Catatan ini diterbitkan di halaman 1 Bontang Post edisi Selasa, 10 September 2013 dengan judul Semoga Memilih Bukan karena Rupiah.
Ajang Pemilihan Gubernur (pilgub) Kaltim 2013 akan digelar Selasa (10/9) hari ini, serentak di seluruh kabupaten/kota di Kaltim. Mirisnya, rupanya pesta demokrasi dalam mencari pemimpin baru Kaltim untuk lima tahun ke depan ini disebut-sebut kurang bergaung di Kota Taman. Berbeda dengan penyelenggaraan di kota-kota besar seperti Samarinda dan Balikpapan. Tentunya kita bertanya, ada apa?
Dari beberapa wawancara yang saya lakukan, beberapa warga dari kelompok menengah ke bawah menyatakan kurangnya sosialisasi atau kampanye dari masing-masing calon. Atau bahasa lainnya, minim pendekatan. Sehingga, mereka bahkan tidak mengenal siapa saja yang menjadi calon dalam pilgub ini. Padahal, setiap pasangan calon telah diberikan waktu kampanye tertentu, yang mestinya bisa dimanfaatkan dengan baik. Disini timbul pertanyaan, apakah kampanye yang dilakukan tidak efektif, atau mungkin, waktu kampanye tersebut masih kurang dengan wilayah Benua Etam yang terbilang luas?
Masuk akal bila minimnya pendekatan menjadi salah satu penyebab kurang dikenalnya calon-calon yang akan bertarung dalam pilgub. Analoginya, bila ada seorang laki-laki yang ingin menjalin hubungan dengan seorang perempuan, tentunya akan melakukan pendekatan atau istilah kerennya pedekate sebelum menyatakan cinta atau mengikrarkan lamaran. Karena, bila tidak ada pendekatan, bakal repot setelah nantinya menikah lantas diketahui belangnya. Hal sama berlaku pada tiga pasangan kita, yang dalam setiap kampanyenya selalu mengusung tema perubahan Kaltim lebih baik. Mana mungkin kita bisa memercayai sepasang kandidat kalau kita tidak tahu latar belakang mereka? Bahkan, tahu namanya saja belum pernah. Lantas mau memercayakan nasib Kaltim lima tahun ke depan di tangan mereka? Ibaratnya, seperti membeli kucing dalam karung.
Tapi sebenarnya kalau bicara latar belakang, ketiga kandidat kita masing-masing memiliki latar belakang pemimpin dan pernah menjadi pemimpin, atau bahkan saat ini sedang menjadi pemimpin daerah. Bukannya kampanye, tapi memang kenyataannya seperti itu. Kita lihat calon gubernur (cagub) nomor urut 1, Awang Faroek Ishak yang masih tercatat sebagai Gubernur Kaltim alias incumbent. Diikuti di nomor urut 2 ada Farid Wadjdy, Wakil Gubernur (wagub) Kaltim yang dalam pilgub kami ini memilih berpisah dari Awang. Serta kandidat nomor urut 3 Imdaad Hamid yang merupakan mantan Wali Kota Balikpapan. Jadi, siapapun yang terpilih nantinya sudah memiliki kapasitas menjadi pemimpin. Hanya saja, tentunya publik akan kembali berpikir dan menilai bagaimana peran mereka pada saat mereka dipercaya menjadi pemimpin. Sudahkah mereka menciptakan sebuah perubahan yang baik bagi daerah yang dipimpinnya?
Ya, di masa sekarang, bukti memang lebih kuat dibandingkan janji-janji. Publik sudah bosan dengan janji-janji yang sekadar omong kosong tanpa bukti. Inilah yang tentunya yang menjadi pertimbangan bagi masyarakat untuk memilih pemimpin mereka nantinya. Track record atau rekam jejak kandidat bakal menentukan apakah yang bersangkutan terpilih atau tidak. Di luar tentunya, kedekatan dengan masyarakat. Ambil contoh Joko Widodo alias Jokowi yang sanggup ‘menghancurkan’ incumbent Fauzi Bowo alias Foke dalam Pilgub Jakarta lalu. Terlepas dari pencitraan media, sudah sejak lama Jokowi dikenal dekat dengan rakyatnya kala menjadi Wali Kota Solo. Bandingkan dengan Foke yang baru ‘ikut-ikutan’ belusukan ala Jokowi saat kampanye. Sayangnya, dalam belusukan yang dilakukan, alih-alih menunjukkan empati pada masyarakat, Foke justru menyalahkan pilihan masyarakat ketika belusukan pada korban kebakaran. Alih-alih dapat dukungan, dia justru mendapat kontroversi.
