Sejarah baru tercipta di Brasil, dalam final Piala Dunia 2014 yang berlangsung Senin (14/7) Wita. Jerman berhasil menjadi negara Eropa pertama yang menjuarai Piala Dunia di benua Amerika Latin. Ini terjadi setelah mereka menumbangkan Argentina dengan skor 1 – 0 di menit 112 babak perpanjangan waktu melalui gol pemain pengganti, Mario Goetze. Sebuah sejarah baru, setelah sebelumnya tim panser yang dilatih Joachim Loew sukses ‘menguliti’ tuan rumah Brasil 7 – 1 di babak semifinal.
Rekor pun turut diukir pemainnya, Miroslav Klose yang sukses menjadi pencetak gol tersubur sepanjang sejarah piala dunia, dengan torehan 16 gol, sejak keikutsertaannya membela Jerman di 2002. Gelar juara yang diraih Jerman ini berhasil menutup karier Miroslav Klose dengan cemerlang. Ya, pemain idolaku ini memang bakal pensiun usai Piala Dunia 2014. Di skuad timnas Jerman tahun ini, Klose merupakan satu-satunya pemain veteran Jerman di piala dunia.
Keberhasilan Jerman menjadi juara dunia Piala Dunia 2014 ini sendiri memiliki kesan sangat berarti bagiku. Bagaimana tidak, aku sudah menunggu mereka memegang trofi Piala Dunia sejak Piala Dunia 2002 di Jepang-Korea Selatan. Saat itu aku duduk di bangku SMP, hendak naik ke kelas 3 SMP. Event Piala Dunia yang digelar pertama kali di Asia, 12 tahun lalu itu memang menjadi awal ketertarikanku pada tim Jerman. Aku mulai menggemari, memfavoritkan tim Jerman sejak saat itu.
Saat itu, Jerman tampil begitu perkasa. Aku ingat mereka menggulung Arab Saudi dengan skor fantastis, 8 – 0 di babak penyisihan grup. Kehadiran tiga pemain bintangnya, yang kemudian menjadi pemain favoritku yaitu Oliver Kahn sang kiper, Miroslav Klose sang striker, dan Michael Ballack sang gelandang sekaligus kapten serta pelatih mereka, Rudi Voeller membuatku semakin menetapkan pilihan tim jagoanku pada Jerman.
Aku pun mengikuti setiap pertandingan tim Jerman di Piala Dunia 2002 hingga mencapai babak final. Di keluargaku, aku tak sendiri mendukung Jerman. Adik perempuanku juga mulai menggilai tim Jerman sejak 2002 bersamaan denganku. Bahkan dia membeli begitu banyak poster timnas Jerman yang dipasangnya di setiap sudut kamar. Sama denganku, kegilaannya pada tim Jerman tetap bertahan hingga sekarang. Satu hal yang sama-sama kami sukai dari tim Jerman adalah, selebrasi Klose setiap kali mencetak gol, yaitu selalu melakukan salto.
Sayang, pada final Piala Dunia 2002 waktu itu, langkah Jerman merengkuh gelar tim terbaik dunia mesti pupus di tangan Brasil. Dua gol dari pemain paling sensasional waktu itu, Ronaldo membungkam langkah Jerman yang bermain tanpa kapten mereka, Michael Ballack yang terkena akumulasi kartu kuning dalam laga melawan Korea Selatan di babak semifinal sebelumnya. Aku ingat, saat itu aku menyaksikan laga final di sebuah rumah makan dalam perjalanan pulang selepas melakukan study tour sekolah ke Yogyakarta. Perasaanku waktu itu begitu hancur, sedih menyaksikan kegagalan tim yang kugadang-gadang juara.
