Setelah mengundurkan diri dari Bontang Post, aku dan istri memang akan meninggalkan Bontang, kembali ke Pulau Jawa. Bontang memang menjadi tanah kelahiranku, tapi aku besar di Jawa, dan ini adalah waktunya untuk kembali ke Jawa. Ada banyak alasan yang membuatku meninggalkan Bontang, setelah tiga tahun lamanya tinggal di kota ini sejak kembali tinggal di kota ini, Juni 2011 silam. Jujur, berat meninggalkan kota kelahiranku ini dan meninggalkan perusahaan media yang telah membesarkan namaku. Tapi, jalan hidup membuatku mesti melakukannya.
Aku ingat, Mas Faisal menjadi orang pertama yang memberikanku tugas untuk melakukan liputan pertamaku, 6 Agustus 2012. Saat itu di hari pertamaku bekerja, Pak Agus selaku General Manager Bontang Post memperkenalkanku pada Mas Faisal yang baru tiba di kantor, sebagai salah seorang redaktur yang ada di Bontang Post. Ingin melihat kemampuanku meliput dan menulis, Mas Faisal lantas menugaskanku liputan untuk halaman anak muda, tentang pesantren kilat di SMAN 2 Bontang. Tugas pertamaku ini berhasil kujalankan dengan baik, dan berita pertamaku mendapat pujian dari Pak Agus dan Mas Faisal. Sejak hari itu, perjalananku di surat kabar harian dengan slogan ‘Mencerdaskan dan Menginspirasi’ tersebut pun bermula.
Satu bulan dan tiga bulan pertama menjadi saat-saat yang berat bagiku, yang mampu kulewati dengan baik, di bawah bimbingan Mas Isur, redaktur halaman Bessai Berinta. Aku melakoni beberapa jenis liputan kota, dan mulai bertemu banyak narasumber. Namaku mulai dikenal sebagai wartawan. Di Bontang Post sendiri, aku bertemu rekan sesama wartawan, serta rekan sekantor dari divisi lain. Kehidupan kerjaku mulai berjalan di Bontang Post, di mana selama dua tahun aku mencurahkan segenap pikiran dan tenagaku, menghasilkan berita-berita terbaik untuk anak perusahaan Kaltim Post ini.
Karierku berkembang dalam dua tahun tersebut. Dipercaya menulis berita untuk halaman utama, menjadi asisten redaktur, hingga akhirnya menjadi redaktur. Berbagai berita lahir dari tangan dan pikiranku, sebagian besar berita-berita headline dan berita-berita penting yang menjual. Aku pun dipercaya untuk menulis berit advetorial jutaan rupiah dari perusahaan energi terbesar, Badak LNG. Perjalanan karier selama dua tahun, telah berhasil memberiku banyak pengalaman dan membuatku banyak dikenal. Satu hal yang sulit kupercaya mengingat aku memiliki keterbatasan dalam komunikasi lisan.
Dengan berbagai macam pengalaman tersebut, tentu ada perasaan sedih karena mesti berpisah dengan perusahaan ini. Bukan hanya dari segi karier, tetapi juga dari suasana kerja yang ada. Di Bontang Post aku bertemu dengan banyak karakter manusia. Mulai dari yang baik hati, yang menyebalkan, yang angkuh, gila kerja, yang malas, semua ada di sini. Suasana kekeluargaan sangat terasa di perusahaan yang berdiri November 2010 ini. Selama dua tahun, aku sudah begitu akrab dengan para karyawanannya. Mulai dari divisi redaksi tempatku berada, divisi layout, divisi iklan, hingga divisi pemasaran. Suasana kerja di tempat ini memang sudah seperti keluargaku sendiri, dan berada di dalamnya membuatku seakan berada dalam suatu ‘drama’.
Namun perpisahan ini bukan semata perpisahan dengan Bontang Post. Melainkan juga perpisahan dengan Bontang, kota berjuluk ‘Kota Taman’ yang merupakan kota kelahiranku. Tanpa terasa, tiga tahun lebih aku menetap di kota ini, sejak kedatanganku kembali pada Juni 2011. Saat aku memulai karier profesionalku, dengan bekerja di sebuah bank swasta Samarinda, lantas ditempatkan di PLN Area Bontang. Hingga kemudian, rasa bosan berada di zona nyaman dan keinginan mewujudkan cita-cita masa kecil membuatku memutuskan masuk ke Bontang Post, sebagai wartawan.
Entah kenapa rasanya begitu berat meninggalkan kota kecil ini. Padahal, keinginan untuk meninggalkan kota ini begitu kuat, tapi nyatanya begitu berat pula hatiku untuk lepas dari kota ini. Apakah ini dikarenakan Bontang merupakan kota kelahiranku, sehingga berat meninggalkannya? Atau, ini dikarenakan profesiku sebagai wartawan, sehingga aku menjadi begitu memahami seluk-beluk kota ini yang membuatku jatuh hati pada Bontang? Atau apa karena di kota ini aku begitu diterima, dan begitu dikenal sebagai seorang wartawan?
