Lanjutan dari bagian 1.
Mendapatkan bahan berita yang menarik membuatku girang. Bukan hanya karena berita ini bakal berkualitas, namun juga berpotensi untuk diikutkan dalam lomba penulisan berita yang digelar Kaltim Post Group (KPG), bertajuk Gedung Biru Awards (GBA) yang digelar setiap triwulan. Aku pun segera mengirimkan listing berita ini ke grup redaksi Bontang Post, untuk menunjukkan kembalinya berita feature berkualitas dari tanganku. Karena memang sebelumnya kualitas beritaku terbilang menurun.
Namun, nyatanya berita ini urung kutulis hari itu juga. Masalahnya, sebagai seorang redaktur, prioritasku bukan lagi menulis berita, melainkan mengurus halaman dan mengedit berita wartawan lain. Karena terlalu lelah mengurus halaman dan mengedit berita wartawan lain itulah, aku tak sanggup menulis berita ini. Meskipun sebelum kepalaku benar-benar kehabisan tenaganya, aku sudah sempat menulis sebagian isi berita untuk bagian pertamanya.
Sayangnya, selama seminggu kemudian aku dilanda kesibukan beruntun sebagai redaktur karena ada redaktur lain yang mengambil cuti. Akibatnya, beritaku ini pun tertunda untuk waktu yang lama. Baru dua minggu kemudian, aku berkesempatan melanjutkan menulis berita ini. Tapi lagi-lagi aku stuck, karena ada beberapa informasi yang tidak lengkap, membuatku bingung melanjutkan berita ini.
Tertundanya berita ini cukup lama membuatku merasa tidak enak pada Pak Supriadi dan Bu Asnani. Karenanya, aku segan bertemu atau menghubungi mereka, padahal masih ada informasi yang kubutuhkan. Rasa segan itu lantas kusingkirkan jauh-jauh karena sebagai wartawan, setiap informasi harus sebisa mungkin menjadi berita. Selain itu aku tak mau mengecewakan mereka berdua. Aku tak mau wawancara panjang yang kulakukan dengan Pak Supriadi hingga menyita waktunya itu sia-sia. Apalagi Bu Asnani sempat berkata, “Saya tunggu korannya.”
Untuk itu, aku menghubungi kembali Pak Supriadi yang merupakan salah seorang guru SD di Lhoktuan. Aku datang ke rumahnya untuk melihat langsung bagaimana keseharian Bu Asnani. Serta, untuk melihat langsung kediaman Bu Asnani dan juga rumah impian yang tengah dibangunkan Pak Supriadi untuk istrinya tersebut. Dalam pertemuan ini, aku kembali melakukan wawancara, kali ini lebih mendalam dan mencatat semua kekurangan informasi yang kubutuhkan. Aku cukup puas dengan wawancara kali ini, dan aku yakinkan diriku bahwa kisah ini pasti akan terbit.
Dan akhirnya, aku memiliki tenaga dan waktu untuk menulis kisah ini. Di luar dugaan, dalam perjalanannya, kisah yang awalnya kurencanakan terbit dua bagian saja itu berkembang menjadi empat bagian. Hal ini dikarenakan banyaknya bahan yang kudapatkan dan banyaknya sudut pandang yang bisa kujadikan berita. Bisa dibilang aku turut menyelami kehidupan pasangan suami istri ini walaupun hanya sekilas saja bertemu mereka.
Di luar dugaan, edisi perdananya yang terbit Rabu (18/6/2014) menarik banyak perhatian, bahkan hingga ke luar Bontang. Indopos, koran terkemuka yang ada di Jakarta menghubungi Bontang Post, memintaku untuk mengirimkan file beritanya (Indopos dan Bontang Post satu grup di JPNN). Kata redaksi Indopos, beritaku sangat menyentuh, dengan gaya bercerita yang menarik dan kronologis, dalam setiap presisi di kalimat-kalimatnya. Hal ini tentu membuatku sangat senang, karena artinya tulisanku telah diakui sebagai tulisan yang berkualitas. Redaksi Bontang Post sendiri memberikan apresiasi dan menyebut tulisanku ini layak untuk diikutkan lomba.
Mendapat pengakuan seperti itu membuatku semakin bersemangat menyelesaikan berita ini. Aku bahkan berusaha melengkapi tulisanku dengan fakta medis lokal terkait fenomena gagal ginjal dari sisi medis dengan narasumber yang kompeten. Kisah ini pun terus berkembang, dan saat kukira bakal berakhir di bagian ketiga, rupanya bahan yang kumiliki kembali berkembang, memaksaku melanjutkan berita ini dalam bagian keempat sekaligus bagian terakhirnya.
