Sambungan dari bagian 1.
Februari 2013, hubungan Binti dan Aqym berakhir secara tragis. Kisah cinta mereka tidak disetujui guru spiritual Aqym. Sebaliknya, Aqym dijodohkan oleh sang guru dengan perempuan lain dari pondok pesantren. Hal ini membuat Binti merasa sangat sedih dan terus menangis. Saat itulah secara kebetulan aku meneleponnya. Binti kemudian menceritakan kegundahan dan kesedihannya. Dia mencurahkan segala perasaannya padaku, membuatnya merasa plong dan tenang. Gaya obrolanku yang jenaka, lantas berhasil membuatnya tertawa. Sebagai seorang sahabat, aku merasa bahagia bisa menghilangkan kesedihannya, walaupun itu hanya sejenak.
Awal Maret 2013, Suhari, sahabatku sejak bangku SMP meneleponku. Dia meminta izin padaku untuk menikahi Binti. Aku terkejut mendengarnya dan tidak percaya. Rupanya, diam-diam Suhari menyukai Binti. Suhari yang tinggal di Surabaya mengetahui tragedi cinta Binti dan kemudian berusaha menghiburnya. Dia kerap menemui Binti setiap kali pulang ke Kediri. Dari situlah, timbul perasaan suka dari Suhari pada Binti. Mungkin karena akulah yang memperkenalkan Suhari dengan Binti, maka Suhari merasa minta izin padaku sebelum berniat menikahi Binti. Dia takut bila ternyata aku menyukai Binti dan dia melukaiku.
Aku senang mendengar keinginan Suhari tersebut dan mendukungnya. Kukatakan padanya bahwa hubunganku dengan Binti hanya sebatas teman. Dan aku bahagia bila kemudian Suhari menikah dengan Binti. Karena, baik Suhari dan Binti sama-sama sahabatku, dan bagiku mereka orang-orang yang baik. Menurutku orang baik layak mendapatkan orang baik pula. Saat itu, aku menaruh harapan penuh pada Suhari. Aku berharap dengan kehadiran Suhari, dapat melenyapkan kesedihan yang diderita Binti dan membuatnya bahagia.
Awalnya Suhari masih ragu dengan restuku. Tapi kuyakinkan bahwa aku dan Binti hanya teman SD, lagipula saat itu aku telah menjalin hubungan dengan Ria. Aku kemudian menanyakan ke Binti dan dia membenarkan keinginan Suhari tersebut. Binti mengatakan, dia berusaha menerima Suhari dalam kehidupannya, dan berusaha mencintainya. Dia berharap hubungannya dengan Suhari dapat melenyapkan bayang-bayang kelam masa lalunya bersama Aqym. Dan hubungan antara Suhari dan Binti pun berjalan. Keduanya bahkan membuat panggilan mesra, Sun untuk Binti dan Moon untuk Suhari.
Namun rupanya kehadiran Suhari justru semakin membuat Binti sedih. Bagaimana tidak? Rencana pernikahan yang disusun Suhari kandas sekira satu pekan kemudian. Semua rencana indah itu berantakan ketika Suhari mengajak Binti bertemu keluarganya. Dari situ, keluarga Suhari menanyakan weton kelahiran Binti, yang berujung malapetaka. Pasalnya, dari perhitungan weton Suhari dan Binti, ditemukan nasib buruk akan menanti bila pernikahan tetap dilaksanakan. Akan ada yang meninggal di salah satu pihak. Kepercayaan kuno orang Jawa inilah yang kemudian meruntuhkan rencana pernikahan Suhari dengan Binti. Dan sekali lagi, Binti patah hati. Keinginannya untuk menikah kembali kandas.
Aku mengetahui hal ini ketika Suhari mengirimkan SMS tiba-tiba, mengatakan ingin bicara denganku. Karena waktu itu aku sibuk, aku lantas memintanya untuk chatting melalui YM keesokan harinya. Kebetulan hari itu aku libur. Dan kemudian dia mulai bercerita mengenai nestapa yang menghancurkan hati Binti untuk kali kedua. Betapa terkejutnya aku ketika mengetahui bahwa rencana pernikahan itu kandas hanya karena weton. Segera saja aku menasehati Suhari, bahwa hal seperti itu adalah syirik. Mempercayakan nasib pada weton adalah sebuah tindakan syirik. Sayangnya, Suhari lebih berat pada orangtuanya yang membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa. Ya apa boleh buat, aku tidak bisa berbuat lebih dari itu.
