Jumat (7/6) pekan lalu aku diminta oleh Bang Imet, wartawan senior Samarinda Pos (Sapos) untuk ikut dalam rombongan Pemkot Bontang ke Jakarta. Aku diminta untuk meliput keberhasilan Bontang meraih anugerah Adipura Kencana, dimana Wali Kota Bontang Post diundang ke Istana Negara untuk menerima langsung Piala Adipura Kencana dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Senin (10/6). Karena, saat itu akulah yang menulis berita keberhasilan Pemkot Bontang meraih Adipura Kencana yang selama ini diidam-idamkan. Mendengar permohonan itu, aku lantas menghubungi GM Bontang Post untuk meminta izin. Walaupun aku sudah menduga bahwa aku tidak diizinkan pergi, mengingat kondisi redaksi yang tengah kekurangan tenaga. Selain itu, aku pun sudah pernah merasakan perjalanan dinas meliput ke luar daerah sebelumnya. Kalaupun ada wartawan yang ditugaskan meliput penyerahan Adipura Kencanan tersebut, pasti wartawan lain yang belum pernah dinas ke luar daerah.
Dugaanku benar, Pak Bos tidak mengizinkanku pergi. Beliau lantas mendelegasikan tugas itu pada Suci, wartawan jebolan Student Journalism di desk Ekspresi. Menurutku, Suci layak mendapatkan perjalanan dinas tersebut karena dia termasuk wartawan berprestasi. Tulisannya pun terbilang bagus, walaupun masih belum bisa menyamai tulisanku pastinya. Selain itu, dengan loyalitasnya pada redaksi, kupikir perjalanan dinas ke Jakarta menjadi hadiah atas pengabdiannya pada perusahaan. Dan, aku senang posisiku digantikan olehnya.
Tapi pada Sabtu keesokan harinya, Suci batal berangkat ke Jakarta. Lantaran tiket yang sudah dipesan untuk wartawan laki-laki. So, kepergian Suci digantikan oleh wartawan lainnya, Herdi Jaffar. Dan sekali lagi aku setuju dengan pemilihan Herdi yang berangkat ke Istana Negara. Karena meskipun baru, namun Herdi telah menunjukkan prestasi yang baik, dengan tulisan yang terbilang bagus dan mudah dipahami. Selain itu, dia kini menjadi tandemku di halaman utama.
Well, keberangkatan Herdi ke Jakarta tersebut membuatku teringat pada perjalanan dinas pertamaku dulu. Saat itu, Oktober 2012 aku ditugaskan mengikuti perjalanan Kontingen Bontang yang berlaga di Pekan Olahraga Pelajar Provinsi (Popprov) Kaltim di Tarakan. Awalnya aku kaget saat pertama kali mendapatkan tugas itu dari Pak Bos. Pasalnya, saat itu aku terhitung baru bergabung di Bontang Post. Selain itu, ada wartawan yang lebih baik dariku yang lebih pantas untuk berangkat kesana. Namun nyatanya, Pak Bos tetap memilih aku untuk pergi ke Tarakan.
Alasannya, pada bulan-bulan awal aku bergabung di media lokal Bontang itu, aku menunjukkan prestasi yang dianggap bagus. Tulisanku pun dinilai bersih. Selain itu, di antara wartawan lainnya kala itu, aku yang belum pernah merasakan perjalanan dinas, meliput ke luar daerah. Aku pun tak punya pilihan kecuali menerima tugas luar daerah pertamaku itu.
Dalam mengikuti kontingen atlet Bontang, aku tidak sendiri. Aku bersama dua wartawan harian lokal Kaltim lainnya, Burhan dan Irwan yang merupakan bapak dan anak. Meski memiliki hubungan keluarga, namun keduanya bekerja pada media yang berbeda. Sang ayah Burhan di Swara Kaltim, sementara sang anak Irwan di Poskota Kaltim. Beruntung aku pergi ke Tarakan bersama mereka, yang menurutku sangat membantuku dalam liputan di Tarakan. Mengingat waktu itu aku masih begitu baru menjadi wartawan, kurang jam terbang liputan dan masih butuh banyak pengalaman. Aku belajar banyak dari mereka yang jauh lebih senior dariku.