Memang, aku mencurahkan segala kemampuanku untuk menulis berita ini, mengembangkan setiap poin-poin yang ada untuk memperkaya tulisan ini. Karenanya, rata-rata untuk setiap bagian, beritaku ini mencapai 900 karakter Microsoft Word. Bahkan bagian terakhirnya yang membuat pendapat medis mencapai 1.500 karakter, membuatku sempat khawatir takkan cukup untuk bisa dimuat di halaman sambungan koran, sempat membuatku ingin membuat bagian kelimanya. (bersambung ke bagian ketiga)
Mendapatkan bahan berita yang menarik membuatku girang. Bukan hanya karena berita ini bakal berkualitas, namun juga berpotensi untuk diikutkan dalam lomba penulisan berita yang digelar Kaltim Post Group (KPG), bertajuk Gedung Biru Awards (GBA) yang digelar setiap triwulan. Aku pun segera mengirimkan listing berita ini ke grup redaksi Bontang Post, untuk menunjukkan kembalinya berita feature berkualitas dari tanganku. Karena memang sebelumnya kualitas beritaku terbilang menurun.
Namun, nyatanya berita ini urung kutulis hari itu juga. Masalahnya, sebagai seorang redaktur, prioritasku bukan lagi menulis berita, melainkan mengurus halaman dan mengedit berita wartawan lain. Karena terlalu lelah mengurus halaman dan mengedit berita wartawan lain itulah, aku tak sanggup menulis berita ini. Meskipun sebelum kepalaku benar-benar kehabisan tenaganya, aku sudah sempat menulis sebagian isi berita untuk bagian pertamanya.
Sayangnya, selama seminggu kemudian aku dilanda kesibukan beruntun sebagai redaktur karena ada redaktur lain yang mengambil cuti. Akibatnya, beritaku ini pun tertunda untuk waktu yang lama. Baru dua minggu kemudian, aku berkesempatan melanjutkan menulis berita ini. Tapi lagi-lagi aku stuck, karena ada beberapa informasi yang tidak lengkap, membuatku bingung melanjutkan berita ini.
Tertundanya berita ini cukup lama membuatku merasa tidak enak pada Pak Supriadi dan Bu Asnani. Karenanya, aku segan bertemu atau menghubungi mereka, padahal masih ada informasi yang kubutuhkan. Rasa segan itu lantas kusingkirkan jauh-jauh karena sebagai wartawan, setiap informasi harus sebisa mungkin menjadi berita. Selain itu aku tak mau mengecewakan mereka berdua. Aku tak mau wawancara panjang yang kulakukan dengan Pak Supriadi hingga menyita waktunya itu sia-sia. Apalagi Bu Asnani sempat berkata, “Saya tunggu korannya.”
Untuk itu, aku menghubungi kembali Pak Supriadi yang merupakan salah seorang guru SD di Lhoktuan. Aku datang ke rumahnya untuk melihat langsung bagaimana keseharian Bu Asnani. Serta, untuk melihat langsung kediaman Bu Asnani dan juga rumah impian yang tengah dibangunkan Pak Supriadi untuk istrinya tersebut. Dalam pertemuan ini, aku kembali melakukan wawancara, kali ini lebih mendalam dan mencatat semua kekurangan informasi yang kubutuhkan. Aku cukup puas dengan wawancara kali ini, dan aku yakinkan diriku bahwa kisah ini pasti akan terbit.
Dan akhirnya, aku memiliki tenaga dan waktu untuk menulis kisah ini. Di luar dugaan, dalam perjalanannya, kisah yang awalnya kurencanakan terbit dua bagian saja itu berkembang menjadi empat bagian. Hal ini dikarenakan banyaknya bahan yang kudapatkan dan banyaknya sudut pandang yang bisa kujadikan berita. Bisa dibilang aku turut menyelami kehidupan pasangan suami istri ini walaupun hanya sekilas saja bertemu mereka.
Di luar dugaan, edisi perdananya yang terbit Rabu (18/6/2014) menarik banyak perhatian, bahkan hingga ke luar Bontang. Indopos, koran terkemuka yang ada di Jakarta menghubungi Bontang Post, memintaku untuk mengirimkan file beritanya (Indopos dan Bontang Post satu grup di JPNN). Kata redaksi Indopos, beritaku sangat menyentuh, dengan gaya bercerita yang menarik dan kronologis, dalam setiap presisi di kalimat-kalimatnya. Hal ini tentu membuatku sangat senang, karena artinya tulisanku telah diakui sebagai tulisan yang berkualitas. Redaksi Bontang Post sendiri memberikan apresiasi dan menyebut tulisanku ini layak untuk diikutkan lomba.
Mendapat pengakuan seperti itu membuatku semakin bersemangat menyelesaikan berita ini. Aku bahkan berusaha melengkapi tulisanku dengan fakta medis lokal terkait fenomena gagal ginjal dari sisi medis dengan narasumber yang kompeten. Kisah ini pun terus berkembang, dan saat kukira bakal berakhir di bagian ketiga, rupanya bahan yang kumiliki kembali berkembang, memaksaku melanjutkan berita ini dalam bagian keempat sekaligus bagian terakhirnya.
Memang, aku mencurahkan segala kemampuanku untuk menulis berita ini, mengembangkan setiap poin-poin yang ada untuk memperkaya tulisan ini. Karenanya, rata-rata untuk setiap bagian, beritaku ini mencapai 900 karakter Microsoft Word. Bahkan bagian terakhirnya yang membuat pendapat medis mencapai 1.500 karakter, membuatku sempat khawatir takkan cukup untuk bisa dimuat di halaman sambungan koran, sempat membuatku ingin membuat bagian kelimanya. (bersambung ke bagian ketiga)