-------------
PELAYANAN publik yang prima merupakan hal yang selalu diharapkan masyarakat. Baik itu pelayanan pemerintah maupun swasta. Salah satu pelayanan pemerintah yang kerap menjadi perhatian adalah pelayanan administrasi yang berhubungan kependudukan. Baik dari tingkat terkecil yaitu RT, kelurahan, kecamatan, hingga dinas-dinas. Di sini, setiap Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai abdi negara dituntut dapat teliti dalam memasukkan setiap data yang dipersyaratkan. Salah satunya, penulisan nama lengkap.
Penulisan nama yang salah menjadi salah satu kesalahan akibat kekurangtelitian. Kesalahan ini rasanya cukup fatal bila terjadi. Apalagi dalam dokumen-dokumen penting misalnya kutipan akta kelahiran atau ijazah, yang berfungsi melekat sangat dibutuhkan untuk banyak keperluan. Tak jarang, adanya perbedaan nama pada dokumen-dokumen tersebut, akibat adanya kesalahan penulisan, dapat menyebabkan masalah di kemudian hari.
Ya, nama dan tanggal lahir dalam dokumen-dokumen tersebut berpengaruh pada masa depan seorang warga. Karena nama dan tanggal lahir dalam ijazah misalnya, akan digunakan untuk keperluan kerja bila ijazah digunakan mencari kerja. Sehingga, bila berpatokan pada nama yang tertera pada ijazah, maka nama berikutnya yang digunakan akan sesuai ijazah. Sementara, nama pada kutipan akta kelahiran atau KTP berbeda. Dualisme nama pun terjadi yang dapat merepotkan warga bersangkutan.
Masalah akan semakin runyam bila dalam upaya perbaikannya, terjadi birokrasi yang berbelit. Hal ini terjadi pada beberapa kasus yang saya temui di luar Bontang (semoga tidak terjadi di Bontang). Seakan warga dipingpong tanpa mendapat kejelasan perbaikan kesalahan penulisan. Masing-masing pihak atau instansi yeng berkepentingan saling lempar tanggung jawab perbaikan tersebut. Sehingga membuat warga bingung dan berujung pada kerelaan menerima nama yang salah tulis tersebut. Bila ini terjadi, kasihan kedua orang tua yang telah susah payah mencarikan nama yang baik bagi anak mereka.
Tapi kesalahan penulisan bukan serta merta menjadi tanggung jawab pejabat pelayan publik. Karena beberapa kesalahan, dan mungkin sebagian besar kesalahan terjadi karena kesalahan warga itu sendiri. Misalnya, salah menulis ejaan nama dalam formulir atau blangko yang disediakan pelayan publik. Hal ini besar kemungkinan terjadi bila dalam kepengurusan dokumen atau surat tersebut, dilakukan oleh pihak lain. Misalnya, seorang warga yang memercayakan kepengurusan akta kelahiran anaknya pada kerabatnya. Sang kerabat rupanya salah mengerti ejaan nama, entah itu salah dengar, salah lihat atau bagaimana, sehingga huruf yang semestinya Y pun bisa berubah menjadi I.
Karena itu, saya tidak serta merta menyalahkan pejabat dalam kesalahan penulisan yang terjadi. Bahkan saya selalu berprasangka baik, bahwa kesalahan tersebut bukan terjadi atas kesalahan mereka. Saya yakin para pejabat pelayan publik di Bontang telah ditempatkan sesuai kompetensinya di bidang masing-masing. Serta telah dibekali ketelitian dalam memeriksa dokumen. Namun nyatanya, saya mengalami sendiri kejadian salah tulis nama. Dan itu terjadi bukan karena kesalahan saya.
Ini terjadi saat saya mengurus surat-surat pengantar pernikahan saya. Kebetulan saya menikah di luar Bontang, sehingga saya mesti mengurus surat keterangan numpang nikah. Dalam hal ini, ada beberapa persyaratan yang saya penuhi mulai tingkat RT, kelurahan, baru ke Kantor Urusan Agama (KUA). Semuanya tampak baik-baik saja ketika saya mengurus surat pengantar dari RT. Nama saya dan nama calon istri (yang sekarang sah menjadi istri), saya tulis dengan huruf kapital yang sangat jelas terbaca. Ketua RT pun memastikan data yang saya tulis dapat terbaca dengan baik.
Masalah terjadi saat mengurus surat pengantar kelurahan. Ketika staf kelurahan selesai mencetak surat pengantar kelurahan, saya tidak langsung pergi begitu saja. Saya amati terlebih dulu data yang tercetak dalam pengantar kelurahan yang terdiri dari beberapa lembar tersebut. Saya terkejut ketika mendapati terjadi kesalahan dalam penulisan nama calon istri saya. Huruf Y terakhir pada nama belakang calon istri saya raib, entah kemana. Penulisan yang salah itu terjadi pada semua nama yang ada dalam lembaran pengantar kelurahan. Padahal, dalam surat pengantar dari RT, huruf Y itu tertulis jelas.