Selang beberapa hari, saat aku masih tak habis pikir dengan keputusan Suhari, ganti aku yang mendapat petaka. Awal 5 Maret 2013, Ria, tiba-tiba muncul dalam obrolan Facebook dan meminta putus. Dia minta aku untuk mengakhiri hubungan kami. Katanya, dia tidak pernah bahagia selama menjalin hubungan denganku. Katanya, sebagai seorang kekasih, aku tidak memberikan perhatian padanya. Praktis aku langsung terkejut dengan permintaannya tersebut. Padahal kupikir hubungan kami baik-baik saja. Kami memang jarang bertemu karena kesibukan kami masing-masing. Aku seorang wartawan koran sementara Ria wartawan radio. Pernah kutanyakan mengenai kesibukan kami masing-masing itu, dan saat itu Ria mengatakan tidak masalah. Tak kusangka ternyata dia menyimpan perasaan lain.
Aku tidak terima begitu saja ketika Ria meminta putus. Dengan meminta bantuan Ady, rekanku di bagian desainer iklan yang pintar dalam hal percintaan, aku mencoba mempertahankan Ria. Sayangnya, Ria tetap keukeuh dengan keinginannya tersebut, membuatku menjadi semakin galau. Hingga kemudian dia offline dari obrolan Facebook. Pembicaraan lantas berlanjut tengah malam harinya, ketika aku sudah pulang ke rumah. Kutelepon Ria dan terjadinya pertengkaran via telepon malam itu. Aku tidak terima Ria meminta putus melalui Facebook. Karena menurutku, kalaupun memang dia meminta putus, kami harus bertemu secara langsung, bertatap muka. Aku memintanya bertemu keesokan harinya. Namun sayang, Ria bersikeras tidak mau bertemu dan meminta putus begitu saja. Katanya, dia khawatir bila bertemu langsung denganku, dia tidak bisa berkata apa-apa.
Aku menyerah. Dengan penuh kesedihan kuputuskan hubunganku dengan Ria. Melalui SMS. Malam itu aku sakit hati. Bagaimana tidak? Dia sama sekali tidak menghargaiku dengan tidak mau bertemu denganku. Yang membuatku masih tidak bisa terima adalah, dia tidak mau menemuiku secara langsung untuk membicarakannya. Praktis, aku memutuskannya melalui pesan singkat SMS karena dia terus mendesakku untuk mengakhiri hubungan yang telah terjalin sekira empat bulan itu.
Putusnya hubungan kami itu membuatku sangat sedih. Aku merasakan galau beberapa hari, melamun tak jelas dan terus bertanya kenapa hal ini terjadi. Pada akhirnya aku menyadari bahwa hal ini terjadi tak terlepas dari kesalahanku juga yang jarang punya waktu untuknya. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku sebagai wartawan. Meski begitu tetap saja aku begitu sedih dan kecewa. Membuatku murung dan tak bersemangat. Saat itulah, dalam kegundahanku aku menelepon Binti. Entah kenapa aku terpikir untuk menelepon Binti.
Binti menyambut baik teleponku. Rupanya, dia masih bersedih atas nasibnya yang dua kali gagal menikah. Mendengar kesedihan tersebut, sebagai seorang sahabat, aku mulai menghiburnya. Aku menceritakan kisah cintaku yang kandas yang langsung mendapatkan simpati darinya. Alhasil, kami sama-sama menceritakan kegagalan cinta kami masing-masing. Dari situ kami saling menguatkan, saling memberikan motivasi dan saran untuk tetap tabah. Kami pun sama-sama berdoa agar kami mendapatkan kebahagiaan sebagaimana yang kami inginkan. Keakraban pun terjalin kembali di antara kami berdua. Masih sebatas sahabat.
