Tak terasa sudah dua tahun lamanya aku menjalani profesi sebagai kuli tinta alias wartawan. Tepat 6 Agustus 2014 ini, dua tahun sudah berlalu sejak aku menginjakkan kaki pertamaku untuk bekerja di Bontang Post, 6 Agustus 2012 silam. Aku tak menyangka bisa mewujudkan impian masa kecilku, bahkan sampai dua tahun bekerja menjadi wartawan di salah satu surat kabar harian yang ada di kota kelahiranku ini.
Selama dua tahun ini, begitu banyak kisah dan pengalaman yang terjadi. Suka dan duka, mewarnai perjalananku dalam berburu berita di kampung halaman. Berita demi berita lahir dari tanganku. Kadang berita ringan, kadang berita berat, dan kadang berita yang menghebohkan. Mulai dari berita pemerintahan, berita skandal, berita profil, berita kriminal, berita olahraga, berita investigasi, hingga berita bencana pernah kutulis. Perjalanan dinas meliput keluar daerah pun pernah kulakoni, dan pengalamannya begitu membekas di benakku.
Berita pertama yang kutulis dan terbit tanggal 7 Agustus 2012 adalah berita ringan, berita tentang kegiatan pesantren kilat SMA Negeri 2 Bontang. Aku ingat saat itu aku begitu gugup melakukan wawancara, begitu formal. Bentuk komunikasi lisanku memang buruk, ditambah aku memiliki masalah dengan ucapanku yang gagap sejak aku masih duduk di bangku sekolah dasar.
Awalnya keterbatasan ini sempat membuatku ingin mengurungkan niatku memulai karier sebagai wartawan. Di hari pertama, aku baru menyadari bahwa menjadi wartawan artinya bertemu dengan narasumber dan melakukan wawancara. Sementara bekalku saat melamar pekerjaan dulu Cuma kemampuan menulis yang telah kumiliki sejak duduk di bangku SMA. Namun, aku tetap nekat dan berusaha melawan keterbatasan yang kumiliki itu dan di luar dugaan, aku mampu bertahan hingga dua tahun lamanya, dipercaya mengisi halaman utama, hingga aku naik jabatan menjadi redaktur.
Sebagai wartawan, aku memiliki akses bertemu para pejabat penting di pemerintahan. Aku pun menjadi akrab dengan para pejabat, baik pejabat pemerintahan maupun pejabat instansi publik yang menjadi narasumberku. Termasuk akrab dengan para pejabat di Badak LNG, perusahaan besar yang ada di Bontang. Daftar kenalanku bertambah begitu drastis, hal yang tak pernah kubayangkan sebelumnya mengingat aku dikenal sebagai orang rumahan yang tak gaul.
Menjadi wartawan mengubah hidupku 180 derajat. Selain mengenal banyak orang, aku juga semakin mengenal kota kelahiranku. Aku mendapatkan banyak ilmu, di antaranya ilmu pemerintahan, ilmu kesehatan, atau ilmu kelistrikan. Ilmu-ilmu ini kudapatkan saat melakukan wawancara karena terkadang, narasumber-narasumberku memberikan semacam kuliah singkat tentang masalah yang sedang kubahas. Bisa dibilang aku bekerja sambil ‘kuliah’, dengan para ‘dosen’ yang benar-benar berpraktik langsung dalam kehidupan, bukan sekadar teori.
Bukan cuma ilmu yang kudapat, melainkan juga pengalaman. Bukan hanya pengalaman menjadi wartawan, tentang bagaimana melakukan wawancara atau menulis dengan baik, tapi juga pengalaman-pengalaman hidup. Pengalaman ini kudapatkan dari para narasumber, yang kisah hidupnya kutulis atau kuprofilkan. Biasanya tokoh-tokoh terkenal atau orang-orang yang menginspirasi. Dari merekalah aku belajar tentang arti hidup, tentang perjuangan mendapatkan penghidupan yang layak. Aku belajar semangat hidup, semangat pantang menyerah. Terkadang membuatku merasa malu pada diriku sendiri yang masih muda, tapi begitu malas dan mudah putus asa.
Pengalaman lainnya adalah, melalui pekerjaanku ini, aku bisa membantu mengubah keadaan. Melalui berita-berita yang kutulis yang mengabarkan kebenaran, masyarakat dapat mengetahui suatu fakta. Misalnya tentang penderita tumor mata ganas di kelurahan Api-Api dan penderita kanker darah di Guntung. Setelah kukabarkan melalui media, keduanya mendapat perhatian banyak pihak yang peduli. Akibatnya, keduanya lantas mendapatkan bantuan dana dan pengobatan, sehingga menjadi sehat seperti sedia kala.
