Baca bagian pertamanya di sini, dan bagian keduanya di sini.
Senin (14/7) pagi, istriku membangunkanku pukul 03.30 Wita. Awalnya aku malas, tapi kemudian aku memantapkan diri untuk pergi karena pertandingan ini hanya sekali dalam empat tahun. Dan ini mungkin kesempatan pertama sekaligus terakhirku melihat Jerman menjadi juara dunia. Aku dan istriku pun pergi keluar rumah, menuju warung pecel lele di samping Plaza Taman yang sudah kuincar sejak sehari sebelumnya. Dan benar saja, mereka sedang menyaksikan final Piala Dunia yang tengah turun minum babak pertama dengan skor sementara masih 0 - 0. Rupanya final disiarkan sejak pukul 03.00 Wita, tidak seperti yang dikatakan Kahar Rhaden, layouter halaman Top Sport yang menyebut final dimulai pukul 04.00 Wita.
Aku dan istri kemudian memesan makanan, pecel lele dan ayam lalapan. Tak lama, babak kedua dimulai dan aku hanyut dalam atmosfer serunya partai final. Bagiku tak masalah ketinggalan satu babak, karena aku sempat melihat highlight peluang-peluang yang terjadi di babak pertama. Kami berdua tak sendirian menyaksikan laga final di warung itu, ada juga empat remaja laki-laki, seorang satpam, seorang fans debgan jersey Chelsea, dan tentu saja pemilik warung. Dan yeah, inilah pertama kali sekaligus terakhir kalinya aku menyaksikan Jerman bermain di Piala Dunia 2014, meski ketinggalan satu babak. Tentunya, kuharap Jerman menang.
Menyaksikan jalannya babak kedua membuatku harap-harap cemas. Aku begitu tegang, mengingat begitu banyak peluang yang tercipta. Apalagi ketika beberapa kali Argentina membahayakan gawang Jerman yang dikawal kipernya, Manuel Neuer. Meski begitu, hingga penghujung babak kedua tak ada satu pun gol yang tercipta. Kedua tim sama-sama bermain baik, dan pertahanan masing-masing begitu terjaga. Skor kacamata ini membuat pertandingan mesti dilanjutkan dalam babak perpanjangan waktu.
Ketegangan berlanjut di babak perpanjangan waktu. Peluang-peluang emas tercipta, termasuk ketika salah seorang pemain tim Tango melambungkan bola ke arah gawang Jerman, serta tendangan Lionel Messi yang masih melebar. Bukan hanya peluang emas yang tercipta, tapi juga banyaknya pelanggaran yang terjadi, menyiratkan betapa panasnya duel bertensi tinggi ini. Yang membuatku tergelitik adalah betapa seringnya pelanggaran diterima Bastian Schweinsteiger. Bahkan hingga membuat pipinya berdarah terkena hantaman tangan pemain Argentina. Bastian tampak kasihan sekali, berbeda dengan sikap kasarnya yang dulu sering kulihat.
Tentu saja dalam babak perpanjangan waktu ini aku berharap Jerman berhasil mencetak gol. Karena bila dua kali babak perpanjangan waktu belum juga terjadi gol, hasil pertandingan mesti ditentukan melalui drama adu penalti. Siapapun, tim manapun tak pernah berharap melewati adu penalti untuk menentukan hasil. Karena adu penalti adalah adu keberuntungan. Ini yang kukhawatirkan, apalagi Argentina cukup berpengalaman dalam adu penalti ketika mengandaskan tim oranje Belanda. Aku tak mau kesempatan Jerman menjadi juara kembali lenyap. Piala Dunia tahun ini mesti jadi milik Jerman!
Dan benar saja, harapanku itu akhirnya terkabul. Adalah Mario Goetze, pemain pengganti yang menggantikan Miroslav Klose itu menjadi pahlawan Panser. Berkat gol cantiknya ke gawang Argentina yang dikawal Sergio Remoero di menit ke-113, Jerman berhasil unggul satu gol. Secara refleks aku pun berteriak “GOL!” ketika gol itu terjadi. Teriakan yang cukup keras hingga kusadari ternyata hanya aku yang berteriak di antara penonton lainnya di warung itu. Sepertinya penonton lain menjagokan Argentina, apalagi sang satpam yang tampak begitu kesal dengan terciptanya gol tersebut.
