Tanpa terasa sudah dua tahun lamanya aku kembali ke Bontang, Kalimantan Timur. Tanggal 16 Juni 2013 kemarin menjadi penanda dua tahun aku menginjakkan kembali kakiku di kota kelahiranku ini. Waktu terasa berjalan begitu cepat, seolah baru kemarin aku datang melewati gerbang Kota Taman bersama ibuku. Aku sama sekali tidak menyangka masa dua tahun terlewati di Bontang. Kupikir dulu aku hanya akan bertahan satu tahun saja. Tapi ternyata, perjalanan hidup berkata lain.
Aku ingat, waktu itu aku baru lulus kuliah pada Mei 2011 di Jakarta. Setelah wisuda, belum ada keinginanku untuk mencari kerja dengan mengandalkan ijazahku. Karena kupikir aku masih ingin menikmati saat-saat santai terlebih dahulu, saat-saat pengangguran. Tapi ibuku tidak sependapat denganku. Beliau tidak ingin melihatku terlalu lama menganggur. Apalagi beliau harus bepergian ke Sumatera untuk keperluan usaha. Karena itu beliau memintaku untuk segera mencari kerja. Saat itu, beliau memintaku pergi ke salah satu daerah di Kalimantan, bekerja di perkebunan kelapa sawit. Namun karena satu dua hal, pekerjaan itu urung kudapatkan. Lantas, ibuku mendapatkan informasi dari saudara jauh di Bontang, bahwa di Bontang ada banyak peluang kerja, apalagi untuk putra daerah. Mengingat aku lahir di Bontang, ibuku tidak mau menyia-nyiakannya dan lantas menyuruhku pergi ke Bontang.
Well, bisa dibilang ibuku begitu ingin melihatku segera bekerja. Sementara aku sendiri, masih ingin menikmati masa-masa pasca lulus. Aku bukannya mengangur begitu saja, tapi aku merencanakan untuk membaca kembali modul-modul kuliahku untuk mempertajam ilmu. Karena jujur, banyak hal yang belum kupahami dengan jelas dari modul-modul ilmu komunikasi yang kumiliki. Hal ini membuatku ragu untuk menggunakan ijazah yang kumiliki. Karena itu aku sempat berpikir untuk tidak menggunakan ijazahku untuk mencari kerja. Yang terpikir adalah, aku membuka usaha sendiri sesuai minat yang kumiliki. Yaitu membuka toko kue, cita-cita yang muncul saat duduk di bangku kuliah. Untuk bisa memenuhi cita-citaku itulah, aku sempat merencanakan ingin belajar membuat kue pada masa-masa setelah kuliah. Tapi keinginan itu urung terwujud, karena ibuku sudah tidak sabar melihatku pergi dari Jawa.
Sebenarnya, keinginan untuk pulang kembali ke Bontang sudah ada sejak aku lulus SMA. Yeah, sebagai putra kelahiran Bontang, tentu ada keinginan untuk bisa kembali ke kota kelahiran tersebut. Saat kecil, saat masih duduk di Kelas 1 SD 003 Bontang di tahun 1995, aku sekeluarga pergi meninggalkan Bontang ke Kediri, Jawa Timur. Kepindahan kami ke Kota Tahu itu untuk mengikuti tugas ayahku, seorang polisi hingga beliau meninggal disana. Dan setelah sekian lama berada di Jawa, keinginan untuk melihat kampung kelahiran tentu besar. Tapi sayangnya, waktu itu ibuku melarangku untuk kembali ke Bontang dengan alasan jauh dari orangtua. Sehingga beliau khawatir terjadi apa-apa padaku. So, aku lantas kuliah di Jakarta dan lulus disana.
Kesempatan kembali ke Bontang muncul ketika lulus kuliah atas permintaan ibuku. Tapi, keinginanku untuk kembali ke Bontang sudah pupus. Aku sudah sangat nyaman di Pulau Jawa, di Kediri atau di Jakarta. Karenanya, aku enggan meninggalkan Jawa dan pergi ke daerah lain. Tapi sebagai anak yang penurut dan demi masa depanku, serta kebahagiaan ibuku, aku pun menyetujuinya. Meski begitu, masih ada secercah penolakan dalam hatiku, yang mengatakan kalau aku tidak mau pergi kembali ke Bontang. Dan di malam terakhirku di Kediri, sebelum mobil travel datang, yang kulakukan hanya meringkuk sedih di atas tempat tidur dengan jaket komodo kebanggaanku. Suasananya kala itu mirip dengan suasana yang tergambar dalam lagunya Sherina yang berjudul Lihatlah Lebih Dekat.