Memang tidak bisa dimungkiri, di daerah manapun pemimpin yang dekat dengan rakyat selalu mendapat perhatian lebih. Berbeda dengan pemimpin yang hanya bisa duduk meja kerja, dan jarang menengok kondisi rakyatnya. Hal ini saya rasakan ketika saya meliput takbir keliling Pemkot Bontang kala Idulfitri 1434 Hijriah lalu. Saat itu, Wali Kota Bontang Adi Darma bersama Wakilnya Isro Umarghani berdiri di atas bak belakang mobil sembari menyapa masyarakat Bontang di sepanjang jalan. Saya ingat, betapa masyarakat dari berbagai kalangan kala itu membalas setiap lambaian Wali Kota dengan sangat antusias. Mereka menyambut dengan senyum dan ramah. Bahkan anak-anak berlarian mengejar iring-iringan Wali Kota. Hal seperti ini bukan hanya terjadi pada momen takbir keliling, melainkan juga pada acara-acara dengan Wali Kota sebagai ‘bintang tamu’. Lalu saya mencoba menyimpulkan, masyarakat membutuhkan figur-figur yang perhatian. Yang tak segan bertemu rakyatnya dan tidak terpaku pada seremonial atau protokoler yang membosankan. Mereka senang bila sang pemimpin dapat duduk bersama dan menyatu bersama mereka, berempati ikut merasakan penderitaan mereka.
Jadi, apakah kurang bergaungnya nama-nama para calon dikarenakan kurangnya kedekatan emosional dengan masyarakat? Sehingga sampai-sampai ada warga yang tidak tahu siapa yang bakal mereka pilih. Kesalahan sosialisasi, atau sikap masyarakat itu sendiri? Atau, memang Bontang kurang diperhitungkan dalam meraup suara sehingga cenderung diabaikan? Atau karena sudah tertanam dalam benak masyarakat Kota Taman, bahwa siapapun gubernurnya tidak akan berpengaruh pada kemajuan Bontang? Sebagaimana yang dirasakan sebagian masyarakat. Benarkah gubernur lebih memilih dekat dengan kota-kota besar yang memiliki basis suara besar? Tentunya hal ini perlu dipikirkan. Sekecil apapun potensi suara yang bisa didapatkan di suatu daerah, tetap sangat menentukan kemenangan. Dan sekecil apapun jumlah penduduk di suatu daerah, tetap bisa menimbulkan pergolakan apabila didera ketidakadilan. Ini yang diinginkan calon-calon gubernur kita yang terhormat? Saya rasa tentu saja tidak.
Dengan kondisi seperti ini, dikhawatirkan politik uang dapat bermain mengambil kesempatan. Para pemilih potensial tersebut yang kurang sosialisasi dan tak mengenal siapa kandidat pemimpin mereka, rentan terkena godaan politik uang. Wajar, daripada tidak ada yang dipilih karena tidak kenal, maka masyarakat lantas berpikir untuk memilih kandidat yang berani mengeluarkan Rupiah. Paling tidak, ada kontribusi yang mereka dapatkan. Hal seperti ini bukan omong kosong. Salah seorang narasumber saya pernah mengatakan, biasanya pada ajang pemilihan sebelumnya, praktik seperti ini terjadi. Hanya berbekal selembar Rp 100 ribu, hak pilih seseorang dapat terbeli. “Mudah saja bagi tim sukses untuk mendapatkan suara. Kalau ada yang berani kasih Rp 100 ribu, nanti saya kumpulkan orang. Tapi untuk pilgub ini sepertinya tidak ada yang berani. Sepertinya yang dapat jatah cuma tim suksesnya. Beda sama pemilihan legislatif atau Wali Kota,” terang narasumber saya.
Tentu miris mengetahui kenyataan tersebut. Karena, pilihan yang dipilih bukan karena kualitas dari suatu calon, melainkan sebatas karena Rupiah. Tentunya ini menjadi perhatian semua pihak, terutama mereka yang berencana mencalonkan diri menjadi pemimpin. Tidak perlu mencela calon pemimpin dari golongan tertentu untuk memenangkan suatu ‘kontes’ demokrasi. Melainkan, bertindaklah nyata dan berikanlan bukti. Jadilah pemimpin yang dekat dengan rakyat, yang bukan hanya muncul saat pemilihan, melainkan selalu ada bagi masyarakat. Karena pemimpin yang baik adalah pemimpin yang dekat dengan rakyat yang dipimpin. Sejarah sudah membuktikan itu! (luk)
Ajang Pemilihan Gubernur (pilgub) Kaltim 2013 akan digelar Selasa (10/9) hari ini, serentak di seluruh kabupaten/kota di Kaltim. Mirisnya, rupanya pesta demokrasi dalam mencari pemimpin baru Kaltim untuk lima tahun ke depan ini disebut-sebut kurang bergaung di Kota Taman. Berbeda dengan penyelenggaraan di kota-kota besar seperti Samarinda dan Balikpapan. Tentunya kita bertanya, ada apa?