Liputan ke luar daerah pertamaku tersebut tidak berjalan begitu baik. Pasalnya, Popprov waktu itu diwarna beragam masalah. Mulai dari ketidaksiapan tuan rumah Tarakan menggelar event skala provinsi tersebut, hingga kisruh di internal kontingen Bontang itu sendiri. Salah satunya yaitu masalah penginapan atlet yang tidak layak. Masalah-masalah tersebut memang menarik menjadi berita, dan memang sudah kuangkat menjadi berita waktu itu. Hanya saja, masalah itu juga berimbas pada wartawan. Ya, penghinaan pedas pertamaku sebagai wartawan kuterima pada liputan luar daerah pertamaku waktu itu. Ironisnya, penghinaan tersebut justru berasal dari kontingen Bontang sendiri. Keinginanku untuk meliput prestasi putra-putri terbaik Kota Taman, justru dibalas dengan prasangka kejam, yang begitu menyakiti perasaanku.
Secara kebetulan aku bertemu dengan kawan lamaku di Tarakan, Usman, yang ternyata termasuk dalam official tim atletik. Lantas suatu malam, melalui telepon genggam, aku meminta bantuan temanku tersebut untuk memfasilitasiku mewawancarai salah satu official pelatih. Tapi bukannya menerima teleponku, official yang kalau tidak salah menjabat asisten pelatih itu menolak menerima teleponku, dan malah mengomel tidak jelas dengan salah satu rekannya. Suara omelannya yang cukup keras itu terdengar olehku melalui telepon. Mungkin lelaki itu tidak menyadari bahwa suaranya tertangkap oleh teleponku, atau bisa saja dia sengaja berbicara seperti. Entahlah, yang pasti ucapannya itu terdengar jelas, dan kudengarkan hingga selesai.
Bagaimana aku tidak kesal, dalam omelannya tersebut dia mempertanyakan kenapa ada wartawan yang ikut dalam perjalanan kontingen Bontang. Dengan tanpa bersalah, dia juga menyebut kalau wartawan kerjaannya hanya meminta uang saja. Aku lupa secara jelas apa saja hinaan yang dia lontarkan pada profesiku, tapi yang pasti, siapapun wartawan yang mendengarnya akan sakit hati. Terus terang, itu adalah fitnah paling kejam yang pernah kudengar. Karena selama aku menjadi wartawan waktu itu, aku sama sekali tidak pernah meminta uang kepada satu pun narasumber. Dan, aku itu akan terus aku lakukan selama aku menjadi wartawan. Karena aku bukan wartawan abal-abal, aku wartawan harian resmi yang memiliki etika jurnalistik.
Mendapat penghinaan seperti itu, membuatku seketika ingin menjadikannya sebagai berita. Namun, Usman langsung mencegahku. Dia memintaku untuk tidak menulis berita penghinaan yang telah aku alami. Karena menurutnya, akan berdampak besar bagi dirinya, dan juga tim Bontang secara keseluruhan. Dia lantas memberikan pembelaan, bahwa mungkin saja sang official tengah merasa kesal akibat perlakuan panitia yang dianggap kurang layak. Sehingga, terbawa emosi ketika ada wartawan yang hendak mewawancarai. Kupikir, masuk akal juga sih. Tapi tetap saja, fitnah seperti itu tidak layak dilontarkan oleh orang yang kemudian kuketahui sebagai seorang guru itu. Apalagi Irwan mengatakan, ucapan seperti itu bisa dituntut dan melecehkan profesi wartawan.
Permohonan kuat Usman membuat hatiku luluh. Aku lantas mengurungkan niatku untuk memblow-up masalah tersebut. Biarlah aku sakit hati, yang penting aku tidak mengecewakan Usman yang telah banyak berlaku baik padaku saat dulu aku masih bekerja di PLN Bontang. Selain itu, hanya membuatku semakin kesal saja dengan kondisi yang telah panas sejak kedatangan kontingen Bontang ke Tarakan. Walaupun, aku masih menyimpan perasaan marah dan tidak suka pada lelaki tersebut.
