Ini adalah sebuah kisah tentang seorang sahabat. Yang tak pernah ingin dianggap sebagai sahabat. Tapi dengan tulus berusaha menyediakan waktunya bagi teman-temannya. Namanya Adhitya, tapi dia akrab dipanggil Adhit. Dia teman sekelasku saat masih duduk di bangku sekolah dasar, di SD Negeri IV Mojoroto Kediri. Penyakit yang dideritanya sejak kecil, membuatnya dijauhi oleh anak-anak lainnya. Walaupun masih ada anak-anak yang mau menerima kekurangannya dengan menjadi temannya, namun penyakit itu sangat memengaruhnya kehidupannya.
Aku tidak tahu apa yang dirasakannya, namun dari yang kuperhatikan, penyakitnya itu membuatnya tidak nyaman. Bagaimana tidak? Penyakitnya itu bisa kambuh kapan saja, dimana saja, membuatnya bergerak tidak beraturan. Kontan anak-anak yang lain pun merasa takut. Sementara, ada anak yang menyebut bila penyakit Adhit bisa menular melalui air liurnya. Itulah yang kudengar dari teman-temanku saat itu, walaupun aku tidak pernah melihatnya kambuh sekalipun. Aku tidak tahu secara pasti penyakit apa yang diderita Adhit, tapi kudengar penyakit itu berkaitan dengan kerusakan di bagian otak.
Meskipun mendengar ucapan-ucapan seperti itu, namun aku tidak menjauhi Adhit. Aku berteman seperti biasa dengan Adhit. Bahkan kami sempat sangat akrab. Aku ingat ketika kami bersama-sama menghabiskan waktu di perpustakaan ketika kami sama-sama tidak membawa seragam olahraga. Membuat kami tidak bisa mengikuti jadwal olahraga hari itu, lari berkeliling sekolah. Kami pun mengobrol akrab dan menghabiskan dua jam pelajaran di dalam perpustakaan yang saat itu kondisinya sangat berantakan.
Bagiku, Adhit adalah teman yang menyenangkan bagi semua orang. Dia mudah terbuka bagi siapa saja yang ingin berteman. Sayangnya, penyakit itu membatasi ruang geraknya. Meski begitu, dari yang kurasakan selama bersama Adhit, dia selalu berusaha tersenyum dan tertawa. Seakan ingin menbuat kami bahagia dengan senyum dan tawa yang dibagikannya.
Waktu terus berjalan dan kami akhirnya berpisah selepas lulus SD, meneruskan sekolah di tempat masing-masing. Tak kudengar kabar mengenai Adhit selepas itu, hingga kami kembali bertemu dalam reuni SD yang digagas teman-temanku, ketika kami duduk di bangku SMA/sederajat. Dalam reuni itu, Adhit tampak beurbah. Dia tampak keren, bentuk tubuhnya pun terlihat ideal. Kepada kami, dia menjelaskan bahwa penyakitnya telah sembuh setelah melalui pengobatan. Pantas saja dia tampak begitu segar dan bersemangat. Melihat itu aku merasa senang karena Adhit akhirnya sembuh.
Setelah pertemuan itu, kami kembali melanjutkan pendidikan kami masing-masing. Adhit melanjutkan kuliah di STIKOM Bandung, dengan jurusan Ilmu Komunikasi. Jurusan yang sama denganku, bedanya aku kuliah di Universitas Terbuka. Dalam suatu liburan September 2009 di Kediri, aku dan Adhit sempat bertemu dan saling berbagi pendidikan kami masing-masing, mengingat kami sama-sama di jurusan ilmu komunikasi. Kami pun menghabiskan waktu bersama dengan dua teman SD kami lainnya, Binti (yang sekarang menjadi istriku) dan Dian. Kami bahkan sempat mengabadikan momen berfoto bersama di photo box salah satu plaza di Kediri. Bahkan Adhit sempat memotret bersama Binti dengan blackberry-nya. Saat itu, aku ingat kami menghabiskan malam dengan makan bersama di tepian Sungai Brantas.
Setelah itu kami kembali berpisah dan sibuk dengan rutinitas masing-masing. Adhit menjadi semakin gaul, dengan semua atribut mahasiswanya. Dia meraih prestasi di bidang paduan suara kampus dan sempat kudengar dia akan ke Korea untuk mengikuti lomba bersama kampusnya. Semakin hari dia semakin kelihatan keren, semakin modis, semakin populer, dan memiliki kekasih. Hal ini tergambar jelas dalam setiap status yang dituliskannya di Facebook. Hampir setiap hari kulihat dia memasang foto narsisnya, membagikan kalimat-kalimat bijak, dan lagu-lagu apa yang sedang atau baru didengarkannya.
