Momen kelulusan ujian nasional (UN) sekolah menjadi perhatian serius dari para wartawan. Karena, momen seperti ini bisa jadi bahan berita. Mulai dari aksi kelulusan siswa yang tak patut dicontoh seperti konvoi atau corat-coret seragam, hingga persentase kelulusan siswa. Nah, tugas meliput kelulusan ini tak luput kudapatkan. Mulai dari kelulusan SMA hingga SMP kemarin. Dan mungkin juga kelulusan SD. Dan yeah, ternyata momen kelulusan di Bontang tahun ini cukup menarik. Mulai dari konvoi berujung petaka hingga broadcast blackberry sesat. Serta, tahun 2013 ini Bontang gagal meraih kelulusan 100 persen pada jenjang SMA karena ada 2 siswa yang tidak lulus.
Well, melihat prosesi kelulusan tersebut membuatku teringat saat kelulusan sekolah dulu. Mulai dari TK, SD, SMP, SMA, hingga kuliah, momen tersebut selalu meninggalkan kesan tersendiri bagiku. Oke, mungkin aku bisa mulai menceritakannya, merunut sejak kelulusan TK.
Well, aku masih terlalu kecil untuk mengingat kelulusan Taman Kanak-Kanak. Tapi, ada momen yang masih tersimpan indah di kepalaku. Saat itu aku sekolah di TK Tunas Inti, Bontang. Dalam acara kelulusan, aku memainkan sebuah tarian berkelompok bersama kawan-kawan yang lain, dengan pakaian seragam yang rapi, biru putih. Di dalam satu kelompok tersebut, terdapat Layin, anak perempuan teman ayahku yang beberapa hari lalu melangsungkan pesta pernikahannya. Foto kegiatan kelulusan itu sendiri masih ada hingga saat ini dalam album nostalgia keluarga kami. Aku ingat aku tampak rapi di hari itu. Selain pesta kelulusan, aku ingat di hari terakhir bersekolah dulu datang ke TK bersama kakakku, untuk memberikan kenang-kenangan kepada wali kelasku. Kenang-kenangan yang dipilihkan ibukuk waktu itu berupa barisan huruf abjad untuk pembelajaran anak-anak. Aku ingat waktu itu aku baru bangun tidur dan belum mandi saat datang kesana mengantarkannya. Jujur, aku ingin sekali bisa mengingat masa TK-ku dengan baik.
Berlanjut ke kelulusan SD, sebenarnya aku tidak terlalu ingat bagaimana proses kelulusan waktu itu, saat aku bersekolah di SD Mojoroto 4 Kediri. Tapi yang kuingat ketika aku tidak datang dalam acara perpisahan yang digelar teman-temanku dan pihak sekolah. Saat itu, sekolah mengadakan acara perpisahan di pantai Watu Limo, Trenggalek. Namun, aku memutuskan untuk tidak ikut. Alasannya waktu itu cukup aneh, yaitu aku bermimpi hanyut terbawa ombak. Selain itu, waktu kecil aku sering mabuk perjalanan. Mengingat untuk mencapai pantai menggunakan angkutan dengan jalan yang berliku-liku membuat pusing. Karena itulah aku memutuskan tidak ikut.
Beranjak ke kelulusan SMP, di SMP Negeri 4 Kediri, ada sedikit kisah sedih.Maksudku, hari kelulusan membuatku sedih. Waktu itu anak-anak dikumpulkan ke kelas untuk menerima hasil kelulusan. Dan semua anak di kelasku lulus. Namun kala itu, anak perempuan yang aku suka tampak sedih. Padahal, dia dinyatakan lulus. Aku bisa menyimpulkan hal tersebut karena melihat pada raut mukanya yang sayu dan tak bersemangat dalam kelas. Aku hendak menanyakan kenapa dia sedih ketika dia berjalan pulang menyusuri lorong sekolah. Namun, entah kenapa langkahku terhenti dan hanya bisa memandangnya dari jauh. Sementara aku melihat deretan kelas yang begitu sepi, dan juga bagian dalam kelasku sendiri, entah kenapa membuatku ikut merasa sedih. Ya, kelulusan SMP dulu rasanya cukup menyedihkan.