Di situ Binti mengungkapkan keinginannya untuk dapat menikah di umur 25 tahun. Keinginan yang sama dengan keinginanku, menikah di umur 25 tahun. Binti berulang tahun di bulan Mei, sementara aku di bulan Juli. Kami sama-sama lahir di tahun 1988 yang artinya, pada 2013 umur kami akan menjadi 25 tahun. Selain kesamaan keinginan menikah, beberapa kesamaan yang kami miliki, termasuk sama-sama patah hati. Juga kesamaan siapa yang akan menjadi pendamping hidup kami kelak. Dalam hal ini, kami sama-sama menginginkan suami/istri yang bisa menerima kami apa adanya. Hal inilah yang terkadang membuatku ingin menggodanya bahwa kami berjodoh.
Keakraban dan berbagai kesamaan yang kami miliki itu, sempat membuatku berpikir bahwa Binti adalah jodohku. Bahkan terbersit keinginan untuk menikah dengan Binti. Iseng, aku lalu sedikit mengorek tipe laki-laki idaman yang diinginkan Binti untuk menjadi suaminya. Binti kemudian menjawab beberapa keinginannya, di antaranya dia ingin punya suami yang pandai bertukang. Mengenai profesi, dia mengatakan tidak tertarik memiliki suami PNS atau yang bekerja di kantoran. Harapannya yaitu suami yang wiraswasta dan selalu ada untuknya.
Aku lantas menanyakan, apakah dia mau menikah dengan seorang wartawan? Dan jawaban yang kudapatkan darinya membuatku putus harapan menikah dengan Binti. Dia menjawab tidak ingin memiliki suami seorang wartawan. Karena menurutnya, bila dia menikah dengan seorang wartawan, dia akan kerap ditinggal pergi suaminya mencari berita. Pupus sudah keinginanku untuk menikahi Binti mendengar jawaban itu. Sekaligus mengingatkanku pada salah satu lelucon yang pernah kudengar saat kuliah dulu, "Profesi wartawan adalah profesi yang paling tidak diharapkan calon mertua."
(bersambung ke bagian 3)
Februari 2013, hubungan Binti dan Aqym berakhir secara tragis. Kisah cinta mereka tidak disetujui guru spiritual Aqym. Sebaliknya, Aqym dijodohkan oleh sang guru dengan perempuan lain dari pondok pesantren. Hal ini membuat Binti merasa sangat sedih dan terus menangis. Saat itulah secara kebetulan aku meneleponnya. Binti kemudian menceritakan kegundahan dan kesedihannya. Dia mencurahkan segala perasaannya padaku, membuatnya merasa plong dan tenang. Gaya obrolanku yang jenaka, lantas berhasil membuatnya tertawa. Sebagai seorang sahabat, aku merasa bahagia bisa menghilangkan kesedihannya, walaupun itu hanya sejenak.
Awal Maret 2013, Suhari, sahabatku sejak bangku SMP meneleponku. Dia meminta izin padaku untuk menikahi Binti. Aku terkejut mendengarnya dan tidak percaya. Rupanya, diam-diam Suhari menyukai Binti. Suhari yang tinggal di Surabaya mengetahui tragedi cinta Binti dan kemudian berusaha menghiburnya. Dia kerap menemui Binti setiap kali pulang ke Kediri. Dari situlah, timbul perasaan suka dari Suhari pada Binti. Mungkin karena akulah yang memperkenalkan Suhari dengan Binti, maka Suhari merasa minta izin padaku sebelum berniat menikahi Binti. Dia takut bila ternyata aku menyukai Binti dan dia melukaiku.
Aku senang mendengar keinginan Suhari tersebut dan mendukungnya. Kukatakan padanya bahwa hubunganku dengan Binti hanya sebatas teman. Dan aku bahagia bila kemudian Suhari menikah dengan Binti. Karena, baik Suhari dan Binti sama-sama sahabatku, dan bagiku mereka orang-orang yang baik. Menurutku orang baik layak mendapatkan orang baik pula. Saat itu, aku menaruh harapan penuh pada Suhari. Aku berharap dengan kehadiran Suhari, dapat melenyapkan kesedihan yang diderita Binti dan membuatnya bahagia.
