Tak lama setelah aku menyelesaikan tulisan blog terakhirku tentang sulitnya mencari berita di hari libur, terjadi kebakaran di salah satu daerah di Bontang. Kebakaran terjadi sekira pukul 00.00 Wita Tepatnya di SMP Buana Pura, Kelurahan Berbas Pantai, Bontang Selatan. Kebakaran ini cukup menarik bagiku, karena dalam tulisan sebelumnya, aku sempat menulis bahwa aku mengharap ada kebakaran saat hari libur karena sulitnya mencari berita di hari libur. Dan tak lama, kebakaran itu benar-benar terjadi.
Setibanya di rumah setelah seharian bekerja, aku berniat untuk mengisi perut yang kelaparan. Lantas aku masuk ke dapur untuk mengambil nasi. Kebetulan bibiku memasak ikan bakar. Tapi baru saja aku mengisi penuh piringku dengan nasi, dari kejauhan kudengar suara sirene mobil pemadam kebakaran. Ingin aku mengalihkan perhatianku dari sirene tersebut, untuk segera menyantap ikan bakar yang ada di meja makan. Dengan berpikir bahwa Guntur, redaktur Bontang Post yang juga wartawan yang dekat dengan kepolisian sudah berada di lokasi untuk meliput kejadian. Namun tak lama, ponselku berdering. Kulihat Anggota Komisi II DPRD Bontang Taqbir Ali meneleponku. Aku bertanya-tanya kenapa tengah malam wakil rakyat tersebut meneleponku. Apa ada kaitannya dengan sirene pemadam kebakaran?
Kuterima telepon dan benar saja, rupanya dia menginformasikan tentang kebakaran di daerah Prakla, Berbas Pantai. Ini membuatku langsung bergerak keluar rumah dan meninggalkan sepiring nasi yang belum sempat kusentuh. Kukendarai sepeda motor merah yang selalu menemaniku selama ini dengan kencang. Rupanya gaung kebakaran telah terdengar cukup jauh dari lokasi kebakaran yang sebenarnya. Sepanjang perjalanan menuju lokasi kejadian, kutemui ada banyak sepeda motor yang mengarah ke lokasi yang sama denganku. Kupikir, orang-orang tersebut mungkin berniat menyaksikan kebakaran tengah malam itu. Bahkan, di antara para pengendara motor tersebut, ada seorang ibu yang membonceng anaknya yang masih kecil. What? Segitunya kah pingin nonton kebakaran?
Benar saja, lokasi kebakaran sudah begitu penuh dengan masyarakat yang berada di luar rumah. Suasana Kampung Prakla pun begitu gelap. Wajar, dengan kobaran api yang begitu besar, PLN tentunya tidak mau mengambil risiko lebih besar, sehingga mereka memadamkan aliran listrik. Suasana gelap dan banyaknya orang berkumpul tersebut membuatku menjadi cukup kesulitan mendekati bangunan yang terbakar. Hingga kemudian kudapati SMP Buana Pura tengah dilalap si jago merah. Dengan para petugas pemadam kebakaran tampak berusaha memadamkan ap yang begitu besar. Armada mobil pemadam pun silih berganti datang. Menyingkirkan kerumunan orang yang berkumpul disana.
Well, aku cukup bingung darimana memulia liputan. Hingga kulihat redaktur bertubuh gempal, Guntur ada di antara kerumunan. Benar dugaanku, Guntur sudah terlebih dulu datang meliput. So kuhampiri dia, sekadar beruluk salam. Melihat kedatanganku, Guntur lantas menginstruksikan dirinya sendiri yang meliput kebakaran. So, dia menyuruhku pulang untuk beristirahat. Tapi kemudian dia menyuruhku untuk datang ke Rumah Sakit Amalia, menemui korban kebakaran yang dilarikan ke rumah sakit tersebut. Aku pun langsung bergerak ke rumah sakit dan menemui sang korban yang tengah terduduk di atas kasur UGD, dengan tim medis tampak berusaha mengobati luka-luka bakar grade 2 di punggung dan tangannya.
