PERINGATAN!!!
DILARANG KERAS MENYALIN TULISAN INI TANPA SEIZIN PENULIS
DILARANG KERAS MENYALIN TULISAN INI TANPA SEIZIN PENULIS
Reni Eka Wahyuni, Ibu Rumah Tangga yang Jadi Lurah Satimpo
Hadapi Beragam Karakter Masyarakat
Reni Eka Wahyuni, ibu tiga anak ini tak pernah menyangka bakal menjadi lurah. Apalagi, saat memulai karier sebagai pegawai negeri sipil (PNS), kiprahnya lebih banyak di laboratorium dan melakukan penelitian.
LUKMAN MAULANA, Bontang
Hadapi Beragam Karakter Masyarakat
Reni Eka Wahyuni, ibu tiga anak ini tak pernah menyangka bakal menjadi lurah. Apalagi, saat memulai karier sebagai pegawai negeri sipil (PNS), kiprahnya lebih banyak di laboratorium dan melakukan penelitian.
LUKMAN MAULANA, Bontang
Pertama kali menjadi PNS di tahun 1992 Reni bekerja di Departemen Perindustrian tepatnya di Balai Industri Samarinda. Dia menjabat sebagai bendahara pada instansi vertikal pemerintah pusat tersebut selama sebelas tahun lamanya. Hingga kemudian di 2003, dia mengikuti sang suami yang dipindahtugaskan ke Kota Taman. Di Bontang, dia ditempatkan sebagai staf kelurahan Tanjung Laut.
“Dulu awalnya saya bekerja di laboratorium, banyak melakukan penelitian. Pertemuan dengan masyarakat pun terbatas. Tapi setelah pindah ke Bontang dan bekerja di kelurahan, saya banyak berinteraksi dengan masyarakat,” terang Reni.
Di Bontang, karier Reni menanjak perlahan. Pada 2005, dia diangkat menjadi kepala seksi (kasie) Kesejahteraan Sosial (Kessos) Tanjung Laut. Di 2008, dia lantas diangkat menjadi Sekretaris Lurah (Seklur) Tanjung Laut hingga 2011. Di 2012, kiprahnya berpindah ke kecamatan, sebagai Kasie PMKS Kecamatan Bontang Selatan. Barulah pada gerbong mutasi Agustus 2013, dia dipercaya menjabat Lurah Satimpo.
“Sebagai PNS, mesti siap ditempatkan pada posisi apa saja. Bagi saya, merupakan sebuah amanah ketika dipercaya kepala daerah untuk menjadi lurah. Tanggung jawabnya lebih besar karena memimpin suatu wilayah dalam hal administrasi pemerintahan masyarakat berikut pembangunannya,” papar istri dari Parmono ini.
Dipaparkannya, sebagai lurah, jam kerjanya tak terbatas pada jam kerja kantor mulai pukul 07.30 Wita sampai 16.00 Wita. Di luar jam kerja rutin itu, Reni tetap turun ke lapangan bila ada kegiatan-kegiatan menyangkut kepentingan masyarakat.
Lingkungan Satimpo yang meliputi kawasan perumahan Badak LNG memang membuat Reni mesti meluangkan waktu lebih saat malam. Pasalnya banyak kegiatan kemasyarakatan yang digelar saat malam karena menyesuaikan waktu para warga yang bekerja di Badak LNG. Seperti pertemuan ketua RT, Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM), Forum Pembauran Kebangsaan (FPK), atau kegiatan-kegiatan sosialisasi lainnya.
“Dari 25 RT yang ada di Satimpo, hanya 5 RT yang berada di luar perumahan perusahaan. Walaupun hari libur atau malam hari harus tetap turun. Harus siap siaga 24 jam,” terangnya.
Suka dan duka telah banyak dilewati Reni sebagai abdi negara. Khususnya dalam pekerjaannya di kelurahan. Sukanya, dia sering bertemu dan berinteraksi dengan masyarakat, mendapat pengalaman baru. Dukanya, bila ada warga yang tidak paham dengan aturan yang ada, sehingga protes terhadap pelayanan yang diberikan kelurahan. Misalnya dalam masalah kependudukan, banyak yang belum paham mekanisme pengurusan kartu tanda penduduk (KTP).