Melihat hal itu membuatku membatin, Adhit yang dulu telah berubah. Dia telah berubah menjadi lebih baik. Dia tampak begitu bahagia dengan kondisi barunya waktu itu. Hal ini membuatku ikut bahagia. Adhit yang dulu sakit-sakitan dan dijauhi teman-teman, kini berbalik 180 derajat. Bahkan teman-temanku yang dulu menjauhinya menjadi terkesan dengan perubahan dirinya. Saat itu aku berpikir, Adhit, teman kecilku kini telah menjadi sosok laki-laki luar biasa, yang benar-benar tak terbayangkan olehku sebelumnya. Sebagai temannya, aku bahagia.
Waktu kembali berjalan dan aku pun tenggelam dalam kesibukanku. Lulus kuliah, aku mencoba peruntunganku pergi ke tanah kelahiranku di Bontang hingga menjadi seorang wartawan. Sejak itu aku sudah tidak pernah lagi mendengar kabar Adhit. Dia pun sangat jarang update status di Facebook. Bahkan kemudian, dia tidak pernah lagi update status sebagaimana yang rajin dilakukan sebelumnya. Tapi hal itu tidak membuatku berpikir macam-macam. Aku hanya berpikir, mungkin Adhit telah disibukkan dengan dunia kerjanya, sehingga tidak aktif lagi di sosial media.
Hingga kemudian, Binti membawa kabar buruk mengenai Adhit. Saat meneleponku pertengahan 2013, dia mengabarkanku kalau Adhit tengah terbaring tak berdaya di kediamannya, di sebuah rumah besar di Kelurahan Mojoroto, Kediri. Dalam kisahnya kepadaku, Binti menyebut Adhit terbaring lemah dan bersikap seperti anak kecil. Dia susah berbicara dan susah bergerak. Dia bahkan sulit mengingat Binti, saat Binti mengunjungi kediamannya. Dari situ aku mengetahui bahwa penyakit Adhit kembali kambuh, dan membuatnya kembali dalam penderitaan.
Hingga kemudian, akhir Oktober 2013 aku pulang ke Kediri untuk melangsungkan pernikahan dengan Binti. Adhit tak luput mendapat undangan pernikahan dari kami. Tapi saudara Adhit yang juga teman Binti mengatakan Adhit tidak bisa datang karena masih sakit. Kami pun bisa memakluminya. Binti kemudian mengajakku menjenguk Adhit setelah menikah. Senin 4 November, sepekan setelah pernikahan kami, aku, Binti dan Dian mendatangi kediaman Adhit. Kami diterima ramah oleh orangtua Adhit dan dipersilakan masuk. Sempat menunggu beberapa detik, Adhit lalu keluar dengan tertatih menemui kami bertiga. Saat melihatnya kembali setelah sekian lama, aku tersentak mendapati kondisinya saat itu.
Adhit tampak lemah dan sulit berbicara. Namun ketika berbincang dengan kami, dia mampu menata bahasa dengan tepat dan menceritakan kronologis penyakitnya. Selepas kuliah, Adhit bekerja di bagian call center salah satu maskapai penerbangan di Bandung. Dalam pekerjaannya, dia dituntut menggunakan intercom, yang diduga berhubungan langsung dengan bagian otaknya. Mungkin karena kelelahan, akhirnya Adhit jatuh sakit dan membutuhkan penanganan serius. Dia yang datang sendiri ke rumah sakit terjatuh dan mesti melewati operasi. Dalam operasi yang dilakukan, dilakukan pemeasangan selang yang menghubungkan jaringan otaknya dengan organ pembuangan.
Usai operasi tersebut, kondisi Adhit melemah. Yaitu ketika Binti mengunjunginya. Tapi ketika aku mengunjunginya, kulihat kondisinya membaik. Aku melihat langsung selang yang melintang dari dahinya, melintasi dadanya. Adhit mengatakan, selang yang dipasang tersebut membuatnya tidak bebas bergerak. Dengan kondisinya saat itu, dia tak bisa lagi bekerja seperti biasa. Aku prihatin melihat kondisi Adhit yang kalau tidak salah terkena Hydrocepalus. Padahal kupikir penyakit Adhit sudah sembuh dan dia bisa hidup dengan normal. Namun rupanya penderitaan Adhit berlanjut.
