Catatan Lukman Maulana, Redaktur Bontang Post
KENAKALAN anak dan remaja memang semakin memprihatinkan. Di Bontang saja, banyak ditemukan oknum anak-anak remaja yang melakukan aksi negatif tak terpuji, misalnya minum miras oplosan, menghisap lem (ngelem), atau seks bebas. Tapi, kenakalan anak dan remaja tersebut sebenarnya bukan hanya ada di dunia nyata, melainkan juga ada di dunia maya, dunia yang seringkali luput dari perhatian orang tua.
Kenakalan anak dan remaja di dunia maya cenderung ekstrem, tak terlacak, tapi memiliki dampak yang mungkin hampir sama dengan kenakalan di dunia nyata. Kenakalan-kenakalan itu katakanlah seperti bullying, menghina, kata-kata kasar/kotor, dan akses gambar/video porno. Di dunia maya, hal tersebut sangat mudah dilakukan hanya sekali ketik dan sekali klik. Memang, internet ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, internet memberi ruang pengetahuan yang begitu luas, namun di sisi lain internet juga memberi ruang penyalahgunaan teknologi yang mematikan.
Tapi dalam catatan terakhir saya untuk Bontang Post ini, saya hanya akan membahas mengenai kebiasaan oknum anak dan remaja zaman sekarang yang senang melontarkan hinaan di dunia maya. Mengingat sepertinya kenakalan ini jarang sekali dibahas, kalah populer dibandingkan kenakalan berupa akses video/gambar porno yang ngetren sejak internet pertama kali ditemukan. Saya hanya akan membahas penghinaan yang dilakukan oleh anak-anak dan remaja, bukan oleh orang dewasa. Karena menurut saya, orang dewasa sudah paham dengan konsekuensinya, dan ada hukum yang mengatur itu (contoh kasus penghinaan terhadap Isran Noor).
Di internet, anak-anak dan remaja bisa berbuat apa saja, tanpa mengindahkan batasan sopan santun, moral, etika, dan tata krama. Di jejaring sosial misalnya Facebook, mereka bisa dengan mudah mengeluarkan sumpah serapah terhadap teman mereka atau guru mereka. Bahkan, orang tua mereka sekalipun bisa jadi sasaran emosi salah tempat. Berkaca dari kasus di luar negeri, di mana seorang ayah merusak komputer putrinya setelah menemukan betapa putrinya memaki-makinya dengan kasar dalam status yang ditulis.
Dunia maya yang seakan tanpa batas, seolah membuat anak-anak dan remaja bisa berlaku semaunya. Di sini, seolah mereka bebas memangil orang tua dengan panggilan ‘kamu’ atau ‘lo’. Hal ini saya alamii sendiri, di mana saya menemukan seorang anak kuliahan (yang mestinya berpendidikan) bisa memanggil salah salah tokoh nasional dengan sebutan ‘lu’ (panggilan gaul anak Jakarta). Bahkan, dalam observasi panjang yang saya lakukan, saya menemukan ada begitu banyak cacian dan makian yang diberikan oleh anak-anak dan remaja labil Indonesia, kepada tokoh-tokoh atau pejabat-pejabat tertentu yang memiliki kebijakan kontroversial.
Terlepas dari buruknya pemerintahan Indonesia, bukan jadi alasan pembenaran sikap anak-anak dan remaja untuk kemudian mem-bully mereka, menghina, mengolok mereka, memanggil dengan kata-kata kasar. Bahkan sampai menjadikannya parodi. Apakah ini citra generasi penerus bangsa yang rupanya dibesarkan dengan sumpah serapah? Kalaupun mau jadi generasi penerus yang cerdas, tentu menyampaikan pendapat dengan cerdas pula, bukan dengan tiba-tiba menjadi begitu pintar hingga bisa seenaknya menghina orang lain apalagi orang yang lebih tua. Ya, internet membuat anak-anak kita menjadi ‘pintar’.
Celakanya, ranah penghinaan ini bukan lagi pada sikap personal, melainkan merembet pada unsur yang sensitif, Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA). Begitu mudahnya anak-anak dan remaja saat ini menghina suku, agama, rasa tau golongan tertentu. Sejauh ini yang paling banyak saya temui adalah hinaan atas agama. Bahkan, ada yang memplesetkan unsur-unsur yang ada pada agama tertentu, menjadikannya parodi. Ironisnya, yang melakukannya justru dari agama itu sendiri.