Meski kalah, hatiku tetap bertahan untuk tim Jerman. Aku meyakini, bahwa pada turnamen-turnamen berikutnya, Jerman pasti akan juara. Maka, setiap ada turnamen besar yaitu Piala Eropa dan Piala Dunia, aku selalu mendukung tim ini. Karenanya, dua tahun berselang saat Piala Eropa 2004 digelar di Portugal, aku mendukung penuh Jerman yang masih dalam asuhan Rudi Voeller. Sayangnya, kala itu Jerman mencatatkan hasil buruk. Mereka gagal lolos dari fase grup dan tak sekalipun mencatatkan kemenangan. Imbang melawan Estonia dan ditekuk Republik Ceko.
Kegagalan Jerman di Piala Eropa itu sempat membuatku pikir-pikir mengganti tim unggulan. Namun, entah kenapa aku tetap mendukung tim Jerman. Rasanya, hanya Jerman yang cocok di hatiku. Ini mungkin karena aku menyelami riwayat tim Jerman begitu dalam. Waktu itu aku banyak tahu tentang tim Jerman, tentang para pemain mereka, sejarah mereka di turnamen-turnamen dunia. Aku begitu terhanyut dalam atmosfer sepak bola Jerman yang dijuluki tim Panser karena mereka permainan mereka akan semakin maksimal ketika kondisi mereka semakin ‘memanas’. Seperti panser.
Saking senangnya pada tim Jerman, aku mulai mengikuti liga lokal mereka, Bundesliga yang saat itu ditayangkan RCTI walaupun hanya satu musim. Bayern Munchen, klub Jerman bertabung bintang hingga dijuluki FC Hollywood menjadi klub Jerman favoritku. Selain karena permainan mereka yang bagus di tangan Ottmar Hidfield waktu itu, klub ini juga dihuni kiper favoritku, Oliver Kahn. Karenanya, setiap kali Bayern Munchen bertanding di Liga Champions, aku selalu berusaha menyempatkan waktu menontonnya.
Hingar bingar Piala Dunia lantas berlanjut tahun 2006, dengan Jerman yang bertindak sebagai tuan rumah. Sebagai tuan rumah, Jerman memiliki banyak keuntungan. Karenanya, kala itu aku begitu optimistis tim ini bakal menjadi juara di tanah sendiri. Kemenangan Jerman melawan Polandia 2 – 0 di laga pembuka waktu itu membuatku semakin yakin, kesebelasan yang kali ini diarsiteki Juergen Klinsmann, mantan pemain bintang Jerman bakal menjadi juara. Di bawah kepelatihannya, Klinsmann merencanakan regenerasi sepak bola Jerman untuk jangka panjang, dengan lebih banyak memasukkan pemain-pemain muda. Dialah yang membuat pondasi kebangkitan sepak bola Jerman.
Sayangnya, lagi-lagi aku harus menunda keinginanku menyaksikan Jerman memenangkan Piala Dunia. Karena di semifinal tim ini takluk dari 0 – 1 Italia dalam babak perpanjangan waktu. Aku ingat kala itu bersamaan dengan kelulusanku dari bangku SMA. Sangat sedih memang, tapi bagaimanapun aku harus kembali bisa menerima kekalahan itu. Jerman sendiri bermain bagus tahun itu, dan Italia yang waktu itu tengah dirudung skandal mafia wasit memang lebih unggul dari mereka.
Dua tahun berikutnya, di Piala Eropa 2008 Swiss-Austria, permainan buruk Jerman di Portugal tak terulang. Mereka tampil baik dengan pemain-pemain baru, di antaranya Bastian Schweinsteiger yang begitu emosional. Aku ingat Bastian mendapat kartu merah saat melawan Kroasia di fase grup, gara-gara sikap kasarnya. Aku ingat pula pada pertandingan yang begitu emosional tersebut, pelatih Jerman yang kali ini dijabat Joachim Loew bersama pelatih Kroasia (aku lupa namanya, tapi orang ini sangat stylish) diusir dari lapangan gara-gara bersitegang di lapangan.
