Baca bagian pertamanya di sini.
Tahun 2010, ketika Piala Dunia untuk pertama kalinya menjejak benua Hitam Afrika, tepatnya di Afrika Selatan, asa juara dunia kembali dibangun. Permainan tim Jerman pun begitu baik. Menumbangkan Inggris 3 – 1 di perdelapan final dan mencukur Argentina 4 – 0 di perempat final. Tapi semua prestasi bagus yang membuatku begitu berapi-api mendukung tim andalanku itu pupus begitu saja di babak semifinal. Mereka sekali lagi mesti mengakui keunggulan tim Spanyol, yang menaklukkan mereka dengan skor 0 – 1 berkat gol yang tercipta dari kepala pemain Spanyol, Puyol.
Empat tahun kemudian, tahun ini dalam Piala Dunia 2014 yang digelar di Brasil, aku tetap memfavoritkan Jerman menjadi juara. Banyak pemain baru, namun wajah-wajah lama yang muncul pada Piala Dunia 2010 kembali menyapa. Klose, Neuer, Ozil, Mertesecker, Khedira, Schweinsteiger, Muller, Lahm, kembali mendapat perhatianku. Sayang, aku tak bisa menyaksikan setiap laga yang mereka mainkan mulai dari babak penyisihan hingga perempat final.
Masalahnya, aku tak punya televisi di rumah. Sejak pindah ke kontrakan dan hidup bersama istriku, aku memang sengaja tak membeli televisi. Pasalnya, dalam waktu dekat aku merencanakan untuk pindah kembali ke Jawa. Karenanya, akan merepotkan nantinya bila aku pindahan. Selain tak punya televisi, tuntutan pekerjaan sebagai wartawan sekaligus redaktur membuatku tak mampu bertahan dini hari, mengingat pekerjaanku sampai malam. Memang sih ada televisi di kantor, tapi sebagai suami yang baik, aku mesti segera pulang ke rumah menemani istriku yang tengah hamil tua.
Informasi keberhasilan Jerman mengalahkan lawan-lawannya sejak babak penyisihan pun kudapatkan dari berita-berita di internet dan tentu saja, halaman Top Sport Bontang Post. Meski hanya membaca beritanya, aku sudah begitu senang, misalnya ketika Jerman menghabisi Portugal 4 – 0 di babak penyisihan. Betapa senangnya aku ketika Jerman berhasil mencapai babak semifinal setelah mengalahkan Prancis 1 – 0.
Namun, hasrat sebagai penggemar tim Jerman terus bergejolak di hatiku. Aku tak puas hanya mendengar kabar kemenangan mereka, aku ingin menyaksikan kemenangan mereka! Karena itu, aku membulatkan tekad untuk bisa menyaksikan semifinal Jerman melawan tuan rumah Brasil. Mengajak istriku, selepas sahur kami lantas pergi ke luar, mencari lokasi nonton bareng (bareng) yang tenang. Sayangnya, semua lokasi itu begitu ramai dan penuh asap rokok.
Kami berdua lantas berkeliling Bontang di awal pertandingan, mencari lokasi nobar. Yang membuat kami heran, setiap kali kali melintasi arena nobar, selalu terdengar teriakan ‘GOL!’. Sekilas, aku melihat Jerman yang menciptakan gol. Lalu saat berhenti di salah satu kafe, aku baru mengetahui Jerman unggul dengan empat gol tanpa balas! Aku dan istri terkejut. Mendengar hasil itu membuatku cukup puas, dan kami memutuskan pulang ke rumah setelah mulai turun rintik-rintik hujan.