Awalnya Suhari masih ragu dengan restuku. Tapi kuyakinkan bahwa aku dan Binti hanya teman SD, lagipula saat itu aku telah menjalin hubungan dengan Ria. Aku kemudian menanyakan ke Binti dan dia membenarkan keinginan Suhari tersebut. Binti mengatakan, dia berusaha menerima Suhari dalam kehidupannya, dan berusaha mencintainya. Dia berharap hubungannya dengan Suhari dapat melenyapkan bayang-bayang kelam masa lalunya bersama Aqym. Dan hubungan antara Suhari dan Binti pun berjalan. Keduanya bahkan membuat panggilan mesra, Sun untuk Binti dan Moon untuk Suhari.
Namun rupanya kehadiran Suhari justru semakin membuat Binti sedih. Bagaimana tidak? Rencana pernikahan yang disusun Suhari kandas sekira satu pekan kemudian. Semua rencana indah itu berantakan ketika Suhari mengajak Binti bertemu keluarganya. Dari situ, keluarga Suhari menanyakan weton kelahiran Binti, yang berujung malapetaka. Pasalnya, dari perhitungan weton Suhari dan Binti, ditemukan nasib buruk akan menanti bila pernikahan tetap dilaksanakan. Akan ada yang meninggal di salah satu pihak. Kepercayaan kuno orang Jawa inilah yang kemudian meruntuhkan rencana pernikahan Suhari dengan Binti. Dan sekali lagi, Binti patah hati. Keinginannya untuk menikah kembali kandas.
Aku mengetahui hal ini ketika Suhari mengirimkan SMS tiba-tiba, mengatakan ingin bicara denganku. Karena waktu itu aku sibuk, aku lantas memintanya untuk chatting melalui YM keesokan harinya. Kebetulan hari itu aku libur. Dan kemudian dia mulai bercerita mengenai nestapa yang menghancurkan hati Binti untuk kali kedua. Betapa terkejutnya aku ketika mengetahui bahwa rencana pernikahan itu kandas hanya karena weton. Segera saja aku menasehati Suhari, bahwa hal seperti itu adalah syirik. Mempercayakan nasib pada weton adalah sebuah tindakan syirik. Sayangnya, Suhari lebih berat pada orangtuanya yang membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa. Ya apa boleh buat, aku tidak bisa berbuat lebih dari itu.
Selang beberapa hari, saat aku masih tak habis pikir dengan keputusan Suhari, ganti aku yang mendapat petaka. Awal 5 Maret 2013, Ria, tiba-tiba muncul dalam obrolan Facebook dan meminta putus. Dia minta aku untuk mengakhiri hubungan kami. Katanya, dia tidak pernah bahagia selama menjalin hubungan denganku. Katanya, sebagai seorang kekasih, aku tidak memberikan perhatian padanya. Praktis aku langsung terkejut dengan permintaannya tersebut. Padahal kupikir hubungan kami baik-baik saja. Kami memang jarang bertemu karena kesibukan kami masing-masing. Aku seorang wartawan koran sementara Ria wartawan radio. Pernah kutanyakan mengenai kesibukan kami masing-masing itu, dan saat itu Ria mengatakan tidak masalah. Tak kusangka ternyata dia menyimpan perasaan lain.
Aku tidak terima begitu saja ketika Ria meminta putus. Dengan meminta bantuan Ady, rekanku di bagian desainer iklan yang pintar dalam hal percintaan, aku mencoba mempertahankan Ria. Sayangnya, Ria tetap keukeuh dengan keinginannya tersebut, membuatku menjadi semakin galau. Hingga kemudian dia offline dari obrolan Facebook. Pembicaraan lantas berlanjut tengah malam harinya, ketika aku sudah pulang ke rumah. Kutelepon Ria dan terjadinya pertengkaran via telepon malam itu. Aku tidak terima Ria meminta putus melalui Facebook. Karena menurutku, kalaupun memang dia meminta putus, kami harus bertemu secara langsung, bertatap muka. Aku memintanya bertemu keesokan harinya. Namun sayang, Ria bersikeras tidak mau bertemu dan meminta putus begitu saja. Katanya, dia khawatir bila bertemu langsung denganku, dia tidak bisa berkata apa-apa.