Anak dan remaja Indonesia yang masih minim pemahaman akan hal-hal sensitif tentu akan mudah mendapatkan pengaruh-pengaruh, khususnya dari internet. Bisa saja, melalui internet anak-anak dan remaja bisa mendapatkan pemahaman yang salah tentang agama yang mereka anut. Akibatnya, karena pemahaman yang salah tersebut mereka melihat sikap berbeda yang dilakukan orang seagama sebagai sebuah kesalahan. Lantas, bisa dengan mudah menghakimi seenaknya.
Sentimen ras juga saya temukan dalam observasi saya di dunia maya. Saya melihat, begitu mudahnya anak-anak dan remaja kita menyebarkan sentimen ras ini. Misalnya rumpun Tiongkok atau rumpun Arab, dua ras yang paling banyak mendapatkan sentimen dunia maya. Memang awalnya sentimen seperti ini dilakukan orang dewasa, namun anak-anak dan remaja bisa dengan cepat meniru. Seakan ingin dianggap keren, padahal justru menebarkan benih kebencian yang berpotensi merusak perdamaian.
Bentuk penghinaan lain yang saya temukan merujuk pada gender dan hubungan suami istri. Sederhananya, oknum anak-anak dan remaja ini bisa begitu mudahnya menyebut (maaf) alat kelamin, serta istilah-istilah porno pada komentar yang ditulisnya. Mulai dari ajakan berhubungan suami istri, penghinaan atas bagian tubuh tertentu, hingga ancaman pemerkosaan. Menurut saya, bila penghinaan yang dilakukan sudah merujuk ke bagian ini, sudah terbilang sangat memprihatinkan. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana persepsi anak-anak dan remaja ini pada lingkungan sekitarnya.
Ironisnya, anak-anak dan remaja seperti ini biasanya akan selalu merasa benar di internet. Sebaik apapun kita sebagai orang tua memberikan nasehat, mereka selalu mencoba ngeles, membenarkan pendapat mereka. Bahkan, pernah saya menemukan seorang remaja anak kuliahan (yang mestinya berpendidikan) bisa dengan mudahnya menulis “Hei, ini internet, tidak ada yang berkuasa di sini, ini demokrasi, saya bisa menyampaikan apa saja sesuka saya,” ketika saya mencoba menasihatinya. Kalimat itu membuat saya tergelitik sekaligus emosi. Di internet tidak ada yang berkuasa? Demokrasi? Bisa menyampaikan sesuka saya?
Jelas, kalimat yang ditulis salah seorang oknum remaja tersebut menunjukkan, betapa telah terjadi suatu kesalahan pemahaman dalam pikiran anak-anak zaman sekarang. Apakah, dengan mengunakan internet maka mereka bisa dengan mudah mengabaikan sopan santun, tata krama, etika, dan moral yang selama ini selalu diajarkan orang tua mereka? Apakah artinya dengan adanya demokrasi, mereka bisa bebas begitu saja menyampaikan pendapat tanpa menyaring kata-kata yang tidak pantas?
Fenomena ini bagaimanapun patut menjadi perhatian orang tua dan pihak-pihak terkait. Karena mau tidak mau, internet telah membentuk sebuah nilai baru yang mengancam pikiran anak-anak dan remaja kita. Apa yang saya ungkapkan ini bukan suatu opini atau perkiraan, melainkan sudah menjadi suatu fakta, walaupun tidak bisa dijadikan sebagai generalisasi.
Ya, saya menemukan sendiri bagaimana mengerikannya kalimat-kalimat dari anak-anak dan remaja kita yang beredar di media massa. Bagi saya, bukan jadi masalah bila kalimat-kalimat itu berasal dari orang dewasa. Masalahnya kalimat-kalimat itu keluar dari tangan anak-anak yang umurnya masih begitu muda. Istri saya bahkan pernah menemukan salah seorang muridnya yang menulis kalimat tak sopan, menyebut bagian tubuh perempuan di Facebook. Padahal, sepengetahuan istri saya, anak itu tergolong anak pendiam di dunia nyata. Lantas, apakah di dunia maya kepribadian-kepribadian ‘liar’ anak-anak itu terwujudkan? Apakah di dunia maya keberanian-keberanian tak wajar itu terlampiaskan?
