Sambungan dari bagian dua (klik).
“Hai Anwar!” teriakku menyapa Anwar yang duduk di depan komputer lobi kantor. Sembari tanganku teracung ke atas, dengan pandangan tertuju ke arah lain.
“Salah apa lagi aku Mas Luk? Salah apa lagi?!” sahutnya cepat dengan raut wajah kesal yang dibuat-buat, dengan kedua tangan terentang ke depan. “Oh belum ya…” lanjutnya sambil meringis menunjukkan barisan gigi-giginya.
----------------------
Aku memang sering kali muncul dan langsung memarahinya. Ini membuatnya sering mengambil sikap terlebih dulu sebelum aku sempat memarahi atau mengatakan sesuatu kepadanya. Sikap sebagaimana yang tampak pada percakapan di atas.
Sikap-sikap Anwar alias si Bebek, selama ini terlihat begitu ceria. Namun dia juga sering kali bersikap cool. Dari sikapnya yang cool, atau sikap diamnya, bila diperhatikan lebih seksama sebenarnya berbicara sangat banyak. Seakan itu adalah bentuk protes terhadap ketidakadilan yang selama ini kuberikan padanya. Seakan menjadi bentuk protes terhadap perlakuanku atau perlakuan perusahaan selama ini kepadanya. Dia marah dengan gayanya sendiri, dan itu yang aku suka. Dia tak sanggup mengungkapkan kekesalannya, seolah tersenyum sinis saat mendengar segala keluh kesahku. Senyum yang menutupi kegetirannya.
Aku ingat betapa suatu ketika dalam suatu rapat redaksi, dia mengungkapkan uneg-uneg melalui sebuah kertas, yang meminta jatah liburnya dikembalikan. Sebuah keinginan yang langsung menohok sanubariku. Membuatku tertawa pilu saat mendengarnya, dan saat menulis kisah ini kembali. Permainan dan politik yang ada di divisi redaksi memang membuatku bingung dengan standar yang ada, dan terpaksa menerapkan kebijakan-kebijakan yang tak perlu. Karena sebenarnya pengawasanku pada Bebek sangatlah sederhana, selama beritanya selalu lengkap dan tak mengulang, bukan masalah bagiku.
Pengawasanku terhadap Bebek memang tidaklah ketat. Tak banyak yang kulakukan, selain menerima berita yang sudah jadi, memarahinya saat mengedit beritanya, paling-paling aku memberinya penugasan tertentu untuk berita-berita yang tak dapat kuliput. Ini dikarenakan, sebagai redaktur aku ikut merangkap mencari berita. Sehingga tenagaku terkuras untuk meliput beritaku sendiri, membuatku tak memiliki cukup waktu untuk melatih Bebek atau mengawasinya secara fokus.
Rupanya, hal ini mendapat perhatian dari redaktur dan juga wartawan lain. Mereka menganggapku terlalu lembek dalam menangani Bebek, sehingga mereka melihat Bebek menjadi melunjak dan tak menghormatiku sebagai atasan. Salah satunya ketika Bebek terpaksa mengirimkan berita lewat email, yang rupanya tidak bisa diterima oleh redaktur dan wartawan lain. Aku pun sempat mendapat semacam informasi dan saran, agar aku memberi pelajaran padanya. Yaitu dengan memberikan surat peringatan (SP).
Aku sempat terpancing dan telah mendatangi sekretaris redaksi untuk minta dibuatkan SP. Namun ketika sekretaris redaksi yang cantik itu menanyakan alasan pemberian SP, aku terdiam. Aku tak punya alasan untuk memberikan SP kepada Bebek. Karena kenyataannya, beritanya selalu ada. Kalaupun ada kesalahan-kesalahan misalnya berita yang dikirim lewat email atau keterlambatan pengiriman berita, itu hanya terjadi sesekali dan dengan alasan yang logis. Rupaya aku telah termakan oleh ucapan orang lain. Kesibukan gandaku sebagai redaktur maupun wartawan, membuatku sulit berpikir jernih untuk masalah ini. Padahal, sebagai penanggung jawabnya, mestinya aku punya pendirian sendiri yang independen. Mungkin aku terlalu muda untuk menjadi seorang redaktur.