Dalam perjalanan pulang, temanku Dian yang juga menjagokan Jerman (setelah Spanyol pulang dengan memalukan) melepon, menyampaikan keberhasilan Jerman dengan empat golnya. Berikutnya, dia mengirimkan SMS yang menginformasikan skor 5 – 0 di akhir babak pertama. Baru pada paginya, kuketahui hasil akhir pertandingan dengan kemenangan Jerman yang fantastis, 7 – 1! Aku tak percaya, tuan rumah Brasil yang begitu diunggulkan banyak orang (termasuk Manajer Top Sport Guntur Marchista Sunan) bisa dibantai begitu menyedihkan. Jerman sukses mempermalukan tuan rumah, membuka jalan sekali lagi ke final Piala Dunia sejak final terakhir mereka di 2002, tahun di mana aku pertama kali mengidolai skuad Panser.
Keberhasilan Jerman menembus final membuka kembali memoriku di 2002. Bila saat itu Jerman gagal, aku begitu optimistis di final kali ini Jerman bakal berjaya. Keyakinanku itu berkaca pada prestasi Jerman di setiap turnamen yang diikutinya. Dari pengamatanku, sejak 2002 Jerman tampil begitu perkasa hampir di setiap turnamen, bisa dibilang tim ini menjadi tim spesialis turnamen. Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, mereka selalu berhasil menembus semifinal Piala Dunia. Tak ada tim yang begitu konsisten seperti Jerman yang selalu mencatatkan rekor ini.
Salah satu faktor lain yang membuatku begitu yakin bahwa Piala Dunia kali ini bakal menjadi milik Jerman adalah komposisi pemain mereka. Joachim Loew telah begitu lama melatih Jerman, sejak Piala Eropa 2008. Pemain-pemain yang dipilih Loew untuk skuad panser sendiri merupakan pemain-pemain yang telah dibinanya sejak mereka masih muda. Dengan pengalaman-pengalaman pada turnamen-turnamen sebelumnya, dan komposisi pemain yang tak banyak berubah, tentu strategi Loew semakin dipahami Philip Lahm dan kawan-kawan, Kekompakan antarpemain pun mencapai puncaknya. Karenanya, sangat disayangkan bila kali ini Jerman kembali gagal.
Ujian terakhir Jerman untuk merengkuh gelar juara ini adalah Argentina yang mereka hadapi di laga pamungkas, final. Argentina bukan lawan yang mudah, tim tango asuhan Sabella ini juga layak juara. Pertahanan hebat Lionel Messi dan kawan-kawan membuat Belanda mesti pulang melalui drama adu penalti. Baik Jerman dan Argentina, keduanya adalah tim dengan sejarah juara piala dunia. Mereka pernah bertemu di final Piala Dunia 1986 dan 1990, saat Jerman masih bernama Jerman Barat. Di 1986, Argentina menang berkat pemain legendaris mereka, Diego Maradona. Sementara di 1990, Jerman yang menang.
Final 2014 ini pun menjadi ajang balas dendam bagi Argentina yang dicukur 0 – 4 oleh Jerman di perempat final Piala Dunia 2010. Kekalahan itu membuat seolah Argentina tak bertaji dan hanya mengandalkan seorang pemain terbaik dunia, Lionel Messi. Namun ceritanya bakal berbeda di 2014 ini. Argentina di bawah asuhan Sabella bangkit, mereka kini sadar benar bahwa sepak bola adalah permainan tim, bukan hanya milik Messi. Perjalanan di sepanjang Piala Dunia 2014 memberikan pelajaran tersebut.