Tapi suasana murung itu rupanya terusb berlanjut di sepanjang perjalanan ke Bontang. Mulai dari perjalanan darat dari Kediri ke Surabaya, perjalanan udara dari Surabaya ke Balikpapan, dan perjalanan darat dari Balikpapan ke Bontang. Di sepanjang perjalanan tersebut, kuhabiskan dengan tidur di pangkuan ibuku. Seolah, masih ada keengganan untuk menginjakkan kaki di benua etam. Seolah ada rasa yang tertinggal. Sambirl sesekali aku menoleh keluar jendala kendaraan, melihat suasana kota Balikpapan, Samarinda, hingga akhirnya Bontang yang telah banyak berubah. Ya, banyak sekali yang berubah di Bontang. Kota ini yang dulunya banyak didominasi rawa-rawa, telah berubah menjadi pemukiman padat penduduk. Kondisi jalanan pun terlihat begitu bersih, dengan bangunan-bangunan baru yang menghiasi pinggiran jalan. Bontang telah banyak berubah setelah 16 tahun kutinggalkan, dan semua perubahan itu membuatku kagum bercampur heran. Untuk kedua kalinya setelah kunjunganku saat SD dulu, aku kembali lagi ke Bontang.
Saat memasuki kembali gerbang Bontang, entah kenapa tiba-tiba aku merasa potongan-potongan memori masuk menyeruak ke dalam ingatanku. Seolah saling berkumpul, menyatukan setiap kenangan yang pernah terukir di benakku dulu di Bontang. Meskipun aku meninggalkan Bontang di usia tujuh tahun, namun ada bagian-bagian masa kecilku tersebut yang tersimpan baik di dalam sel-sel otakku. Terutama untuk kejadian-kejadian yang berkesan, seperti saat aku meluncur bebas dengan sepeda roda tigaku menghantam gapura jalanan yang menurun. Mengingat hal itu, seolah baru terjadi kemarin.
Setibanya di Bontang, lantas ibuku meninggalkanku setelah bersilaturahmi dengan kawan-kawan lamanya. Satu pekan lamanya ibuku menemaniku di Bontang, hingga kemudian dia kembali ke Jawa untuk selanjutnya mengurus kebun di Sumatera. Membuatku bertanya-tanya, apakah aku akan menemukan jalanku di Bontang. Apakah aku akan menemukan pekerjaan yang cocok untukku, sebagaimana yang didengung-dengungkan bibiku? Salah satunya bekerja di pertambangan, seperti sepupuku.
Tapi sebelum penerimaan dimulai, sebuah lowongan menghampiriku. Kira-kira hanya berselang satu pekan setelah ibuku pergi, aku mendapat informasi dari tetangga, untuk mengisi lowongan di salah satu bank swasta di Samarinda, Bank Bukopin. Aku lantas diterima di bank tersebut, dan kemudian ditugaskan sebagai petugas Samsat (Sistem Administrasi Satu Atap) Bank Bukopin di PLN Area Bontang. Karena, saat itu PLN Area Bontang tengah bekerja sama dengan Bank Bukopin. Sementara, Bukopin belum membuka kantor cabang di Bontang. Jadinya, sebagai petugas Samsat, aku menjadi penghubung antara bank tempatku bekerja dengan PLN Bontang.