Karenanya, untuk menetapkan sebuah standar, aku membuat sebuah peraturan tersendiri yang kuterapkan pada Bebek. Peraturan ini kutulis dengan tangan di selembar kertas HVS, berikut sanksi-sanksinya bila dilanggar oleh Bebek. Kuberikan surat ini kepada Bebek, dan dengan raut wajah yang dimewek-mewekin, Bebek terpaksa menyepakatinya. Dengan disaksikan satpam yang kebetulan menjaga, kesepakatan itu ditandatangani. Aku ingat betapa lucunya wajah ‘penderitaan’ Bebek dengan syarat-syarat yang kuajukan. Apalagi ada salah satu sanksi berupa dilempar ke ‘kandang macan’, yang sampai sekarang masih membuatku merasa geli.
Dari pengamatan yang kulakukan, aku tahu bahwa sebenarnya ada sosok dewasa dalam diri Anwar alias si Bebek. Ada sosok bijaksana, sesuai dengan umurnya. Namun sepertinya dia sengaja menutupi kedewasaan itu dalam sikap konyolnya. Dia lebih menunjukkan sikapnya yang menyerupai remaja labil. Hal ini didukung dengan penampilan fisiknya yang masih terlihat begitu muda, dengan wajah yang bersih, tampan, dan jangkung. Well, dia memang laki-laki metrosexual yang doyan dandan, seperti berondong.
Tapi bukan hanya dari sosoknya saat ini saja yang menjadikan Bebek menarik untuk disimak. Bebek pun punya masa lalu yang unik. Saat masih menuntut ilmu di salah satu sekolah paling favorit di Bontang, SMA Vidatra, kabarnya Bebek pernah melakukan pembakaran sekolah. Bersama teman-temannya, dia membakar ruang kepala sekolah dan mencuri soal ujian. Kabarnya lagi, dialah otak dari aksi pembakaran tersebut. Entah bagaimana ceritanya, aku tak tahu pasti. Informasi ini sendiri kudapatkan dari rekan-rekan wartawan lain yang secara kebetulan berasal dari sekolah yang sama dengan Bebek, bahkan satu angkatan.
Tak banyak yang bisa kukorek dari Bebek soal masa lalunya, khususnya tentang aksi pembakaran yang katanya sempat membuatnya berurusan dengan kepolisian. Saat kutanya, Bebek hanya menjawab bahwa kejadian tersebut merupakan bagian dari jiwa remajanya dulu. Dan sepertinya, dia enggan membahasnya lebih lanjut. Awalnya aku tak percaya saat mendengarnya, namun kemudian aku mempercayainya, karena banyak rekannya yang memvalidasi kejadian pembakaran yang dilakukan Bebek. Cukup unik kan?
Pun dengan asal mula panggilan Bebek, yang ternyata berasal dari dua suku kata terakhir nama depannya, Gurniansyah. Dari teman satu letingku si Rahman, konon oleh kawan-kawannya di sekolah dulu, Anwar sering dipanggil ‘Ansyah’. Panggilan ini terdengar seperti ‘Angsa’, membuat Anwar pun sering dipanggil Angsa. Panggilan ini kemudian ‘berevolusi’ menjadi ‘Bebek’, karena binatang angsa adalah kerabat bebek. Ada-ada saja.
Well, bicara tentang si Bebek sepertinya takkan ada habisnya. Manusia ‘langka’ yang satu ini menyimpan begitu banyak cerita, dan juga misteri. Mulai dari masa lalunya, sikap bodohnya, hingga hubungan percintaannya. Yang pasti aku merasa sangat beruntung bisa mengenal laki-laki satu ini. Aku merasa beruntung bisa menjadi redakturnya, dan aku merasa bangga bisa meninggalkannya di saat yang tepat. Di saat dia sudah mampu berdiri sendiri sebagai kuli tinta.
Aku sering berkata padanya, memintanya untuk bisa move on dari sekadar wartawan biasa menjadi wartawan hebat yang bisa diandalkan. Aku selalu mendorongnya untuk bisa menjadi wartawan halaman utama, bukan wartawan halaman dalam. Aku selalu berharap dia bisa menggantikanku untuk halaman utama. Kupikir permintaanku itu terlalu muluk-muluk, melihat dari sikapnya yang acuh tak acuh. Nyatanya, keinginanku itu mampu terwujud. Dia berhasil menunjukkan padaku bahwa dia bisa berubah. Dan dia berhasil mengalahkanku, bukan dari segi penulisan memang, tapi dari segi semangat liputan dan dari segi ide berita.