“Masyarakat terdiri dari bermacam-macam karakter. Di sini saya harus pintar dalam menjelaskan persoalan administrasi yang ada,” tandas sulung dari empat bersaudara ini. (***)
“Dulu awalnya saya bekerja di laboratorium, banyak melakukan penelitian. Pertemuan dengan masyarakat pun terbatas. Tapi setelah pindah ke Bontang dan bekerja di kelurahan, saya banyak berinteraksi dengan masyarakat,” terang Reni.
Di Bontang, karier Reni menanjak perlahan. Pada 2005, dia diangkat menjadi kepala seksi (kasie) Kesejahteraan Sosial (Kessos) Tanjung Laut. Di 2008, dia lantas diangkat menjadi Sekretaris Lurah (Seklur) Tanjung Laut hingga 2011. Di 2012, kiprahnya berpindah ke kecamatan, sebagai Kasie PMKS Kecamatan Bontang Selatan. Barulah pada gerbong mutasi Agustus 2013, dia dipercaya menjabat Lurah Satimpo.
“Sebagai PNS, mesti siap ditempatkan pada posisi apa saja. Bagi saya, merupakan sebuah amanah ketika dipercaya kepala daerah untuk menjadi lurah. Tanggung jawabnya lebih besar karena memimpin suatu wilayah dalam hal administrasi pemerintahan masyarakat berikut pembangunannya,” papar istri dari Parmono ini.
Dipaparkannya, sebagai lurah, jam kerjanya tak terbatas pada jam kerja kantor mulai pukul 07.30 Wita sampai 16.00 Wita. Di luar jam kerja rutin itu, Reni tetap turun ke lapangan bila ada kegiatan-kegiatan menyangkut kepentingan masyarakat.
Lingkungan Satimpo yang meliputi kawasan perumahan Badak LNG memang membuat Reni mesti meluangkan waktu lebih saat malam. Pasalnya banyak kegiatan kemasyarakatan yang digelar saat malam karena menyesuaikan waktu para warga yang bekerja di Badak LNG. Seperti pertemuan ketua RT, Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM), Forum Pembauran Kebangsaan (FPK), atau kegiatan-kegiatan sosialisasi lainnya.
“Dari 25 RT yang ada di Satimpo, hanya 5 RT yang berada di luar perumahan perusahaan. Walaupun hari libur atau malam hari harus tetap turun. Harus siap siaga 24 jam,” terangnya.
Suka dan duka telah banyak dilewati Reni sebagai abdi negara. Khususnya dalam pekerjaannya di kelurahan. Sukanya, dia sering bertemu dan berinteraksi dengan masyarakat, mendapat pengalaman baru. Dukanya, bila ada warga yang tidak paham dengan aturan yang ada, sehingga protes terhadap pelayanan yang diberikan kelurahan. Misalnya dalam masalah kependudukan, banyak yang belum paham mekanisme pengurusan kartu tanda penduduk (KTP).
“Masyarakat terdiri dari bermacam-macam karakter. Di sini saya harus pintar dalam menjelaskan persoalan administrasi yang ada,” tandas sulung dari empat bersaudara ini. (***)
Belajar dari Senior, Beri Contoh Langsung
PERMASALAHAN di kelurahan bukan hal baru bagi Reni. Karena sebelum menjadi Lurah Satimpo, dia pernah bekerja di kelurahan Tanjung Laut. Berbekal pengalamannya sebagai kasie kesejahteraan sosial (Kessos) dan sekretaris lurah (seklur) Tanjung Laut, Reni banyak tahu permasalahan masyarakat di kelurahan. Pekerjaan di kelurahan baginya meninggalkan kesanmendalam, karena dia lebih banyak berinteraksi di lembaga-lembaga masyarakat seperti misalnya PKK.
“Banyak ilmu yang saya dapat tentang masyarakat. Saya juga jadi tahu bagaimana bentuk-bentuk bantuan kepada masyarakat saat menjadi Kasie Kessos,” kisah Reni.
Tak jarang dalam distribusi bantuan dari pemerintah ini, dia kerap mendapat protes dari warga. Misalnya warga yang protes karena tidak mendapat bantuan beras miskin (Raskin). Dalam protes ini, warga menuding pihak kelurahan menghapus mereka dari daftar penerima Raskin. Padahal, penentuan Raskin dilakukan oleh tim pemerintah.