Lalu beranjak ke kelulusan SMA. Pada jenjang ini, kelulusan meninggalkan cukup banyak arti. Karena, aku berhasil mendapatkan nilai yang memuaskan dalam UN. Bahkan masuk tiga besar di sekolah. Namun, ada satu teman di kelasku yang tidak lulus. Sementara di kelas lain, temanku saat masih duduk di kelas satu juga tidak lulus. Ya, tahun itu, tahun 2006 di SMA Negeri 3 Kediri, ada dua siswa yang tidak lulus. Ironisnya, dua siswa tersebut adalah siswa yang terbilang pandai di sekolah.
Aku masih ingat ketika Lily, gadis teman sekelasku itu dibawa pergi oleh wali kelas. Dan dari situ, membuat kami bertanya-tanya. Kenyataannya, anak Mataram itu tidak lulus. Saat itu membuatku begitu shock. Bagaimana tidak? Lily adalah teman baikku di kelas dan dia itu anak pintar. Bagaimana mungkin dia bisa tidak lulus? Padahal, dia juga sudah diterima di Universitas Brawijaya Malang melalui jalur penerimaan khusus.
Tapi bukan hanya itu pengalaman menarik kelulusan di SMA dulu. Aku ingat kala itu, setelah anak-anak selesai mengerjakan ujian, salah seorang temanku bernama Dewi Sri menangis begitu histeris di halaman kelas. Gadis manis yang biasa dipanggil Pink itu tampak begitu ketakutan jikalau dirinya tidak lulus UN. Karena, dia merasa banyak kesalahan pada soal-soal yang dikerjakannya. Sementara guru pengawas begitu ketat mengawasinya sehingga dia tidak bisa menyontek. Beruntung guru olahraga kami waktu itu bisa menenangkannya. Meski begitu, toh pada saat pengumuman, dia dinyatakan lulus. Senyum manis pun tersungging di bibirnya.
Rasa takut tidak lulus juga sempat kualami menjelang UN waktu itu. Aku sangat takut tidak lulus. Apalagi saat itu menjadi juara kelas. Yang lantas membuatku berpikir, pasti akan sangat memalukan apabila seorang juara kelas tidak lulus. Tapi Alhamdulillah, aku berhasil lulus.
Kelulusan SMA-ku waktu itu juga diwarnai aksi konvoi dan corat-coret seragam yang tidak mendidik. Namun, saat itu aku tidak ikut serta dalam kegiatan negatif itu. Aku ingat waktu itu temankuk membawa pilok untuk mencoret seragam. Temanku itu bahkan hendak mencoretkan pilok tersebut ke seragam putihku. Tapi peraturan ketat sekolah melarang acara corat-coret. Pihak sekolah mengharuskan anak-anak datang di hari kelulusan dengan pakaian seragam. Dan seragam putih abu-abuku terselamatkan pada momen kelulusan itu. Aku ingat waktu itu aku mencium seragamku yang terlipat rapi, yang lantas kusumbangkan pada tetanggaku yang kurang mampu. Ah, mengingat hal ini membuatku ingin kembali mencium seragam putih yang telah kusam selama kupakai tiga tahun.
Dan puncak kelulusan dalam menuntut ilmu, ada di bangku kuliah. Setelah gagal di salah satu universitas negeri terkenal di Indonesia, bukan berarti aku berhenti kuliah. Aku punya tekad meraih sarjana, karena itu aku melanjutkan kuliahku di Universitas Terbuka (UT), jurusan Ilmu Komunikasi. Awalnya aku tidak yakin menuntut ilmu di perguruan tinggi moderen ini. Apalagi aku sempat gagal mengikuti ujian semester pada semester pertama. Namun di luar dugaan aku bisa menikmati kuliahku dan melakoninya hingga selesai dalam hitungan waktu yang relatif singkat. Bahkan meraih nilai tertinggi pada Tugas Akhir Program.
Aku pun diwisuda setelah memenuhi yudisium. Dengan IPK yang lumayan, aku berhasil membuat ibuku bangga. Aku berhasil membuktikan pada keluarga besarku dan juga pada dunia bahwa walaupun ibuku membesarkanku seorang diri setelah kematian ayahku, namun beliau berhasil mengantarkan anaknya menjadi sarhana. Sungguh, saat wisuda tersebut, membuatku begitu terharu. Aku menjadi cucu pertama nenekku yang berhasil meraih gelar sarjana. Setelah tiga cucu tertuanya putus sekolah. Nenekku pun berkata, "Ayahmu pasti bangga di alam sana." (untuk kelulusan kuliah ini, akan aku tulis lebih lengkap dalam tulisan berikutnya)
Well, bicara kelulusan sebenarnya masih banyak yang bisa dikupas. Namun sepertinya cukup sekian kisah kelulusanku kali ini. Yang pasti, sebuah kelulusan harusnya dapat disikapi dengan bijak, dengan renungan dan rasa syukur pada Tuhan Maha Pencipta. Bukan dengan kebut-kebutan yang bisa membahayakan nyawa. Bukan pula dengan corat-coret seragam yang mubazir. Mari bersyukur. (luk)
Well, melihat prosesi kelulusan tersebut membuatku teringat saat kelulusan sekolah dulu. Mulai dari TK, SD, SMP, SMA, hingga kuliah, momen tersebut selalu meninggalkan kesan tersendiri bagiku. Oke, mungkin aku bisa mulai menceritakannya, merunut sejak kelulusan TK.
