Selama menjadi wartawan di Bontang Post, telah banyak berita yang kutulis. Baik berita straight atau berita feature. Tetapi di Bontang Post aku lebih dikenal sebagai wartawan yang ahli menulis berita feature. Redaksi menilai, berita feature yang kutulis dapat menggambarkan situasi sesungguhnya, serta dapat mengaduk-adukemosi pembaca lewat rangkaian kalimat-kalimatnya. Memang, kebanyakan berita-berita feature buatanku merupakan berita-berita dengan unsur human interest. Tak heran bila berita-berita feature yang kutulis pun banyak dicari para pembaca.
Di antara berita-berita feature yang pernah kutulis, terdapat beberapa berita yang begitu berkesan bagiku. Hal ini dikarenakan, berita-berita tersebut kutulis dengan sepenuh hati, dengan ikut memasukkan simpati dan empatiku ke dalam berita. Salah satunya berita bersambung tentang ibu Asnani, penderita gagal ginjal kronis di RS PKT Bontang. Berita ini bisa dibilang ‘proyek’ ambisiusku untuk menghasilkan sebuah berita human interest yang sangat emosional dan dapat membuat pembaca ikut terbawa ke dalam kisah ini, mengaduk-aduk perasaan mereka.
Aku sendiri tidak sengaja mendapatkan kisah ini. RS PKT sebagai salah satu pelanggan besar Bontang Post, kerap meminta kegiatan mereka untuk diberitakan. Yaitu kegiatan Gathering Komunitas Pemerhati dan Penderita Gagal Ginjal RS PKT, Minggu (25/5/2014) di Danau Permai PKT. Semestinya, wartawan yang meliput adalah Yusva Alam, wartawan khusus Society. Namun karena Minggu adalah hari libur bagi Mas Alam, akhirnya aku ‘terpaksa’ meliput kegiatan ini, mengingat aku punya ikatan emosional dengan RS PKT. Tanpa kusangka, di ajang ini aku bertemu dengan orang-orang hebat, yang membuatku tertarik untuk menulis pengalaman mereka menghadapi gagal ginjal.
Awalnya aku berharap mendapatkan banyak narasumber dari kegiatan ini. Namun aku hanya mendapatkan satu narasumber, yang oleh Direktur RS PKT dr Nurul Fathoni dijuluki sebagai pejuang kehidupan. Orang itu adalah Ibu Asnani, yang telah enam bulan lamanya bergelut dengan penyakit gagal ginjal yang telah meruntuhkan ekonomi dan kehidupannya. Ibu Asnanilah yang kemudian menjadi sumber inspirasi dalam cerita ini, yang kisahnya kemudian kutuangkan dalam seri berita bersambung yang kuberi sub judul: Kisah Supriadi-Asnani, Enam Tahun Perangi Gagal Ginjal.
Proses wawancara pertama yang kulakukan bisa dibilang wawancara sambil lalu. Saat acara, aku meminta bantuan humas RS PKT Bontang Pak Bagus Subekti agar bisa mewawancarai ibu Asnani. Nyatanya, suami bu Asnani, Pak Supriadi yang juga ketua komunitas inilah yang jadi narasumberku. Karena merupakan suami bu Asnani, Pak Supriadi tentu memahami benar seperti apa kisah bu Asnani. Aku pun ‘menculik’ Pak Supriadi dari kemeriahan acara yang belum selesai, untuk melakukan wawancara eksklusif.
Nyatanya, hal menarik dalam kisah ini bukan hanya dari sisi Bu Asnani selaku penderita, melainkan juga dari Pak Supriadi yang telah setia menemani Bu Asnani dengan sabar menjalani penyakitnya. Karenanya, sub yang kuambil bukan ‘Kisah Asnani Perangi Gagal Ginjal’, melainkan menjadi ‘Kisah Supriadi-Asnani, Enam Tahun Perangi Gagal Ginjal’. Aku ingin menggambarkan sebuah perjuangan dan pengorbanan seorang suami yang begitu mencintai istrinya, hingga rela melakukan apa saja demi kesehatan sang istri.
Sebagai seorang wartawan spesialis feature, aku selalu berusaha menggali informasi sedalam mungkin dari narasumberku, tentang kisah yang akan aku angkat. Karenanya, wawancara pun berjalan cukup lama, bahkan hingga acara gathering selesai. Hal ini membuatku merasa tidak enak pada Pak Supriadi karena membuatnya tak dapat mengikuti acara dengan baik. Namun ternyata Pak Supriadi tidak masalah dengan itu, dan dia merasa senang diwawancarai olehku. Semua kisahnya bersama sang istri diceritakan dengan begitu mendetil dan cepat, membuat tanganku berkali-kali mencatat poin-poin penting dalam buku catatanku.
Memang, dalam menulis berita feature, aku hanya mengandalkan buku catatan kecil dan ingatanku. Namun aku lebih mengandalkan ingatanku. Dalam hal ini, aku mengoptimalkan memoriku untuk bisa menyimpan sebanyak mungkin cerita, sembari mencatatkan poin-poin penting semisal tanggal atau poin-poin menarik yang kutemukan. Aku pun menyimak sebaik mungkin cerita yang disampaikan padaku, sehingga aku benar-benar mengerti tentang apa yang disampaikan.
