Sambungan dari bagian 1.
Setelah kunjungan itu, aku membawa Binti kembali ke Bontang dan memulai hidup baru disana. Selepas kepergian kami, kulihat Adhit mulai kembali aktif di media sosial. Kulihat dia mengganti foto profilnya, dan dia sempat menulis status serta menulis komentar. Salah satunya komentar pada foto kami berempat yang kuunggah. Status pertama yang ditulisnya usai vakum lama yaitu "I'm back with new of me". Membaca status-statusnya tersebut membuatku berpikir dia kembali bersemangat usai kami kunjungi waktu itu. Dia juga mengunggah kolase fotonya, yang menggambarkan dirinya dari kecil hingga dewasa.
Salah satu komentarnya yang mengindikasikan kondisinya semakin baik yaitu balasan komentar atas komentar istriku, yang mengomentari status Adhit. Komentarnya mengatakan bahwa dia berterima kasih kepada Binti yang telah dianggapnya sebagai sahabat. Dia menyatakan dirinya sudah sehat dan tinggal terapi karena masih bermasalah dengan postur cara jalan dan mata yang juga belum stabil. Dalam komentarnya tersebut, dia memanggil Binti dengan sebutan 'gadis tas kelinci'. Panggilan itu adalah panggilan Adhit untuk Binti ketika masih di SD. Karena saat SD, Binti memang mengenakan tas dengan ornamen boneka kelinci. Adhit adalah teman sebangku Binti di kelas 3 SD dulu. Binti tidak menyangka Adhit masih mengingat masa-masa itu, di mana mereka berdua duduk sebangku, atau bertemu di persimpangan jalan saat berangkat sekolah bersama. Keduanya memang akrab saat masih kecil dulu.
Selain komentar itu, Adhit mengomentari album foto-foto narsisku sebagai wartawan. Dalam komentarnya, dia mengatakan bahwa dalam menekuni dunia broadcast bagian jurnal, berbicara adalah hal yang susah bila tidak pandai berimprovisasi. Dia mengenang saat-saat awal dia siaran, dia gagap dan berkeringat dingin. Pada komentar keduanya, dia mengatakan bahwa orang jurnal harus sadar kamera. Dia menyebut tidak banyak orang broadcaster yang sadar kamera, dan mereka memiliki tingkat narsis yang kecil. Tak tahu mesti membalas bagaimana, aku memutuskan untuk 'like' kedua komentar Adhit tersebut. Tanpa kutahu, itu adalah komentar terakhir yang kuterima darinya.
16 Desember 2013, pukul 03.00 Wita, menjelang pagi, aku dan Binti siap untuk tidur. Pekerjaanku sebagai asisten redaktur kala itu membuatku kerap pulang malam, hingga pukul 00.00 Wita. Setibanya di rumah, aku tidak langsung berisitirahat melainkan makan dan bercengkerama dengan istriku terlebih dulu. Nah, ketika kami hendak beranjak tidur itulah, ponsel Binti bergetar. Kadek, teman Binti yang masih bersaudara dengan Adhit rupanya yang menelepon. Binti terkejut mendapatkan telepon dari Kadek sebegitu larut. Pastilah sesuatu yang penting, pikir kami.
Dan benar saja, Kadek mengabarkan hal yang sama sekali tidak kami duga sebelumnya. Adhit meninggal dunia pagi itu, sekira pukul 02.00 WIB atau 01.00 WITA. Dia meninggal setelah sebelumnya sempat koma akibat terjatuh di kamar mandi dan tidak segera mendapatkan pertolongan. Kondisinya langsung melemah dan terus melemah, hingga akhirnya mengembuskan napas terakhirnya pagi itu. Setelah sebelumnya dia sempat meminta ayahnya mencarikan bunga teratai, yang kata Adhit dapat menjadi jalannya untuk sembuh. Ya, setelah bunga itu didapatkannya, Adhit memang sembuh. Dia sembuh dari semua penderitaan yang dialaminya selama ini. Dia pergi, meninggalkan kami semua.