Tapi liputan di Tarakan kala itu tidak selalu mengesalkan. Karena terdapat juga hal-hal menarik yang terjadi selama liputan. Di antaranya, aku sempat bertemu dengan Handoko, tetangga di Jawa yang kini menjadi polisi di Tarakan. Aku juga sempat berkunjung ke kantor Radar Tarakan, surat kabar harian di Bontang yang merupakan saudara Bontang Post, sebagai sesama Kaltim Post Group. Berkeliling Kota Tarakan seorang diri dengan sepeda motor, hingga menyaksikan banyak pertandingan-pertandingan seru. Terutama saat tim Bontang bertarung di final, seperti saat tim Sepak takraw mendulang emas.
Juga, saat menyaksikan langsung ricuhnya final sepak bola Popprov yang mempertemukan Bontang melawan Samarinda. Kala itu, Bontang dicurangi oleh wasit yang berpihak pada Samarinda. Pertandingan pun sempat ricuh, dimana aku berada di area lapangan saat itu, menyaksikan kemarahan para pemain Bontang, dan mendengarkan tangisan mereka yang begitu menyayat hati.
Yeah, pengalaman liputan olahraga di Tarakan bersama Mas Irwan dan Pak Burhan benar-benar begitu berkesan. Dan rasanya, begitu puas ketika pulang kembali ke Bontang. Satu pekan di Tarakan, membuatku begitu rindu pada Bontang, terutama kawan-kawan redaksi. Tak lupa aku membelikan beragam oleh-oleh untuk mereka, seperti Milo Malaysia yang begitu populer di Tarakan.
Liputan di Tarakan membuatku tidak terlalu berharap bisa dikirim lagi untuk meliput ke luar daerah. Apalagi setelah sikapku pada wakil redaktur pelaksana waktu itu yang begitu keras dan membuatnya tersinggung. Bagiku, perjalanan ke Tarakan merupakan sebuah pengalaman tak tergantikan sebagai wartawan. Salah satu hal yang kupelajari dari perjalanan tersebut adalah, liputan ke luar daerah harus direncanakan dengan matang, dan tidak boleh dilakukan sembarang. Mengingat, kita berada di wilayah orang lain, yang mungkin belum kita kenal. Tapi aku akan selalu siap bila kapanpun aku ditugaskan meliput ke luar daerah. Atau bahkan ke luar negeri. Siapa yang tahu? (luk)
Dugaanku benar, Pak Bos tidak mengizinkanku pergi. Beliau lantas mendelegasikan tugas itu pada Suci, wartawan jebolan Student Journalism di desk Ekspresi. Menurutku, Suci layak mendapatkan perjalanan dinas tersebut karena dia termasuk wartawan berprestasi. Tulisannya pun terbilang bagus, walaupun masih belum bisa menyamai tulisanku pastinya. Selain itu, dengan loyalitasnya pada redaksi, kupikir perjalanan dinas ke Jakarta menjadi hadiah atas pengabdiannya pada perusahaan. Dan, aku senang posisiku digantikan olehnya.
Tapi pada Sabtu keesokan harinya, Suci batal berangkat ke Jakarta. Lantaran tiket yang sudah dipesan untuk wartawan laki-laki. So, kepergian Suci digantikan oleh wartawan lainnya, Herdi Jaffar. Dan sekali lagi aku setuju dengan pemilihan Herdi yang berangkat ke Istana Negara. Karena meskipun baru, namun Herdi telah menunjukkan prestasi yang baik, dengan tulisan yang terbilang bagus dan mudah dipahami. Selain itu, dia kini menjadi tandemku di halaman utama.