Satu tahun pertama di Bontang kulewati dengan bekerja di bank, dengan menumpang kantor di PLN. Selama masa satu tahun pertama tersebut, sedikit demi sedikit kenangan tentang Bontang berkumpul kembali. Dan, aku suasana tempat-tempat tertentu di Bontang, seperti Bontang Kuala rasanya tidak asing. Seolah, aku begitu dekat dan akrab dengan tempat-tempat itu. Seolah aku sudah terbiasa datang kesana. Kenangan masa kecil pun kembali berdatangan. Salah satu lainnya, ketika aku mendatangi asrama tempat tinggalku dulu di Bontang, yang kini telah berganti menjadi rumah makan, kafe, warnet, dan laundry. Kulihat di gang itu, jalanan menurun tempatku dulu terjatuh waktu ketika kecil dulu masih ada. Membuatku terkenang, seolah baru terjadi kemarin.
Tahun kedua berikutnya, kuisi dengan petualangan di media lokal, Bontang Post. Dulu ketika bekerja di PLN, aku selalu memandangi gedung surat kabar harian ini setiap kali pulang ke rumah. Berharap, suatu hari dapat bekerja di surat kabar tersebut. Dan yeah, impianku itu akhirnya tercapai ketika aku melamar disana untuk mengejar impianku semasa kecil, menjadi wartawan. Dan tanpa kuduga, aku langsung diterima bekerja disana. Tahun kedua di Bontang pun menjadi tahun penuh petualangan, dalam liputanku keliling Bontang yang membuatku semakin mengenal dan mengetahui riwayat kota kelahiranku ini, dan menjadi semakin mencintai kota ini. Perasaan betah dan tak ingin pergi pun datang. Bekerja di Bontang Post merupakan suatu pengalaman yang tak tergantikan. Yang membuat tahun keduaku di Bontang terasa begitu berarti.
Yeah, dua tahun sudah terlewati di Kota Taman. Seolah baru kemarin aku tidur merebahkan kepalaku di pangkuan ibuku dalam perjalanan ke Bontang. Seolah baru kemarin aku melihat Bontang yang begitu asing. Seolah baru kemarin aku menjejakkan kembali kakiku di Kalimantan. Seolah sudah menjadi takdir, bahwa siapapun yang telah mencicipi rasanya air Kalimantan, pasti akan kembali lagi ke Kalimantan. Dan yeah, disinilah aku sekarang, di Bontang. Aku tidak menyangka bila keraguanku saat berangkat ke Bontang dulu ternyata terjawab dengan sebuah petualangan luar biasa. Yang membangkitkan kembali kemampuan sosialku secara perlahan, yang sebelumnya terkubur akibat tidur panjang.
Telah banyak yang berubah pada diriku selama dua tahun ini. Salah satunya kemampuan komunikasiku. Pekerjaan wartawan menuntutku untuk terus berkomunikasi secara lisan, membuatku terpaksa melawan keterbatasan yang kumiliki. Paling tidak, aku menjadi lebih berani dari sebelumnya. Aku pun kini memiliki penghasilanku sendiri dan hidup secara mandiri, tanpa bergantung pada orangtua maupun sanak keluarga yang lain. Aku mampu menghasilkan uangku sendiri, melalui kerja keras yang kulakukan. Bahkan aku bisa membantu saudara-saudaraku yang lain. Membuatku keluargaku bangga. Tapi perbedaan yang mencolok salah satunya adalah bentuk tubuhku. Aku kembali menjadi gemuk, yang menurut sebagian orang merupakan bentuk kemakmuran. Entahlah. Tapi yang pasti, bila aku dulu menolak keinginan ibuku, aku mungkin tidak bisa seperti sekarang. Ya, aku patut bersyukur mengikuti permintaan ibuku. Dan aku semakin yakin, doa ibu benar-benar memiliki tuah bagi anaknya.
