapkan salam perpisahan padaku. Padahal, sebelumnya aku mengira dia tidak akan datang ke rumahku untuk melakukannya. Setelah siang hari sebelumnya aku meminta tolong padanya untuk menjemputku di Kantor Pos usai mengirimkan sepeda motorku. Karena dia sibuk, tengah melakukan liputan di Bontang Lestari, aku pun mengurungkan niatku, dan meminta tolong rekan wartawan yang lain, Imran.
Rupanya, malam itu Bebek datang sebelum aku pergi. Dia lantas mengajakku pergi ke kafe yang berada tak jauh dari rumahku. Dia bilang itu sebagai makan malam perpisahan, membuatku tersenyum. Istriku mengizinkanku pergi, namun memberikan batas waktu pukul 21.00 Wita harus segera kembali ke rumah, membantunya berkemas sekaligus bersiap pergi. Dan selama satu jam kemudian, aku menghabiskan waktunya dengan Bebek, dan Rahman, teman satu letingku yang turut datang setelah dipanggil Bebek. Di malam terakhir itu, aku mengenang semua yang telah terjadi selama di Bontang Post, khususnya setelah kedatangan Bebek. Serta mengingatkan akan makan malam pertama kami di kafe, saat aku pertama kali berbincang akrab dengannya.
Bebek yang malam itu duduk bersamaku bukanlah orang yang sama setahun yang lalu. Dia bukan lagi wartawan kikuk kelas RT, dia sudah menjelma menjadi kekuatan baru Bontang Post yang patut diperhitungkan. Aku tak salah mempertahankannya selama ini, dengan melihat semangat mudanya yang begitu berapi-api. Kini dia telah menguasai jurnalistik media cetak, dengan segala ide-ide beritanya yang brilian, bukan lagi sekadar menulis berita. Tercatat beberapa kali beritanya sanggup mengalahkan beritaku, menjadi berita utama alias headline di halaman satu.
Bebek bukan lagi wartawan yang malas. Dia kini rajin mencari berita. Dia rajin menjelajahi internet, mengikuti perkembangan informasi terbaru, mencari berita-berita nasional mana saja yang bisa diaplikasikan di Bontang. Kini, selalu saja ada rencana beritanya setiap malam, untuk diburunya di keesokan harinya. Dia menjadi gelisah bila beritanya gagal menjadi headline, dan berusaha menciptakan berita-berita headline. Dia bukan sekadar wartawan lisan, tapi dia juga wartawan investigatif, melakukan penelusuran untuk menuntaskan suatu masalah yang terjadi di masyarakat. Dia sekarang jadi kebanggaanku.
Sebagai redakturnya sekaligus pembimbing pertamanya, aku senang dengan perubahan yang terjadi pada Bebek. Betapa begitu banyak waktu yang kulewatkan bersamanya, hingga dia mencapai titik ini. Tentu membuatku bangga, namun sebenarnya apa yang terjadi pada Bebek saat ini adalah berkat kerja keras dan kegigihan dirinya sendiri, bukan karena orang lain, bukan juga karena diriku. Sebagai redakturnya, yang bisa kulakukan hanya memberikan arahan-arahan, untuk selebihnya dia yang melakukan. Walaupun pada awalnya cukup sulit untuk bisa mengarahkannya, membuatku mesti berteriak-teriak dan memarahinya keras.
Namun Bebek tetaplah Bebek yang dulu. Dia tetaplah laki-laki narsis yang penuh humor dan komedi, stand up comedy. Dia tetap dengan gayanya yang slengekan, tetap dengan kesabarannya dan hobinya menarik perhatian para perempuan kesepian. Dia tetap wartawan lugu dan polos, atau mungkin bergaya polos, yang membuatku akan selalu merindukannya, membuatku enggan meninggalkan Bontang Post. Memang, dialah salah satu alasan aku bertahan di Bontang Post. Semua lelucon bodoh ala Raditya Dika yang kerap dilontarkannya, selalu saja membuatku tertawa, melupakan semua kegetiran yang kualami.