Well, keberangkatan Herdi ke Jakarta tersebut membuatku teringat pada perjalanan dinas pertamaku dulu. Saat itu, Oktober 2012 aku ditugaskan mengikuti perjalanan Kontingen Bontang yang berlaga di Pekan Olahraga Pelajar Provinsi (Popprov) Kaltim di Tarakan. Awalnya aku kaget saat pertama kali mendapatkan tugas itu dari Pak Bos. Pasalnya, saat itu aku terhitung baru bergabung di Bontang Post. Selain itu, ada wartawan yang lebih baik dariku yang lebih pantas untuk berangkat kesana. Namun nyatanya, Pak Bos tetap memilih aku untuk pergi ke Tarakan.
Alasannya, pada bulan-bulan awal aku bergabung di media lokal Bontang itu, aku menunjukkan prestasi yang dianggap bagus. Tulisanku pun dinilai bersih. Selain itu, di antara wartawan lainnya kala itu, aku yang belum pernah merasakan perjalanan dinas, meliput ke luar daerah. Aku pun tak punya pilihan kecuali menerima tugas luar daerah pertamaku itu.
Dalam mengikuti kontingen atlet Bontang, aku tidak sendiri. Aku bersama dua wartawan harian lokal Kaltim lainnya, Burhan dan Irwan yang merupakan bapak dan anak. Meski memiliki hubungan keluarga, namun keduanya bekerja pada media yang berbeda. Sang ayah Burhan di Swara Kaltim, sementara sang anak Irwan di Poskota Kaltim. Beruntung aku pergi ke Tarakan bersama mereka, yang menurutku sangat membantuku dalam liputan di Tarakan. Mengingat waktu itu aku masih begitu baru menjadi wartawan, kurang jam terbang liputan dan masih butuh banyak pengalaman. Aku belajar banyak dari mereka yang jauh lebih senior dariku.
Liputan ke luar daerah pertamaku tersebut tidak berjalan begitu baik. Pasalnya, Popprov waktu itu diwarna beragam masalah. Mulai dari ketidaksiapan tuan rumah Tarakan menggelar event skala provinsi tersebut, hingga kisruh di internal kontingen Bontang itu sendiri. Salah satunya yaitu masalah penginapan atlet yang tidak layak. Masalah-masalah tersebut memang menarik menjadi berita, dan memang sudah kuangkat menjadi berita waktu itu. Hanya saja, masalah itu juga berimbas pada wartawan. Ya, penghinaan pedas pertamaku sebagai wartawan kuterima pada liputan luar daerah pertamaku waktu itu. Ironisnya, penghinaan tersebut justru berasal dari kontingen Bontang sendiri. Keinginanku untuk meliput prestasi putra-putri terbaik Kota Taman, justru dibalas dengan prasangka kejam, yang begitu menyakiti perasaanku.
Secara kebetulan aku bertemu dengan kawan lamaku di Tarakan, Usman, yang ternyata termasuk dalam official tim atletik. Lantas suatu malam, melalui telepon genggam, aku meminta bantuan temanku tersebut untuk memfasilitasiku mewawancarai salah satu official pelatih. Tapi bukannya menerima teleponku, official yang kalau tidak salah menjabat asisten pelatih itu menolak menerima teleponku, dan malah mengomel tidak jelas dengan salah satu rekannya. Suara omelannya yang cukup keras itu terdengar olehku melalui telepon. Mungkin lelaki itu tidak menyadari bahwa suaranya tertangkap oleh teleponku, atau bisa saja dia sengaja berbicara seperti. Entahlah, yang pasti ucapannya itu terdengar jelas, dan kudengarkan hingga selesai.
Bagaimana aku tidak kesal, dalam omelannya tersebut dia mempertanyakan kenapa ada wartawan yang ikut dalam perjalanan kontingen Bontang. Dengan tanpa bersalah, dia juga menyebut kalau wartawan kerjaannya hanya meminta uang saja. Aku lupa secara jelas apa saja hinaan yang dia lontarkan pada profesiku, tapi yang pasti, siapapun wartawan yang mendengarnya akan sakit hati. Terus terang, itu adalah fitnah paling kejam yang pernah kudengar. Karena selama aku menjadi wartawan waktu itu, aku sama sekali tidak pernah meminta uang kepada satu pun narasumber. Dan, aku itu akan terus aku lakukan selama aku menjadi wartawan. Karena aku bukan wartawan abal-abal, aku wartawan harian resmi yang memiliki etika jurnalistik.
