Menghilangkan barang milik perusahaan itu menyakitkan. Apalagi kalau barang tersebut sering kita gunakan dan telah menemani keseharian kita dalam bekerja. Selain harus mengganti, tentunya kenangan akan benda tersebut akan membekas di benak kita.
Itu yang terjadi padaku di awal Desember 2012. Kamera digital saku yang dipinjamkan oleh kantor, tanpa sengaja kuhilangkan. Ceritanya bermula di suatu malam, usai aku selesai menulis berita. Kebetulan, sepeda motorku sedang menginap di bengkel akibat turun mesin. Malam itu, sekira pukul 23.30 Wita, aku berniat pulang karena lelah. Entah kenapa saat itu aku terpikir untuk meninggalkan kamera digital saku (aku lupa mereknya) yang biasanya selalu kusimpan di saku celanaku. Saat itu belum lama aku mendapat meja kerja dan komputer untuk bekerja dari Pak Bos.
Nah, di meja itu terdapat sebuah laci yang kuncinya sudah rusak. Biasanya aku tidak pernah meletakkan barang berharga di laci itu. Tapi malam itu aku berpikir untuk menyimpan kameraku di dalam laci itu. Pikirku, esoknya aku kembali datang ke kantor sebelum memulai liputan. Sehingga tentunya, aku akan mengambilnya. Pikirku kala itu mungkin mengistirahatkan sakuku sejenak dari kamera. Usai meletakkan kamera di dalam laci, aku kemudian pulang ke rumah dengan menumpang pada staf pemasaran kantor.
Tapi apa lacur? Aku bangun kesiangan dan datang ke kantor siang hari (saat itu hari Minggu). Segera saja kubuka laci untuk mengambil kameraku dan... hey, kamera itu sudah tidak ada di dalamnya! Aku langsung panik dan menanyakan kepada teman-temanku perihal kamera di dalam laci. Apakah ada yang membuka laci atau adakah yang mengetahui kamera itu. Namun, tak satu pun kawanku mengetahuinya. Dugaanku lantas merembet pada anak-anak kampus dari Unmul yang Minggu paginya datang mengunjungi kantor untuk mengetahui proses penerbitan surat kabar. Saat itu, banyak mahasiswa yang duduk di dekat mejaku, mengingat mejaku merupakan meja paling ujung yang paling dekat dengan meja rapat.
Tapi tuduhanku itu tidak berdasar, walaupun mahasiswa-mahasiwa tersebut punya peluang. Siapa tahu seseorang yang duduk di dekat mejaku secara iseng membuka laci mejaku dan melihat kamera yang kuletakkan disana. Lantas, dengan tidak bertanggung jawab mengambilnya, memanfaatkan kondisi mereka yang akan segera kembali ke Samarinda. Cuma ya itu tadi, aku tidak punya bukti. Apalagi alibiku terkesan dipatahkan oleh manajer IT yang mengaku malam sebelumnya sempat membuka laci mejaku, dan tidak menemukan ada kamera di dalamnya. Ditambah, tidak ada saksi yang melihatku meletakkan kamera di dalam laci. Kelemahan-kelemahan itu lantas sempat membuatku ragu dengan apa yang kuyakini. Namun, aku sangat yakin aku meletakkan kamera itu di dalam laci.
Pak Bos marah besar begitu mengetahui berita kehilangan kamera tersebut. Dia lantas memnyuruhku untuk mengingat ulang apa yang terjadi malam itu. Apa benar aku meletakkan kamera di dalam laci, atau mungkin kamera tersebut tertinggal di rumah. Tapi aku sudah berkali-kali memeriksa kamarku, memastikan tidak ada bentuk kamera disana. Yeah, kuyakini kalau kamera itu hilang dan tentu saja, Pak Bos memintaku menggantinya. Dia memarahiku dan menyebutku teledor. Sebelumnya aku memang sempat beberapa kali meletakkan barang sembarangan, dan Pak Bos pernah mengetahuinya.
Namun Pak Bos tidak puas begitu saja. Menurutnya, telah banyak terjadi kasus kehilangan di dalam kantor. Untuk itu, dia lantas mencurigai bila ada salah seorang pegawai yang panjang tangan dan suka mencuri di dalam kantor. Bahkan, dia mengurai laci di bagian keuangan pernah dijebol seseorang yang tidak diketahui identitasnya. Tentu saja, dia tidak bisa menuduh begitu saja. Bahkan jam tangan kesayangannya pun raib di kantor. Untuk itu, dalam rapat antar divisi, dia meminta kepada siapa saja yang merasa mengambil kamera itu. Karena dia tidak suka bila ada pegawainya yang panjang tangan.