Tapi masih ada tujuh menit yang mesti dipertahankan sebelum akhirnya memastikan Jerman menjadi juara dunia. Delapan menit yang begitu krusial, begitu menegangkan, membuatku tak bisa melepaskan tatapan dari monitor televisi. Apalagi beberapa kali Argentina mengancam gawang Jerman. Bahkan di menit-menit akhir, pelanggaran yang dilakukan Bastian Schweinsteiger (sumpah, nulis nama belakang orang ini melelahkan sekali) membuahkan tendangan bebas di dekat kotak penalti yang membahayakan. Apalagi eksekutornya adalah Lionel Messi!
Aku harap-harap cemas menantikan tendangan si anak emas… yang ternyata melenceng di atas mistar gawang! Dan beberapa detik kemudian peluit wasit berbunyi panjang… Jerman JUARA!!! Aku tak percaya dengan yang kulihat. Akhirnya, akhirnya aku melihat keberhasilan Jerman menjadi juara dunia. Akhirnya sejak menggilai tim ini di tahun 2002, aku menyaksikan kemenangan mereka di partai final. Benar-benar sebuah pengalaman yang sangat membahagiakan. Aku benar-benar beruntung bisa menyaksikan momen kemenangan itu secara langsung (walaupun cuma lewat televisi).
Dengan keberhasilan Jerman menjadi juara, yang pasti telah memuaskan rasa dahagaku selama 12 tahun. Aku sudah puas sekarang. Tak masalah bila di kemudian hari Jerman gagal menjadi juara, yang terpenting aku pernah menyaksikan mereka menjadi juara, merasakan kemenangan mereka. Yang artinya, penantian dan dukunganku selama ini tak sia-sia. Jerman memang layak juara. Memang sudah waktunya mereka juara. Mereka layak menjadi juara dunia, memberikan pelajaran kepada tim-tim lain bahwa nama besar pemain yang dimiliki bukanlah jaminan juara.
Ya, bila dibandingkan pemain-pemain dari tim negara lain yang berlaga di liga-liga Eropa, nama para pemain Jerman masih kalah populer. Nama-nama mereka kalah populer dari pemain seperti Lionel Messi dari Argentina atau Christiano Ronaldo dari Portugal, keduanya pernah menyandang gelar pemain terbaik dunia. Tapi toh mereka bukan jaminan meraih juara, walaupun mereka berkontribusi besar pada klub mereka masing-masing. Apa gunanya menjadi pemain terbaik dunia bila belum bisa membawa gelar juara bagi tim negara mereka. Karena faktanya, Piala Dunia adalah mengenai kerja sama tim dan semangat nasionalisme untuk membawa nama baik bangsa.
Jerman juga memberikan pelajaran kepada tim-tim lainnya agar tidak terbuai dalam nama besar, sehingga menjadi angkuh, atau melupakan pembinaan generasi-generasi baru. Lihat betapa sang juara bertahan Spanyol mesti pulang di babak penyisihan. Lihat betapa tim-tim yang difavoritkan banyak penggemar bola Indonesia seperti Inggris dan Italia tak bisa berbicara banyak, sama-sama senasib dengan Spanyol. Terkalahkan di babak penyisihan, pulang lebih cepat.
Kemudian ada Brasil, yang tampaknya terlena sebagai tim besar Amerika Latin. Hingga mereka dipermalukan Jerman, yang menurutku benar-benar memalukan. Okelah, Brasil boleh saja kalah karena Jerman lebih unggul, tapi bukan dengan skor yang begitu besar, 1 – 7. Kekalahan ini bukan hanya mempermalukan Brasil sebagai tuan rumah, tapi juga sebagai tim besar sepak bola Amerika Latin, peraih gelar lima kali juara Piala Dunia. Dari ulasan yang saya baca, kegagalan Brasil karena ketergantungan atas pemain tertentu. Sehingga ketika pemain tersebut tak dapat bermain, pertahanan jadi kacau balau. Katanya juga, tidak ada regenerasi pemain yang tepat di tim Brasil, akibatnya Brasil kerap mengandalkan pemain-pemain tua.
