Catatan ini terbit di halaman empat Bontang Post edisi Selasa, 8 Juli 2014.
Kampanye Hitam dan Salat Tarawih
Oleh: Lukman Maulana
Redaktur Bontang Post
TANGGAL 9 Juli besok merupakan hari yang bersejarah bagi bangsa Indonesia. Kita, untuk kesekian kalinya bakal menentukan siapa yang layak menjadi pemimpin negeri ini. Ya, pemilihan presiden (pilpres) memang sangat menyita perhatian publik beberapa waktu ini. Bahkan sebelum masa kampanye dimulai sejak 4 Juni lalu, gaung ajang lima tahun sekali ini telah jauh hari terdengar. Tim sukses masing-masing calon presiden (capres) ‘seakan’ telah curi start waktu kampanye.
Kampanye pilpres ini dilakukan lewat beragam cara. Baik secara langsung maupun melalui jejaring sosial di dunia maya. Baik yang terorganisir oleh tim, maupun yang sukarela oleh pihak-pihak yang merasa cocok dengan salah seorang kandidat. Di antara bentuk kampanye itu, banyak yang menjurus kampanye hitam, bentuk kampanye yang bisa diartikan menjelek-jelekkan kandidat capres yang ada.
Kampanye hitam atau black campaign, sepengetahuan saya memiliki banyak definisi. Glosarium.org mendefinisikan kampanye ini dengan kampanye untuk menjatuhkan lawan politik melalui isu-isu yang tidak berdasar. Metode yang digunakan biasanya desas-desus dari mulut ke mulut dan sekarang ini telah memanfaatkan kecanggihan teknologi, multimedia, dan media massa.
Sementara Wikipedia Indonesia memaparkan bahwa kampanye ini adalah penggunaan metode rayuan yang merusak, sindiran atau rumor yang tersebar mengenai sasaran kepada para kandidat atau calon kepada masyarakat agar menimbulkan presepsi yang dianggap tidak etis terutama dalam hal kebijakan publik.
Komunikasi ini diusahakan agar menimbulkan fenomena sikap resistensi dari para pemilih, kampanye hitam umumnya dapat dilakukan oleh kandidat atau calon bahkan pihak lain secara efisien karena kekurangan sumber daya yang kuat untuk menyerang salah satu kandidat atau calon lain dengan bermain pada permainan emosi para pemilih agar pada akhirnya dapat meninggalkan kandidat atau calon pilihannya.
Berkaca pada dua definisi di atas, kampanye hitam singkatnya adalah bentuk kampanye yang menjatuhkan pihak-pihak tertentu, yang dalam hal ini kandidat presiden. Penggunaan fitnah dan informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kerap mewarnai bentuk kampanye ini. Sehingga, masyarakat terpapar informasi buruk tentang salah seorang kandidat, yang diharapkan pelaku kampanye hitam untuk tidak memilih kandidat tersebut, lantas berpaling pada kandidat lainnya.
Praktik kampanye hitam ini umum kita temukan dalam setiap pemilihan umum (pemilu). Baik pemilu kepala daerah (pemilukada), pemilu legislatif (pileg), maupun pilpres. Namun, tampaknya aroma kampanye hitam begitu terasa pada pilpres kali ini, yang hanya menawarkan dua pilihan sejak awal. Sangat berbeda dibandingkan pilpres tahun-tahun sebelumnya. Mungkin hal ini dikarenakan masing-masing kandidat memiliki celah kelemahan, yang bisa ‘dimainkan’ menjadi kampanye hitam.
Menemukan kampanye hitam bukanlah hal yang sulit. Berbagai media baik cetak, elektronik, maupun online seakan berlomba menyajikannya. Yang paling fenomenal adalah beredarnya tabloid Obor Rakyat, serta ‘keberpihakan’ dua televisi swasta nasional yang para pemiliknya mendukung kandidat tertentu. Ironis memang, media yang mestinya netral, justru menjadi corong kampanye hitam. Belum lagi beragam media online yang menyajikan ‘kampanye hitam’ melalui komentar-komentar para pengamat.
Yang mengerikan adalah kampanye hitam yang menyangkutpautkan dengan Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA). Kampanye hitam dengan unsur SARA menurut saya adalah kampanye hitam yang paling buruk. Karena isu SARA begitu sensitif, dan membawa SARA dalam ranah politik hanya akan melahirkan sebuah konflik yang bersifat desktruktif alias merusak. Konflik seperti ini berpotensi menimbulkan kekerasan, yang menyebabkan pertumpahan darah. Ujung-ujungnya perang saudara. Apakah ini yang kita inginkan?