Dengan final terbaik yang mempertemukan tim kuat Eropa melawan tim kuat Amerika Latin, tentu final ini sayang dilewatkan. Apalagi yang bermain adalah Jerman, yang telah ‘kubela’ sejak 2002. Karena itu, aku pun merencanakan untuk menyaksikan pertandingan final ini secara langsung (maksudnya lewat TV). Sehari sebelum final dimulai, aku bertekad mencari lokasi tepat untuk menonton, mengingat di rumah tidak ada televisi. Aku merencanakan sahur sekaligus nonton di warung pecel lele yang sempat kulihat menyalakan siaran piala dunia. (bersambung ke bagian ketiga)
Tahun 2010, ketika Piala Dunia untuk pertama kalinya menjejak benua Hitam Afrika, tepatnya di Afrika Selatan, asa juara dunia kembali dibangun. Permainan tim Jerman pun begitu baik. Menumbangkan Inggris 3 – 1 di perdelapan final dan mencukur Argentina 4 – 0 di perempat final. Tapi semua prestasi bagus yang membuatku begitu berapi-api mendukung tim andalanku itu pupus begitu saja di babak semifinal. Mereka sekali lagi mesti mengakui keunggulan tim Spanyol, yang menaklukkan mereka dengan skor 0 – 1 berkat gol yang tercipta dari kepala pemain Spanyol, Puyol.
Empat tahun kemudian, tahun ini dalam Piala Dunia 2014 yang digelar di Brasil, aku tetap memfavoritkan Jerman menjadi juara. Banyak pemain baru, namun wajah-wajah lama yang muncul pada Piala Dunia 2010 kembali menyapa. Klose, Neuer, Ozil, Mertesecker, Khedira, Schweinsteiger, Muller, Lahm, kembali mendapat perhatianku. Sayang, aku tak bisa menyaksikan setiap laga yang mereka mainkan mulai dari babak penyisihan hingga perempat final.
Masalahnya, aku tak punya televisi di rumah. Sejak pindah ke kontrakan dan hidup bersama istriku, aku memang sengaja tak membeli televisi. Pasalnya, dalam waktu dekat aku merencanakan untuk pindah kembali ke Jawa. Karenanya, akan merepotkan nantinya bila aku pindahan. Selain tak punya televisi, tuntutan pekerjaan sebagai wartawan sekaligus redaktur membuatku tak mampu bertahan dini hari, mengingat pekerjaanku sampai malam. Memang sih ada televisi di kantor, tapi sebagai suami yang baik, aku mesti segera pulang ke rumah menemani istriku yang tengah hamil tua.
Informasi keberhasilan Jerman mengalahkan lawan-lawannya sejak babak penyisihan pun kudapatkan dari berita-berita di internet dan tentu saja, halaman Top Sport Bontang Post. Meski hanya membaca beritanya, aku sudah begitu senang, misalnya ketika Jerman menghabisi Portugal 4 – 0 di babak penyisihan. Betapa senangnya aku ketika Jerman berhasil mencapai babak semifinal setelah mengalahkan Prancis 1 – 0.
Namun, hasrat sebagai penggemar tim Jerman terus bergejolak di hatiku. Aku tak puas hanya mendengar kabar kemenangan mereka, aku ingin menyaksikan kemenangan mereka! Karena itu, aku membulatkan tekad untuk bisa menyaksikan semifinal Jerman melawan tuan rumah Brasil. Mengajak istriku, selepas sahur kami lantas pergi ke luar, mencari lokasi nonton bareng (bareng) yang tenang. Sayangnya, semua lokasi itu begitu ramai dan penuh asap rokok.
Kami berdua lantas berkeliling Bontang di awal pertandingan, mencari lokasi nobar. Yang membuat kami heran, setiap kali kali melintasi arena nobar, selalu terdengar teriakan ‘GOL!’. Sekilas, aku melihat Jerman yang menciptakan gol. Lalu saat berhenti di salah satu kafe, aku baru mengetahui Jerman unggul dengan empat gol tanpa balas! Aku dan istri terkejut. Mendengar hasil itu membuatku cukup puas, dan kami memutuskan pulang ke rumah setelah mulai turun rintik-rintik hujan.