Segera saya mengadukannya pada staf kelurahan mengenai kesalahan tersebut. Seraya menunjukkan nama yang tertulis dalam surat pengantar dari RT. Staf tersebut lantas memperbaikinya, namun bukan dengan mencetak surat yang baru. Melainkan hanya menggunakan correction pen atau tipe-ex, lantas menuliskan nama yang benar dengan pulpen. Sayangnya, penulisan perbaikan yang dilakukannya tidak rapi, membuat nama belakang calon istri saya tidak terbaca jelas. Saya tidak puas, tapi staf kelurahan meyakinkan saya kalau tulisan itu dapat terbaca. Karena malas berdebat, saya menerima saja perbaikan itu.
Segera setelah mendapat pengantar dari kelurahan, saya pergi ke KUA untuk mengurus surat numpang nikah. Saya pikir kesalahan penulisan hanya terjadi di kelurahan. Nyatanya, saya kembali mendapati kesalahan penulisan di KUA. Kali ini fatal, karena nama depan calon istri saya hilang dan tidak tertulis dalam surat numpang nikah yang tercetak. Tanggal lahir istri saya pun salah tulis. Sontak saja saya kaget dan segera mempertanyakannya pada staf KUA bersangkutan. Staf tersebut mengakui telah salah tulis dan memperbaikinya dengan mencetak surat yang baru.
Saya harap-harap cemas menunggu surat baru yang dibuat staf KUA. Saya pikir ‘kesialan’ saya berakhir setelah melihat surat yang baru. Namun sekali lagi, kesalahan penulisan nama terjadi. Memang nama calon istri saya sudah diperbaiki, tapi kini ganti nama saya yang salah tulis. Huruf depan nama saya L, tertulis bukan dengan huruf kapital. Sehingga dapat terbaca sebagai huruf I. Di sini, saya sudah merasa sangat kesal. Tapi saya tetap berusaha menahan emosi. Staf KUA lantas membenarkannya, bukan dengan mencetak surat yang baru namun dengan hanya menambahkan garis dengan pulpen, sehingga membentuk huruf L.
Kesalahan penulisan nama ini menurut saya sangat fatal. Beruntung, saya cukup teliti untuk mengoreksinya kembali sebelum pergi. Karena saya sempat menemukan kasus kesalahan penulisan nama dalam buku nikah, yang berujung pada kesulitan administrasi di kemudian hari. Tentunya, saya tidak mau hal itu terjadi. Di sinilah pentingnya warga mengoreksi kembali surat-surat atau dokumen-dokumen yang baru selesai dibuat pejabat pelayanan publik. Bila ragu dapat mempertanyakannya pada staf pembuat surat atau dokumen.
Ketelitian penulisan nama, bukan sekadar terjadi pada pelayanan publik. Namun juga pada berbagai hal, termasuk penulisan nama di koran. Untuk itu, pekerja media juga mesti teliti dalam menuliskan nama. Salah satunya, seorang wartawan tidak bisa serta-merta menulis nama yang diucapkan narasumbernya. Untuk memastikan tidak terjadi kesalahan, wartawan perlu meminta narasumber untuk menuliskan sendiri namanya. Meskipun tidak bisa dimungkiri kesalahan masih bisa terjadi.
Memang hal yang manusiawi bila kita melakukan kesalahan. Termasuk kesalahan penulisan nama. Namun tentunya untuk hal-hal yang bersifat vital, kesalahan-kesalahan diupayakan tidak dapat terjadi. Maka, diperlukan ketelitian ekstra dalam setiap penulisan khususnya penulisan nama. Dalam hal ini, penulis bisa mengecek kembali nama yang ditulis, dua kali atau lebih. Ini penting untuk memastikan tidak ada kesalahan yang dibuat.
Karena bagaimanapun, tidak ada warga, siapapun dan apapun jabatannya, yang ingin namanya salah ditulis. Kalau dalam lelucon Jawa, ‘penggantian’ nama harus melalui hajatan dengan membuat bubur merah. Tentunya catatan yang saya tulis dalam sudut pandang saya sebagai warga ini hanya sekedar ingin mengingatkan. Agar, kita dapat lebih meningkatkan ketelitian kita dalam menulis. Terutama dalam menulis nama. Siapapun pasti akan kesal bila namanya diganti, kecuali mungkin bila namanya diganti menjadi lebih keren seperi Richard atau Kevin. Hehehe. (luk)