Bagaimanapun, rasa berat itu mesti kulawan. Karena mau tak mau aku harus meninggalkan kota ini. Selain demi istriku, juga demi orang tuaku yang ingin aku berkumpul dengan mereka kembali. Serta, situasiku di Bontang Post, yang membuatku tak bisa bertahan lebih lama lagi. Entah kenapa, keluar dari Bontang Post bagiku berarti mesti meninggalkan kota ini. Karena bagiku, takkan ada tempat kerja untukku di Bontang, sebaik di Bontang Post.
Dalam hal ini, yang terberat adalah perpisahan. Aku mesti berpisah dengan rekan-rekan media di Bontang khususnya Bontang Post. Aku mesti berpisah dengan sahabat-sahabat terbaikku, dengan Rachman, wartawan yang menjadi teman satu lettingku; dengan Anwar si Bebek, wartawan yang pernah menjadi anak buahku; Yuanita, divisi iklan yang dulu pernah menjadi rekanku mencari berita; Yusva Alam, wartawan society yang menyayangkan kepergianku; serta Agus Chaidlori, wartawan gaek yang menyusul kepergianku ke Jawa di akhir Agustus ini.
Pun, aku mesti berpisah dengan narasumber-narasumberku yang telah kukenal dekat, yang selalu membuatku bersemangat setiap kali bertemu dengan mereka. Bahkan, beberapa di antara mereka sudah kuanggap seperti keluarga sendiri. Misalnya Kepala Dinas Sosial dan Tenaga Kerja (Dissosnaker) Bontang Mursyid, yang telah berteman akrab denganku jauh sebelum aku menjadi wartawan. Aku ingat, pertama kali bertemu beliau saat baru tiba di Bontang, dalam suatu jemaah salat di musala dekat rumah.
Dan yang lebih berkesan lagi, banyak pihak yang menyayangkan kepergianku meninggalkan Bontang, khususnya rekanku di media. Mereka menyayangkan, kenapa orang seperti aku, dengan kemampuan dan karakterku yang membumi, mesti cepat meninggalkan Bontang. Narasumber-narasumberku juga banyak yang menyayangkan. Namun mau bagaimana lagi? Sepertinya memang ini jalan yang mesti kulalui, dengan melihat banyak pertanda, yang mengisyaratkanku untuk pergi.
Kepergian ini sendiri juga begitu berat bagi istriku. Pasalnya, meski istriku baru 10 bulan tinggal di kota ini, namun dia telah memiliki banyak teman dan tetangga yang baik padaya. Memang, istriku orangnya supel dan mudah bergaul dengan siapa saja, beda berbeda jauh denganku. Istriku pun sebenarnya telah betah, telah kerasan tinggal di Bontang. Namun dia juga tidak punya pilihan selain meninggalkan kota ini bersamaku, dengan diantar para tetangga di Gang Smanda, tempat kediaman kami di Bontang.
Ya, para tetangga kami seakan tak rela berpisah dengan kami. Katanya, mereka bakal kangen dengan istriku, yang telah memberi warna baru bagi gang ini. Karenanya, mereka menyiapkan pesta perpisahan yang begitu mengharukan. Bahkan di malam kami pergi, Senin (11/8/2014), mereka kompak bersama-sama mengantar kepergian kami, setelah sebelumnya membantu kami mengemas barang-barang. Mereka menangis melepas kami, membuatku begitu terharu dan tak menyangka bakal meninggalkan kenangah yang dalam di gang ini. Baru kali ini kepergianku diantar orang sebanyak itu, dengan berurai air mata pula.
Pertanda-pertanda yang mengiringi kepergianku dari Bontang seakan menjadi lengkap. Ketika aku bertemu dengan Mas Saifudin, Manajer PLN Rayon Bontang Kota di lobi Bandara Baru Sepinggan, Balikpapan. Seakan, karierku yang dimulai di PLN, pun diakhiri pertemuan dengan pimpinan PLN pula. Memang, walaupun hanya setahun, namun aku cukup mengenal para karyawan PLN, mengingat akulah petugas bank mereka waktu itu. Termasuk Mas Saifudin, yang baru dipercaya menjabat manajer rayon setelah aku menjadi wartawan. Sebagai pimpinan PLN, Mas Udin pun tak luput menjadi narasumberku untuk berita-berita listrik yang kerap biarpet di Bontang.
Dan kini, aku telah berada di kota baru, di Kota Kediri. Aku tak tahu masa depan seperti apa yang menantiku di kota berjuluk Kota Tahu ini. Tapi aku akan berusaha sebaik mungkin untuk melanjutkan langkah berikutnya. Di kota ini aku besar, dan di kota ini aku mesti bertahan. Tidak menutup kemungkinan bila suatu saat aku akan kembali ke Bontang. Sebagaimana doa tetangga-tetanggaku, yang mengharapkan aku dan istri kembali ke Bontang. Entahlah, yang pasti doa mereka sama dengan harapan kecilku, kembali menginjakkan kaki di benua Etam. Karenanya bukan ‘Goodbye’ yang kuucapkan pada kota ini. Melainkan ‘Sayonara’, sebuah lagu yang selalu kunyanyikan saat masih kecil dulu di Bontang, saat masih sekolah di TK Tunas Inti. Sayonara Kota Taman… sampai berjumpa pula… (luk)
It's not a goodbye... it's a sayonara...