Lantas, kenapa kampanye hitam begitu merebak tahun ini? Dan pelakunya pun bukan sebatas tim sukses belaka. Rakyat jelata turut melakukannya, melalui jejaring sosial yang satu dekade terakhir dinilai ampuh dalam membangun opini. Beragam perkiraan bisa saja dimasukkan melatarbelakangi munculnya kampanye hitam ini. Mulai dari keinginan kuat agar capres pilihan dapat terpilih, atau karena sebuah ketakutan agar jangan sampai capres tertentu menang dalam pilpres.
Dan biasanya, pelaku kampanye hitam dari kalangan warga biasa justru tidak merasa melakukan bentuk kampanye hitam. Karena merasa apa yang dikampanyekannnya adalah sebuah kebenaran, yang sebenarnya mesti dikaji kembali, diteliti kembali apakah benar keyakinan tersebut adalah sebuah kebenaran. Atau justru sebuah ‘kebenaran’ yang menjadi benar hanya karena persepsi yang sudah terlanjur salah terhadap kandidat capres tertentu. Sampai-sampai, saya mendapati di jejaring sosial, seorang remaja yang memanggil salah seorang kandidat dengan panggilan yang kasar. Miris memang, sampai sebegitukah sehingga sopan santun pada orangtua tak lagi ada?
Apapun sebab kampanye hitam, bukanlah hal yang dibenarkan, baik dari sisi regulasi melalui Undang-Undang Pilpres Nomor 42 tahun 2008 beserta PKPU Nomor 16 Tahun 2014, ataupun dari sisi agama, melalui larangan menyebarkan fitnah dan menjelek-jelekkan/menghina orang lain. Semestinya, sebagai warga negara yang patuh pada regulasi dan agama, kampanye hitam jangan pernah dilakukan. Demokrasi harus dijalankan dengan penuh sopan-santun, apapun materinya. Jangan justru karena dalih demokrasi, kita bisa menghalalkan segala cara dan berkata semau kita.
Pilpres adalah pesta demokrasi dalam menentukan pemimpin Indonesia. Yang menjadi ‘nahkoda’ dalam membawa ‘kapal’ Indonesia untuk ‘berlayar’ lebih baik lagi. Karenanya, kita mesti melakukan kampanye dengan baik pula. Sebarkan kebaikan capres yang didukung, jangan menyebarkan kejelekan capres yang tidak kita dukung. Apalagi sampai membawa-bawa unsur SARA. Paparkan visi dan misi, hindari konflik dan berkelahi. Jangan biarkan kampanye hitam memenangkan pilpres ini. Karena pemenang pilpres ini sebenarnya bukan siapa yang meraih suara terbanyak, tapi mereka yang mampu menghargai perbedaan dan memiliki visi perdamaian.
Mengenai kampanye hitam ini, khususnya yang berbau SARA, saya jadi teringat pada materi ceramah yang dibawakan seorang ustaz sebelum menunaikan salat Tarawih. Kata ustaz itu, hingga tanggal 9 Juli nanti, ustaz harus pintar-pintar menahan tangannya saat melakukan ceramah. Lha kenapa? Alasannya, bisa jadi saking berapi-apinya menyampaikan ceramah, tangan sang uztaz lantas bergerak dan membentuk angka, yang bisa dikira kampanye terselubung. Ada-ada saja.
Pilpres ini sendiri, kalau saya boleh analogikan, mirip dengan salat Tarawih. Sebagian umat muslim menjalankan tarawih 8 rakaat sementara sebagian lainnya menjalankan tarawih 20 rakaat. Tak ada yang salah, kedua pihak ini sama-sama memiliki landasan dan dasar masing-masing. Umat muslim pun telah begitu cerdas untuk tidak meributkan perbedaan ini. Keduanya sama-sama benar, yang salah adalah mereka yang tidak salat Tarawih.