Dari beberapa wawancara yang saya lakukan, beberapa warga dari kelompok menengah ke bawah menyatakan kurangnya sosialisasi atau kampanye dari masing-masing calon. Atau bahasa lainnya, minim pendekatan. Sehingga, mereka bahkan tidak mengenal siapa saja yang menjadi calon dalam pilgub ini. Padahal, setiap pasangan calon telah diberikan waktu kampanye tertentu, yang mestinya bisa dimanfaatkan dengan baik. Disini timbul pertanyaan, apakah kampanye yang dilakukan tidak efektif, atau mungkin, waktu kampanye tersebut masih kurang dengan wilayah Benua Etam yang terbilang luas?
Masuk akal bila minimnya pendekatan menjadi salah satu penyebab kurang dikenalnya calon-calon yang akan bertarung dalam pilgub. Analoginya, bila ada seorang laki-laki yang ingin menjalin hubungan dengan seorang perempuan, tentunya akan melakukan pendekatan atau istilah kerennya pedekate sebelum menyatakan cinta atau mengikrarkan lamaran. Karena, bila tidak ada pendekatan, bakal repot setelah nantinya menikah lantas diketahui belangnya. Hal sama berlaku pada tiga pasangan kita, yang dalam setiap kampanyenya selalu mengusung tema perubahan Kaltim lebih baik. Mana mungkin kita bisa memercayai sepasang kandidat kalau kita tidak tahu latar belakang mereka? Bahkan, tahu namanya saja belum pernah. Lantas mau memercayakan nasib Kaltim lima tahun ke depan di tangan mereka? Ibaratnya, seperti membeli kucing dalam karung.
Tapi sebenarnya kalau bicara latar belakang, ketiga kandidat kita masing-masing memiliki latar belakang pemimpin dan pernah menjadi pemimpin, atau bahkan saat ini sedang menjadi pemimpin daerah. Bukannya kampanye, tapi memang kenyataannya seperti itu. Kita lihat calon gubernur (cagub) nomor urut 1, Awang Faroek Ishak yang masih tercatat sebagai Gubernur Kaltim alias incumbent. Diikuti di nomor urut 2 ada Farid Wadjdy, Wakil Gubernur (wagub) Kaltim yang dalam pilgub kami ini memilih berpisah dari Awang. Serta kandidat nomor urut 3 Imdaad Hamid yang merupakan mantan Wali Kota Balikpapan. Jadi, siapapun yang terpilih nantinya sudah memiliki kapasitas menjadi pemimpin. Hanya saja, tentunya publik akan kembali berpikir dan menilai bagaimana peran mereka pada saat mereka dipercaya menjadi pemimpin. Sudahkah mereka menciptakan sebuah perubahan yang baik bagi daerah yang dipimpinnya?
Ya, di masa sekarang, bukti memang lebih kuat dibandingkan janji-janji. Publik sudah bosan dengan janji-janji yang sekadar omong kosong tanpa bukti. Inilah yang tentunya yang menjadi pertimbangan bagi masyarakat untuk memilih pemimpin mereka nantinya. Track record atau rekam jejak kandidat bakal menentukan apakah yang bersangkutan terpilih atau tidak. Di luar tentunya, kedekatan dengan masyarakat. Ambil contoh Joko Widodo alias Jokowi yang sanggup ‘menghancurkan’ incumbent Fauzi Bowo alias Foke dalam Pilgub Jakarta lalu. Terlepas dari pencitraan media, sudah sejak lama Jokowi dikenal dekat dengan rakyatnya kala menjadi Wali Kota Solo. Bandingkan dengan Foke yang baru ‘ikut-ikutan’ belusukan ala Jokowi saat kampanye. Sayangnya, dalam belusukan yang dilakukan, alih-alih menunjukkan empati pada masyarakat, Foke justru menyalahkan pilihan masyarakat ketika belusukan pada korban kebakaran. Alih-alih dapat dukungan, dia justru mendapat kontroversi.