Aku pernah jahat padanya. Aku pernah kasar padanya. Aku pernah tidak adil padanya. Aku akui itu. Aku ingin membuatnya kuat. Aku ingin dia dewasa di usianya yang sebenarnya lebih tua dariku. Karena itulah tugasku, sebagai redakturnya. Dan semua itu yang membuat hubungan kami menjadi begitu akrab. Mungkin tak ada hubungan antar wartawan-redaktur sedekat kami berdua di Bontang Post, membuat banyak wartawan dan redaktur lain iri. Sebaliknya, keakraban ini justru melemahkan Bebek, karena kenyataannya membuatnya sulit saat berada dalam pengawasan redaktur lain. Aku ingat betapa kesalnya Isur, rekan redakturku saat menangani Bebek. Dia angkat tangan, tak tahu apa yang mesti dilakukan mendapati sikap Bebek yang bengal.
Ya, Bebek selalu ingin aku menjadi redakturnya. Dia hanya ingin aku yang menjadi redakturnya. Aku ingat betapa kesalnya dia saat kukatakan aku bukan lagi redakturnya. Aku ingat betapa marahnya dia saat aku bilang dia akan berada dalam pengawasan redaktur lain. Katanya, tak ada redaktur sebaik diriku, membuatnya tak pernah cocok dengan redaktur-redaktur lainnya. Itu karena pendekatan yang kugunakan berbeda dari redaktur-redaktur lainnya.
Pendekatan yang kugunakan adalah pendekatan persahabatan, yang terkadang justru menjadi bumerang bagiku. Sisi negatifnya, dengan pendekatan ini Bebek jadi kurang menghargaiku sebagai atasannya. Sehingga pernah suatu ketika aku begitu marah padanya karena dia tak mengindahkan kata-kataku, dan menjawab dengan nada tak menyenangkan seakan tak menghargaiku. Tapi bagaimanapun kemarahanku takkan bertahan lama, dan Bebek akan kembali seperti sedia kala. Sebenarnya dia itu jenius, bahkan mungkin sangat jenius. (bersambung ke bagian ketiga)
Di hari pertama Anwar alias si Bebek berada di bawah pengawasanku, sekitar awal Juli 2013, aku mengajaknya menikmati santapan malam di sebuah kafe di pinggiran Kota Bontang. Sebagai redakturnya, aku berbincang santai, membicarakan mengenai seperti apa menjadi seorang wartawan. Aku memberikannya gambaran tentang bagaimana kehidupan seorang wartawan, agar dia bisa mengerti dan memahami bagaimana pekerjaan sebagai kuli tinta ini. Sehingga dia tidak akan kaget. Itulah awal dari keakraban kami, yang kemudian terus berlanjut hingga aku meninggalkan Kota Taman.
Sejak itu, aku beberapa kali mengajaknya makan di kafe. Kami saling mentraktir satu sama lain, bergantian dari kafe ke kafe. Aku juga sering mengajaknya makan, mentraktirnya makan sate ayam di warung langgananku. Kebiasaan ini lantas mulai pudar ketika aku berumah tangga. Aku tak pernah lagi mengajakknya makan di luar, sehingga sering kali dia sering bercanda denganku, meminta traktiran. Memang, kesibukanku setelah berumah tangga bertambah. Aku tak hanya bekerja, tapi juga mesti mengurus istriku. Hal ini membuatku tak memiliki waktu, atau sulit menyempatkan waktu untuk mengajak wartawan kesayanganku itu makan di luar.