Apa yang dialami Brasil jelas berbeda dengan Jerman yang telah mempersiapkan tim dengan begitu matang sejak tahun-tahun sebelumnya. Joachim Loew bukan sekadar melatih tim, dia membentuk tim ideal untuk waktu yang tepat, dengan kombinasi pemain muda dan pemain senior. Dan waktu yang tepat itu adalah tahun ini, kembali menjadi juara dunia sejak gelar juara terakhir mereka, 24 tahun lalu. Butuh sepuluh tahun bagi Jerman untuk bangkit setelah penampilan memalukan di Piala Eropa 2004.
Proyek ambisius peremajaan tim pun dibangun sejak Juergen Klinsman menggantikan Rudi Voeller menangani tim Jerman di 2006. Juergen Klinsmann merencanakan regenerasi pemain Jerman jangka panjang, dengan memasukkan banyak pemain muda. Langkah ini dilanjutkan Joachim Loew yang menggantikannya di 2008, membawa Jerman perlahan menapak ke atas, tampil dengan permainan sepak bola indah yang penuh kolektivitas di setiap turnamen, selalu menembus empat besar. Generasi emas Jerman class of 2006 pun terbentuk, dan kini menasbihkan diri sebagai tim sepak bola terbaik se-dunia di 2014. Memang benar prediksi Abah Dahlan Iskan, tahun ini Jerman yang jadi juara Piala Dunia.... dan aku menyaksikannya di warung pecel lele! (habis/luk)
Catatan:
Pemandangan menarik tampak seusai Jerman memastikan diri menjadi juara. Pemain Jerman Mario Goetze terus melambaikan jersey yang bukan miliknya hingga selebrasi perayaan juara. Rupanya, jersey bernomor 21 itu adalah milik Marco Reus, pemain tim Jerman yang merupakan sahabat karib Goetze ketika bermain di klub Borussia Dortmund hingga membela tim Panser. Dikibarkannya jersey tersebut merupakan penghormatan terhadap Reus, dan penanda bahwa Jerman tak melupakan rekan setim mereka. Menarik.
Senin (14/7) pagi, istriku membangunkanku pukul 03.30 Wita. Awalnya aku malas, tapi kemudian aku memantapkan diri untuk pergi karena pertandingan ini hanya sekali dalam empat tahun. Dan ini mungkin kesempatan pertama sekaligus terakhirku melihat Jerman menjadi juara dunia. Aku dan istriku pun pergi keluar rumah, menuju warung pecel lele di samping Plaza Taman yang sudah kuincar sejak sehari sebelumnya. Dan benar saja, mereka sedang menyaksikan final Piala Dunia yang tengah turun minum babak pertama dengan skor sementara masih 0 - 0. Rupanya final disiarkan sejak pukul 03.00 Wita, tidak seperti yang dikatakan Kahar Rhaden, layouter halaman Top Sport yang menyebut final dimulai pukul 04.00 Wita.
Aku dan istri kemudian memesan makanan, pecel lele dan ayam lalapan. Tak lama, babak kedua dimulai dan aku hanyut dalam atmosfer serunya partai final. Bagiku tak masalah ketinggalan satu babak, karena aku sempat melihat highlight peluang-peluang yang terjadi di babak pertama. Kami berdua tak sendirian menyaksikan laga final di warung itu, ada juga empat remaja laki-laki, seorang satpam, seorang fans debgan jersey Chelsea, dan tentu saja pemilik warung. Dan yeah, inilah pertama kali sekaligus terakhir kalinya aku menyaksikan Jerman bermain di Piala Dunia 2014, meski ketinggalan satu babak. Tentunya, kuharap Jerman menang.
Menyaksikan jalannya babak kedua membuatku harap-harap cemas. Aku begitu tegang, mengingat begitu banyak peluang yang tercipta. Apalagi ketika beberapa kali Argentina membahayakan gawang Jerman yang dikawal kipernya, Manuel Neuer. Meski begitu, hingga penghujung babak kedua tak ada satu pun gol yang tercipta. Kedua tim sama-sama bermain baik, dan pertahanan masing-masing begitu terjaga. Skor kacamata ini membuat pertandingan mesti dilanjutkan dalam babak perpanjangan waktu.