Pun dengan pilpres, sebagian rakyat Indonesia bakal memilih kandidat nomor satu, dan sebagian lagi bakal memilih kandidat nomor dua. Pun dengan pilpres, tak ada salah, kedua pihak ini sama-sama meyakini capres pilihannya bakal menjadi pemimpin yang baik untuk Indonesia. Kedua capres masing-masing memiliki visi dan misi membangun bangsa Indonesia lebih baik lagi, menuju cita-cita Indonesia sejahtera. Keduanya sama-sama benar, yang salah adalah mereka yang tidak menggunakan hak suaranya alias golput. Mari memilih, dan dukung presiden terpilih, demi Indonesia! ([email protected])
Kampanye Hitam dan Salat Tarawih
Oleh: Lukman Maulana
Redaktur Bontang Post
TANGGAL 9 Juli besok merupakan hari yang bersejarah bagi bangsa Indonesia. Kita, untuk kesekian kalinya bakal menentukan siapa yang layak menjadi pemimpin negeri ini. Ya, pemilihan presiden (pilpres) memang sangat menyita perhatian publik beberapa waktu ini. Bahkan sebelum masa kampanye dimulai sejak 4 Juni lalu, gaung ajang lima tahun sekali ini telah jauh hari terdengar. Tim sukses masing-masing calon presiden (capres) ‘seakan’ telah curi start waktu kampanye.
Kampanye pilpres ini dilakukan lewat beragam cara. Baik secara langsung maupun melalui jejaring sosial di dunia maya. Baik yang terorganisir oleh tim, maupun yang sukarela oleh pihak-pihak yang merasa cocok dengan salah seorang kandidat. Di antara bentuk kampanye itu, banyak yang menjurus kampanye hitam, bentuk kampanye yang bisa diartikan menjelek-jelekkan kandidat capres yang ada.
Kampanye hitam atau black campaign, sepengetahuan saya memiliki banyak definisi. Glosarium.org mendefinisikan kampanye ini dengan kampanye untuk menjatuhkan lawan politik melalui isu-isu yang tidak berdasar. Metode yang digunakan biasanya desas-desus dari mulut ke mulut dan sekarang ini telah memanfaatkan kecanggihan teknologi, multimedia, dan media massa.
Sementara Wikipedia Indonesia memaparkan bahwa kampanye ini adalah penggunaan metode rayuan yang merusak, sindiran atau rumor yang tersebar mengenai sasaran kepada para kandidat atau calon kepada masyarakat agar menimbulkan presepsi yang dianggap tidak etis terutama dalam hal kebijakan publik.
Komunikasi ini diusahakan agar menimbulkan fenomena sikap resistensi dari para pemilih, kampanye hitam umumnya dapat dilakukan oleh kandidat atau calon bahkan pihak lain secara efisien karena kekurangan sumber daya yang kuat untuk menyerang salah satu kandidat atau calon lain dengan bermain pada permainan emosi para pemilih agar pada akhirnya dapat meninggalkan kandidat atau calon pilihannya.
Berkaca pada dua definisi di atas, kampanye hitam singkatnya adalah bentuk kampanye yang menjatuhkan pihak-pihak tertentu, yang dalam hal ini kandidat presiden. Penggunaan fitnah dan informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kerap mewarnai bentuk kampanye ini. Sehingga, masyarakat terpapar informasi buruk tentang salah seorang kandidat, yang diharapkan pelaku kampanye hitam untuk tidak memilih kandidat tersebut, lantas berpaling pada kandidat lainnya.
Praktik kampanye hitam ini umum kita temukan dalam setiap pemilihan umum (pemilu). Baik pemilu kepala daerah (pemilukada), pemilu legislatif (pileg), maupun pilpres. Namun, tampaknya aroma kampanye hitam begitu terasa pada pilpres kali ini, yang hanya menawarkan dua pilihan sejak awal. Sangat berbeda dibandingkan pilpres tahun-tahun sebelumnya. Mungkin hal ini dikarenakan masing-masing kandidat memiliki celah kelemahan, yang bisa ‘dimainkan’ menjadi kampanye hitam.
Menemukan kampanye hitam bukanlah hal yang sulit. Berbagai media baik cetak, elektronik, maupun online seakan berlomba menyajikannya. Yang paling fenomenal adalah beredarnya tabloid Obor Rakyat, serta ‘keberpihakan’ dua televisi swasta nasional yang para pemiliknya mendukung kandidat tertentu. Ironis memang, media yang mestinya netral, justru menjadi corong kampanye hitam. Belum lagi beragam media online yang menyajikan ‘kampanye hitam’ melalui komentar-komentar para pengamat.
Yang mengerikan adalah kampanye hitam yang menyangkutpautkan dengan Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA). Kampanye hitam dengan unsur SARA menurut saya adalah kampanye hitam yang paling buruk. Karena isu SARA begitu sensitif, dan membawa SARA dalam ranah politik hanya akan melahirkan sebuah konflik yang bersifat desktruktif alias merusak. Konflik seperti ini berpotensi menimbulkan kekerasan, yang menyebabkan pertumpahan darah. Ujung-ujungnya perang saudara. Apakah ini yang kita inginkan?