Aku dan Binti sangat syok mendengar kabar tersebut. Kami tidak menyangka sahabat kami yang sebelumnya tampak mulai sehat, tiba-tiba pergi meninggalkan kami untuk selamanya. Kesedihan langsung merudung kami berdua. Kami lantas menyebarkan berita kematian Adhit pada teman-teman SD kami. Binti mengatakan pada Kadek bahwa dia dan aku tak bisa datang melayat karena berada di Bontang. Kehadiran kami digantikan oleh kakak Binti, Mas Nur yang juga merupakan teman sekelas Adhit.
Jujur saat itu aku tercengang. Aku tak bisa berpikir jernih. Pantas saja beberapa hari terakhir entah kenapa aku terpikirkan Adhit. Pun dengan Binti yang mengaku memimpikan Adhit. Sebelum Adhit meninggal, Binti bermimpi dia dan aku mengantarkan kepergian Adhit di Bandara. Dalam mimpi itu, Adhit tampak tersenyum dan pergi dengan bahagia. Binti tak menyangka bila mimpi itu adalah firasat kepergian Adhit untuk selamanya. Apalagi setelah Adhit meninggal, Binti kembali memimpikan Adhit. Dalam mimpi kali ini, Binti dan Aku melihatnya mengendarai mobil bagus, dengan banyak orang berada di dalamnya. Adhit tampak pergi mengendarai mobil dengan senang, hingga tak memerhatikan kami. Kematian Adhit itu pun sekaligus menjawab firasat-firasat lain yang ditinggalkan Adhit menjelang kematiannya, salah satunya pada komentarnya di Facebook.
Sepekan sejak kematian Adhit, aku dan Binti masih belum bisa menerima kematian Adhit. Kami sering terbayang wajah Adhit. Kami tidak percaya Adhit telah meninggalkan kami selamanya. Bukan hanya kami, tapi juga teman-temannya di kampus tidak percaya Adhit telah pergi. Hal ini terganbar dari kiriman-kiriman friend di kronologi Facebook Adhit. Begitu banyak kiriman yang menyatakan tidak percaya dengan kematian Adhit. Mereka pun mengucapkan selamat jalan pada Adhit, mendoakannya semoga Adhit mendapat tempat terbaik di sisi Tuhan.
Ya, dia terlalu baik untuk pergi secepat itu. Meninggalkan berjuta kenangan di hati kami semua, teman-temannya. Padahal, dia baru saja mendapatkan kebahagiaannya. Padahal dia baru saja menjadi orang yang hebat. Setelah semua penderitaannya saat masih kecil dulu. Tapi Tuhan pasti punya jalan terbaik. Kepergian Adhit mungkin adalah bentuk kasih sayang Tuhan kepadanya, yang tidak ingin Adhit terus menderita. Entahlah, aku tidak mau mengira-ngira. Hidup mati memang tidak bisa ditebak.
Meskipun Adhit telah pergi, namun kenangan akan dirinya akan terus hidup di hati dan benak kami berdua. Karena bagaimanapun, Adhit turut berperan dalam hubungan kami berdua. Kami pasti akan terkenang kembali pada sosoknya ketika tidak sengaja melihat potretnya. Seolah Adhit masih hidup, seolah dia tidak pernah meninggalkan kami. Ya, potret kami berempat waktu itu yang kami buat di photo box, masih tersimpan rapi di dompetku. Wajahnya selalu terlihat setiap kali aku membuka dompetku. Adhit, seorang sahabat yang luar biasa. Yang selalu berusaha tersenyum, selalu berusaha tertawa, sementara dunia mencoba menjauhinya.