Selama dua tahun ini, begitu banyak kisah dan pengalaman yang terjadi. Suka dan duka, mewarnai perjalananku dalam berburu berita di kampung halaman. Berita demi berita lahir dari tanganku. Kadang berita ringan, kadang berita berat, dan kadang berita yang menghebohkan. Mulai dari berita pemerintahan, berita skandal, berita profil, berita kriminal, berita olahraga, berita investigasi, hingga berita bencana pernah kutulis. Perjalanan dinas meliput keluar daerah pun pernah kulakoni, dan pengalamannya begitu membekas di benakku.
Berita pertama yang kutulis dan terbit tanggal 7 Agustus 2012 adalah berita ringan, berita tentang kegiatan pesantren kilat SMA Negeri 2 Bontang. Aku ingat saat itu aku begitu gugup melakukan wawancara, begitu formal. Bentuk komunikasi lisanku memang buruk, ditambah aku memiliki masalah dengan ucapanku yang gagap sejak aku masih duduk di bangku sekolah dasar.
Awalnya keterbatasan ini sempat membuatku ingin mengurungkan niatku memulai karier sebagai wartawan. Di hari pertama, aku baru menyadari bahwa menjadi wartawan artinya bertemu dengan narasumber dan melakukan wawancara. Sementara bekalku saat melamar pekerjaan dulu Cuma kemampuan menulis yang telah kumiliki sejak duduk di bangku SMA. Namun, aku tetap nekat dan berusaha melawan keterbatasan yang kumiliki itu dan di luar dugaan, aku mampu bertahan hingga dua tahun lamanya, dipercaya mengisi halaman utama, hingga aku naik jabatan menjadi redaktur.
Sebagai wartawan, aku memiliki akses bertemu para pejabat penting di pemerintahan. Aku pun menjadi akrab dengan para pejabat, baik pejabat pemerintahan maupun pejabat instansi publik yang menjadi narasumberku. Termasuk akrab dengan para pejabat di Badak LNG, perusahaan besar yang ada di Bontang. Daftar kenalanku bertambah begitu drastis, hal yang tak pernah kubayangkan sebelumnya mengingat aku dikenal sebagai orang rumahan yang tak gaul.
Menjadi wartawan mengubah hidupku 180 derajat. Selain mengenal banyak orang, aku juga semakin mengenal kota kelahiranku. Aku mendapatkan banyak ilmu, di antaranya ilmu pemerintahan, ilmu kesehatan, atau ilmu kelistrikan. Ilmu-ilmu ini kudapatkan saat melakukan wawancara karena terkadang, narasumber-narasumberku memberikan semacam kuliah singkat tentang masalah yang sedang kubahas. Bisa dibilang aku bekerja sambil ‘kuliah’, dengan para ‘dosen’ yang benar-benar berpraktik langsung dalam kehidupan, bukan sekadar teori.
Bukan cuma ilmu yang kudapat, melainkan juga pengalaman. Bukan hanya pengalaman menjadi wartawan, tentang bagaimana melakukan wawancara atau menulis dengan baik, tapi juga pengalaman-pengalaman hidup. Pengalaman ini kudapatkan dari para narasumber, yang kisah hidupnya kutulis atau kuprofilkan. Biasanya tokoh-tokoh terkenal atau orang-orang yang menginspirasi. Dari merekalah aku belajar tentang arti hidup, tentang perjuangan mendapatkan penghidupan yang layak. Aku belajar semangat hidup, semangat pantang menyerah. Terkadang membuatku merasa malu pada diriku sendiri yang masih muda, tapi begitu malas dan mudah putus asa.
Pengalaman lainnya adalah, melalui pekerjaanku ini, aku bisa membantu mengubah keadaan. Melalui berita-berita yang kutulis yang mengabarkan kebenaran, masyarakat dapat mengetahui suatu fakta. Misalnya tentang penderita tumor mata ganas di kelurahan Api-Api dan penderita kanker darah di Guntung. Setelah kukabarkan melalui media, keduanya mendapat perhatian banyak pihak yang peduli. Akibatnya, keduanya lantas mendapatkan bantuan dana dan pengobatan, sehingga menjadi sehat seperti sedia kala.
Namun pengalaman yang kudapat bukan melulu pengalaman yang menyenangkan. Melainkan juga pengalaman buruk selama mencari berita. Beberapa kali aku ditolak oleh narasumber saat ingin wawancara. Ada yang berasalan mesti menyertakan surat izin wawancara, ada pula yang dikarenakan kesalahanku karena kurang menguasai masalah. Aku pun pernah dipermalukan salah seorang pejabat yang memang sikapnya kurang menyenangkan terhadap insan media. Parahnya lagi, aku dipermalukan di depan juniorku.
Pernah pula suatu ketika aku diteror oleh salah seorang narasumber, yang memintaku untuk tidak melanjutkan berita yang sedang kutulis. Narasumberku ini bilang anak buahnya mereka bakal mengepung kediaman bosku bila aku tetap nekat menulis. Dia juga bilang aku bakal diincar bila tetap menerbitkan berita itu. Bagiku, mendapat teror seperti itu adalah hal yang wajar. Hanya memang, sikap kikukku selalu muncul setiap kali ini terjadi.