Berbagai cara ditempuh bosku untuk menemukan kembali kamera tersebut. Menurutnya, bukan masalah berapa nilai kamera itu, namun lebih pada masalah kejujuran. Sikap Pak Bos yang mencurigai karyawan kantor mengambil kamera tersebut tentu membuatku merasa bersalah. Gara-gara aku, seisi kantor jadi dicurigai. Dan tentunya, aku merasa sangat tidak enak pada Pak Bos yang telah mempercayakan kamera untuk aku gunakan. Namun yang terjadi, aku justru telah melenyapkannya.
Upaya yang ditempuh Pak Bos termasuk meminta bantuan orang pintar untuk bisa menemukan kamera tersebut. Karena menurutnya, kasus kehilangan di kantor telah kerap terjadi. Kasusku merupakan kasus terbaru dan merupakan yang paling parah serta menyita perhatian. Meski begitu, Pak Bos urung meminta bantuan orang pintar atas saran dari salah seorang ustaz yang merupakan kawan di kantorku. Katanya, jangan mengorbankann iman hanya untuk barang yang bisa diganti seperti itu. Katanya, kalau memang takdir, pasti akan kembali lagi.
Urung meminta bantuan orang pintar bukan berarti Pak Bos puas. Upaya lain yang ditempuh dalah dengan 'mengirimku' ke kantor polisi. Ya, kasus kehilangan tersebut dilaporkan ke Polsek Bontang Utara, tempat dimana almarhum ayahku dulu bekerja. Aku kembali menginjakkan kaki di kantor Polsek tersebut, tapi bukan sebagai wartawan, melainkan sebagai korban kejahatan. Hari itu sepulang liputan di Bontang Lestari, aku dibebastugaskan untuk mengurus laporanku ke kantor polisi. Aku pun diinterogasi polisi yang menanyakan kronologis kejadian.
Usai membuat laporan, polisi membawaku ke kantor untuk memeriksa lokasi kejadian, tepatnya di meja kerjaku. Teman-teman cukup kaget saat aku datang bersama polisi memeriksa kantor. Termasuk menginterogasi satpam yang saat itu tengah bertugas. Kata Pak Bos, hal ini dilakukan agar bisa membuat karyawan takut, sehingga tidak akan terulang kasus kehilangan serupa. Usai olah TKP, aku pun dilepas dan polisi pergi. Tapi upaya melalui jalur hukum ini pun tak ada hasilnya. Lama setelah aku melapor, tidak ada hasil penyelidikan atau informasi dari kepolisian terkait kasus kehilanganku. Yang membuatku dan teman-teman lain, utamanya Pak Bosku masih penasaran siapa pelaku yang telah mengambil kamera dan barang-barang di kantor.
Meski begitu kejadian itu membuat kantor menjadi lebih waspada. Pak Bos lantas memutuskan untuk memasang kamera CCTV di sudut-sudut ruangan kantor, sehingga kondisinya dapat terpantau. Beliau menyadari, sebagai sebuah perusahaan media, Bontang Post perlu memiliki CCTV. Apalagi, banyak orang, baik itu karyawan maupun tamu-tamu perusahaan yang keluar masuk kantor. Pengadaan kamera CCTV ini sendiri cukup lama terealisasi, baru terpasang pada Juli 2013. Well, sejak kejadian kameraku yang hilang itu, tidak terjadi lagi kasus-kasus kehilangan lain. Mungkin, pelaku (bila dia memang orang dalam) merasa takut dengan sikap Pak Agus, yang bahkan tidak segan-segan membawa polisi ke kantor.