Setelah dua tahun hidup mandiri di Bontang, aku tidak tahu apakah bisa akan bisa melewati tahun ketiga. Aku ragu, karena semakin ke depan, hidupku semakin penuh ketidakpastian. Termasuk rencanaku untuk menempuh hidup baru, melamar gadis yang aku cintai. Rencanaku ini tentunya memberiku dua kemungkinan yang harus kupilih. Tetap bertahan di Kota Taman, atau kembali ke Kota Tahu, tempat gadis itu berasal. Dan dua pilihan lain, berhenti bekerja di mediaku sekarang, atau tetap bertahan di media dengan lokal konten nomor satu itu. Aku tidak tahu. Jawabannya akan kuberikan dua bulan lagi, ketika masa kerjaku di perusahaan keduaku ini, telah berjalan tepat dua tahun. Doakan saja, keputusanku adalah yang terbaik. Karena, di satu sisi aku enggan meninggalkan kotaku, dan media tempatku berada sekarang. Siapa tahu? (luk)
Aku ingat, waktu itu aku baru lulus kuliah pada Mei 2011 di Jakarta. Setelah wisuda, belum ada keinginanku untuk mencari kerja dengan mengandalkan ijazahku. Karena kupikir aku masih ingin menikmati saat-saat santai terlebih dahulu, saat-saat pengangguran. Tapi ibuku tidak sependapat denganku. Beliau tidak ingin melihatku terlalu lama menganggur. Apalagi beliau harus bepergian ke Sumatera untuk keperluan usaha. Karena itu beliau memintaku untuk segera mencari kerja. Saat itu, beliau memintaku pergi ke salah satu daerah di Kalimantan, bekerja di perkebunan kelapa sawit. Namun karena satu dua hal, pekerjaan itu urung kudapatkan. Lantas, ibuku mendapatkan informasi dari saudara jauh di Bontang, bahwa di Bontang ada banyak peluang kerja, apalagi untuk putra daerah. Mengingat aku lahir di Bontang, ibuku tidak mau menyia-nyiakannya dan lantas menyuruhku pergi ke Bontang.
Well, bisa dibilang ibuku begitu ingin melihatku segera bekerja. Sementara aku sendiri, masih ingin menikmati masa-masa pasca lulus. Aku bukannya mengangur begitu saja, tapi aku merencanakan untuk membaca kembali modul-modul kuliahku untuk mempertajam ilmu. Karena jujur, banyak hal yang belum kupahami dengan jelas dari modul-modul ilmu komunikasi yang kumiliki. Hal ini membuatku ragu untuk menggunakan ijazah yang kumiliki. Karena itu aku sempat berpikir untuk tidak menggunakan ijazahku untuk mencari kerja. Yang terpikir adalah, aku membuka usaha sendiri sesuai minat yang kumiliki. Yaitu membuka toko kue, cita-cita yang muncul saat duduk di bangku kuliah. Untuk bisa memenuhi cita-citaku itulah, aku sempat merencanakan ingin belajar membuat kue pada masa-masa setelah kuliah. Tapi keinginan itu urung terwujud, karena ibuku sudah tidak sabar melihatku pergi dari Jawa.
Sebenarnya, keinginan untuk pulang kembali ke Bontang sudah ada sejak aku lulus SMA. Yeah, sebagai putra kelahiran Bontang, tentu ada keinginan untuk bisa kembali ke kota kelahiran tersebut. Saat kecil, saat masih duduk di Kelas 1 SD 003 Bontang di tahun 1995, aku sekeluarga pergi meninggalkan Bontang ke Kediri, Jawa Timur. Kepindahan kami ke Kota Tahu itu untuk mengikuti tugas ayahku, seorang polisi hingga beliau meninggal disana. Dan setelah sekian lama berada di Jawa, keinginan untuk melihat kampung kelahiran tentu besar. Tapi sayangnya, waktu itu ibuku melarangku untuk kembali ke Bontang dengan alasan jauh dari orangtua. Sehingga beliau khawatir terjadi apa-apa padaku. So, aku lantas kuliah di Jakarta dan lulus disana.
Kesempatan kembali ke Bontang muncul ketika lulus kuliah atas permintaan ibuku. Tapi, keinginanku untuk kembali ke Bontang sudah pupus. Aku sudah sangat nyaman di Pulau Jawa, di Kediri atau di Jakarta. Karenanya, aku enggan meninggalkan Jawa dan pergi ke daerah lain. Tapi sebagai anak yang penurut dan demi masa depanku, serta kebahagiaan ibuku, aku pun menyetujuinya. Meski begitu, masih ada secercah penolakan dalam hatiku, yang mengatakan kalau aku tidak mau pergi kembali ke Bontang. Dan di malam terakhirku di Kediri, sebelum mobil travel datang, yang kulakukan hanya meringkuk sedih di atas tempat tidur dengan jaket komodo kebanggaanku. Suasananya kala itu mirip dengan suasana yang tergambar dalam lagunya Sherina yang berjudul Lihatlah Lebih Dekat.