Dalam kunjungan kami, Adhit mengaku terkejut mendapat undangan pernikahan dariku dan Binti. Dia tidak percaya bila aku dan Binti, yang merupakan teman sekelas saat SD bisa menikah saat dewasa. Dia mengaku senang dan ingin menghadiri pernikahan kami. Sayangnya, orangtuanya melarang mengingat kondisi Adhit. Meskipun Adhit sempat bersikeras. Pada kunjungan itu, aku bersama Binti dan Dian mendoakan Adhit agar segera sembuh. Kami sedikit bercanda dan bercerita mengenai hari-hari yang pernah kami lewati. Dia pun bercerita kenapa dia tidak lagi aktif di media sosial, dikarenakan kondisinya. Hari itu, kami berfoto bersama, sebagaimana yang pernah kami lakukan di 2009. Tanpa kami sadari, bahwa pertemuan itu adalah pertemuan terakhir kami dengan Adhit. (bersambung ke bagian 2)
Aku tidak tahu apa yang dirasakannya, namun dari yang kuperhatikan, penyakitnya itu membuatnya tidak nyaman. Bagaimana tidak? Penyakitnya itu bisa kambuh kapan saja, dimana saja, membuatnya bergerak tidak beraturan. Kontan anak-anak yang lain pun merasa takut. Sementara, ada anak yang menyebut bila penyakit Adhit bisa menular melalui air liurnya. Itulah yang kudengar dari teman-temanku saat itu, walaupun aku tidak pernah melihatnya kambuh sekalipun. Aku tidak tahu secara pasti penyakit apa yang diderita Adhit, tapi kudengar penyakit itu berkaitan dengan kerusakan di bagian otak.
Meskipun mendengar ucapan-ucapan seperti itu, namun aku tidak menjauhi Adhit. Aku berteman seperti biasa dengan Adhit. Bahkan kami sempat sangat akrab. Aku ingat ketika kami bersama-sama menghabiskan waktu di perpustakaan ketika kami sama-sama tidak membawa seragam olahraga. Membuat kami tidak bisa mengikuti jadwal olahraga hari itu, lari berkeliling sekolah. Kami pun mengobrol akrab dan menghabiskan dua jam pelajaran di dalam perpustakaan yang saat itu kondisinya sangat berantakan.
Bagiku, Adhit adalah teman yang menyenangkan bagi semua orang. Dia mudah terbuka bagi siapa saja yang ingin berteman. Sayangnya, penyakit itu membatasi ruang geraknya. Meski begitu, dari yang kurasakan selama bersama Adhit, dia selalu berusaha tersenyum dan tertawa. Seakan ingin menbuat kami bahagia dengan senyum dan tawa yang dibagikannya.
Waktu terus berjalan dan kami akhirnya berpisah selepas lulus SD, meneruskan sekolah di tempat masing-masing. Tak kudengar kabar mengenai Adhit selepas itu, hingga kami kembali bertemu dalam reuni SD yang digagas teman-temanku, ketika kami duduk di bangku SMA/sederajat. Dalam reuni itu, Adhit tampak beurbah. Dia tampak keren, bentuk tubuhnya pun terlihat ideal. Kepada kami, dia menjelaskan bahwa penyakitnya telah sembuh setelah melalui pengobatan. Pantas saja dia tampak begitu segar dan bersemangat. Melihat itu aku merasa senang karena Adhit akhirnya sembuh.
Setelah pertemuan itu, kami kembali melanjutkan pendidikan kami masing-masing. Adhit melanjutkan kuliah di STIKOM Bandung, dengan jurusan Ilmu Komunikasi. Jurusan yang sama denganku, bedanya aku kuliah di Universitas Terbuka. Dalam suatu liburan September 2009 di Kediri, aku dan Adhit sempat bertemu dan saling berbagi pendidikan kami masing-masing, mengingat kami sama-sama di jurusan ilmu komunikasi. Kami pun menghabiskan waktu bersama dengan dua teman SD kami lainnya, Binti (yang sekarang menjadi istriku) dan Dian. Kami bahkan sempat mengabadikan momen berfoto bersama di photo box salah satu plaza di Kediri. Bahkan Adhit sempat memotret bersama Binti dengan blackberry-nya. Saat itu, aku ingat kami menghabiskan malam dengan makan bersama di tepian Sungai Brantas.
Setelah itu kami kembali berpisah dan sibuk dengan rutinitas masing-masing. Adhit menjadi semakin gaul, dengan semua atribut mahasiswanya. Dia meraih prestasi di bidang paduan suara kampus dan sempat kudengar dia akan ke Korea untuk mengikuti lomba bersama kampusnya. Semakin hari dia semakin kelihatan keren, semakin modis, semakin populer, dan memiliki kekasih. Hal ini tergambar jelas dalam setiap status yang dituliskannya di Facebook. Hampir setiap hari kulihat dia memasang foto narsisnya, membagikan kalimat-kalimat bijak, dan lagu-lagu apa yang sedang atau baru didengarkannya.
Melihat hal itu membuatku membatin, Adhit yang dulu telah berubah. Dia telah berubah menjadi lebih baik. Dia tampak begitu bahagia dengan kondisi barunya waktu itu. Hal ini membuatku ikut bahagia. Adhit yang dulu sakit-sakitan dan dijauhi teman-teman, kini berbalik 180 derajat. Bahkan teman-temanku yang dulu menjauhinya menjadi terkesan dengan perubahan dirinya. Saat itu aku berpikir, Adhit, teman kecilku kini telah menjadi sosok laki-laki luar biasa, yang benar-benar tak terbayangkan olehku sebelumnya. Sebagai temannya, aku bahagia.