“Bila tidak dapat Raskin, protes ke kami. Seolah-olah, kami yang mengeliminasi nama warga sehingga tidak mendapat Raskin. Tapi kami tetap menerima keluhan yang ada, dan pasti memfasilitasi warga miskin yang tidak mendapat Raskin,” bebernya.
Bahkan, pernah terjadi salah seorang oknum warga yang mengancam bakal membakar kantor lurah. Namun karena ditanggapi tanpa menggunakan emosi, masalah tersebut dapat terselesaikan dengan baik. Menurut Reni, terkadang masyarakat tidak paham dengan peraturan yang ada. Karena ketidakpahamanan ini, dia menganggap wajar bila ada warga yang protes.
Kini, dalam menjalani perannya sebagai lurah, Reni mengaku banyak belajar dari para pemimpin-pemimpinnya sebelumnya. Di antaranya lurah-lurah dan camat yang pernah menjadi atasannya. Dari mereka, dia melihat beragam bentuk kepemimpinan yang dapat diteladani.
“Saya banyak belajar dari senior, mempelajari lurah-lurah, dari pimpinan-pimpinan sebelumnya. Khususnya tentang bagaimana menyelesaikan masalah,” sebut Alumnus Universitas Tujuh Belas Agustus (Untag) Samarinda ini.
Banyak belajar memang menjadi prinsip hidup Reni. Baginya, setiap tantangan atau hambatan, jangan sampai menjadi penghalang untuk melangkah maju dalam bekerja. Karena, dia yakin semua masalah pasti memiliki jalan penyelesaiannya masing-masing. “Jangan pernah takut mencoba. Kalau orang lain bisa, kita juga pasti bisa,” tuturnya memberi semangat.
Memang, dalam manajemen pegawai di lingkungan kelurahan, Reni bukan sekadar memberi perintah. Melainkan, dia langsung memberi teladan kepada aparat kelurahan. Misalnya dengan datang tepat waktu ke tempat kerja. Kata Reni, para pegawai di kelurahan tentunya telah dewasa dan memahami peraturan.
“Susah kalau tidak memberi contoh. Apa gunanya banyak bicara bila kita sendiri tidak melaksanakannya. Yang penting berikan pengarahan yang baik. Sementara bila ada pegawai yang melanggar aturan, saya lebih memilih menegur dengan candaan,” ungkap Reni. (luk)
PERMASALAHAN di kelurahan bukan hal baru bagi Reni. Karena sebelum menjadi Lurah Satimpo, dia pernah bekerja di kelurahan Tanjung Laut. Berbekal pengalamannya sebagai kasie kesejahteraan sosial (Kessos) dan sekretaris lurah (seklur) Tanjung Laut, Reni banyak tahu permasalahan masyarakat di kelurahan. Pekerjaan di kelurahan baginya meninggalkan kesanmendalam, karena dia lebih banyak berinteraksi di lembaga-lembaga masyarakat seperti misalnya PKK.
“Banyak ilmu yang saya dapat tentang masyarakat. Saya juga jadi tahu bagaimana bentuk-bentuk bantuan kepada masyarakat saat menjadi Kasie Kessos,” kisah Reni.
Tak jarang dalam distribusi bantuan dari pemerintah ini, dia kerap mendapat protes dari warga. Misalnya warga yang protes karena tidak mendapat bantuan beras miskin (Raskin). Dalam protes ini, warga menuding pihak kelurahan menghapus mereka dari daftar penerima Raskin. Padahal, penentuan Raskin dilakukan oleh tim pemerintah.
“Bila tidak dapat Raskin, protes ke kami. Seolah-olah, kami yang mengeliminasi nama warga sehingga tidak mendapat Raskin. Tapi kami tetap menerima keluhan yang ada, dan pasti memfasilitasi warga miskin yang tidak mendapat Raskin,” bebernya.
Bahkan, pernah terjadi salah seorang oknum warga yang mengancam bakal membakar kantor lurah. Namun karena ditanggapi tanpa menggunakan emosi, masalah tersebut dapat terselesaikan dengan baik. Menurut Reni, terkadang masyarakat tidak paham dengan peraturan yang ada. Karena ketidakpahamanan ini, dia menganggap wajar bila ada warga yang protes.
Kini, dalam menjalani perannya sebagai lurah, Reni mengaku banyak belajar dari para pemimpin-pemimpinnya sebelumnya. Di antaranya lurah-lurah dan camat yang pernah menjadi atasannya. Dari mereka, dia melihat beragam bentuk kepemimpinan yang dapat diteladani.