Tapi suasana murung itu rupanya terusb berlanjut di sepanjang perjalanan ke Bontang. Mulai dari perjalanan darat dari Kediri ke Surabaya, perjalanan udara dari Surabaya ke Balikpapan, dan perjalanan darat dari Balikpapan ke Bontang. Di sepanjang perjalanan tersebut, kuhabiskan dengan tidur di pangkuan ibuku. Seolah, masih ada keengganan untuk menginjakkan kaki di benua etam. Seolah ada rasa yang tertinggal. Sambirl sesekali aku menoleh keluar jendala kendaraan, melihat suasana kota Balikpapan, Samarinda, hingga akhirnya Bontang yang telah banyak berubah. Ya, banyak sekali yang berubah di Bontang. Kota ini yang dulunya banyak didominasi rawa-rawa, telah berubah menjadi pemukiman padat penduduk. Kondisi jalanan pun terlihat begitu bersih, dengan bangunan-bangunan baru yang menghiasi pinggiran jalan. Bontang telah banyak berubah setelah 16 tahun kutinggalkan, dan semua perubahan itu membuatku kagum bercampur heran. Untuk kedua kalinya setelah kunjunganku saat SD dulu, aku kembali lagi ke Bontang.
Saat memasuki kembali gerbang Bontang, entah kenapa tiba-tiba aku merasa potongan-potongan memori masuk menyeruak ke dalam ingatanku. Seolah saling berkumpul, menyatukan setiap kenangan yang pernah terukir di benakku dulu di Bontang. Meskipun aku meninggalkan Bontang di usia tujuh tahun, namun ada bagian-bagian masa kecilku tersebut yang tersimpan baik di dalam sel-sel otakku. Terutama untuk kejadian-kejadian yang berkesan, seperti saat aku meluncur bebas dengan sepeda roda tigaku menghantam gapura jalanan yang menurun. Mengingat hal itu, seolah baru terjadi kemarin.
Setibanya di Bontang, lantas ibuku meninggalkanku setelah bersilaturahmi dengan kawan-kawan lamanya. Satu pekan lamanya ibuku menemaniku di Bontang, hingga kemudian dia kembali ke Jawa untuk selanjutnya mengurus kebun di Sumatera. Membuatku bertanya-tanya, apakah aku akan menemukan jalanku di Bontang. Apakah aku akan menemukan pekerjaan yang cocok untukku, sebagaimana yang didengung-dengungkan bibiku? Salah satunya bekerja di pertambangan, seperti sepupuku.
Tapi sebelum penerimaan dimulai, sebuah lowongan menghampiriku. Kira-kira hanya berselang satu pekan setelah ibuku pergi, aku mendapat informasi dari tetangga, untuk mengisi lowongan di salah satu bank swasta di Samarinda, Bank Bukopin. Aku lantas diterima di bank tersebut, dan kemudian ditugaskan sebagai petugas Samsat (Sistem Administrasi Satu Atap) Bank Bukopin di PLN Area Bontang. Karena, saat itu PLN Area Bontang tengah bekerja sama dengan Bank Bukopin. Sementara, Bukopin belum membuka kantor cabang di Bontang. Jadinya, sebagai petugas Samsat, aku menjadi penghubung antara bank tempatku bekerja dengan PLN Bontang.
Satu tahun pertama di Bontang kulewati dengan bekerja di bank, dengan menumpang kantor di PLN. Selama masa satu tahun pertama tersebut, sedikit demi sedikit kenangan tentang Bontang berkumpul kembali. Dan, aku suasana tempat-tempat tertentu di Bontang, seperti Bontang Kuala rasanya tidak asing. Seolah, aku begitu dekat dan akrab dengan tempat-tempat itu. Seolah aku sudah terbiasa datang kesana. Kenangan masa kecil pun kembali berdatangan. Salah satu lainnya, ketika aku mendatangi asrama tempat tinggalku dulu di Bontang, yang kini telah berganti menjadi rumah makan, kafe, warnet, dan laundry. Kulihat di gang itu, jalanan menurun tempatku dulu terjatuh waktu ketika kecil dulu masih ada. Membuatku terkenang, seolah baru terjadi kemarin.