Sang korban mengerang-ngerang kesakitan menahan panas sambil terus-menerus menyebut nama Tuhan. Melihat kondisi tersebut, sebenarnya membuatku merasa kasihan dan tidak enak untuk melakukan wawancara. Tapi kuberikan diri untuk bertanya beberapa pertanyaan mendasar. Liputan selesai, aku pulang dengan perut yang melilit-lilit, yang langsung kutuntaskan dengan makan ikan bakar yang telah menunggu sedari tadi.
Kebakaran di Prakla tersebut bukanlah liputan kebakaran pertamaku. Sebelumnya, aku juga sempat meliput kebakaran di Kelurahan Api-Api, yang nyaris membunuh satu keluarga penghuni rumah. Bila pada kebakaran terbaru kemarin aku baru mau makan, pada kebakaran di Api-Api aku justru tengah menikmati nasi goreng di salah satu warung di pinggiran kota usai seharian bekerja dan hendak pulang ke rumah. Saat nasi tinggal tersisa seperempat saja, tiba-tiba aku dikejutkan dengan mobil pemadam kebakaran yang melintas dengan sirene kerasnya. Spontan aku langsung bergerak, setelah sebelumnya buru-buru menghabiskan sisa makananku. Dan juga membayar pada empunya warung. Segera saja aku meluncur ke lokasi kebakaran, yang ternyata jaraknya cukup dekat dari warung tempatku makan.
Itu merupakan liputan kebakaran pertamaku, yang sempat membuatku merinding. Karena, api berkobar begitu besar, membumbung ke langit. Serta, mengancam kabel listrik dan rumah-rumah di sekitarnya, mengingat rumah yang terbakar berada di lokasi padat pemukiman. Suasana begitu panik malam itu, dengan warga sekitar berusaha menyelamatkan harta benda masing-masing. Tak lama setelah aku datang, Guntur tiba di lokasi kebakaran. Dan kami melakukan liputan sendiri-sendiri terkait kebakaran yang terjadi skeira pukul 01.00 Wita tersebut. Aku mewawancarai korban, sementara Guntur dari versi kepolisian. Setelah kebakaran, Ketua DPRD Neni Moernieani bersama suami Mantan Wali Kota Bontang Sofyan Hasdam datang untuk meninjau lokasi kebakaran. Saat itulah, terjadi reuni kecil antara Guntur dan Bu Neni, yang rupanya telah lama tidak bertemu. Reuni yang.... sangat dramatis, menurutku. (ada cerita tersendiri mengenai reuni ini, yang semoga saja bisa kutulis pada kesempatan berikutnya).
Yeah, dua kebakaran yang kuliput tersebut terjadi saat aku tengah atau bersiap menyantap makananku. Suatu kebetulan yang cukup menarik. Disini memang seorang wartawan dituntut siap bergerak kapanpun dan dalam kondisi apapun, ketika kejadian penting terjadi. Misalnya kebakaran, apalagi Bontang termasuk kota yang sering mengalami kebakaran. Meskipun kuakui, aku tidak menyukai liputan kebakaran. Jujur, menatap langsung kebakaran di depan mataku, membuatku membayangkan, bagaimana bila kebakaran tersebut menimpa rumahku... Sesuatu yang sangat mengerikan dan aku berharap tidak pernah terjadi padaku atau keluargaku. Amin. Mengingat, aku pernah memiliki kenangan buruk ketika masih kecil di Bontang.
Ya, aku kehilangan seorang teman dalam sebuah kebakaran besar yang terjadi di dekat Hotel Raodah. Kebakaran yang oleh orang Bontang, disebut sebagai kebakaran paling memilukan. Sekeluarga tewas terpanggang dalam kebakaran saat aku masih kelas 1 SD. Alwi, teman akrabku, menjadi salah satu korban dalam kebakaran tersebut. Kehilangan seorang teman baik saat usia masih sangat muda, begitu membekas di benakku. Membuatku terkadang terkenang padanya. Terlebih saat menghadapi kebakaran secara langsung sebagai wartawan. Melihat api yang begitu merah, membuatku membayangkan apa yang dirasakan Alwi ketika kebakaran terjadi di rumahnya. Dia pasti kesakitan, dan kepanasan.