Mungkin, inilah kebanggaan terakhir yang kudapatkan di Bontang Post, melihat anak buahku berkembang dan menjadi lebih baik. Sehingga aku bisa pergi meninggalkannya dengan tenang, karena aku yakin dengan kondisinya yang sekarang, Bebek bisa menjadi wartawan yang dapat diandalkan. Entah apa langkah yang akan diambilnya selepas kepergianku, apakah akan tetap bertahan di Bontang Post, atau mengikuti langkahku hengkang dari sana. Pasalnya, dia sempat mengatakan padaku bahwa dia akan menyusulku berhenti bekerja di surat kabar harian nomor satu di Kota Taman itu. Apalagi, kini Bebek memiliki usaha penjualan tiket pesawat terbang.
Apapun langkah yang akan diambilnya kemudian, itu merupakan kehendaknya dan aku tak bisa menghentikannya. Tapi aku harap dia tetap mempertahankan karier wartawannya di sana karena kupikir dia punya potensi semangat yang luar biasa. Itulah kenapa pada hari terakhirku di Bontang, aku memberikannya ilmu dan rahasiaku menjadi wartawan utama selama ini. Itulah terakhir kalinya aku mengajarkannya teknik jurnalistik, yang kuharap dapat digunakannya dengan bijak.
Sekarang aku tak lagi menjadi atasannya. Sekarang aku bukan lagi redakturnya. Tapi aku yakin sampai sekarang, walaupun kami telah terpisah, dia tetap menganggapku sebagai seorang teman, sebagai sahabat. Mungkin saja kehadiranku juga meninggalkan kesan baginya, sebagaimana yang ditunjukkannya dengan datang dan mentraktirku makan di kafe, di hari terakhirku, mengucapkan salam perpisahan. Sebagaimana kesanku padanya yang begitu dalam. Dan untuk mengenangnya, aku menamai kudaku dalam game Harvest Moon 64 dengan nama Gurni, dari nama depan Bebek, Gurniansyah.
Terima kasih Anwar, terima kasih Bebek. Semoga kita bisa kembali bertemu di masa depan, dengan kondisi yang lebih baik lagi tentunya. Ingatlah terus pesanku, sebagaimana yang sering kukatakan pada rekan-rekanku lainnya: Apapun yang terjadi, tetap semangat ya! (selesai/luk)
“Hai Anwar!” teriakku menyapa Anwar yang duduk di depan komputer lobi kantor. Sembari tanganku teracung ke atas, dengan pandangan tertuju ke arah lain.
“Salah apa lagi aku Mas Luk? Salah apa lagi?!” sahutnya cepat dengan raut wajah kesal yang dibuat-buat, dengan kedua tangan terentang ke depan. “Oh belum ya…” lanjutnya sambil meringis menunjukkan barisan gigi-giginya.
----------------------
Aku memang sering kali muncul dan langsung memarahinya. Ini membuatnya sering mengambil sikap terlebih dulu sebelum aku sempat memarahi atau mengatakan sesuatu kepadanya. Sikap sebagaimana yang tampak pada percakapan di atas.
Sikap-sikap Anwar alias si Bebek, selama ini terlihat begitu ceria. Namun dia juga sering kali bersikap cool. Dari sikapnya yang cool, atau sikap diamnya, bila diperhatikan lebih seksama sebenarnya berbicara sangat banyak. Seakan itu adalah bentuk protes terhadap ketidakadilan yang selama ini kuberikan padanya. Seakan menjadi bentuk protes terhadap perlakuanku atau perlakuan perusahaan selama ini kepadanya. Dia marah dengan gayanya sendiri, dan itu yang aku suka. Dia tak sanggup mengungkapkan kekesalannya, seolah tersenyum sinis saat mendengar segala keluh kesahku. Senyum yang menutupi kegetirannya.
Aku ingat betapa suatu ketika dalam suatu rapat redaksi, dia mengungkapkan uneg-uneg melalui sebuah kertas, yang meminta jatah liburnya dikembalikan. Sebuah keinginan yang langsung menohok sanubariku. Membuatku tertawa pilu saat mendengarnya, dan saat menulis kisah ini kembali. Permainan dan politik yang ada di divisi redaksi memang membuatku bingung dengan standar yang ada, dan terpaksa menerapkan kebijakan-kebijakan yang tak perlu. Karena sebenarnya pengawasanku pada Bebek sangatlah sederhana, selama beritanya selalu lengkap dan tak mengulang, bukan masalah bagiku.