Ini merupakan masalah serius, yang mesti menjadi perhatian semua pihak, khususnya orang tua. Karena, nilai-nilai yang terus-menerus tertanam dalam pikiran anak-anak dan remaja kita, bukan tidak mungkin dapat terwujud dalam perilaku konkret di dunia nyata. Saya beri contoh kasus pelecehan seksual di Samarinda, yang ternyata pelakunya masih bocah-bocah ingusan. Mereka mestinya masih main petak umpet atau main benteng, bukan justru menodai kawan mereka sendiri. Bukan tidak mungkin apa yang mereka lakukan itu merupakan wujud dari kebiasaan buruk akibat penyalahgunaan internet.
Komentar atau tulisan di internet sejatinya merupakan ungkapan perasaan seseorang. Bisa dibilang, merupakan ucapan seseorang yang tersampaikan melalui tulisan. Artinya, ini mewakili pikiran seseorang. Karenanya, komentar atau kalimat yang kita tulis bisa jadi ‘harimau’ bagi diri kita sendiri. Dan juga ‘harimau’ bagi anak-anak kita. Karena itu, sudah seharusnya orang tua memberikan pengawasan lebih pada anak-anak mereka, khususnya dalam berselancar di dunia maya.
Ada perlunya orang tua mengajarkan kepada anak-anak mereka, tentang bagaimana seharusnya bersikap di dunia maya. Bahwa, sopan-santun, etika, dan tata krama berlaku sama baik di dunia nyata maupun dunia maya. Di sini, orang tua juga mesti melek teknologi. Orang tua perlu melindungi anak-anak mereka dari komunikasi dunia maya yang tak sehat. Agar, anak-anak tak menjadi pelaku atau korban bullying melalui internet, yang terbukti telah memakan korban jiwa. Tentu sangat menyedihkan bila hal ini terjadi, dan itu melalui dunia maya. Naudzubillahimindzalik. ([email protected])
NB:
Ini adalah catatan terakhirku untuk Bontang Post, karena terhitung 6 Agustus 2014, aku telah berhenti mengundurkan diri dari Bontang Post. Catatan ini sendiri tercipta akibat salah paham dengan redaktur pelaksana, yang membuatku lantas membuat catatan terakhirku ini di hari terakhirku bekerja di Bontang Post. Catatan ini aku peruntukkan bagi para orangtua dan anak-anak yang ada di dunia maya.
KENAKALAN anak dan remaja memang semakin memprihatinkan. Di Bontang saja, banyak ditemukan oknum anak-anak remaja yang melakukan aksi negatif tak terpuji, misalnya minum miras oplosan, menghisap lem (ngelem), atau seks bebas. Tapi, kenakalan anak dan remaja tersebut sebenarnya bukan hanya ada di dunia nyata, melainkan juga ada di dunia maya, dunia yang seringkali luput dari perhatian orang tua.
Kenakalan anak dan remaja di dunia maya cenderung ekstrem, tak terlacak, tapi memiliki dampak yang mungkin hampir sama dengan kenakalan di dunia nyata. Kenakalan-kenakalan itu katakanlah seperti bullying, menghina, kata-kata kasar/kotor, dan akses gambar/video porno. Di dunia maya, hal tersebut sangat mudah dilakukan hanya sekali ketik dan sekali klik. Memang, internet ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, internet memberi ruang pengetahuan yang begitu luas, namun di sisi lain internet juga memberi ruang penyalahgunaan teknologi yang mematikan.
Tapi dalam catatan terakhir saya untuk Bontang Post ini, saya hanya akan membahas mengenai kebiasaan oknum anak dan remaja zaman sekarang yang senang melontarkan hinaan di dunia maya. Mengingat sepertinya kenakalan ini jarang sekali dibahas, kalah populer dibandingkan kenakalan berupa akses video/gambar porno yang ngetren sejak internet pertama kali ditemukan. Saya hanya akan membahas penghinaan yang dilakukan oleh anak-anak dan remaja, bukan oleh orang dewasa. Karena menurut saya, orang dewasa sudah paham dengan konsekuensinya, dan ada hukum yang mengatur itu (contoh kasus penghinaan terhadap Isran Noor).
Di internet, anak-anak dan remaja bisa berbuat apa saja, tanpa mengindahkan batasan sopan santun, moral, etika, dan tata krama. Di jejaring sosial misalnya Facebook, mereka bisa dengan mudah mengeluarkan sumpah serapah terhadap teman mereka atau guru mereka. Bahkan, orang tua mereka sekalipun bisa jadi sasaran emosi salah tempat. Berkaca dari kasus di luar negeri, di mana seorang ayah merusak komputer putrinya setelah menemukan betapa putrinya memaki-makinya dengan kasar dalam status yang ditulis.