Meski tampil bagus, namun menurutku kekompakan tim sangat kurang. Beberapa pemain terjebak dalam permainan individu dan ingin menunjukkan keahlian mereka masing-masing. Tampaknya Joachim Loew yang saat itu menjadi awal kariernya melatih tim Jerman belum bisa menemukan pola yang tepat. Walhasil, Jerman yang sukses melaju ke final mesti menunda kembali keberhasilan mereka setelah ditaklukkan Spanyol. Aku ingat betapa emosionalnya diriku menyaksikan laga pamungkas saat itu. (bersambung ke bagian kedua)
Rekor pun turut diukir pemainnya, Miroslav Klose yang sukses menjadi pencetak gol tersubur sepanjang sejarah piala dunia, dengan torehan 16 gol, sejak keikutsertaannya membela Jerman di 2002. Gelar juara yang diraih Jerman ini berhasil menutup karier Miroslav Klose dengan cemerlang. Ya, pemain idolaku ini memang bakal pensiun usai Piala Dunia 2014. Di skuad timnas Jerman tahun ini, Klose merupakan satu-satunya pemain veteran Jerman di piala dunia.
Keberhasilan Jerman menjadi juara dunia Piala Dunia 2014 ini sendiri memiliki kesan sangat berarti bagiku. Bagaimana tidak, aku sudah menunggu mereka memegang trofi Piala Dunia sejak Piala Dunia 2002 di Jepang-Korea Selatan. Saat itu aku duduk di bangku SMP, hendak naik ke kelas 3 SMP. Event Piala Dunia yang digelar pertama kali di Asia, 12 tahun lalu itu memang menjadi awal ketertarikanku pada tim Jerman. Aku mulai menggemari, memfavoritkan tim Jerman sejak saat itu.
Saat itu, Jerman tampil begitu perkasa. Aku ingat mereka menggulung Arab Saudi dengan skor fantastis, 8 – 0 di babak penyisihan grup. Kehadiran tiga pemain bintangnya, yang kemudian menjadi pemain favoritku yaitu Oliver Kahn sang kiper, Miroslav Klose sang striker, dan Michael Ballack sang gelandang sekaligus kapten serta pelatih mereka, Rudi Voeller membuatku semakin menetapkan pilihan tim jagoanku pada Jerman.
Aku pun mengikuti setiap pertandingan tim Jerman di Piala Dunia 2002 hingga mencapai babak final. Di keluargaku, aku tak sendiri mendukung Jerman. Adik perempuanku juga mulai menggilai tim Jerman sejak 2002 bersamaan denganku. Bahkan dia membeli begitu banyak poster timnas Jerman yang dipasangnya di setiap sudut kamar. Sama denganku, kegilaannya pada tim Jerman tetap bertahan hingga sekarang. Satu hal yang sama-sama kami sukai dari tim Jerman adalah, selebrasi Klose setiap kali mencetak gol, yaitu selalu melakukan salto.
Sayang, pada final Piala Dunia 2002 waktu itu, langkah Jerman merengkuh gelar tim terbaik dunia mesti pupus di tangan Brasil. Dua gol dari pemain paling sensasional waktu itu, Ronaldo membungkam langkah Jerman yang bermain tanpa kapten mereka, Michael Ballack yang terkena akumulasi kartu kuning dalam laga melawan Korea Selatan di babak semifinal sebelumnya. Aku ingat, saat itu aku menyaksikan laga final di sebuah rumah makan dalam perjalanan pulang selepas melakukan study tour sekolah ke Yogyakarta. Perasaanku waktu itu begitu hancur, sedih menyaksikan kegagalan tim yang kugadang-gadang juara.
Meski kalah, hatiku tetap bertahan untuk tim Jerman. Aku meyakini, bahwa pada turnamen-turnamen berikutnya, Jerman pasti akan juara. Maka, setiap ada turnamen besar yaitu Piala Eropa dan Piala Dunia, aku selalu mendukung tim ini. Karenanya, dua tahun berselang saat Piala Eropa 2004 digelar di Portugal, aku mendukung penuh Jerman yang masih dalam asuhan Rudi Voeller. Sayangnya, kala itu Jerman mencatatkan hasil buruk. Mereka gagal lolos dari fase grup dan tak sekalipun mencatatkan kemenangan. Imbang melawan Estonia dan ditekuk Republik Ceko.