Selamat jalan Adhit, maafkan kami tidak bisa menemanimu hingga akhir hidupmu. Selamat jalan Adhit, terima kasih atas kebaikan yang telah kau berikan kepada kami. Semoga amal ibadahmu diterima Tuhan, dan dosa-dosamu diampuni Tuhan. Semoga kamu mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya. Aamiin. (Selesai)
Setelah kunjungan itu, aku membawa Binti kembali ke Bontang dan memulai hidup baru disana. Selepas kepergian kami, kulihat Adhit mulai kembali aktif di media sosial. Kulihat dia mengganti foto profilnya, dan dia sempat menulis status serta menulis komentar. Salah satunya komentar pada foto kami berempat yang kuunggah. Status pertama yang ditulisnya usai vakum lama yaitu "I'm back with new of me". Membaca status-statusnya tersebut membuatku berpikir dia kembali bersemangat usai kami kunjungi waktu itu. Dia juga mengunggah kolase fotonya, yang menggambarkan dirinya dari kecil hingga dewasa.
Salah satu komentarnya yang mengindikasikan kondisinya semakin baik yaitu balasan komentar atas komentar istriku, yang mengomentari status Adhit. Komentarnya mengatakan bahwa dia berterima kasih kepada Binti yang telah dianggapnya sebagai sahabat. Dia menyatakan dirinya sudah sehat dan tinggal terapi karena masih bermasalah dengan postur cara jalan dan mata yang juga belum stabil. Dalam komentarnya tersebut, dia memanggil Binti dengan sebutan 'gadis tas kelinci'. Panggilan itu adalah panggilan Adhit untuk Binti ketika masih di SD. Karena saat SD, Binti memang mengenakan tas dengan ornamen boneka kelinci. Adhit adalah teman sebangku Binti di kelas 3 SD dulu. Binti tidak menyangka Adhit masih mengingat masa-masa itu, di mana mereka berdua duduk sebangku, atau bertemu di persimpangan jalan saat berangkat sekolah bersama. Keduanya memang akrab saat masih kecil dulu.
Selain komentar itu, Adhit mengomentari album foto-foto narsisku sebagai wartawan. Dalam komentarnya, dia mengatakan bahwa dalam menekuni dunia broadcast bagian jurnal, berbicara adalah hal yang susah bila tidak pandai berimprovisasi. Dia mengenang saat-saat awal dia siaran, dia gagap dan berkeringat dingin. Pada komentar keduanya, dia mengatakan bahwa orang jurnal harus sadar kamera. Dia menyebut tidak banyak orang broadcaster yang sadar kamera, dan mereka memiliki tingkat narsis yang kecil. Tak tahu mesti membalas bagaimana, aku memutuskan untuk 'like' kedua komentar Adhit tersebut. Tanpa kutahu, itu adalah komentar terakhir yang kuterima darinya.
16 Desember 2013, pukul 03.00 Wita, menjelang pagi, aku dan Binti siap untuk tidur. Pekerjaanku sebagai asisten redaktur kala itu membuatku kerap pulang malam, hingga pukul 00.00 Wita. Setibanya di rumah, aku tidak langsung berisitirahat melainkan makan dan bercengkerama dengan istriku terlebih dulu. Nah, ketika kami hendak beranjak tidur itulah, ponsel Binti bergetar. Kadek, teman Binti yang masih bersaudara dengan Adhit rupanya yang menelepon. Binti terkejut mendapatkan telepon dari Kadek sebegitu larut. Pastilah sesuatu yang penting, pikir kami.
Dan benar saja, Kadek mengabarkan hal yang sama sekali tidak kami duga sebelumnya. Adhit meninggal dunia pagi itu, sekira pukul 02.00 WIB atau 01.00 WITA. Dia meninggal setelah sebelumnya sempat koma akibat terjatuh di kamar mandi dan tidak segera mendapatkan pertolongan. Kondisinya langsung melemah dan terus melemah, hingga akhirnya mengembuskan napas terakhirnya pagi itu. Setelah sebelumnya dia sempat meminta ayahnya mencarikan bunga teratai, yang kata Adhit dapat menjadi jalannya untuk sembuh. Ya, setelah bunga itu didapatkannya, Adhit memang sembuh. Dia sembuh dari semua penderitaan yang dialaminya selama ini. Dia pergi, meninggalkan kami semua.