Tahun kedua berikutnya, kuisi dengan petualangan di media lokal, Bontang Post. Dulu ketika bekerja di PLN, aku selalu memandangi gedung surat kabar harian ini setiap kali pulang ke rumah. Berharap, suatu hari dapat bekerja di surat kabar tersebut. Dan yeah, impianku itu akhirnya tercapai ketika aku melamar disana untuk mengejar impianku semasa kecil, menjadi wartawan. Dan tanpa kuduga, aku langsung diterima bekerja disana. Tahun kedua di Bontang pun menjadi tahun penuh petualangan, dalam liputanku keliling Bontang yang membuatku semakin mengenal dan mengetahui riwayat kota kelahiranku ini, dan menjadi semakin mencintai kota ini. Perasaan betah dan tak ingin pergi pun datang. Bekerja di Bontang Post merupakan suatu pengalaman yang tak tergantikan. Yang membuat tahun keduaku di Bontang terasa begitu berarti.
Yeah, dua tahun sudah terlewati di Kota Taman. Seolah baru kemarin aku tidur merebahkan kepalaku di pangkuan ibuku dalam perjalanan ke Bontang. Seolah baru kemarin aku melihat Bontang yang begitu asing. Seolah baru kemarin aku menjejakkan kembali kakiku di Kalimantan. Seolah sudah menjadi takdir, bahwa siapapun yang telah mencicipi rasanya air Kalimantan, pasti akan kembali lagi ke Kalimantan. Dan yeah, disinilah aku sekarang, di Bontang. Aku tidak menyangka bila keraguanku saat berangkat ke Bontang dulu ternyata terjawab dengan sebuah petualangan luar biasa. Yang membangkitkan kembali kemampuan sosialku secara perlahan, yang sebelumnya terkubur akibat tidur panjang.
Telah banyak yang berubah pada diriku selama dua tahun ini. Salah satunya kemampuan komunikasiku. Pekerjaan wartawan menuntutku untuk terus berkomunikasi secara lisan, membuatku terpaksa melawan keterbatasan yang kumiliki. Paling tidak, aku menjadi lebih berani dari sebelumnya. Aku pun kini memiliki penghasilanku sendiri dan hidup secara mandiri, tanpa bergantung pada orangtua maupun sanak keluarga yang lain. Aku mampu menghasilkan uangku sendiri, melalui kerja keras yang kulakukan. Bahkan aku bisa membantu saudara-saudaraku yang lain. Membuatku keluargaku bangga. Tapi perbedaan yang mencolok salah satunya adalah bentuk tubuhku. Aku kembali menjadi gemuk, yang menurut sebagian orang merupakan bentuk kemakmuran. Entahlah. Tapi yang pasti, bila aku dulu menolak keinginan ibuku, aku mungkin tidak bisa seperti sekarang. Ya, aku patut bersyukur mengikuti permintaan ibuku. Dan aku semakin yakin, doa ibu benar-benar memiliki tuah bagi anaknya.
Setelah dua tahun hidup mandiri di Bontang, aku tidak tahu apakah bisa akan bisa melewati tahun ketiga. Aku ragu, karena semakin ke depan, hidupku semakin penuh ketidakpastian. Termasuk rencanaku untuk menempuh hidup baru, melamar gadis yang aku cintai. Rencanaku ini tentunya memberiku dua kemungkinan yang harus kupilih. Tetap bertahan di Kota Taman, atau kembali ke Kota Tahu, tempat gadis itu berasal. Dan dua pilihan lain, berhenti bekerja di mediaku sekarang, atau tetap bertahan di media dengan lokal konten nomor satu itu. Aku tidak tahu. Jawabannya akan kuberikan dua bulan lagi, ketika masa kerjaku di perusahaan keduaku ini, telah berjalan tepat dua tahun. Doakan saja, keputusanku adalah yang terbaik. Karena, di satu sisi aku enggan meninggalkan kotaku, dan media tempatku berada sekarang. Siapa tahu? (luk)