Pengawasanku terhadap Bebek memang tidaklah ketat. Tak banyak yang kulakukan, selain menerima berita yang sudah jadi, memarahinya saat mengedit beritanya, paling-paling aku memberinya penugasan tertentu untuk berita-berita yang tak dapat kuliput. Ini dikarenakan, sebagai redaktur aku ikut merangkap mencari berita. Sehingga tenagaku terkuras untuk meliput beritaku sendiri, membuatku tak memiliki cukup waktu untuk melatih Bebek atau mengawasinya secara fokus.
Rupanya, hal ini mendapat perhatian dari redaktur dan juga wartawan lain. Mereka menganggapku terlalu lembek dalam menangani Bebek, sehingga mereka melihat Bebek menjadi melunjak dan tak menghormatiku sebagai atasan. Salah satunya ketika Bebek terpaksa mengirimkan berita lewat email, yang rupanya tidak bisa diterima oleh redaktur dan wartawan lain. Aku pun sempat mendapat semacam informasi dan saran, agar aku memberi pelajaran padanya. Yaitu dengan memberikan surat peringatan (SP).
Aku sempat terpancing dan telah mendatangi sekretaris redaksi untuk minta dibuatkan SP. Namun ketika sekretaris redaksi yang cantik itu menanyakan alasan pemberian SP, aku terdiam. Aku tak punya alasan untuk memberikan SP kepada Bebek. Karena kenyataannya, beritanya selalu ada. Kalaupun ada kesalahan-kesalahan misalnya berita yang dikirim lewat email atau keterlambatan pengiriman berita, itu hanya terjadi sesekali dan dengan alasan yang logis. Rupaya aku telah termakan oleh ucapan orang lain. Kesibukan gandaku sebagai redaktur maupun wartawan, membuatku sulit berpikir jernih untuk masalah ini. Padahal, sebagai penanggung jawabnya, mestinya aku punya pendirian sendiri yang independen. Mungkin aku terlalu muda untuk menjadi seorang redaktur.
Karenanya, untuk menetapkan sebuah standar, aku membuat sebuah peraturan tersendiri yang kuterapkan pada Bebek. Peraturan ini kutulis dengan tangan di selembar kertas HVS, berikut sanksi-sanksinya bila dilanggar oleh Bebek. Kuberikan surat ini kepada Bebek, dan dengan raut wajah yang dimewek-mewekin, Bebek terpaksa menyepakatinya. Dengan disaksikan satpam yang kebetulan menjaga, kesepakatan itu ditandatangani. Aku ingat betapa lucunya wajah ‘penderitaan’ Bebek dengan syarat-syarat yang kuajukan. Apalagi ada salah satu sanksi berupa dilempar ke ‘kandang macan’, yang sampai sekarang masih membuatku merasa geli.
Dari pengamatan yang kulakukan, aku tahu bahwa sebenarnya ada sosok dewasa dalam diri Anwar alias si Bebek. Ada sosok bijaksana, sesuai dengan umurnya. Namun sepertinya dia sengaja menutupi kedewasaan itu dalam sikap konyolnya. Dia lebih menunjukkan sikapnya yang menyerupai remaja labil. Hal ini didukung dengan penampilan fisiknya yang masih terlihat begitu muda, dengan wajah yang bersih, tampan, dan jangkung. Well, dia memang laki-laki metrosexual yang doyan dandan, seperti berondong.
Tapi bukan hanya dari sosoknya saat ini saja yang menjadikan Bebek menarik untuk disimak. Bebek pun punya masa lalu yang unik. Saat masih menuntut ilmu di salah satu sekolah paling favorit di Bontang, SMA Vidatra, kabarnya Bebek pernah melakukan pembakaran sekolah. Bersama teman-temannya, dia membakar ruang kepala sekolah dan mencuri soal ujian. Kabarnya lagi, dialah otak dari aksi pembakaran tersebut. Entah bagaimana ceritanya, aku tak tahu pasti. Informasi ini sendiri kudapatkan dari rekan-rekan wartawan lain yang secara kebetulan berasal dari sekolah yang sama dengan Bebek, bahkan satu angkatan.
Tak banyak yang bisa kukorek dari Bebek soal masa lalunya, khususnya tentang aksi pembakaran yang katanya sempat membuatnya berurusan dengan kepolisian. Saat kutanya, Bebek hanya menjawab bahwa kejadian tersebut merupakan bagian dari jiwa remajanya dulu. Dan sepertinya, dia enggan membahasnya lebih lanjut. Awalnya aku tak percaya saat mendengarnya, namun kemudian aku mempercayainya, karena banyak rekannya yang memvalidasi kejadian pembakaran yang dilakukan Bebek. Cukup unik kan?