Ketegangan berlanjut di babak perpanjangan waktu. Peluang-peluang emas tercipta, termasuk ketika salah seorang pemain tim Tango melambungkan bola ke arah gawang Jerman, serta tendangan Lionel Messi yang masih melebar. Bukan hanya peluang emas yang tercipta, tapi juga banyaknya pelanggaran yang terjadi, menyiratkan betapa panasnya duel bertensi tinggi ini. Yang membuatku tergelitik adalah betapa seringnya pelanggaran diterima Bastian Schweinsteiger. Bahkan hingga membuat pipinya berdarah terkena hantaman tangan pemain Argentina. Bastian tampak kasihan sekali, berbeda dengan sikap kasarnya yang dulu sering kulihat.
Tentu saja dalam babak perpanjangan waktu ini aku berharap Jerman berhasil mencetak gol. Karena bila dua kali babak perpanjangan waktu belum juga terjadi gol, hasil pertandingan mesti ditentukan melalui drama adu penalti. Siapapun, tim manapun tak pernah berharap melewati adu penalti untuk menentukan hasil. Karena adu penalti adalah adu keberuntungan. Ini yang kukhawatirkan, apalagi Argentina cukup berpengalaman dalam adu penalti ketika mengandaskan tim oranje Belanda. Aku tak mau kesempatan Jerman menjadi juara kembali lenyap. Piala Dunia tahun ini mesti jadi milik Jerman!
Dan benar saja, harapanku itu akhirnya terkabul. Adalah Mario Goetze, pemain pengganti yang menggantikan Miroslav Klose itu menjadi pahlawan Panser. Berkat gol cantiknya ke gawang Argentina yang dikawal Sergio Remoero di menit ke-113, Jerman berhasil unggul satu gol. Secara refleks aku pun berteriak “GOL!” ketika gol itu terjadi. Teriakan yang cukup keras hingga kusadari ternyata hanya aku yang berteriak di antara penonton lainnya di warung itu. Sepertinya penonton lain menjagokan Argentina, apalagi sang satpam yang tampak begitu kesal dengan terciptanya gol tersebut.
Tapi masih ada tujuh menit yang mesti dipertahankan sebelum akhirnya memastikan Jerman menjadi juara dunia. Delapan menit yang begitu krusial, begitu menegangkan, membuatku tak bisa melepaskan tatapan dari monitor televisi. Apalagi beberapa kali Argentina mengancam gawang Jerman. Bahkan di menit-menit akhir, pelanggaran yang dilakukan Bastian Schweinsteiger (sumpah, nulis nama belakang orang ini melelahkan sekali) membuahkan tendangan bebas di dekat kotak penalti yang membahayakan. Apalagi eksekutornya adalah Lionel Messi!
Aku harap-harap cemas menantikan tendangan si anak emas… yang ternyata melenceng di atas mistar gawang! Dan beberapa detik kemudian peluit wasit berbunyi panjang… Jerman JUARA!!! Aku tak percaya dengan yang kulihat. Akhirnya, akhirnya aku melihat keberhasilan Jerman menjadi juara dunia. Akhirnya sejak menggilai tim ini di tahun 2002, aku menyaksikan kemenangan mereka di partai final. Benar-benar sebuah pengalaman yang sangat membahagiakan. Aku benar-benar beruntung bisa menyaksikan momen kemenangan itu secara langsung (walaupun cuma lewat televisi).
Dengan keberhasilan Jerman menjadi juara, yang pasti telah memuaskan rasa dahagaku selama 12 tahun. Aku sudah puas sekarang. Tak masalah bila di kemudian hari Jerman gagal menjadi juara, yang terpenting aku pernah menyaksikan mereka menjadi juara, merasakan kemenangan mereka. Yang artinya, penantian dan dukunganku selama ini tak sia-sia. Jerman memang layak juara. Memang sudah waktunya mereka juara. Mereka layak menjadi juara dunia, memberikan pelajaran kepada tim-tim lain bahwa nama besar pemain yang dimiliki bukanlah jaminan juara.
