Kegagapanku itu sedikit berkurang di SMP. Aku bahkan bisa melakukan deklamasi dengan baik saat tugas PPKn. Karena itu, di SMP kegagapanku tidak terlalu dikenal. Walaupun aku masih kesulitan dalam berbicara. Ini membuatku terbiasa berpikir sebelum bicara. Yang kemudian terbawa hingga ke SMA. Seringnya aku mengikuti organisasi saat SMA mungkin membuat kegagapanku tertutupi. Walaupun kemudian muncul sikap lain yang begitu mengganggu, yaitu kikuk. Ini dikarenakan, aku jarang bersosialisasi dengan lingkungan di rumah. Aku cenderung menyukai kesendirian, dan menghabiskan banyak waktuku di luar jam sekolah dengan berdiam di rumah.
Situasi berbeda lantas terjadi saat duduk di bangku kuliah. Bukannya gagap, aku justru berbicara begitu cepat. Namun itu tidak bertahan lama, karena perlahan kegagapanku kembali. Apalagi setelah aku memasuki masa-masa kelam, dan banyak menghabiskan waktu di rumah. Selain gagap, diperparah dengan kekikukanku yang juga menjadi-jadi. Jarangnya aku berinteraksi dengan orang lain, atau bisa dibilang anti-sosial, membuatku memiliki sikap segan untuk bersosialisasi. Sehingga, aku pun kemudian mengalami kesulitan berkomunikasi dengan orang lain. Khususnya dengan orang yang kukenal. Sikapku begitu kikuk, gugup, dan gagap. Hal ini kuakui, dan membuatku lebih memilih untuk bekerja pada profesi yang minim interaksi.
Walaupun kemampuan lisanku buruk, di satu sisi kemampuan tulisanku meningkat. Seringnya aku menulis di dunia maya, membuat kemampuanku menulis terasah dengan baik. Inilah yang kemudian membuat keinginanku untuk bekerja di dunia tulis-menulis kembali muncul. Tapi, melihat pada keterbatasan yang kumiliki, harapanku hanya untuk menjadi editor. Yaitu mengkhususkan ilmu komunikasi yang kupelajari lebih pada komunikasi tulisan. Tapi toh jalan membawaku ke tempat lain. Aku justru sekarang terjun di dunia komunikasi lisan dan tulisan, di dunia interaksi sosial dan di depan monitor.
Yeah, tidak pernah kusangka dengan kemampuan lisanku yang buruk, bisa membuatku diterima sebagai wartawan di sebuah surat kabar harian lokal di tanah kelahiranku, Bontang. Aku ingat, awalnya semua itu hanya keisengan belaka, saat melamar bekerja disana. Lebih pada kebosananku dengan pekerjaan sebelumnya, di salah satu bank swasta di Samarinda. Namun, tak dinyana aku langsung diterima dalam interview pertama. Rupanya tulisan-tulisan opiniku yang kutulis di dunia maya selama ini membuat Sang Pemred kagum. Dan disitu, untuk pertama kalinya kemampuan menuliskuk diakui secara profesional.
Tugas pertamaku meliput kegiatan pesantren kilat salah satu sekolah negeri di Bontang. Saat redaktur memberi tugas itu, membuatku langsung teringat, bawah tugas seorang wartawan bukan hanya menulis, melainkan juga berbicara dalam melakukan wawancara. Saat itu, sempat terbersit di dalam benakku untuk membatalkjan niatku menjadi wartawan. Karena saat itu, dengan kemampuan lisanku dan sikapku yang kikuk, aku hanya akan mengakhirinya dengan menyedihkan.
Namun, aku tidak mau kalah sebelum berperang. Lantas aku ambil tantangan tersebut, melawan keterbatasanku, untuk menjadi wartawan. Walaupun sempat kikuk, tapi aku berhasil menulis berita pertamaku dengan begitu lengkap, memenuhi kaidah jurnalistik dengan rumus khasnya, 5W+1H. Tulisan pertamaku itu pun mendapat pujian, baik dari pemred maupun redaktur. Walaupun awalnya sempat diragukan, pada kenyataannya aku mampu bertahan, melewati masa magang dan tetap bertahan hingga aku menulis artikel ini. Pada 6 Juni 2013, ketika aku menulis artikel ini, usia kerjaku telah mencapai 10 bulan.