Barulah di hari-hari terakhirku bekerja di Bontang Post, di awal-awal Agustus 2014, aku bisa kembali mentraktirnya makan. Makan malam itu kutujukan sebagai makan malam perpisahan sekaligus sebagai hadiah kepada Bebek, sebagai perayaan karena dia telah berhasil menjadi wartawan dengan produktivitas tertinggi. Setelah sebelumnya dia protes kepadaku karena tidak mendapat penghargaan apapun dari kantor atas pencapaian berita terbanyak yang dibukukannya.
Rencananya kami hendak makan sate ayam di langgananku, tapi rupanya sate langgananku itu belum buka pasca lebaran. Membuat kami makan malam di Koperasi Karyawan Pupuk Kaltim (Kopkar PKT). Malam itu, selain si Bebek, aku turut mengajak istriku dan Herdi Jaffar, wartawan hunter yang diproyeksikan menjadi wartawan utama, menggantikanku. Malam itu, kupikir merupakan malam terakhirku makan bersama Bebek di Bontang. Nyatanya, aku salah.
Senin, 11 Agustus 2014, tiga jam sebelum keberangkatanku meninggalkan Bontang, sekitar pukul 19.30 Wita, Bebek mengirimkan pesan singkat ke ponselku. Dia menanyakan, malam itu aku sedang berada di mana. Kujawab saja kalau aku sedang ada di rumah, padahal aku dan istriku sedang mengambil empek-empek pesanan kerabat di Jawa dari tetanggaku. Bebek lantas membalas pesanku, dan menjawab kalau dia sekarang ada di depan rumahku, dari tadi (gagal bohong deh!). Aku dan istri lalu bergegas pulang, dan mendapati dia duduk menunggu di dipan kayu yang ada di depan rumah. Dengan ngeles aku pun bilang kalau aku tadi sedang ada di rumah…. tetangga.
Kedatangan Bebek malam itu rupanya ingin mengucapkan salam perpisahan padaku. Padahal, sebelumnya aku mengira dia tidak akan datang ke rumahku untuk melakukannya. Setelah siang hari sebelumnya aku meminta tolong padanya untuk menjemputku di Kantor Pos usai mengirimkan sepeda motorku. Karena dia sibuk, tengah melakukan liputan di Bontang Lestari, aku pun mengurungkan niatku, dan meminta tolong rekan wartawan yang lain, Imran.
Rupanya, malam itu Bebek datang sebelum aku pergi. Dia lantas mengajakku pergi ke kafe yang berada tak jauh dari rumahku. Dia bilang itu sebagai makan malam perpisahan, membuatku tersenyum. Istriku mengizinkanku pergi, namun memberikan batas waktu pukul 21.00 Wita harus segera kembali ke rumah, membantunya berkemas sekaligus bersiap pergi. Dan selama satu jam kemudian, aku menghabiskan waktunya dengan Bebek, dan Rahman, teman satu letingku yang turut datang setelah dipanggil Bebek. Di malam terakhir itu, aku mengenang semua yang telah terjadi selama di Bontang Post, khususnya setelah kedatangan Bebek. Serta mengingatkan akan makan malam pertama kami di kafe, saat aku pertama kali berbincang akrab dengannya.
Bebek yang malam itu duduk bersamaku bukanlah orang yang sama setahun yang lalu. Dia bukan lagi wartawan kikuk kelas RT, dia sudah menjelma menjadi kekuatan baru Bontang Post yang patut diperhitungkan. Aku tak salah mempertahankannya selama ini, dengan melihat semangat mudanya yang begitu berapi-api. Kini dia telah menguasai jurnalistik media cetak, dengan segala ide-ide beritanya yang brilian, bukan lagi sekadar menulis berita. Tercatat beberapa kali beritanya sanggup mengalahkan beritaku, menjadi berita utama alias headline di halaman satu.