Aku menyerah. Dengan penuh kesedihan kuputuskan hubunganku dengan Ria. Melalui SMS. Malam itu aku sakit hati. Bagaimana tidak? Dia sama sekali tidak menghargaiku dengan tidak mau bertemu denganku. Yang membuatku masih tidak bisa terima adalah, dia tidak mau menemuiku secara langsung untuk membicarakannya. Praktis, aku memutuskannya melalui pesan singkat SMS karena dia terus mendesakku untuk mengakhiri hubungan yang telah terjalin sekira empat bulan itu.
Putusnya hubungan kami itu membuatku sangat sedih. Aku merasakan galau beberapa hari, melamun tak jelas dan terus bertanya kenapa hal ini terjadi. Pada akhirnya aku menyadari bahwa hal ini terjadi tak terlepas dari kesalahanku juga yang jarang punya waktu untuknya. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku sebagai wartawan. Meski begitu tetap saja aku begitu sedih dan kecewa. Membuatku murung dan tak bersemangat. Saat itulah, dalam kegundahanku aku menelepon Binti. Entah kenapa aku terpikir untuk menelepon Binti.
Binti menyambut baik teleponku. Rupanya, dia masih bersedih atas nasibnya yang dua kali gagal menikah. Mendengar kesedihan tersebut, sebagai seorang sahabat, aku mulai menghiburnya. Aku menceritakan kisah cintaku yang kandas yang langsung mendapatkan simpati darinya. Alhasil, kami sama-sama menceritakan kegagalan cinta kami masing-masing. Dari situ kami saling menguatkan, saling memberikan motivasi dan saran untuk tetap tabah. Kami pun sama-sama berdoa agar kami mendapatkan kebahagiaan sebagaimana yang kami inginkan. Keakraban pun terjalin kembali di antara kami berdua. Masih sebatas sahabat.
Di situ Binti mengungkapkan keinginannya untuk dapat menikah di umur 25 tahun. Keinginan yang sama dengan keinginanku, menikah di umur 25 tahun. Binti berulang tahun di bulan Mei, sementara aku di bulan Juli. Kami sama-sama lahir di tahun 1988 yang artinya, pada 2013 umur kami akan menjadi 25 tahun. Selain kesamaan keinginan menikah, beberapa kesamaan yang kami miliki, termasuk sama-sama patah hati. Juga kesamaan siapa yang akan menjadi pendamping hidup kami kelak. Dalam hal ini, kami sama-sama menginginkan suami/istri yang bisa menerima kami apa adanya. Hal inilah yang terkadang membuatku ingin menggodanya bahwa kami berjodoh.
Keakraban dan berbagai kesamaan yang kami miliki itu, sempat membuatku berpikir bahwa Binti adalah jodohku. Bahkan terbersit keinginan untuk menikah dengan Binti. Iseng, aku lalu sedikit mengorek tipe laki-laki idaman yang diinginkan Binti untuk menjadi suaminya. Binti kemudian menjawab beberapa keinginannya, di antaranya dia ingin punya suami yang pandai bertukang. Mengenai profesi, dia mengatakan tidak tertarik memiliki suami PNS atau yang bekerja di kantoran. Harapannya yaitu suami yang wiraswasta dan selalu ada untuknya.
Aku lantas menanyakan, apakah dia mau menikah dengan seorang wartawan? Dan jawaban yang kudapatkan darinya membuatku putus harapan menikah dengan Binti. Dia menjawab tidak ingin memiliki suami seorang wartawan. Karena menurutnya, bila dia menikah dengan seorang wartawan, dia akan kerap ditinggal pergi suaminya mencari berita. Pupus sudah keinginanku untuk menikahi Binti mendengar jawaban itu. Sekaligus mengingatkanku pada salah satu lelucon yang pernah kudengar saat kuliah dulu, "Profesi wartawan adalah profesi yang paling tidak diharapkan calon mertua."
(bersambung ke bagian 3)