Well, aku masih terlalu kecil untuk mengingat kelulusan Taman Kanak-Kanak. Tapi, ada momen yang masih tersimpan indah di kepalaku. Saat itu aku sekolah di TK Tunas Inti, Bontang. Dalam acara kelulusan, aku memainkan sebuah tarian berkelompok bersama kawan-kawan yang lain, dengan pakaian seragam yang rapi, biru putih. Di dalam satu kelompok tersebut, terdapat Layin, anak perempuan teman ayahku yang beberapa hari lalu melangsungkan pesta pernikahannya. Foto kegiatan kelulusan itu sendiri masih ada hingga saat ini dalam album nostalgia keluarga kami. Aku ingat aku tampak rapi di hari itu. Selain pesta kelulusan, aku ingat di hari terakhir bersekolah dulu datang ke TK bersama kakakku, untuk memberikan kenang-kenangan kepada wali kelasku. Kenang-kenangan yang dipilihkan ibukuk waktu itu berupa barisan huruf abjad untuk pembelajaran anak-anak. Aku ingat waktu itu aku baru bangun tidur dan belum mandi saat datang kesana mengantarkannya. Jujur, aku ingin sekali bisa mengingat masa TK-ku dengan baik.
Berlanjut ke kelulusan SD, sebenarnya aku tidak terlalu ingat bagaimana proses kelulusan waktu itu, saat aku bersekolah di SD Mojoroto 4 Kediri. Tapi yang kuingat ketika aku tidak datang dalam acara perpisahan yang digelar teman-temanku dan pihak sekolah. Saat itu, sekolah mengadakan acara perpisahan di pantai Watu Limo, Trenggalek. Namun, aku memutuskan untuk tidak ikut. Alasannya waktu itu cukup aneh, yaitu aku bermimpi hanyut terbawa ombak. Selain itu, waktu kecil aku sering mabuk perjalanan. Mengingat untuk mencapai pantai menggunakan angkutan dengan jalan yang berliku-liku membuat pusing. Karena itulah aku memutuskan tidak ikut.
Beranjak ke kelulusan SMP, di SMP Negeri 4 Kediri, ada sedikit kisah sedih.Maksudku, hari kelulusan membuatku sedih. Waktu itu anak-anak dikumpulkan ke kelas untuk menerima hasil kelulusan. Dan semua anak di kelasku lulus. Namun kala itu, anak perempuan yang aku suka tampak sedih. Padahal, dia dinyatakan lulus. Aku bisa menyimpulkan hal tersebut karena melihat pada raut mukanya yang sayu dan tak bersemangat dalam kelas. Aku hendak menanyakan kenapa dia sedih ketika dia berjalan pulang menyusuri lorong sekolah. Namun, entah kenapa langkahku terhenti dan hanya bisa memandangnya dari jauh. Sementara aku melihat deretan kelas yang begitu sepi, dan juga bagian dalam kelasku sendiri, entah kenapa membuatku ikut merasa sedih. Ya, kelulusan SMP dulu rasanya cukup menyedihkan.
Lalu beranjak ke kelulusan SMA. Pada jenjang ini, kelulusan meninggalkan cukup banyak arti. Karena, aku berhasil mendapatkan nilai yang memuaskan dalam UN. Bahkan masuk tiga besar di sekolah. Namun, ada satu teman di kelasku yang tidak lulus. Sementara di kelas lain, temanku saat masih duduk di kelas satu juga tidak lulus. Ya, tahun itu, tahun 2006 di SMA Negeri 3 Kediri, ada dua siswa yang tidak lulus. Ironisnya, dua siswa tersebut adalah siswa yang terbilang pandai di sekolah.