Lantas, kenapa kampanye hitam begitu merebak tahun ini? Dan pelakunya pun bukan sebatas tim sukses belaka. Rakyat jelata turut melakukannya, melalui jejaring sosial yang satu dekade terakhir dinilai ampuh dalam membangun opini. Beragam perkiraan bisa saja dimasukkan melatarbelakangi munculnya kampanye hitam ini. Mulai dari keinginan kuat agar capres pilihan dapat terpilih, atau karena sebuah ketakutan agar jangan sampai capres tertentu menang dalam pilpres.
Dan biasanya, pelaku kampanye hitam dari kalangan warga biasa justru tidak merasa melakukan bentuk kampanye hitam. Karena merasa apa yang dikampanyekannnya adalah sebuah kebenaran, yang sebenarnya mesti dikaji kembali, diteliti kembali apakah benar keyakinan tersebut adalah sebuah kebenaran. Atau justru sebuah ‘kebenaran’ yang menjadi benar hanya karena persepsi yang sudah terlanjur salah terhadap kandidat capres tertentu. Sampai-sampai, saya mendapati di jejaring sosial, seorang remaja yang memanggil salah seorang kandidat dengan panggilan yang kasar. Miris memang, sampai sebegitukah sehingga sopan santun pada orangtua tak lagi ada?
Apapun sebab kampanye hitam, bukanlah hal yang dibenarkan, baik dari sisi regulasi melalui Undang-Undang Pilpres Nomor 42 tahun 2008 beserta PKPU Nomor 16 Tahun 2014, ataupun dari sisi agama, melalui larangan menyebarkan fitnah dan menjelek-jelekkan/menghina orang lain. Semestinya, sebagai warga negara yang patuh pada regulasi dan agama, kampanye hitam jangan pernah dilakukan. Demokrasi harus dijalankan dengan penuh sopan-santun, apapun materinya. Jangan justru karena dalih demokrasi, kita bisa menghalalkan segala cara dan berkata semau kita.
Pilpres adalah pesta demokrasi dalam menentukan pemimpin Indonesia. Yang menjadi ‘nahkoda’ dalam membawa ‘kapal’ Indonesia untuk ‘berlayar’ lebih baik lagi. Karenanya, kita mesti melakukan kampanye dengan baik pula. Sebarkan kebaikan capres yang didukung, jangan menyebarkan kejelekan capres yang tidak kita dukung. Apalagi sampai membawa-bawa unsur SARA. Paparkan visi dan misi, hindari konflik dan berkelahi. Jangan biarkan kampanye hitam memenangkan pilpres ini. Karena pemenang pilpres ini sebenarnya bukan siapa yang meraih suara terbanyak, tapi mereka yang mampu menghargai perbedaan dan memiliki visi perdamaian.
Mengenai kampanye hitam ini, khususnya yang berbau SARA, saya jadi teringat pada materi ceramah yang dibawakan seorang ustaz sebelum menunaikan salat Tarawih. Kata ustaz itu, hingga tanggal 9 Juli nanti, ustaz harus pintar-pintar menahan tangannya saat melakukan ceramah. Lha kenapa? Alasannya, bisa jadi saking berapi-apinya menyampaikan ceramah, tangan sang uztaz lantas bergerak dan membentuk angka, yang bisa dikira kampanye terselubung. Ada-ada saja.
Pilpres ini sendiri, kalau saya boleh analogikan, mirip dengan salat Tarawih. Sebagian umat muslim menjalankan tarawih 8 rakaat sementara sebagian lainnya menjalankan tarawih 20 rakaat. Tak ada yang salah, kedua pihak ini sama-sama memiliki landasan dan dasar masing-masing. Umat muslim pun telah begitu cerdas untuk tidak meributkan perbedaan ini. Keduanya sama-sama benar, yang salah adalah mereka yang tidak salat Tarawih.
Pun dengan pilpres, sebagian rakyat Indonesia bakal memilih kandidat nomor satu, dan sebagian lagi bakal memilih kandidat nomor dua. Pun dengan pilpres, tak ada salah, kedua pihak ini sama-sama meyakini capres pilihannya bakal menjadi pemimpin yang baik untuk Indonesia. Kedua capres masing-masing memiliki visi dan misi membangun bangsa Indonesia lebih baik lagi, menuju cita-cita Indonesia sejahtera. Keduanya sama-sama benar, yang salah adalah mereka yang tidak menggunakan hak suaranya alias golput. Mari memilih, dan dukung presiden terpilih, demi Indonesia! ([email protected])