Kehadiran putriku kini membawa kebahagiaan bagiku dan istri, juga bagi keluarga kami berdua. Dia adalah cucu perempuan pertama yang dimiliki mertuaku, namun menjadi cucu perempuan ketiga yang dimiliki ibuku. Kehadirannya di keluarga ibuku sekaligus melanjutkan tradisi keturunan leluhurku, di mana hampir semua keluarga dalam garis keturunan ibuku memiliki anak perempuan sebagai anak pertama.
Sudah menjadi keharusan bagi setiap orang tua di keluarga muslim untuk memberikan nama yang baik bagi anak-anaknya. Yaitu nama-nama yang dapat menjadi doa agar kelak sang anak dapat menjadi seperti arti nama yang diberikan. Pun demikian denganku, yang sudah menyiapkan nama jauh-jauh hari, baik nama laki-laki atau nama perempuan. Namun mengingat hasil USG dari dokter menyiratkan anak pertama kami bakal perempuan, aku lebih berfokus untuk memilihkan nama anak perempuan.
Nama yang kupilihkan untuk putriku ini adalah Lathifah Shabrina Maulana. Nama depan Lathifah kutemukan dalam sebulan terakhir istriku mengandung, yang kuambil dari Asmaul Husna, nama-nama Allah yang baik. Tepatnya dari nama Al-Lathif yang artinya Maha Penyantun. Karena anakku perempuan, maka nama yang kuberikan menjadi Lathifah, dengan harapan kelak dia bisa menjadi perempuan yang santun dan penyantun. Suku kata pertama dalam nama ini yaitu ‘La’ memiliki kesamaan dengan suku kata pertama nama depan anak kedua kakakku, Latissha.
Nama Lathifah sendiri menurutku indah didengar, sangat perempuan. Inilah yang membuatku memilihkan nama tersebut pada anakku, ketika pertama kali membaca deretan Asmaul Husna. Nama ini mengingatkanku pada beberapa sosok, salah satunya ustaz Abdul Lathief, salah seorang pemuka agama yang ada di Bontang. Dalam salah satu ceramahnya, Pak Lathief pernah menyindir para orang tua muslim zaman sekarang yang asal memberi nama pada anak mereka. Dia memberikan contoh, saat ini mungkin tidak ada orang tua yang memberikan nama ‘Abdul Lathief’ pada anak mereka.
Nama Lathifah juga mengingatkanku pada Bu Hetifah, anggota DPR RI dapil Kaltim pada periode 2009 – 2014 lalu. Kedua nama ini sama-sama memiliku suku kata terakhir ‘Fah’, sehingga saat dilafalkan, kedua nama ini terdengar mirip. Bu Hetifah adalah mitra iklanku, untuk paket iklan kampanye yang kutawarkan dalam Pemilihan Legislatif (Pileg) 2014 lalu. Karena paket iklan yang dipasang Bu Hetifah itulah, aku bisa menggelar syukuran kehamilan istriku, di tengah kondisi keuanganku yang sangat pas-pasan waktu itu. Bisa dibilang, Bu Hetifah telah ikut berjasa membantu kami, sehingga aku membalas budi dengan memberikan suaraku padanya dalam pileg, walaupun dia gagal terpilih kembali.
Setelah aku mengumumkan nama depan ini ke keluarga dan kerabatku, aku baru mengetahui bila ada anggota keluarga besarku yang memiliki nama serupa. Yaitu putri pertama pamanku, yang bernama lengkap Jihan Latifah. Tapi kesamaan nama itu tidak membuatku mengurungkan nama Lathifah yang kuberikan pada putriku. Karena memang aku sudah terlanjur menyukai nama ini. Selain itu, Latifah dalam nama putri pamanku itu adalah nama belakang dan juga bukan nama panggilannya. Pun dengan ejaannya yang menggunakan ‘ti’, bukan ‘thi’ sebagaimana yang kugunakan dalam suku kata kedua nama putriku.