Pun dengan asal mula panggilan Bebek, yang ternyata berasal dari dua suku kata terakhir nama depannya, Gurniansyah. Dari teman satu letingku si Rahman, konon oleh kawan-kawannya di sekolah dulu, Anwar sering dipanggil ‘Ansyah’. Panggilan ini terdengar seperti ‘Angsa’, membuat Anwar pun sering dipanggil Angsa. Panggilan ini kemudian ‘berevolusi’ menjadi ‘Bebek’, karena binatang angsa adalah kerabat bebek. Ada-ada saja.
Well, bicara tentang si Bebek sepertinya takkan ada habisnya. Manusia ‘langka’ yang satu ini menyimpan begitu banyak cerita, dan juga misteri. Mulai dari masa lalunya, sikap bodohnya, hingga hubungan percintaannya. Yang pasti aku merasa sangat beruntung bisa mengenal laki-laki satu ini. Aku merasa beruntung bisa menjadi redakturnya, dan aku merasa bangga bisa meninggalkannya di saat yang tepat. Di saat dia sudah mampu berdiri sendiri sebagai kuli tinta.
Aku sering berkata padanya, memintanya untuk bisa move on dari sekadar wartawan biasa menjadi wartawan hebat yang bisa diandalkan. Aku selalu mendorongnya untuk bisa menjadi wartawan halaman utama, bukan wartawan halaman dalam. Aku selalu berharap dia bisa menggantikanku untuk halaman utama. Kupikir permintaanku itu terlalu muluk-muluk, melihat dari sikapnya yang acuh tak acuh. Nyatanya, keinginanku itu mampu terwujud. Dia berhasil menunjukkan padaku bahwa dia bisa berubah. Dan dia berhasil mengalahkanku, bukan dari segi penulisan memang, tapi dari segi semangat liputan dan dari segi ide berita.
Mungkin, inilah kebanggaan terakhir yang kudapatkan di Bontang Post, melihat anak buahku berkembang dan menjadi lebih baik. Sehingga aku bisa pergi meninggalkannya dengan tenang, karena aku yakin dengan kondisinya yang sekarang, Bebek bisa menjadi wartawan yang dapat diandalkan. Entah apa langkah yang akan diambilnya selepas kepergianku, apakah akan tetap bertahan di Bontang Post, atau mengikuti langkahku hengkang dari sana. Pasalnya, dia sempat mengatakan padaku bahwa dia akan menyusulku berhenti bekerja di surat kabar harian nomor satu di Kota Taman itu. Apalagi, kini Bebek memiliki usaha penjualan tiket pesawat terbang.
Apapun langkah yang akan diambilnya kemudian, itu merupakan kehendaknya dan aku tak bisa menghentikannya. Tapi aku harap dia tetap mempertahankan karier wartawannya di sana karena kupikir dia punya potensi semangat yang luar biasa. Itulah kenapa pada hari terakhirku di Bontang, aku memberikannya ilmu dan rahasiaku menjadi wartawan utama selama ini. Itulah terakhir kalinya aku mengajarkannya teknik jurnalistik, yang kuharap dapat digunakannya dengan bijak.
Sekarang aku tak lagi menjadi atasannya. Sekarang aku bukan lagi redakturnya. Tapi aku yakin sampai sekarang, walaupun kami telah terpisah, dia tetap menganggapku sebagai seorang teman, sebagai sahabat. Mungkin saja kehadiranku juga meninggalkan kesan baginya, sebagaimana yang ditunjukkannya dengan datang dan mentraktirku makan di kafe, di hari terakhirku, mengucapkan salam perpisahan. Sebagaimana kesanku padanya yang begitu dalam. Dan untuk mengenangnya, aku menamai kudaku dalam game Harvest Moon 64 dengan nama Gurni, dari nama depan Bebek, Gurniansyah.
Terima kasih Anwar, terima kasih Bebek. Semoga kita bisa kembali bertemu di masa depan, dengan kondisi yang lebih baik lagi tentunya. Ingatlah terus pesanku, sebagaimana yang sering kukatakan pada rekan-rekanku lainnya: Apapun yang terjadi, tetap semangat ya! (selesai/luk)