Aku dan Binti sangat syok mendengar kabar tersebut. Kami tidak menyangka sahabat kami yang sebelumnya tampak mulai sehat, tiba-tiba pergi meninggalkan kami untuk selamanya. Kesedihan langsung merudung kami berdua. Kami lantas menyebarkan berita kematian Adhit pada teman-teman SD kami. Binti mengatakan pada Kadek bahwa dia dan aku tak bisa datang melayat karena berada di Bontang. Kehadiran kami digantikan oleh kakak Binti, Mas Nur yang juga merupakan teman sekelas Adhit.
Jujur saat itu aku tercengang. Aku tak bisa berpikir jernih. Pantas saja beberapa hari terakhir entah kenapa aku terpikirkan Adhit. Pun dengan Binti yang mengaku memimpikan Adhit. Sebelum Adhit meninggal, Binti bermimpi dia dan aku mengantarkan kepergian Adhit di Bandara. Dalam mimpi itu, Adhit tampak tersenyum dan pergi dengan bahagia. Binti tak menyangka bila mimpi itu adalah firasat kepergian Adhit untuk selamanya. Apalagi setelah Adhit meninggal, Binti kembali memimpikan Adhit. Dalam mimpi kali ini, Binti dan Aku melihatnya mengendarai mobil bagus, dengan banyak orang berada di dalamnya. Adhit tampak pergi mengendarai mobil dengan senang, hingga tak memerhatikan kami. Kematian Adhit itu pun sekaligus menjawab firasat-firasat lain yang ditinggalkan Adhit menjelang kematiannya, salah satunya pada komentarnya di Facebook.
Sepekan sejak kematian Adhit, aku dan Binti masih belum bisa menerima kematian Adhit. Kami sering terbayang wajah Adhit. Kami tidak percaya Adhit telah meninggalkan kami selamanya. Bukan hanya kami, tapi juga teman-temannya di kampus tidak percaya Adhit telah pergi. Hal ini terganbar dari kiriman-kiriman friend di kronologi Facebook Adhit. Begitu banyak kiriman yang menyatakan tidak percaya dengan kematian Adhit. Mereka pun mengucapkan selamat jalan pada Adhit, mendoakannya semoga Adhit mendapat tempat terbaik di sisi Tuhan.
Ya, dia terlalu baik untuk pergi secepat itu. Meninggalkan berjuta kenangan di hati kami semua, teman-temannya. Padahal, dia baru saja mendapatkan kebahagiaannya. Padahal dia baru saja menjadi orang yang hebat. Setelah semua penderitaannya saat masih kecil dulu. Tapi Tuhan pasti punya jalan terbaik. Kepergian Adhit mungkin adalah bentuk kasih sayang Tuhan kepadanya, yang tidak ingin Adhit terus menderita. Entahlah, aku tidak mau mengira-ngira. Hidup mati memang tidak bisa ditebak.
Meskipun Adhit telah pergi, namun kenangan akan dirinya akan terus hidup di hati dan benak kami berdua. Karena bagaimanapun, Adhit turut berperan dalam hubungan kami berdua. Kami pasti akan terkenang kembali pada sosoknya ketika tidak sengaja melihat potretnya. Seolah Adhit masih hidup, seolah dia tidak pernah meninggalkan kami. Ya, potret kami berempat waktu itu yang kami buat di photo box, masih tersimpan rapi di dompetku. Wajahnya selalu terlihat setiap kali aku membuka dompetku. Adhit, seorang sahabat yang luar biasa. Yang selalu berusaha tersenyum, selalu berusaha tertawa, sementara dunia mencoba menjauhinya.
Selamat jalan Adhit, maafkan kami tidak bisa menemanimu hingga akhir hidupmu. Selamat jalan Adhit, terima kasih atas kebaikan yang telah kau berikan kepada kami. Semoga amal ibadahmu diterima Tuhan, dan dosa-dosamu diampuni Tuhan. Semoga kamu mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya. Aamiin. (Selesai)