Bebek bukan lagi wartawan yang malas. Dia kini rajin mencari berita. Dia rajin menjelajahi internet, mengikuti perkembangan informasi terbaru, mencari berita-berita nasional mana saja yang bisa diaplikasikan di Bontang. Kini, selalu saja ada rencana beritanya setiap malam, untuk diburunya di keesokan harinya. Dia menjadi gelisah bila beritanya gagal menjadi headline, dan berusaha menciptakan berita-berita headline. Dia bukan sekadar wartawan lisan, tapi dia juga wartawan investigatif, melakukan penelusuran untuk menuntaskan suatu masalah yang terjadi di masyarakat. Dia sekarang jadi kebanggaanku.
Sebagai redakturnya sekaligus pembimbing pertamanya, aku senang dengan perubahan yang terjadi pada Bebek. Betapa begitu banyak waktu yang kulewatkan bersamanya, hingga dia mencapai titik ini. Tentu membuatku bangga, namun sebenarnya apa yang terjadi pada Bebek saat ini adalah berkat kerja keras dan kegigihan dirinya sendiri, bukan karena orang lain, bukan juga karena diriku. Sebagai redakturnya, yang bisa kulakukan hanya memberikan arahan-arahan, untuk selebihnya dia yang melakukan. Walaupun pada awalnya cukup sulit untuk bisa mengarahkannya, membuatku mesti berteriak-teriak dan memarahinya keras.
Namun Bebek tetaplah Bebek yang dulu. Dia tetaplah laki-laki narsis yang penuh humor dan komedi, stand up comedy. Dia tetap dengan gayanya yang slengekan, tetap dengan kesabarannya dan hobinya menarik perhatian para perempuan kesepian. Dia tetap wartawan lugu dan polos, atau mungkin bergaya polos, yang membuatku akan selalu merindukannya, membuatku enggan meninggalkan Bontang Post. Memang, dialah salah satu alasan aku bertahan di Bontang Post. Semua lelucon bodoh ala Raditya Dika yang kerap dilontarkannya, selalu saja membuatku tertawa, melupakan semua kegetiran yang kualami.
Aku pernah jahat padanya. Aku pernah kasar padanya. Aku pernah tidak adil padanya. Aku akui itu. Aku ingin membuatnya kuat. Aku ingin dia dewasa di usianya yang sebenarnya lebih tua dariku. Karena itulah tugasku, sebagai redakturnya. Dan semua itu yang membuat hubungan kami menjadi begitu akrab. Mungkin tak ada hubungan antar wartawan-redaktur sedekat kami berdua di Bontang Post, membuat banyak wartawan dan redaktur lain iri. Sebaliknya, keakraban ini justru melemahkan Bebek, karena kenyataannya membuatnya sulit saat berada dalam pengawasan redaktur lain. Aku ingat betapa kesalnya Isur, rekan redakturku saat menangani Bebek. Dia angkat tangan, tak tahu apa yang mesti dilakukan mendapati sikap Bebek yang bengal.
Ya, Bebek selalu ingin aku menjadi redakturnya. Dia hanya ingin aku yang menjadi redakturnya. Aku ingat betapa kesalnya dia saat kukatakan aku bukan lagi redakturnya. Aku ingat betapa marahnya dia saat aku bilang dia akan berada dalam pengawasan redaktur lain. Katanya, tak ada redaktur sebaik diriku, membuatnya tak pernah cocok dengan redaktur-redaktur lainnya. Itu karena pendekatan yang kugunakan berbeda dari redaktur-redaktur lainnya.
Pendekatan yang kugunakan adalah pendekatan persahabatan, yang terkadang justru menjadi bumerang bagiku. Sisi negatifnya, dengan pendekatan ini Bebek jadi kurang menghargaiku sebagai atasannya. Sehingga pernah suatu ketika aku begitu marah padanya karena dia tak mengindahkan kata-kataku, dan menjawab dengan nada tak menyenangkan seakan tak menghargaiku. Tapi bagaimanapun kemarahanku takkan bertahan lama, dan Bebek akan kembali seperti sedia kala. Sebenarnya dia itu jenius, bahkan mungkin sangat jenius. (bersambung ke bagian ketiga)