Ya, bila dibandingkan pemain-pemain dari tim negara lain yang berlaga di liga-liga Eropa, nama para pemain Jerman masih kalah populer. Nama-nama mereka kalah populer dari pemain seperti Lionel Messi dari Argentina atau Christiano Ronaldo dari Portugal, keduanya pernah menyandang gelar pemain terbaik dunia. Tapi toh mereka bukan jaminan meraih juara, walaupun mereka berkontribusi besar pada klub mereka masing-masing. Apa gunanya menjadi pemain terbaik dunia bila belum bisa membawa gelar juara bagi tim negara mereka. Karena faktanya, Piala Dunia adalah mengenai kerja sama tim dan semangat nasionalisme untuk membawa nama baik bangsa.
Jerman juga memberikan pelajaran kepada tim-tim lainnya agar tidak terbuai dalam nama besar, sehingga menjadi angkuh, atau melupakan pembinaan generasi-generasi baru. Lihat betapa sang juara bertahan Spanyol mesti pulang di babak penyisihan. Lihat betapa tim-tim yang difavoritkan banyak penggemar bola Indonesia seperti Inggris dan Italia tak bisa berbicara banyak, sama-sama senasib dengan Spanyol. Terkalahkan di babak penyisihan, pulang lebih cepat.
Kemudian ada Brasil, yang tampaknya terlena sebagai tim besar Amerika Latin. Hingga mereka dipermalukan Jerman, yang menurutku benar-benar memalukan. Okelah, Brasil boleh saja kalah karena Jerman lebih unggul, tapi bukan dengan skor yang begitu besar, 1 – 7. Kekalahan ini bukan hanya mempermalukan Brasil sebagai tuan rumah, tapi juga sebagai tim besar sepak bola Amerika Latin, peraih gelar lima kali juara Piala Dunia. Dari ulasan yang saya baca, kegagalan Brasil karena ketergantungan atas pemain tertentu. Sehingga ketika pemain tersebut tak dapat bermain, pertahanan jadi kacau balau. Katanya juga, tidak ada regenerasi pemain yang tepat di tim Brasil, akibatnya Brasil kerap mengandalkan pemain-pemain tua.
Apa yang dialami Brasil jelas berbeda dengan Jerman yang telah mempersiapkan tim dengan begitu matang sejak tahun-tahun sebelumnya. Joachim Loew bukan sekadar melatih tim, dia membentuk tim ideal untuk waktu yang tepat, dengan kombinasi pemain muda dan pemain senior. Dan waktu yang tepat itu adalah tahun ini, kembali menjadi juara dunia sejak gelar juara terakhir mereka, 24 tahun lalu. Butuh sepuluh tahun bagi Jerman untuk bangkit setelah penampilan memalukan di Piala Eropa 2004.
Proyek ambisius peremajaan tim pun dibangun sejak Juergen Klinsman menggantikan Rudi Voeller menangani tim Jerman di 2006. Juergen Klinsmann merencanakan regenerasi pemain Jerman jangka panjang, dengan memasukkan banyak pemain muda. Langkah ini dilanjutkan Joachim Loew yang menggantikannya di 2008, membawa Jerman perlahan menapak ke atas, tampil dengan permainan sepak bola indah yang penuh kolektivitas di setiap turnamen, selalu menembus empat besar. Generasi emas Jerman class of 2006 pun terbentuk, dan kini menasbihkan diri sebagai tim sepak bola terbaik se-dunia di 2014. Memang benar prediksi Abah Dahlan Iskan, tahun ini Jerman yang jadi juara Piala Dunia.... dan aku menyaksikannya di warung pecel lele! (habis/luk)
Catatan:
Pemandangan menarik tampak seusai Jerman memastikan diri menjadi juara. Pemain Jerman Mario Goetze terus melambaikan jersey yang bukan miliknya hingga selebrasi perayaan juara. Rupanya, jersey bernomor 21 itu adalah milik Marco Reus, pemain tim Jerman yang merupakan sahabat karib Goetze ketika bermain di klub Borussia Dortmund hingga membela tim Panser. Dikibarkannya jersey tersebut merupakan penghormatan terhadap Reus, dan penanda bahwa Jerman tak melupakan rekan setim mereka. Menarik.