Alwi, semoga engkau tenang di alam sana. Permainan kita di Masjid Istiqomah saat itu takkan pernah kulupa. Semoga engkau mendapatkan tempat terindah, di samping Tuhan Yang Maha Esa. Amin.
Setibanya di rumah setelah seharian bekerja, aku berniat untuk mengisi perut yang kelaparan. Lantas aku masuk ke dapur untuk mengambil nasi. Kebetulan bibiku memasak ikan bakar. Tapi baru saja aku mengisi penuh piringku dengan nasi, dari kejauhan kudengar suara sirene mobil pemadam kebakaran. Ingin aku mengalihkan perhatianku dari sirene tersebut, untuk segera menyantap ikan bakar yang ada di meja makan. Dengan berpikir bahwa Guntur, redaktur Bontang Post yang juga wartawan yang dekat dengan kepolisian sudah berada di lokasi untuk meliput kejadian. Namun tak lama, ponselku berdering. Kulihat Anggota Komisi II DPRD Bontang Taqbir Ali meneleponku. Aku bertanya-tanya kenapa tengah malam wakil rakyat tersebut meneleponku. Apa ada kaitannya dengan sirene pemadam kebakaran?
Kuterima telepon dan benar saja, rupanya dia menginformasikan tentang kebakaran di daerah Prakla, Berbas Pantai. Ini membuatku langsung bergerak keluar rumah dan meninggalkan sepiring nasi yang belum sempat kusentuh. Kukendarai sepeda motor merah yang selalu menemaniku selama ini dengan kencang. Rupanya gaung kebakaran telah terdengar cukup jauh dari lokasi kebakaran yang sebenarnya. Sepanjang perjalanan menuju lokasi kejadian, kutemui ada banyak sepeda motor yang mengarah ke lokasi yang sama denganku. Kupikir, orang-orang tersebut mungkin berniat menyaksikan kebakaran tengah malam itu. Bahkan, di antara para pengendara motor tersebut, ada seorang ibu yang membonceng anaknya yang masih kecil. What? Segitunya kah pingin nonton kebakaran?
Benar saja, lokasi kebakaran sudah begitu penuh dengan masyarakat yang berada di luar rumah. Suasana Kampung Prakla pun begitu gelap. Wajar, dengan kobaran api yang begitu besar, PLN tentunya tidak mau mengambil risiko lebih besar, sehingga mereka memadamkan aliran listrik. Suasana gelap dan banyaknya orang berkumpul tersebut membuatku menjadi cukup kesulitan mendekati bangunan yang terbakar. Hingga kemudian kudapati SMP Buana Pura tengah dilalap si jago merah. Dengan para petugas pemadam kebakaran tampak berusaha memadamkan ap yang begitu besar. Armada mobil pemadam pun silih berganti datang. Menyingkirkan kerumunan orang yang berkumpul disana.
Well, aku cukup bingung darimana memulia liputan. Hingga kulihat redaktur bertubuh gempal, Guntur ada di antara kerumunan. Benar dugaanku, Guntur sudah terlebih dulu datang meliput. So kuhampiri dia, sekadar beruluk salam. Melihat kedatanganku, Guntur lantas menginstruksikan dirinya sendiri yang meliput kebakaran. So, dia menyuruhku pulang untuk beristirahat. Tapi kemudian dia menyuruhku untuk datang ke Rumah Sakit Amalia, menemui korban kebakaran yang dilarikan ke rumah sakit tersebut. Aku pun langsung bergerak ke rumah sakit dan menemui sang korban yang tengah terduduk di atas kasur UGD, dengan tim medis tampak berusaha mengobati luka-luka bakar grade 2 di punggung dan tangannya.
Sang korban mengerang-ngerang kesakitan menahan panas sambil terus-menerus menyebut nama Tuhan. Melihat kondisi tersebut, sebenarnya membuatku merasa kasihan dan tidak enak untuk melakukan wawancara. Tapi kuberikan diri untuk bertanya beberapa pertanyaan mendasar. Liputan selesai, aku pulang dengan perut yang melilit-lilit, yang langsung kutuntaskan dengan makan ikan bakar yang telah menunggu sedari tadi.