“Saya banyak belajar dari senior, mempelajari lurah-lurah, dari pimpinan-pimpinan sebelumnya. Khususnya tentang bagaimana menyelesaikan masalah,” sebut Alumnus Universitas Tujuh Belas Agustus (Untag) Samarinda ini.
Banyak belajar memang menjadi prinsip hidup Reni. Baginya, setiap tantangan atau hambatan, jangan sampai menjadi penghalang untuk melangkah maju dalam bekerja. Karena, dia yakin semua masalah pasti memiliki jalan penyelesaiannya masing-masing. “Jangan pernah takut mencoba. Kalau orang lain bisa, kita juga pasti bisa,” tuturnya memberi semangat.
Memang, dalam manajemen pegawai di lingkungan kelurahan, Reni bukan sekadar memberi perintah. Melainkan, dia langsung memberi teladan kepada aparat kelurahan. Misalnya dengan datang tepat waktu ke tempat kerja. Kata Reni, para pegawai di kelurahan tentunya telah dewasa dan memahami peraturan.
“Susah kalau tidak memberi contoh. Apa gunanya banyak bicara bila kita sendiri tidak melaksanakannya. Yang penting berikan pengarahan yang baik. Sementara bila ada pegawai yang melanggar aturan, saya lebih memilih menegur dengan candaan,” ungkap Reni. (luk)
Ditunjuk saat Hamil, Idolakan Kartini
ADA yang menarik dalam penunjukkan Reni menjadi Lurah Satimpo, Agustus 2013 silam. Pasalnya, kala itu dia tengah hamil anak ketiganya, M Afnan Atma Nugraha. Karena itu dia sempat terkejut dan tak menyangka ditunjuk menjadi lurah.
“Januari kemarin saya cuti hamil, baru kembali bekerja awal April. Keluarga bilang penunjukkan lurah ini rezeki anak,” tutur Reni.
Sebagai perempuan karier, Reni sadar waktunya untuk keluarga bakal berkurang. Meski begitu, dia berupaya agar pekerjaannya tersebut tidak membuat kewajibannya sebagai seorang istri dan seorang ibu bagi tiga anaknya tak terganggu. Beruntung, sang suami yang bekerja sebagai kepala sekolah salah satu Madrasah Tsanawiyah di Kota Taman dapat memahami pekerjaannya tersebut.
“Suami sudah tahu risiko PNS. Dukungan suami besar, karenanya saya bisa bekerja dengan tenang,” terangnya.
Meski menjadi seorang pemimpin kelurahan, di rumah Reni tetaplah ibu rumah tangga biasa. Sama seperti ibu-ibu lainnya, setiap pagi Reni selalu menyiapkan sarapan untuk suami dan anak. Baru setelah suaminya berangkat kerja dan anak-anak berangkat sekolah, dia mulai mempersiapkan diri berangkat ke kantornya di Jalan HM Ardans. Karena itu, setiap waktu libur dan ada waktu luang, Reni berupaya memaksimalkannya bersama keluarga.
“Waktu luang mesti dimanfaatkan sebaik-baiknya. Digunakan bersantai bersama keluarga, saling bercerita. Walaupun sederhana, mesti digunakan dengan efektif dan berkualitas,” ujar perempuan kelahiran Samarinda, 41 tahun lalu ini.
Biasanya di hari libur, Reni dan keluarga memanfaatkannya untuk jalan-jalan pagi. Sepulang dari jalan-jalan pagi, digunakan untuk memasak bersama-sama. Menu favorit yang biasa dimasakkannya untuk keluarga yaitu sayur asam Jawa. Terkadang, justru sang suami yang memasak menu makanan di hari libur.
“Kalau libur biasanya memang di rumah saja. Sering juga makan bersama di luar,” tambahnya.
Soal hobi, Reni mengaku suka membaca buku sejak kecil. Baginya, membaca merupakan hobi yang santai dan menghibur. Jenis buku kesukaannya yaitu buku-buku biografi tokoh atau buku-buku novel. Salah satu buku yang disukainya yaitu buku ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’ yang ditulis RA Kartini.
“Saya membaca buku itu sejak kelas 5 SD dan sampai sekarang terus teringat isinya. Buku itu sangat berkesan, mengisahkan korespondensi yang dilakukan Kartini. Walaupun dia keturunan ningrat. Tapi dia punya keinginan memajukan diri,” papar Reni.