Dalam rentang tersebut, prestasiku menanjak cepat hingga mendapatkan perjalanan dinas liputan ke luar daerah lebih cepat, mendapatkan libur lebih cepat, mendapatkan kepercayaan advetorial besar, menjadi wartawan utama, dan diangkat sebagai asisten redaktur. Bahkan, pemred dan redaktur, serta teman-teman lainnya menyebutku sebagai wartawan hebat. Walaupun aku masih saja berpikir apa yang membuat mereka selalu berpikir itu. Apakah karena melihat tulisanku yang dianggap bagus dan semangat kerjaku yang tinggi?
Meskipun telah melakoni kehidupan wartawan, namun toh kegagapan, kegugupan, dan kekikukan, terus menghantui. Beberapa kali, tiga keterbatasanku itu muncul tatkala aku tengah melakukan liputan, melakukan wawancara dengan narasumber. Bahkan, terkadang keterbatasanku itu menjadi begitu parah, membuat mentalku down, dan kehilangan semangat liputan. Dalam kondisi seperti itu, selalu terpikir di benakku untuk berhenti menjadi wartawan. Merasa bahwa aku tidak pantas menjadi wartawan dengan keterbatasan yang kumiliki.
Karena memang tak jarang, karena keterbatasanku ini, aku beberapa kali ditolak oleh narasumber. Bahkan, aku pernah 'dibantai' dan dipermalukan sebagai seorang wartawan. Entah apa yang ada dalam pikiran narasumber-narasumber tersebut terhadap sikapku. Mungkin mereka mempertanyakan kualitasku sebagai wartawan. Mungkin bertanya "Kok bisa orang kayak gitu jadi wartawan?" Yang paling buruk dan aku takutkan, mereka melakukan generalisasi wartawan dari sikapku pada mereka, yang sering disebut 'kurang bersahabat'. Sehingga, bisa mencoreng citra perusahaan media tempatku bekerja. Inilah yang tidak aku inginkan. Inilah yang terkadang membuatku berpikir untuk berhenti, karena aku tidak mau mempermalukan perusahaan media tempatku bekerja, yang kini punya nama baik di dalam masyarakat.
Aku mengakui bahwa sikapku memang kurang bersahabat. Sulit bagiku untuk membuat diriku rileks dan santai. Dikarenakan keterbatasan yang kumiliki. Walaupun aku sudah berusaha untuk mengubah sikapku tersebut. Tapi karakter yang telah terbentuk selama bertahun-tahun memang sulit untuk diubah. Meski begitu aku tidak pantang menyerah untuk terus mencoba. Terkadang aku bisa begitu santai dan merasa lebih tinggi dari narasumber, namun terkadang aku bisa begitu kaku dan merasa segan, merasa begitu rendah dari narasumber. Biasanya, aku bisa menguasai diriku dengan baik, dan bersikap apa adanya justru ketika aku merasa lelah atau marah.
Yeah, terkadang aku tertawa sendiri bila mengingat latar belakang dan keterbatasan yang kumiliki. Terkadang rasanya tidak mungkin, bila seorang gagap, kuper dan anti sosial sepertiku bisa menjadi wartawan. Sampai-sampai saudara jauhku tidak percaya bila aku bisa menjadi wartawan mengingat keterbatasan yang kumiliki. Jangankan mereka, aku sendiri saja tidak percaya.
Well, dari sini aku percaya pada satu hal. Bahwa keterbatasan bukanlah kendala untuk bisa menggapai cita-cita. Akulah buktinya. Meskipun memiliki keterbatasan dalam berbicara, tapi aku mampu menjadi seorang wartawan sebagaimana yang kuimpikan saat masih kecil. Hal lain yang kuyakini adalah, dibalik suatu kelemahan atau keterbatasan, selalu ada kelebihan yang terasah perlahan. Sayangnya, banyak orang yang selalu melihat kelemahan terus-menerus, tanpa melihat kelebihan yang sebenarnya dia miliki. Banyak yang berhenti berjuang meraih impian mereka, karena selalu merasa terhalang keterbatasan.
Percayalah, Tuhan Maha Adil. Dia sudah menyiapkan skenario tersendiri bagi mereka dengan keterbatasan. Keterbatasan bukanlah penghalang menggapai impian. Karena dengan berani melawan keterbatasan, impian yang seolah tak mungkin bisa terwujud. Galilah potensi dirimu yang lain dan... Menembus batas. (luk)