Mendapat penghinaan seperti itu, membuatku seketika ingin menjadikannya sebagai berita. Namun, Usman langsung mencegahku. Dia memintaku untuk tidak menulis berita penghinaan yang telah aku alami. Karena menurutnya, akan berdampak besar bagi dirinya, dan juga tim Bontang secara keseluruhan. Dia lantas memberikan pembelaan, bahwa mungkin saja sang official tengah merasa kesal akibat perlakuan panitia yang dianggap kurang layak. Sehingga, terbawa emosi ketika ada wartawan yang hendak mewawancarai. Kupikir, masuk akal juga sih. Tapi tetap saja, fitnah seperti itu tidak layak dilontarkan oleh orang yang kemudian kuketahui sebagai seorang guru itu. Apalagi Irwan mengatakan, ucapan seperti itu bisa dituntut dan melecehkan profesi wartawan.
Permohonan kuat Usman membuat hatiku luluh. Aku lantas mengurungkan niatku untuk memblow-up masalah tersebut. Biarlah aku sakit hati, yang penting aku tidak mengecewakan Usman yang telah banyak berlaku baik padaku saat dulu aku masih bekerja di PLN Bontang. Selain itu, hanya membuatku semakin kesal saja dengan kondisi yang telah panas sejak kedatangan kontingen Bontang ke Tarakan. Walaupun, aku masih menyimpan perasaan marah dan tidak suka pada lelaki tersebut.
Tapi liputan di Tarakan kala itu tidak selalu mengesalkan. Karena terdapat juga hal-hal menarik yang terjadi selama liputan. Di antaranya, aku sempat bertemu dengan Handoko, tetangga di Jawa yang kini menjadi polisi di Tarakan. Aku juga sempat berkunjung ke kantor Radar Tarakan, surat kabar harian di Bontang yang merupakan saudara Bontang Post, sebagai sesama Kaltim Post Group. Berkeliling Kota Tarakan seorang diri dengan sepeda motor, hingga menyaksikan banyak pertandingan-pertandingan seru. Terutama saat tim Bontang bertarung di final, seperti saat tim Sepak takraw mendulang emas.
Juga, saat menyaksikan langsung ricuhnya final sepak bola Popprov yang mempertemukan Bontang melawan Samarinda. Kala itu, Bontang dicurangi oleh wasit yang berpihak pada Samarinda. Pertandingan pun sempat ricuh, dimana aku berada di area lapangan saat itu, menyaksikan kemarahan para pemain Bontang, dan mendengarkan tangisan mereka yang begitu menyayat hati.
Yeah, pengalaman liputan olahraga di Tarakan bersama Mas Irwan dan Pak Burhan benar-benar begitu berkesan. Dan rasanya, begitu puas ketika pulang kembali ke Bontang. Satu pekan di Tarakan, membuatku begitu rindu pada Bontang, terutama kawan-kawan redaksi. Tak lupa aku membelikan beragam oleh-oleh untuk mereka, seperti Milo Malaysia yang begitu populer di Tarakan.
Liputan di Tarakan membuatku tidak terlalu berharap bisa dikirim lagi untuk meliput ke luar daerah. Apalagi setelah sikapku pada wakil redaktur pelaksana waktu itu yang begitu keras dan membuatnya tersinggung. Bagiku, perjalanan ke Tarakan merupakan sebuah pengalaman tak tergantikan sebagai wartawan. Salah satu hal yang kupelajari dari perjalanan tersebut adalah, liputan ke luar daerah harus direncanakan dengan matang, dan tidak boleh dilakukan sembarang. Mengingat, kita berada di wilayah orang lain, yang mungkin belum kita kenal. Tapi aku akan selalu siap bila kapanpun aku ditugaskan meliput ke luar daerah. Atau bahkan ke luar negeri. Siapa yang tahu? (luk)