Setelah selesai mewawancarai Pak Supriadi, aku bertemu dengan Bu Asnani dan sempat berbincang santai dengan beliau. Dari keduanya aku mendapatkan berita yang sangat banyak, yang membuatku berpikir bakal kesulitan merangkai setiap informasi yang kudapatkan itu menjadi sebuah berita yang berkualitas. Aku pun memperkirakan berita ini bakal berkembang menjadi dua bagian dalam proses penulisannya. (bersambung ke bagian kedua)
Di antara berita-berita feature yang pernah kutulis, terdapat beberapa berita yang begitu berkesan bagiku. Hal ini dikarenakan, berita-berita tersebut kutulis dengan sepenuh hati, dengan ikut memasukkan simpati dan empatiku ke dalam berita. Salah satunya berita bersambung tentang ibu Asnani, penderita gagal ginjal kronis di RS PKT Bontang. Berita ini bisa dibilang ‘proyek’ ambisiusku untuk menghasilkan sebuah berita human interest yang sangat emosional dan dapat membuat pembaca ikut terbawa ke dalam kisah ini, mengaduk-aduk perasaan mereka.
Aku sendiri tidak sengaja mendapatkan kisah ini. RS PKT sebagai salah satu pelanggan besar Bontang Post, kerap meminta kegiatan mereka untuk diberitakan. Yaitu kegiatan Gathering Komunitas Pemerhati dan Penderita Gagal Ginjal RS PKT, Minggu (25/5/2014) di Danau Permai PKT. Semestinya, wartawan yang meliput adalah Yusva Alam, wartawan khusus Society. Namun karena Minggu adalah hari libur bagi Mas Alam, akhirnya aku ‘terpaksa’ meliput kegiatan ini, mengingat aku punya ikatan emosional dengan RS PKT. Tanpa kusangka, di ajang ini aku bertemu dengan orang-orang hebat, yang membuatku tertarik untuk menulis pengalaman mereka menghadapi gagal ginjal.
Awalnya aku berharap mendapatkan banyak narasumber dari kegiatan ini. Namun aku hanya mendapatkan satu narasumber, yang oleh Direktur RS PKT dr Nurul Fathoni dijuluki sebagai pejuang kehidupan. Orang itu adalah Ibu Asnani, yang telah enam bulan lamanya bergelut dengan penyakit gagal ginjal yang telah meruntuhkan ekonomi dan kehidupannya. Ibu Asnanilah yang kemudian menjadi sumber inspirasi dalam cerita ini, yang kisahnya kemudian kutuangkan dalam seri berita bersambung yang kuberi sub judul: Kisah Supriadi-Asnani, Enam Tahun Perangi Gagal Ginjal.
Proses wawancara pertama yang kulakukan bisa dibilang wawancara sambil lalu. Saat acara, aku meminta bantuan humas RS PKT Bontang Pak Bagus Subekti agar bisa mewawancarai ibu Asnani. Nyatanya, suami bu Asnani, Pak Supriadi yang juga ketua komunitas inilah yang jadi narasumberku. Karena merupakan suami bu Asnani, Pak Supriadi tentu memahami benar seperti apa kisah bu Asnani. Aku pun ‘menculik’ Pak Supriadi dari kemeriahan acara yang belum selesai, untuk melakukan wawancara eksklusif.
Nyatanya, hal menarik dalam kisah ini bukan hanya dari sisi Bu Asnani selaku penderita, melainkan juga dari Pak Supriadi yang telah setia menemani Bu Asnani dengan sabar menjalani penyakitnya. Karenanya, sub yang kuambil bukan ‘Kisah Asnani Perangi Gagal Ginjal’, melainkan menjadi ‘Kisah Supriadi-Asnani, Enam Tahun Perangi Gagal Ginjal’. Aku ingin menggambarkan sebuah perjuangan dan pengorbanan seorang suami yang begitu mencintai istrinya, hingga rela melakukan apa saja demi kesehatan sang istri.
Sebagai seorang wartawan spesialis feature, aku selalu berusaha menggali informasi sedalam mungkin dari narasumberku, tentang kisah yang akan aku angkat. Karenanya, wawancara pun berjalan cukup lama, bahkan hingga acara gathering selesai. Hal ini membuatku merasa tidak enak pada Pak Supriadi karena membuatnya tak dapat mengikuti acara dengan baik. Namun ternyata Pak Supriadi tidak masalah dengan itu, dan dia merasa senang diwawancarai olehku. Semua kisahnya bersama sang istri diceritakan dengan begitu mendetil dan cepat, membuat tanganku berkali-kali mencatat poin-poin penting dalam buku catatanku.
Memang, dalam menulis berita feature, aku hanya mengandalkan buku catatan kecil dan ingatanku. Namun aku lebih mengandalkan ingatanku. Dalam hal ini, aku mengoptimalkan memoriku untuk bisa menyimpan sebanyak mungkin cerita, sembari mencatatkan poin-poin penting semisal tanggal atau poin-poin menarik yang kutemukan. Aku pun menyimak sebaik mungkin cerita yang disampaikan padaku, sehingga aku benar-benar mengerti tentang apa yang disampaikan.
Setelah selesai mewawancarai Pak Supriadi, aku bertemu dengan Bu Asnani dan sempat berbincang santai dengan beliau. Dari keduanya aku mendapatkan berita yang sangat banyak, yang membuatku berpikir bakal kesulitan merangkai setiap informasi yang kudapatkan itu menjadi sebuah berita yang berkualitas. Aku pun memperkirakan berita ini bakal berkembang menjadi dua bagian dalam proses penulisannya. (bersambung ke bagian kedua)