Dunia maya yang seakan tanpa batas, seolah membuat anak-anak dan remaja bisa berlaku semaunya. Di sini, seolah mereka bebas memangil orang tua dengan panggilan ‘kamu’ atau ‘lo’. Hal ini saya alamii sendiri, di mana saya menemukan seorang anak kuliahan (yang mestinya berpendidikan) bisa memanggil salah salah tokoh nasional dengan sebutan ‘lu’ (panggilan gaul anak Jakarta). Bahkan, dalam observasi panjang yang saya lakukan, saya menemukan ada begitu banyak cacian dan makian yang diberikan oleh anak-anak dan remaja labil Indonesia, kepada tokoh-tokoh atau pejabat-pejabat tertentu yang memiliki kebijakan kontroversial.
Terlepas dari buruknya pemerintahan Indonesia, bukan jadi alasan pembenaran sikap anak-anak dan remaja untuk kemudian mem-bully mereka, menghina, mengolok mereka, memanggil dengan kata-kata kasar. Bahkan sampai menjadikannya parodi. Apakah ini citra generasi penerus bangsa yang rupanya dibesarkan dengan sumpah serapah? Kalaupun mau jadi generasi penerus yang cerdas, tentu menyampaikan pendapat dengan cerdas pula, bukan dengan tiba-tiba menjadi begitu pintar hingga bisa seenaknya menghina orang lain apalagi orang yang lebih tua. Ya, internet membuat anak-anak kita menjadi ‘pintar’.
Celakanya, ranah penghinaan ini bukan lagi pada sikap personal, melainkan merembet pada unsur yang sensitif, Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA). Begitu mudahnya anak-anak dan remaja saat ini menghina suku, agama, rasa tau golongan tertentu. Sejauh ini yang paling banyak saya temui adalah hinaan atas agama. Bahkan, ada yang memplesetkan unsur-unsur yang ada pada agama tertentu, menjadikannya parodi. Ironisnya, yang melakukannya justru dari agama itu sendiri.
Anak dan remaja Indonesia yang masih minim pemahaman akan hal-hal sensitif tentu akan mudah mendapatkan pengaruh-pengaruh, khususnya dari internet. Bisa saja, melalui internet anak-anak dan remaja bisa mendapatkan pemahaman yang salah tentang agama yang mereka anut. Akibatnya, karena pemahaman yang salah tersebut mereka melihat sikap berbeda yang dilakukan orang seagama sebagai sebuah kesalahan. Lantas, bisa dengan mudah menghakimi seenaknya.
Sentimen ras juga saya temukan dalam observasi saya di dunia maya. Saya melihat, begitu mudahnya anak-anak dan remaja kita menyebarkan sentimen ras ini. Misalnya rumpun Tiongkok atau rumpun Arab, dua ras yang paling banyak mendapatkan sentimen dunia maya. Memang awalnya sentimen seperti ini dilakukan orang dewasa, namun anak-anak dan remaja bisa dengan cepat meniru. Seakan ingin dianggap keren, padahal justru menebarkan benih kebencian yang berpotensi merusak perdamaian.
Bentuk penghinaan lain yang saya temukan merujuk pada gender dan hubungan suami istri. Sederhananya, oknum anak-anak dan remaja ini bisa begitu mudahnya menyebut (maaf) alat kelamin, serta istilah-istilah porno pada komentar yang ditulisnya. Mulai dari ajakan berhubungan suami istri, penghinaan atas bagian tubuh tertentu, hingga ancaman pemerkosaan. Menurut saya, bila penghinaan yang dilakukan sudah merujuk ke bagian ini, sudah terbilang sangat memprihatinkan. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana persepsi anak-anak dan remaja ini pada lingkungan sekitarnya.
Ironisnya, anak-anak dan remaja seperti ini biasanya akan selalu merasa benar di internet. Sebaik apapun kita sebagai orang tua memberikan nasehat, mereka selalu mencoba ngeles, membenarkan pendapat mereka. Bahkan, pernah saya menemukan seorang remaja anak kuliahan (yang mestinya berpendidikan) bisa dengan mudahnya menulis “Hei, ini internet, tidak ada yang berkuasa di sini, ini demokrasi, saya bisa menyampaikan apa saja sesuka saya,” ketika saya mencoba menasihatinya. Kalimat itu membuat saya tergelitik sekaligus emosi. Di internet tidak ada yang berkuasa? Demokrasi? Bisa menyampaikan sesuka saya?