Kemiripan yang dimiliki putriku dengan putri pamanku itu rupanya bukan sekadar dalam nama. Ada kemiripan-kemiripan lain di antara mereka berdua. Yaitu malam kelahiran mereka yang sama-sama malam Jumat Kliwon, dan statusnya sebagai anak pertama. Kemiripan ini mungkin dikarenakan peristiwa di masa lalu, ketika aku pernah meramalkan bahwa putri pamanku itu bakal menjadi perempuan yang cantik saat beranjak dewasa. Mungkin juga karena hubungan erat antara pamanku tersebut dengan ayahku di masa lalu.
Kemudian untuk nama tengah putriku, Shabrina, kuambil dari bahasa Arab ‘Shobr’ yang artinya Sabar. Dengan doa semoga kelak anakku bisa menjadi perempuan yang penyabar. Awalnya, ejaan untuk nama ini adalah ‘Sabrina’, di mana nama ini dapat ditemukan dalam makna Arab maupun makna Barat. Menurutku nama ini terdengar indah. Nama ini sendiri merupakan nama yang telah kupikirkan sejak aku masih duduk di bangku sekolah dasar, yang akan kuberikan pada anakku kelak. Namun suatu ketika aku dan istri melewati sebuah toko dengan papan nama besar yang tertulis nama ‘Shabrina’.
Penulisan nama yang ada di papan nama itu rupanya membuat aku dan istriku tertarik menggunakannya. Penulisan ‘Shabrina’ dengan suku kata ‘Sha’, menurut kami lebih sesuai dengan bahasa Arab yang digunakan. Memang, kata ‘Shobr’ dalam penulisannya menggunakan huruf ‘Shod’, yang dalam transliterasi Indonesia ditulis menjadi ‘Sha’. Pertimbangan lainnya, penulisan nama ‘Sabrina’ jarang yang menggunakan suku kata ‘Sha’. Selain itu, suku kata ‘Sha’ ini senada dengan suku kata pertama pada nama tengah anak kedua kakakku, ‘Shaquilla’. Sehingga bisa dibilang suku kata awal pada nama putriku sama dengan suku kata awal pada nama anak kakakku.
Sementara untuk nama belakangnya, kuputuskan untuk memberi nama keluarga sebagaimana yang saat ini sedang populer digunakan. Selain itu, pemberian nama keluarga ini untuk menunjukkan garis keturunannya. Sayangnya, ayahku tak memiliki nama keluarga atau nama belakang. Nama ayahku hanya satu kata ala orang Jawa terdahulu, Sunaji. Sedangkan nama belakang yang diberikan ayahku untukku adalah ‘Maulana’, nama yang menurutku terdengar ‘berat’.
Aku lantas memberikan nama pemberian ayahku itu sebagai nama belakang sekaligus nama keluarga untuk anakku. Nama ‘Maulana’ memiliki arti dalam bahasa Arab yang merujuk pada keutamaan dan derajat yang tinggi. Namun dalam hal pemberian nama anakku ini, aku hanya memaksudkannya untuk menjadikannya nama keluarga. Sehingga nama ‘Maulana’ itu merujuk bahwa empunya nama adalah anaknya (Lukman) Maulana. Walaupun tentu saja aku juga berharap doa dari nama tersebut.
Dengan kombinasi tiga nama itu, maka nama putriku menjadi Lathifah Shabrina Maulana. Yang bila diartikan, artinya bisa putri Maulana yang santun, penyantun dan sabar. Panggilannya bisa ‘Tifa’, ‘Lathifah’, ‘Brina’, atau ‘Shabrina’. Nama ini pun terdengar ke telinga-telinga keluarga dan kerabat. Banyak yang menyebut nama yang kami berikan ini bagus. Namun, ada pula yang menyebut kalau namanya ‘berat’. Bagiku, nama ini adalah nama terbaik yang kuberikan, dan aku berdoa anakku dapat menjadi perempuan baik sebagaimana yang tersirat dalam namanya. Aamiin. (luk)
Sudah menjadi keharusan bagi setiap orang tua di keluarga muslim untuk memberikan nama yang baik bagi anak-anaknya. Yaitu nama-nama yang dapat menjadi doa agar kelak sang anak dapat menjadi seperti arti nama yang diberikan. Pun demikian denganku, yang sudah menyiapkan nama jauh-jauh hari, baik nama laki-laki atau nama perempuan. Namun mengingat hasil USG dari dokter menyiratkan anak pertama kami bakal perempuan, aku lebih berfokus untuk memilihkan nama anak perempuan.