Dalam perjalanan pulang, temanku Dian yang juga menjagokan Jerman (setelah Spanyol pulang dengan memalukan) melepon, menyampaikan keberhasilan Jerman dengan empat golnya. Berikutnya, dia mengirimkan SMS yang menginformasikan skor 5 – 0 di akhir babak pertama. Baru pada paginya, kuketahui hasil akhir pertandingan dengan kemenangan Jerman yang fantastis, 7 – 1! Aku tak percaya, tuan rumah Brasil yang begitu diunggulkan banyak orang (termasuk Manajer Top Sport Guntur Marchista Sunan) bisa dibantai begitu menyedihkan. Jerman sukses mempermalukan tuan rumah, membuka jalan sekali lagi ke final Piala Dunia sejak final terakhir mereka di 2002, tahun di mana aku pertama kali mengidolai skuad Panser.
Keberhasilan Jerman menembus final membuka kembali memoriku di 2002. Bila saat itu Jerman gagal, aku begitu optimistis di final kali ini Jerman bakal berjaya. Keyakinanku itu berkaca pada prestasi Jerman di setiap turnamen yang diikutinya. Dari pengamatanku, sejak 2002 Jerman tampil begitu perkasa hampir di setiap turnamen, bisa dibilang tim ini menjadi tim spesialis turnamen. Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, mereka selalu berhasil menembus semifinal Piala Dunia. Tak ada tim yang begitu konsisten seperti Jerman yang selalu mencatatkan rekor ini.
Salah satu faktor lain yang membuatku begitu yakin bahwa Piala Dunia kali ini bakal menjadi milik Jerman adalah komposisi pemain mereka. Joachim Loew telah begitu lama melatih Jerman, sejak Piala Eropa 2008. Pemain-pemain yang dipilih Loew untuk skuad panser sendiri merupakan pemain-pemain yang telah dibinanya sejak mereka masih muda. Dengan pengalaman-pengalaman pada turnamen-turnamen sebelumnya, dan komposisi pemain yang tak banyak berubah, tentu strategi Loew semakin dipahami Philip Lahm dan kawan-kawan, Kekompakan antarpemain pun mencapai puncaknya. Karenanya, sangat disayangkan bila kali ini Jerman kembali gagal.
Ujian terakhir Jerman untuk merengkuh gelar juara ini adalah Argentina yang mereka hadapi di laga pamungkas, final. Argentina bukan lawan yang mudah, tim tango asuhan Sabella ini juga layak juara. Pertahanan hebat Lionel Messi dan kawan-kawan membuat Belanda mesti pulang melalui drama adu penalti. Baik Jerman dan Argentina, keduanya adalah tim dengan sejarah juara piala dunia. Mereka pernah bertemu di final Piala Dunia 1986 dan 1990, saat Jerman masih bernama Jerman Barat. Di 1986, Argentina menang berkat pemain legendaris mereka, Diego Maradona. Sementara di 1990, Jerman yang menang.
Final 2014 ini pun menjadi ajang balas dendam bagi Argentina yang dicukur 0 – 4 oleh Jerman di perempat final Piala Dunia 2010. Kekalahan itu membuat seolah Argentina tak bertaji dan hanya mengandalkan seorang pemain terbaik dunia, Lionel Messi. Namun ceritanya bakal berbeda di 2014 ini. Argentina di bawah asuhan Sabella bangkit, mereka kini sadar benar bahwa sepak bola adalah permainan tim, bukan hanya milik Messi. Perjalanan di sepanjang Piala Dunia 2014 memberikan pelajaran tersebut.
Dengan final terbaik yang mempertemukan tim kuat Eropa melawan tim kuat Amerika Latin, tentu final ini sayang dilewatkan. Apalagi yang bermain adalah Jerman, yang telah ‘kubela’ sejak 2002. Karena itu, aku pun merencanakan untuk menyaksikan pertandingan final ini secara langsung (maksudnya lewat TV). Sehari sebelum final dimulai, aku bertekad mencari lokasi tepat untuk menonton, mengingat di rumah tidak ada televisi. Aku merencanakan sahur sekaligus nonton di warung pecel lele yang sempat kulihat menyalakan siaran piala dunia. (bersambung ke bagian ketiga)