Yeah, secara pribadi ini menjadi pelajaran bagi diriku sendiri. Sejak itu, kamera yang dipinjamkan kantor, selalu aku bawa dengan hati-hati, dan nyaris tidak terlepas dari tubuhku. Aku menjadi trauma dan lebih waspada sekarang. Karena gara-gara menghilangkan kamera tersebut, aku juga mesti kehilangan uang sekira Rp 3 juta yang kugunakan untuk mengganti kamera yang hilang tersebut. Aku tidak menggantinya secara tunai, melainkan diambil dari bonus-bonus liputanku dari berita-berita advetorial perusahaan-perusahaan besar yang pernah kkutulis, yaitu dari PT Badak NGL dan dari ajang IFRC Indominco. Meski begitu, tetap saja Rp 3 juta itu bukan nilai yang kecil. Uang itu cukup untuk membeli Nintendo 3 DS yang selama ini kuidam-idamkan! (luk)
Itu yang terjadi padaku di awal Desember 2012. Kamera digital saku yang dipinjamkan oleh kantor, tanpa sengaja kuhilangkan. Ceritanya bermula di suatu malam, usai aku selesai menulis berita. Kebetulan, sepeda motorku sedang menginap di bengkel akibat turun mesin. Malam itu, sekira pukul 23.30 Wita, aku berniat pulang karena lelah. Entah kenapa saat itu aku terpikir untuk meninggalkan kamera digital saku (aku lupa mereknya) yang biasanya selalu kusimpan di saku celanaku. Saat itu belum lama aku mendapat meja kerja dan komputer untuk bekerja dari Pak Bos.
Nah, di meja itu terdapat sebuah laci yang kuncinya sudah rusak. Biasanya aku tidak pernah meletakkan barang berharga di laci itu. Tapi malam itu aku berpikir untuk menyimpan kameraku di dalam laci itu. Pikirku, esoknya aku kembali datang ke kantor sebelum memulai liputan. Sehingga tentunya, aku akan mengambilnya. Pikirku kala itu mungkin mengistirahatkan sakuku sejenak dari kamera. Usai meletakkan kamera di dalam laci, aku kemudian pulang ke rumah dengan menumpang pada staf pemasaran kantor.
Tapi apa lacur? Aku bangun kesiangan dan datang ke kantor siang hari (saat itu hari Minggu). Segera saja kubuka laci untuk mengambil kameraku dan... hey, kamera itu sudah tidak ada di dalamnya! Aku langsung panik dan menanyakan kepada teman-temanku perihal kamera di dalam laci. Apakah ada yang membuka laci atau adakah yang mengetahui kamera itu. Namun, tak satu pun kawanku mengetahuinya. Dugaanku lantas merembet pada anak-anak kampus dari Unmul yang Minggu paginya datang mengunjungi kantor untuk mengetahui proses penerbitan surat kabar. Saat itu, banyak mahasiswa yang duduk di dekat mejaku, mengingat mejaku merupakan meja paling ujung yang paling dekat dengan meja rapat.
Tapi tuduhanku itu tidak berdasar, walaupun mahasiswa-mahasiwa tersebut punya peluang. Siapa tahu seseorang yang duduk di dekat mejaku secara iseng membuka laci mejaku dan melihat kamera yang kuletakkan disana. Lantas, dengan tidak bertanggung jawab mengambilnya, memanfaatkan kondisi mereka yang akan segera kembali ke Samarinda. Cuma ya itu tadi, aku tidak punya bukti. Apalagi alibiku terkesan dipatahkan oleh manajer IT yang mengaku malam sebelumnya sempat membuka laci mejaku, dan tidak menemukan ada kamera di dalamnya. Ditambah, tidak ada saksi yang melihatku meletakkan kamera di dalam laci. Kelemahan-kelemahan itu lantas sempat membuatku ragu dengan apa yang kuyakini. Namun, aku sangat yakin aku meletakkan kamera itu di dalam laci.
Pak Bos marah besar begitu mengetahui berita kehilangan kamera tersebut. Dia lantas memnyuruhku untuk mengingat ulang apa yang terjadi malam itu. Apa benar aku meletakkan kamera di dalam laci, atau mungkin kamera tersebut tertinggal di rumah. Tapi aku sudah berkali-kali memeriksa kamarku, memastikan tidak ada bentuk kamera disana. Yeah, kuyakini kalau kamera itu hilang dan tentu saja, Pak Bos memintaku menggantinya. Dia memarahiku dan menyebutku teledor. Sebelumnya aku memang sempat beberapa kali meletakkan barang sembarangan, dan Pak Bos pernah mengetahuinya.
Namun Pak Bos tidak puas begitu saja. Menurutnya, telah banyak terjadi kasus kehilangan di dalam kantor. Untuk itu, dia lantas mencurigai bila ada salah seorang pegawai yang panjang tangan dan suka mencuri di dalam kantor. Bahkan, dia mengurai laci di bagian keuangan pernah dijebol seseorang yang tidak diketahui identitasnya. Tentu saja, dia tidak bisa menuduh begitu saja. Bahkan jam tangan kesayangannya pun raib di kantor. Untuk itu, dalam rapat antar divisi, dia meminta kepada siapa saja yang merasa mengambil kamera itu. Karena dia tidak suka bila ada pegawainya yang panjang tangan.