Kegagalan Jerman di Piala Eropa itu sempat membuatku pikir-pikir mengganti tim unggulan. Namun, entah kenapa aku tetap mendukung tim Jerman. Rasanya, hanya Jerman yang cocok di hatiku. Ini mungkin karena aku menyelami riwayat tim Jerman begitu dalam. Waktu itu aku banyak tahu tentang tim Jerman, tentang para pemain mereka, sejarah mereka di turnamen-turnamen dunia. Aku begitu terhanyut dalam atmosfer sepak bola Jerman yang dijuluki tim Panser karena mereka permainan mereka akan semakin maksimal ketika kondisi mereka semakin ‘memanas’. Seperti panser.
Saking senangnya pada tim Jerman, aku mulai mengikuti liga lokal mereka, Bundesliga yang saat itu ditayangkan RCTI walaupun hanya satu musim. Bayern Munchen, klub Jerman bertabung bintang hingga dijuluki FC Hollywood menjadi klub Jerman favoritku. Selain karena permainan mereka yang bagus di tangan Ottmar Hidfield waktu itu, klub ini juga dihuni kiper favoritku, Oliver Kahn. Karenanya, setiap kali Bayern Munchen bertanding di Liga Champions, aku selalu berusaha menyempatkan waktu menontonnya.
Hingar bingar Piala Dunia lantas berlanjut tahun 2006, dengan Jerman yang bertindak sebagai tuan rumah. Sebagai tuan rumah, Jerman memiliki banyak keuntungan. Karenanya, kala itu aku begitu optimistis tim ini bakal menjadi juara di tanah sendiri. Kemenangan Jerman melawan Polandia 2 – 0 di laga pembuka waktu itu membuatku semakin yakin, kesebelasan yang kali ini diarsiteki Juergen Klinsmann, mantan pemain bintang Jerman bakal menjadi juara. Di bawah kepelatihannya, Klinsmann merencanakan regenerasi sepak bola Jerman untuk jangka panjang, dengan lebih banyak memasukkan pemain-pemain muda. Dialah yang membuat pondasi kebangkitan sepak bola Jerman.
Sayangnya, lagi-lagi aku harus menunda keinginanku menyaksikan Jerman memenangkan Piala Dunia. Karena di semifinal tim ini takluk dari 0 – 1 Italia dalam babak perpanjangan waktu. Aku ingat kala itu bersamaan dengan kelulusanku dari bangku SMA. Sangat sedih memang, tapi bagaimanapun aku harus kembali bisa menerima kekalahan itu. Jerman sendiri bermain bagus tahun itu, dan Italia yang waktu itu tengah dirudung skandal mafia wasit memang lebih unggul dari mereka.
Dua tahun berikutnya, di Piala Eropa 2008 Swiss-Austria, permainan buruk Jerman di Portugal tak terulang. Mereka tampil baik dengan pemain-pemain baru, di antaranya Bastian Schweinsteiger yang begitu emosional. Aku ingat Bastian mendapat kartu merah saat melawan Kroasia di fase grup, gara-gara sikap kasarnya. Aku ingat pula pada pertandingan yang begitu emosional tersebut, pelatih Jerman yang kali ini dijabat Joachim Loew bersama pelatih Kroasia (aku lupa namanya, tapi orang ini sangat stylish) diusir dari lapangan gara-gara bersitegang di lapangan.
Meski tampil bagus, namun menurutku kekompakan tim sangat kurang. Beberapa pemain terjebak dalam permainan individu dan ingin menunjukkan keahlian mereka masing-masing. Tampaknya Joachim Loew yang saat itu menjadi awal kariernya melatih tim Jerman belum bisa menemukan pola yang tepat. Walhasil, Jerman yang sukses melaju ke final mesti menunda kembali keberhasilan mereka setelah ditaklukkan Spanyol. Aku ingat betapa emosionalnya diriku menyaksikan laga pamungkas saat itu. (bersambung ke bagian kedua)