Waktu kembali berjalan dan aku pun tenggelam dalam kesibukanku. Lulus kuliah, aku mencoba peruntunganku pergi ke tanah kelahiranku di Bontang hingga menjadi seorang wartawan. Sejak itu aku sudah tidak pernah lagi mendengar kabar Adhit. Dia pun sangat jarang update status di Facebook. Bahkan kemudian, dia tidak pernah lagi update status sebagaimana yang rajin dilakukan sebelumnya. Tapi hal itu tidak membuatku berpikir macam-macam. Aku hanya berpikir, mungkin Adhit telah disibukkan dengan dunia kerjanya, sehingga tidak aktif lagi di sosial media.
Hingga kemudian, Binti membawa kabar buruk mengenai Adhit. Saat meneleponku pertengahan 2013, dia mengabarkanku kalau Adhit tengah terbaring tak berdaya di kediamannya, di sebuah rumah besar di Kelurahan Mojoroto, Kediri. Dalam kisahnya kepadaku, Binti menyebut Adhit terbaring lemah dan bersikap seperti anak kecil. Dia susah berbicara dan susah bergerak. Dia bahkan sulit mengingat Binti, saat Binti mengunjungi kediamannya. Dari situ aku mengetahui bahwa penyakit Adhit kembali kambuh, dan membuatnya kembali dalam penderitaan.
Hingga kemudian, akhir Oktober 2013 aku pulang ke Kediri untuk melangsungkan pernikahan dengan Binti. Adhit tak luput mendapat undangan pernikahan dari kami. Tapi saudara Adhit yang juga teman Binti mengatakan Adhit tidak bisa datang karena masih sakit. Kami pun bisa memakluminya. Binti kemudian mengajakku menjenguk Adhit setelah menikah. Senin 4 November, sepekan setelah pernikahan kami, aku, Binti dan Dian mendatangi kediaman Adhit. Kami diterima ramah oleh orangtua Adhit dan dipersilakan masuk. Sempat menunggu beberapa detik, Adhit lalu keluar dengan tertatih menemui kami bertiga. Saat melihatnya kembali setelah sekian lama, aku tersentak mendapati kondisinya saat itu.
Adhit tampak lemah dan sulit berbicara. Namun ketika berbincang dengan kami, dia mampu menata bahasa dengan tepat dan menceritakan kronologis penyakitnya. Selepas kuliah, Adhit bekerja di bagian call center salah satu maskapai penerbangan di Bandung. Dalam pekerjaannya, dia dituntut menggunakan intercom, yang diduga berhubungan langsung dengan bagian otaknya. Mungkin karena kelelahan, akhirnya Adhit jatuh sakit dan membutuhkan penanganan serius. Dia yang datang sendiri ke rumah sakit terjatuh dan mesti melewati operasi. Dalam operasi yang dilakukan, dilakukan pemeasangan selang yang menghubungkan jaringan otaknya dengan organ pembuangan.
Usai operasi tersebut, kondisi Adhit melemah. Yaitu ketika Binti mengunjunginya. Tapi ketika aku mengunjunginya, kulihat kondisinya membaik. Aku melihat langsung selang yang melintang dari dahinya, melintasi dadanya. Adhit mengatakan, selang yang dipasang tersebut membuatnya tidak bebas bergerak. Dengan kondisinya saat itu, dia tak bisa lagi bekerja seperti biasa. Aku prihatin melihat kondisi Adhit yang kalau tidak salah terkena Hydrocepalus. Padahal kupikir penyakit Adhit sudah sembuh dan dia bisa hidup dengan normal. Namun rupanya penderitaan Adhit berlanjut.
Dalam kunjungan kami, Adhit mengaku terkejut mendapat undangan pernikahan dariku dan Binti. Dia tidak percaya bila aku dan Binti, yang merupakan teman sekelas saat SD bisa menikah saat dewasa. Dia mengaku senang dan ingin menghadiri pernikahan kami. Sayangnya, orangtuanya melarang mengingat kondisi Adhit. Meskipun Adhit sempat bersikeras. Pada kunjungan itu, aku bersama Binti dan Dian mendoakan Adhit agar segera sembuh. Kami sedikit bercanda dan bercerita mengenai hari-hari yang pernah kami lewati. Dia pun bercerita kenapa dia tidak lagi aktif di media sosial, dikarenakan kondisinya. Hari itu, kami berfoto bersama, sebagaimana yang pernah kami lakukan di 2009. Tanpa kami sadari, bahwa pertemuan itu adalah pertemuan terakhir kami dengan Adhit. (bersambung ke bagian 2)