Kebakaran di Prakla tersebut bukanlah liputan kebakaran pertamaku. Sebelumnya, aku juga sempat meliput kebakaran di Kelurahan Api-Api, yang nyaris membunuh satu keluarga penghuni rumah. Bila pada kebakaran terbaru kemarin aku baru mau makan, pada kebakaran di Api-Api aku justru tengah menikmati nasi goreng di salah satu warung di pinggiran kota usai seharian bekerja dan hendak pulang ke rumah. Saat nasi tinggal tersisa seperempat saja, tiba-tiba aku dikejutkan dengan mobil pemadam kebakaran yang melintas dengan sirene kerasnya. Spontan aku langsung bergerak, setelah sebelumnya buru-buru menghabiskan sisa makananku. Dan juga membayar pada empunya warung. Segera saja aku meluncur ke lokasi kebakaran, yang ternyata jaraknya cukup dekat dari warung tempatku makan.
Itu merupakan liputan kebakaran pertamaku, yang sempat membuatku merinding. Karena, api berkobar begitu besar, membumbung ke langit. Serta, mengancam kabel listrik dan rumah-rumah di sekitarnya, mengingat rumah yang terbakar berada di lokasi padat pemukiman. Suasana begitu panik malam itu, dengan warga sekitar berusaha menyelamatkan harta benda masing-masing. Tak lama setelah aku datang, Guntur tiba di lokasi kebakaran. Dan kami melakukan liputan sendiri-sendiri terkait kebakaran yang terjadi skeira pukul 01.00 Wita tersebut. Aku mewawancarai korban, sementara Guntur dari versi kepolisian. Setelah kebakaran, Ketua DPRD Neni Moernieani bersama suami Mantan Wali Kota Bontang Sofyan Hasdam datang untuk meninjau lokasi kebakaran. Saat itulah, terjadi reuni kecil antara Guntur dan Bu Neni, yang rupanya telah lama tidak bertemu. Reuni yang.... sangat dramatis, menurutku. (ada cerita tersendiri mengenai reuni ini, yang semoga saja bisa kutulis pada kesempatan berikutnya).
Yeah, dua kebakaran yang kuliput tersebut terjadi saat aku tengah atau bersiap menyantap makananku. Suatu kebetulan yang cukup menarik. Disini memang seorang wartawan dituntut siap bergerak kapanpun dan dalam kondisi apapun, ketika kejadian penting terjadi. Misalnya kebakaran, apalagi Bontang termasuk kota yang sering mengalami kebakaran. Meskipun kuakui, aku tidak menyukai liputan kebakaran. Jujur, menatap langsung kebakaran di depan mataku, membuatku membayangkan, bagaimana bila kebakaran tersebut menimpa rumahku... Sesuatu yang sangat mengerikan dan aku berharap tidak pernah terjadi padaku atau keluargaku. Amin. Mengingat, aku pernah memiliki kenangan buruk ketika masih kecil di Bontang.
Ya, aku kehilangan seorang teman dalam sebuah kebakaran besar yang terjadi di dekat Hotel Raodah. Kebakaran yang oleh orang Bontang, disebut sebagai kebakaran paling memilukan. Sekeluarga tewas terpanggang dalam kebakaran saat aku masih kelas 1 SD. Alwi, teman akrabku, menjadi salah satu korban dalam kebakaran tersebut. Kehilangan seorang teman baik saat usia masih sangat muda, begitu membekas di benakku. Membuatku terkadang terkenang padanya. Terlebih saat menghadapi kebakaran secara langsung sebagai wartawan. Melihat api yang begitu merah, membuatku membayangkan apa yang dirasakan Alwi ketika kebakaran terjadi di rumahnya. Dia pasti kesakitan, dan kepanasan.
Alwi, semoga engkau tenang di alam sana. Permainan kita di Masjid Istiqomah saat itu takkan pernah kulupa. Semoga engkau mendapatkan tempat terindah, di samping Tuhan Yang Maha Esa. Amin.