Kamis 2 Oktober 2014 lalu menjadi hari bersejarah bagiku dan istri. Karena di hari itu, anak pertama kami lahir ke dunia setelah menanti sembilan bulan lamanya. Saat itu sebelum proses kelahiran terjadi, pagi harinya istriku mendapat tanda-tanda kelahiran, dengan keluarnya lendir dan darah. Barulah menjelang maghrib, air ketubannya keluar. Selepas maghrib, barulah kami berangkat ke bidan mengingat tanda-tanda kelahiran sudah muncul.
Proses kelahiran anak kami yang berjenis kelamin perempuan itu terbilang cepat dan berjalan lancar. Kami tiba di bidan sekira pukul 19.00 WIB. Setibanya di sana, proses pembukaan berangsur-angsur terjadi, begitu cepat. Saat itu sudah pembukaan 4, dan terus bertambah hingga istriku merasa tak kuat lagi. Bidan pun menyuruh istriku masuk ke ruang persalinan untuk segera dilakukan tindakan. Aku dan mertuaku menemaninya di kanan dan kirinya, memegangi tangannya.
Setelah beberapa kali mengejan dengan susah payah, akhirnya putri kami lahir pukul 19.55 WIB. Dengan berat 2,8 kilogram dan panjang 47 sentimeter, kondisinya sangat sehat. Kepalanya keluar dari rahim bersamaan dengan tangan yang menempel di kening, membuat istriku mendapat jahitan yang sangat banyak. Putri kami itu sendiri langsung menangis keras ketika dikeluarkan dari dalam rahim ibunya. Itulah pertama kalinya kulihat anak pertamaku, yang membuat begitu takjub. Aku sudah menjadi ayah! Rasanya saat itu badanku terasa begitu merinding, apa yang kusaksikan malam itu adalah sebuah keajaiban, keajaiban dari Tuhan.
Yang lebih membuatku takjub bukan main, rupanya anakku tersebut memiliki tanda lahir yang sama sepertiku. Di kedua telinga kulihat benjolan daging kecil menyerupai mata kepiting, tanda lahir yang sama seperti yang kumiliki. Bedanya, tanda lahir yang kumiliki itu hanya ada di telinga kananku, sementara putriku memilikinya di telinga kanan dan telinga kiri, dengan benjolan paling besar ada di telinga kanan. Mendapati kenyataan itu, membuatku spontan berseru, “Ya Allah!”
Aku sangat tak menyangka bila putriku bakal mewarisi tanda lahir yang sama seperti milik ayahnya. Seolah tanda lahir itu ingin menunjukkan bahwa anak perempuan ini adalah benar anak kandungku. Bukan hanya aku saja yang takjub, istriku dan keluargaku juga terkejut dengan adanya tanda lahir yang sama sepertiku di telinga anakku. Salah seorang kerabat menyebut, konon kemunculan tanda lahir yang sama itu terjadi karena istriku saat tengah mengandung dulu pernah membatin mengenai tanda lahir itu. Namun istriku mengatakan dia tidak pernah membatin, hanya saja dia dulu suka memainkan ‘mata kepiting’ di telingaku.
Tanda lahir ‘mata kepiting’ ini sendiri menurut ibuku adalah tanda keberuntungan. Beliau bercerita, dulu tak lama setelah aku lahir dengan ‘mata kepiting’ tersebut, ayahku yang bekerja sebagai polisi mengalami kelulusan pangkat dari kopral menjadi sersan. Saat itu ayahku begitu senang dengan kelulusannya, hingga menciumiku berkali-kali sepulangnya dari kantor. Merujuk pada peristiwa ini, tanteku lantas menyebut bahwa putriku membawa keberuntungan berganda karena ‘mata kepiting’ itu ada di kedua telinganya.
Terlepas dari keberuntungan yang disebutkan ibu dan tanteku, bagiku ‘mata kepiting’ itu sekadar tanda lahir penanda kebesaran Tuhan. Dan soal keberuntungan, bagiku setiap anak membawa keberuntungannya masing-masing. Sama seperti yang terjadi pada ‘mata kepiting’ milikku, aku tak berencana memotong ‘mata kepiting’ di telinga putriku selama itu tidak berbahaya bagi kesehatannya. Karena dari pengalamanku, daging yang ada di telingaku tak bertumbuh dan tetap pada ukuran asalnya. Namun bila kelak putriku merasa malu memilikinya, bisa saja aku memotongnya walaupun aku tak berharap itu terjadi. Karena bagaimanapun ‘mata kepiting’ itu adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. (luk)
*Sebenarnya selain 'mata kepiting', bentuk kurva daun telinga putriku juga menyerupai lafaz Allah SWT. Namun menurutku hal tersebut lazim terjadi, walaupun di Bontang hal seperti ini bisa masuk halaman utama koran.