Jelas, kalimat yang ditulis salah seorang oknum remaja tersebut menunjukkan, betapa telah terjadi suatu kesalahan pemahaman dalam pikiran anak-anak zaman sekarang. Apakah, dengan mengunakan internet maka mereka bisa dengan mudah mengabaikan sopan santun, tata krama, etika, dan moral yang selama ini selalu diajarkan orang tua mereka? Apakah artinya dengan adanya demokrasi, mereka bisa bebas begitu saja menyampaikan pendapat tanpa menyaring kata-kata yang tidak pantas?
Fenomena ini bagaimanapun patut menjadi perhatian orang tua dan pihak-pihak terkait. Karena mau tidak mau, internet telah membentuk sebuah nilai baru yang mengancam pikiran anak-anak dan remaja kita. Apa yang saya ungkapkan ini bukan suatu opini atau perkiraan, melainkan sudah menjadi suatu fakta, walaupun tidak bisa dijadikan sebagai generalisasi.
Ya, saya menemukan sendiri bagaimana mengerikannya kalimat-kalimat dari anak-anak dan remaja kita yang beredar di media massa. Bagi saya, bukan jadi masalah bila kalimat-kalimat itu berasal dari orang dewasa. Masalahnya kalimat-kalimat itu keluar dari tangan anak-anak yang umurnya masih begitu muda. Istri saya bahkan pernah menemukan salah seorang muridnya yang menulis kalimat tak sopan, menyebut bagian tubuh perempuan di Facebook. Padahal, sepengetahuan istri saya, anak itu tergolong anak pendiam di dunia nyata. Lantas, apakah di dunia maya kepribadian-kepribadian ‘liar’ anak-anak itu terwujudkan? Apakah di dunia maya keberanian-keberanian tak wajar itu terlampiaskan?
Ini merupakan masalah serius, yang mesti menjadi perhatian semua pihak, khususnya orang tua. Karena, nilai-nilai yang terus-menerus tertanam dalam pikiran anak-anak dan remaja kita, bukan tidak mungkin dapat terwujud dalam perilaku konkret di dunia nyata. Saya beri contoh kasus pelecehan seksual di Samarinda, yang ternyata pelakunya masih bocah-bocah ingusan. Mereka mestinya masih main petak umpet atau main benteng, bukan justru menodai kawan mereka sendiri. Bukan tidak mungkin apa yang mereka lakukan itu merupakan wujud dari kebiasaan buruk akibat penyalahgunaan internet.
Komentar atau tulisan di internet sejatinya merupakan ungkapan perasaan seseorang. Bisa dibilang, merupakan ucapan seseorang yang tersampaikan melalui tulisan. Artinya, ini mewakili pikiran seseorang. Karenanya, komentar atau kalimat yang kita tulis bisa jadi ‘harimau’ bagi diri kita sendiri. Dan juga ‘harimau’ bagi anak-anak kita. Karena itu, sudah seharusnya orang tua memberikan pengawasan lebih pada anak-anak mereka, khususnya dalam berselancar di dunia maya.
Ada perlunya orang tua mengajarkan kepada anak-anak mereka, tentang bagaimana seharusnya bersikap di dunia maya. Bahwa, sopan-santun, etika, dan tata krama berlaku sama baik di dunia nyata maupun dunia maya. Di sini, orang tua juga mesti melek teknologi. Orang tua perlu melindungi anak-anak mereka dari komunikasi dunia maya yang tak sehat. Agar, anak-anak tak menjadi pelaku atau korban bullying melalui internet, yang terbukti telah memakan korban jiwa. Tentu sangat menyedihkan bila hal ini terjadi, dan itu melalui dunia maya. Naudzubillahimindzalik. ([email protected])
NB:
Ini adalah catatan terakhirku untuk Bontang Post, karena terhitung 6 Agustus 2014, aku telah berhenti mengundurkan diri dari Bontang Post. Catatan ini sendiri tercipta akibat salah paham dengan redaktur pelaksana, yang membuatku lantas membuat catatan terakhirku ini di hari terakhirku bekerja di Bontang Post. Catatan ini aku peruntukkan bagi para orangtua dan anak-anak yang ada di dunia maya.