Berbagai cara ditempuh bosku untuk menemukan kembali kamera tersebut. Menurutnya, bukan masalah berapa nilai kamera itu, namun lebih pada masalah kejujuran. Sikap Pak Bos yang mencurigai karyawan kantor mengambil kamera tersebut tentu membuatku merasa bersalah. Gara-gara aku, seisi kantor jadi dicurigai. Dan tentunya, aku merasa sangat tidak enak pada Pak Bos yang telah mempercayakan kamera untuk aku gunakan. Namun yang terjadi, aku justru telah melenyapkannya.
Upaya yang ditempuh Pak Bos termasuk meminta bantuan orang pintar untuk bisa menemukan kamera tersebut. Karena menurutnya, kasus kehilangan di kantor telah kerap terjadi. Kasusku merupakan kasus terbaru dan merupakan yang paling parah serta menyita perhatian. Meski begitu, Pak Bos urung meminta bantuan orang pintar atas saran dari salah seorang ustaz yang merupakan kawan di kantorku. Katanya, jangan mengorbankann iman hanya untuk barang yang bisa diganti seperti itu. Katanya, kalau memang takdir, pasti akan kembali lagi.
Urung meminta bantuan orang pintar bukan berarti Pak Bos puas. Upaya lain yang ditempuh dalah dengan 'mengirimku' ke kantor polisi. Ya, kasus kehilangan tersebut dilaporkan ke Polsek Bontang Utara, tempat dimana almarhum ayahku dulu bekerja. Aku kembali menginjakkan kaki di kantor Polsek tersebut, tapi bukan sebagai wartawan, melainkan sebagai korban kejahatan. Hari itu sepulang liputan di Bontang Lestari, aku dibebastugaskan untuk mengurus laporanku ke kantor polisi. Aku pun diinterogasi polisi yang menanyakan kronologis kejadian.
Usai membuat laporan, polisi membawaku ke kantor untuk memeriksa lokasi kejadian, tepatnya di meja kerjaku. Teman-teman cukup kaget saat aku datang bersama polisi memeriksa kantor. Termasuk menginterogasi satpam yang saat itu tengah bertugas. Kata Pak Bos, hal ini dilakukan agar bisa membuat karyawan takut, sehingga tidak akan terulang kasus kehilangan serupa. Usai olah TKP, aku pun dilepas dan polisi pergi. Tapi upaya melalui jalur hukum ini pun tak ada hasilnya. Lama setelah aku melapor, tidak ada hasil penyelidikan atau informasi dari kepolisian terkait kasus kehilanganku. Yang membuatku dan teman-teman lain, utamanya Pak Bosku masih penasaran siapa pelaku yang telah mengambil kamera dan barang-barang di kantor.
Meski begitu kejadian itu membuat kantor menjadi lebih waspada. Pak Bos lantas memutuskan untuk memasang kamera CCTV di sudut-sudut ruangan kantor, sehingga kondisinya dapat terpantau. Beliau menyadari, sebagai sebuah perusahaan media, Bontang Post perlu memiliki CCTV. Apalagi, banyak orang, baik itu karyawan maupun tamu-tamu perusahaan yang keluar masuk kantor. Pengadaan kamera CCTV ini sendiri cukup lama terealisasi, baru terpasang pada Juli 2013. Well, sejak kejadian kameraku yang hilang itu, tidak terjadi lagi kasus-kasus kehilangan lain. Mungkin, pelaku (bila dia memang orang dalam) merasa takut dengan sikap Pak Agus, yang bahkan tidak segan-segan membawa polisi ke kantor.
Yeah, secara pribadi ini menjadi pelajaran bagi diriku sendiri. Sejak itu, kamera yang dipinjamkan kantor, selalu aku bawa dengan hati-hati, dan nyaris tidak terlepas dari tubuhku. Aku menjadi trauma dan lebih waspada sekarang. Karena gara-gara menghilangkan kamera tersebut, aku juga mesti kehilangan uang sekira Rp 3 juta yang kugunakan untuk mengganti kamera yang hilang tersebut. Aku tidak menggantinya secara tunai, melainkan diambil dari bonus-bonus liputanku dari berita-berita advetorial perusahaan-perusahaan besar yang pernah kkutulis, yaitu dari PT Badak NGL dan dari ajang IFRC Indominco. Meski begitu, tetap saja Rp 3 juta itu bukan nilai yang kecil. Uang itu cukup untuk membeli Nintendo 3 DS yang selama ini kuidam-idamkan! (luk)