Aku masih ingat ketika Lily, gadis teman sekelasku itu dibawa pergi oleh wali kelas. Dan dari situ, membuat kami bertanya-tanya. Kenyataannya, anak Mataram itu tidak lulus. Saat itu membuatku begitu shock. Bagaimana tidak? Lily adalah teman baikku di kelas dan dia itu anak pintar. Bagaimana mungkin dia bisa tidak lulus? Padahal, dia juga sudah diterima di Universitas Brawijaya Malang melalui jalur penerimaan khusus.
Tapi bukan hanya itu pengalaman menarik kelulusan di SMA dulu. Aku ingat kala itu, setelah anak-anak selesai mengerjakan ujian, salah seorang temanku bernama Dewi Sri menangis begitu histeris di halaman kelas. Gadis manis yang biasa dipanggil Pink itu tampak begitu ketakutan jikalau dirinya tidak lulus UN. Karena, dia merasa banyak kesalahan pada soal-soal yang dikerjakannya. Sementara guru pengawas begitu ketat mengawasinya sehingga dia tidak bisa menyontek. Beruntung guru olahraga kami waktu itu bisa menenangkannya. Meski begitu, toh pada saat pengumuman, dia dinyatakan lulus. Senyum manis pun tersungging di bibirnya.
Rasa takut tidak lulus juga sempat kualami menjelang UN waktu itu. Aku sangat takut tidak lulus. Apalagi saat itu menjadi juara kelas. Yang lantas membuatku berpikir, pasti akan sangat memalukan apabila seorang juara kelas tidak lulus. Tapi Alhamdulillah, aku berhasil lulus.
Kelulusan SMA-ku waktu itu juga diwarnai aksi konvoi dan corat-coret seragam yang tidak mendidik. Namun, saat itu aku tidak ikut serta dalam kegiatan negatif itu. Aku ingat waktu itu temankuk membawa pilok untuk mencoret seragam. Temanku itu bahkan hendak mencoretkan pilok tersebut ke seragam putihku. Tapi peraturan ketat sekolah melarang acara corat-coret. Pihak sekolah mengharuskan anak-anak datang di hari kelulusan dengan pakaian seragam. Dan seragam putih abu-abuku terselamatkan pada momen kelulusan itu. Aku ingat waktu itu aku mencium seragamku yang terlipat rapi, yang lantas kusumbangkan pada tetanggaku yang kurang mampu. Ah, mengingat hal ini membuatku ingin kembali mencium seragam putih yang telah kusam selama kupakai tiga tahun.
Dan puncak kelulusan dalam menuntut ilmu, ada di bangku kuliah. Setelah gagal di salah satu universitas negeri terkenal di Indonesia, bukan berarti aku berhenti kuliah. Aku punya tekad meraih sarjana, karena itu aku melanjutkan kuliahku di Universitas Terbuka (UT), jurusan Ilmu Komunikasi. Awalnya aku tidak yakin menuntut ilmu di perguruan tinggi moderen ini. Apalagi aku sempat gagal mengikuti ujian semester pada semester pertama. Namun di luar dugaan aku bisa menikmati kuliahku dan melakoninya hingga selesai dalam hitungan waktu yang relatif singkat. Bahkan meraih nilai tertinggi pada Tugas Akhir Program.
Aku pun diwisuda setelah memenuhi yudisium. Dengan IPK yang lumayan, aku berhasil membuat ibuku bangga. Aku berhasil membuktikan pada keluarga besarku dan juga pada dunia bahwa walaupun ibuku membesarkanku seorang diri setelah kematian ayahku, namun beliau berhasil mengantarkan anaknya menjadi sarhana. Sungguh, saat wisuda tersebut, membuatku begitu terharu. Aku menjadi cucu pertama nenekku yang berhasil meraih gelar sarjana. Setelah tiga cucu tertuanya putus sekolah. Nenekku pun berkata, "Ayahmu pasti bangga di alam sana." (untuk kelulusan kuliah ini, akan aku tulis lebih lengkap dalam tulisan berikutnya)
Well, bicara kelulusan sebenarnya masih banyak yang bisa dikupas. Namun sepertinya cukup sekian kisah kelulusanku kali ini. Yang pasti, sebuah kelulusan harusnya dapat disikapi dengan bijak, dengan renungan dan rasa syukur pada Tuhan Maha Pencipta. Bukan dengan kebut-kebutan yang bisa membahayakan nyawa. Bukan pula dengan corat-coret seragam yang mubazir. Mari bersyukur. (luk)