Sosok Kartini sendiri merupakan idola Reni sejak kecil. Dia bercita-cita bisa menjadi seperti Kartini, membuktikan bahwa perempuan pun bisa mendapatkan kesempatan yang sama dengan kaum laki-laki. Contoh nyatanya yaitu jabatannya saat ini sebagai lurah. Bagi dia, gender bukanlah masalah dalam melihat suatu kepemimpinan.
“Bukan masalah bila perempuan menjabat lurah. Karena yang dilihat bukan lagi gender, melainkan kemampuan dan kinerjanya. Dalam hal ini kepala daerah yang menentukan,” pungkas penggemar jalan sehat ini. (luk)
ADA yang menarik dalam penunjukkan Reni menjadi Lurah Satimpo, Agustus 2013 silam. Pasalnya, kala itu dia tengah hamil anak ketiganya, M Afnan Atma Nugraha. Karena itu dia sempat terkejut dan tak menyangka ditunjuk menjadi lurah.
“Januari kemarin saya cuti hamil, baru kembali bekerja awal April. Keluarga bilang penunjukkan lurah ini rezeki anak,” tutur Reni.
Sebagai perempuan karier, Reni sadar waktunya untuk keluarga bakal berkurang. Meski begitu, dia berupaya agar pekerjaannya tersebut tidak membuat kewajibannya sebagai seorang istri dan seorang ibu bagi tiga anaknya tak terganggu. Beruntung, sang suami yang bekerja sebagai kepala sekolah salah satu Madrasah Tsanawiyah di Kota Taman dapat memahami pekerjaannya tersebut.
“Suami sudah tahu risiko PNS. Dukungan suami besar, karenanya saya bisa bekerja dengan tenang,” terangnya.
Meski menjadi seorang pemimpin kelurahan, di rumah Reni tetaplah ibu rumah tangga biasa. Sama seperti ibu-ibu lainnya, setiap pagi Reni selalu menyiapkan sarapan untuk suami dan anak. Baru setelah suaminya berangkat kerja dan anak-anak berangkat sekolah, dia mulai mempersiapkan diri berangkat ke kantornya di Jalan HM Ardans. Karena itu, setiap waktu libur dan ada waktu luang, Reni berupaya memaksimalkannya bersama keluarga.
“Waktu luang mesti dimanfaatkan sebaik-baiknya. Digunakan bersantai bersama keluarga, saling bercerita. Walaupun sederhana, mesti digunakan dengan efektif dan berkualitas,” ujar perempuan kelahiran Samarinda, 41 tahun lalu ini.
Biasanya di hari libur, Reni dan keluarga memanfaatkannya untuk jalan-jalan pagi. Sepulang dari jalan-jalan pagi, digunakan untuk memasak bersama-sama. Menu favorit yang biasa dimasakkannya untuk keluarga yaitu sayur asam Jawa. Terkadang, justru sang suami yang memasak menu makanan di hari libur.
“Kalau libur biasanya memang di rumah saja. Sering juga makan bersama di luar,” tambahnya.
Soal hobi, Reni mengaku suka membaca buku sejak kecil. Baginya, membaca merupakan hobi yang santai dan menghibur. Jenis buku kesukaannya yaitu buku-buku biografi tokoh atau buku-buku novel. Salah satu buku yang disukainya yaitu buku ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’ yang ditulis RA Kartini.
“Saya membaca buku itu sejak kelas 5 SD dan sampai sekarang terus teringat isinya. Buku itu sangat berkesan, mengisahkan korespondensi yang dilakukan Kartini. Walaupun dia keturunan ningrat. Tapi dia punya keinginan memajukan diri,” papar Reni.
Sosok Kartini sendiri merupakan idola Reni sejak kecil. Dia bercita-cita bisa menjadi seperti Kartini, membuktikan bahwa perempuan pun bisa mendapatkan kesempatan yang sama dengan kaum laki-laki. Contoh nyatanya yaitu jabatannya saat ini sebagai lurah. Bagi dia, gender bukanlah masalah dalam melihat suatu kepemimpinan.
“Bukan masalah bila perempuan menjabat lurah. Karena yang dilihat bukan lagi gender, melainkan kemampuan dan kinerjanya. Dalam hal ini kepala daerah yang menentukan,” pungkas penggemar jalan sehat ini. (luk)