Nama yang kupilihkan untuk putriku ini adalah Lathifah Shabrina Maulana. Nama depan Lathifah kutemukan dalam sebulan terakhir istriku mengandung, yang kuambil dari Asmaul Husna, nama-nama Allah yang baik. Tepatnya dari nama Al-Lathif yang artinya Maha Penyantun. Karena anakku perempuan, maka nama yang kuberikan menjadi Lathifah, dengan harapan kelak dia bisa menjadi perempuan yang santun dan penyantun. Suku kata pertama dalam nama ini yaitu ‘La’ memiliki kesamaan dengan suku kata pertama nama depan anak kedua kakakku, Latissha.
Nama Lathifah sendiri menurutku indah didengar, sangat perempuan. Inilah yang membuatku memilihkan nama tersebut pada anakku, ketika pertama kali membaca deretan Asmaul Husna. Nama ini mengingatkanku pada beberapa sosok, salah satunya ustaz Abdul Lathief, salah seorang pemuka agama yang ada di Bontang. Dalam salah satu ceramahnya, Pak Lathief pernah menyindir para orang tua muslim zaman sekarang yang asal memberi nama pada anak mereka. Dia memberikan contoh, saat ini mungkin tidak ada orang tua yang memberikan nama ‘Abdul Lathief’ pada anak mereka.
Nama Lathifah juga mengingatkanku pada Bu Hetifah, anggota DPR RI dapil Kaltim pada periode 2009 – 2014 lalu. Kedua nama ini sama-sama memiliku suku kata terakhir ‘Fah’, sehingga saat dilafalkan, kedua nama ini terdengar mirip. Bu Hetifah adalah mitra iklanku, untuk paket iklan kampanye yang kutawarkan dalam Pemilihan Legislatif (Pileg) 2014 lalu. Karena paket iklan yang dipasang Bu Hetifah itulah, aku bisa menggelar syukuran kehamilan istriku, di tengah kondisi keuanganku yang sangat pas-pasan waktu itu. Bisa dibilang, Bu Hetifah telah ikut berjasa membantu kami, sehingga aku membalas budi dengan memberikan suaraku padanya dalam pileg, walaupun dia gagal terpilih kembali.
Setelah aku mengumumkan nama depan ini ke keluarga dan kerabatku, aku baru mengetahui bila ada anggota keluarga besarku yang memiliki nama serupa. Yaitu putri pertama pamanku, yang bernama lengkap Jihan Latifah. Tapi kesamaan nama itu tidak membuatku mengurungkan nama Lathifah yang kuberikan pada putriku. Karena memang aku sudah terlanjur menyukai nama ini. Selain itu, Latifah dalam nama putri pamanku itu adalah nama belakang dan juga bukan nama panggilannya. Pun dengan ejaannya yang menggunakan ‘ti’, bukan ‘thi’ sebagaimana yang kugunakan dalam suku kata kedua nama putriku.
Kemiripan yang dimiliki putriku dengan putri pamanku itu rupanya bukan sekadar dalam nama. Ada kemiripan-kemiripan lain di antara mereka berdua. Yaitu malam kelahiran mereka yang sama-sama malam Jumat Kliwon, dan statusnya sebagai anak pertama. Kemiripan ini mungkin dikarenakan peristiwa di masa lalu, ketika aku pernah meramalkan bahwa putri pamanku itu bakal menjadi perempuan yang cantik saat beranjak dewasa. Mungkin juga karena hubungan erat antara pamanku tersebut dengan ayahku di masa lalu.