Pengalaman buruk lainnya kudapat saat aku dinas liputan ke luar daerah. Saat itu narasumberku bukan hanya menolak wawancara. Melainkan juga menghina profesi wartawan, dengan menyebut pekerjaan wartawan ujung-ujungnya juga meminta uang. Meskipun aku mendengar ucapan itu secara tidak sengaja, tanpa diketahui narasumber tersebut, tapi tetap membuat darahku mendidih. Aku hampir saja berniat melaporkan narasumber tersebut atas perbuatan tidak menyenangkan, kalau bukan karena sahabatku mencegahku.
Karenanya, dengan berbagai ilmu dan pengalaman yang kudapatkan tersebut, membuatku sangat bersyukur pernah menjadi wartawan. Aku merasakan betapa sulitnya menjadi wartawan. Betapa melelahkannya menjadi wartawan, karena bukan cuma lelah fisik yang dirasakan, tapi juga lelah otak akibat berpikir keras. Menjadi wartawan juga mengeluarkanku dari kebiasaan burukku, yang sebelumnya begitu terkungkung dan antisosial. Aku berhasil membuktikan kepada keluargaku bahwa aku bisa hidup mandiri, bahwa aku juga bisa cakap dalam bekerja dan bisa berprestasi. Kemampuan komunikasiku yang sangat buruk pun perlahan membaik, dan membuatku tersadar bahwa aku bisa menjadi apa yang kuinginkan.
Selama dua tahun ini mungkin aku bukan wartawan yang baik, bukan wartawan yang hebat. Mungkin waktu dua tahun terlalu cepat unuk mengklaim diri sebagai wartawan. Tapi bagiku, dua tahun ini sudah sangat cukup untuk merasakan getirnya kehidupan seorang kuli tinta. Yang mesti sedia kapan saja, dan mesti siaga menghadapi kemungkinan apa saja. Selama dua tahun ini pula aku merasakan sisi gelap dunia jurnalistik. Yang begitu lekat dengan politik, kepentingan, dan kekuasaan. Aku tak tahu apa aku akan kembali menjadi kuli tinta, tapi bila itu terjadi, aku yakin aku siap. Untuk mengubah dunia dengan pena dan buku catatanku. Siapa yang tahu? (luk)
Pernah pula suatu ketika aku diteror oleh salah seorang narasumber, yang memintaku untuk tidak melanjutkan berita yang sedang kutulis. Narasumberku ini bilang anak buahnya mereka bakal mengepung kediaman bosku bila aku tetap nekat menulis. Dia juga bilang aku bakal diincar bila tetap menerbitkan berita itu. Bagiku, mendapat teror seperti itu adalah hal yang wajar. Hanya memang, sikap kikukku selalu muncul setiap kali ini terjadi.
Pengalaman buruk lainnya kudapat saat aku dinas liputan ke luar daerah. Saat itu narasumberku bukan hanya menolak wawancara. Melainkan juga menghina profesi wartawan, dengan menyebut pekerjaan wartawan ujung-ujungnya juga meminta uang. Meskipun aku mendengar ucapan itu secara tidak sengaja, tanpa diketahui narasumber tersebut, tapi tetap membuat darahku mendidih. Aku hampir saja berniat melaporkan narasumber tersebut atas perbuatan tidak menyenangkan, kalau bukan karena sahabatku mencegahku.
Karenanya, dengan berbagai ilmu dan pengalaman yang kudapatkan tersebut, membuatku sangat bersyukur pernah menjadi wartawan. Aku merasakan betapa sulitnya menjadi wartawan. Betapa melelahkannya menjadi wartawan, karena bukan cuma lelah fisik yang dirasakan, tapi juga lelah otak akibat berpikir keras. Menjadi wartawan juga mengeluarkanku dari kebiasaan burukku, yang sebelumnya begitu terkungkung dan antisosial. Aku berhasil membuktikan kepada keluargaku bahwa aku bisa hidup mandiri, bahwa aku juga bisa cakap dalam bekerja dan bisa berprestasi. Kemampuan komunikasiku yang sangat buruk pun perlahan membaik, dan membuatku tersadar bahwa aku bisa menjadi apa yang kuinginkan.
Selama dua tahun ini mungkin aku bukan wartawan yang baik, bukan wartawan yang hebat. Mungkin waktu dua tahun terlalu cepat unuk mengklaim diri sebagai wartawan. Tapi bagiku, dua tahun ini sudah sangat cukup untuk merasakan getirnya kehidupan seorang kuli tinta. Yang mesti sedia kapan saja, dan mesti siaga menghadapi kemungkinan apa saja. Selama dua tahun ini pula aku merasakan sisi gelap dunia jurnalistik. Yang begitu lekat dengan politik, kepentingan, dan kekuasaan. Aku tak tahu apa aku akan kembali menjadi kuli tinta, tapi bila itu terjadi, aku yakin aku siap. Untuk mengubah dunia dengan pena dan buku catatanku. Siapa yang tahu? (luk)