Memang tidak bisa dimungkiri, di daerah manapun pemimpin yang dekat dengan rakyat selalu mendapat perhatian lebih. Berbeda dengan pemimpin yang hanya bisa duduk meja kerja, dan jarang menengok kondisi rakyatnya. Hal ini saya rasakan ketika saya meliput takbir keliling Pemkot Bontang kala Idulfitri 1434 Hijriah lalu. Saat itu, Wali Kota Bontang Adi Darma bersama Wakilnya Isro Umarghani berdiri di atas bak belakang mobil sembari menyapa masyarakat Bontang di sepanjang jalan. Saya ingat, betapa masyarakat dari berbagai kalangan kala itu membalas setiap lambaian Wali Kota dengan sangat antusias. Mereka menyambut dengan senyum dan ramah. Bahkan anak-anak berlarian mengejar iring-iringan Wali Kota. Hal seperti ini bukan hanya terjadi pada momen takbir keliling, melainkan juga pada acara-acara dengan Wali Kota sebagai ‘bintang tamu’. Lalu saya mencoba menyimpulkan, masyarakat membutuhkan figur-figur yang perhatian. Yang tak segan bertemu rakyatnya dan tidak terpaku pada seremonial atau protokoler yang membosankan. Mereka senang bila sang pemimpin dapat duduk bersama dan menyatu bersama mereka, berempati ikut merasakan penderitaan mereka.
Jadi, apakah kurang bergaungnya nama-nama para calon dikarenakan kurangnya kedekatan emosional dengan masyarakat? Sehingga sampai-sampai ada warga yang tidak tahu siapa yang bakal mereka pilih. Kesalahan sosialisasi, atau sikap masyarakat itu sendiri? Atau, memang Bontang kurang diperhitungkan dalam meraup suara sehingga cenderung diabaikan? Atau karena sudah tertanam dalam benak masyarakat Kota Taman, bahwa siapapun gubernurnya tidak akan berpengaruh pada kemajuan Bontang? Sebagaimana yang dirasakan sebagian masyarakat. Benarkah gubernur lebih memilih dekat dengan kota-kota besar yang memiliki basis suara besar? Tentunya hal ini perlu dipikirkan. Sekecil apapun potensi suara yang bisa didapatkan di suatu daerah, tetap sangat menentukan kemenangan. Dan sekecil apapun jumlah penduduk di suatu daerah, tetap bisa menimbulkan pergolakan apabila didera ketidakadilan. Ini yang diinginkan calon-calon gubernur kita yang terhormat? Saya rasa tentu saja tidak.
Dengan kondisi seperti ini, dikhawatirkan politik uang dapat bermain mengambil kesempatan. Para pemilih potensial tersebut yang kurang sosialisasi dan tak mengenal siapa kandidat pemimpin mereka, rentan terkena godaan politik uang. Wajar, daripada tidak ada yang dipilih karena tidak kenal, maka masyarakat lantas berpikir untuk memilih kandidat yang berani mengeluarkan Rupiah. Paling tidak, ada kontribusi yang mereka dapatkan. Hal seperti ini bukan omong kosong. Salah seorang narasumber saya pernah mengatakan, biasanya pada ajang pemilihan sebelumnya, praktik seperti ini terjadi. Hanya berbekal selembar Rp 100 ribu, hak pilih seseorang dapat terbeli. “Mudah saja bagi tim sukses untuk mendapatkan suara. Kalau ada yang berani kasih Rp 100 ribu, nanti saya kumpulkan orang. Tapi untuk pilgub ini sepertinya tidak ada yang berani. Sepertinya yang dapat jatah cuma tim suksesnya. Beda sama pemilihan legislatif atau Wali Kota,” terang narasumber saya.
Tentu miris mengetahui kenyataan tersebut. Karena, pilihan yang dipilih bukan karena kualitas dari suatu calon, melainkan sebatas karena Rupiah. Tentunya ini menjadi perhatian semua pihak, terutama mereka yang berencana mencalonkan diri menjadi pemimpin. Tidak perlu mencela calon pemimpin dari golongan tertentu untuk memenangkan suatu ‘kontes’ demokrasi. Melainkan, bertindaklah nyata dan berikanlan bukti. Jadilah pemimpin yang dekat dengan rakyat, yang bukan hanya muncul saat pemilihan, melainkan selalu ada bagi masyarakat. Karena pemimpin yang baik adalah pemimpin yang dekat dengan rakyat yang dipimpin. Sejarah sudah membuktikan itu! (luk)
kliping_catatanku_di_halaman_1_bontang_post.jpg |