Kemudian untuk nama tengah putriku, Shabrina, kuambil dari bahasa Arab ‘Shobr’ yang artinya Sabar. Dengan doa semoga kelak anakku bisa menjadi perempuan yang penyabar. Awalnya, ejaan untuk nama ini adalah ‘Sabrina’, di mana nama ini dapat ditemukan dalam makna Arab maupun makna Barat. Menurutku nama ini terdengar indah. Nama ini sendiri merupakan nama yang telah kupikirkan sejak aku masih duduk di bangku sekolah dasar, yang akan kuberikan pada anakku kelak. Namun suatu ketika aku dan istri melewati sebuah toko dengan papan nama besar yang tertulis nama ‘Shabrina’.
Penulisan nama yang ada di papan nama itu rupanya membuat aku dan istriku tertarik menggunakannya. Penulisan ‘Shabrina’ dengan suku kata ‘Sha’, menurut kami lebih sesuai dengan bahasa Arab yang digunakan. Memang, kata ‘Shobr’ dalam penulisannya menggunakan huruf ‘Shod’, yang dalam transliterasi Indonesia ditulis menjadi ‘Sha’. Pertimbangan lainnya, penulisan nama ‘Sabrina’ jarang yang menggunakan suku kata ‘Sha’. Selain itu, suku kata ‘Sha’ ini senada dengan suku kata pertama pada nama tengah anak kedua kakakku, ‘Shaquilla’. Sehingga bisa dibilang suku kata awal pada nama putriku sama dengan suku kata awal pada nama anak kakakku.
Sementara untuk nama belakangnya, kuputuskan untuk memberi nama keluarga sebagaimana yang saat ini sedang populer digunakan. Selain itu, pemberian nama keluarga ini untuk menunjukkan garis keturunannya. Sayangnya, ayahku tak memiliki nama keluarga atau nama belakang. Nama ayahku hanya satu kata ala orang Jawa terdahulu, Sunaji. Sedangkan nama belakang yang diberikan ayahku untukku adalah ‘Maulana’, nama yang menurutku terdengar ‘berat’.
Aku lantas memberikan nama pemberian ayahku itu sebagai nama belakang sekaligus nama keluarga untuk anakku. Nama ‘Maulana’ memiliki arti dalam bahasa Arab yang merujuk pada keutamaan dan derajat yang tinggi. Namun dalam hal pemberian nama anakku ini, aku hanya memaksudkannya untuk menjadikannya nama keluarga. Sehingga nama ‘Maulana’ itu merujuk bahwa empunya nama adalah anaknya (Lukman) Maulana. Walaupun tentu saja aku juga berharap doa dari nama tersebut.
Dengan kombinasi tiga nama itu, maka nama putriku menjadi Lathifah Shabrina Maulana. Yang bila diartikan, artinya bisa putri Maulana yang santun, penyantun dan sabar. Panggilannya bisa ‘Tifa’, ‘Lathifah’, ‘Brina’, atau ‘Shabrina’. Nama ini pun terdengar ke telinga-telinga keluarga dan kerabat. Banyak yang menyebut nama yang kami berikan ini bagus. Namun, ada pula yang menyebut kalau namanya ‘berat’. Bagiku, nama ini adalah nama terbaik yang kuberikan, dan aku berdoa anakku dapat menjadi perempuan baik sebagaimana yang tersirat dalam namanya. Aamiin. (luk)
"You are a miracle
You are a blessing from above
You brought joy to my soul
And pleasure to my eyes
In my heart I can feel it
An unexplainable feeling
Being a father
The best thing that I could ever ask for
Just thinking of you makes me smile
Holding you, looking in your eyes
I’m so grateful for having you
And everyday I pray
I pray that you’ll find your way..."
You are a blessing from above
You brought joy to my soul
And pleasure to my eyes
In my heart I can feel it
An unexplainable feeling
Being a father
The best thing that I could ever ask for
Just thinking of you makes me smile
Holding you, looking in your eyes
I’m so grateful for having you
And everyday I pray
I pray that you’ll find your way..."