Kemeja biru bergaris yang kupakai pada fotoku di atas adalah salah satu kemeja favoritku. Mungkin bisa dibilang sebagai kemeja terfavorit di antara kemeja-kemeja yang lain. Namun, sayang, kemeja itu kini tidak bisa lagi aku gunakan. Pasalnya, bagian kiri kemeja tersebut sudah sobek parah dan tidak bisa diperbaiki lagi. Membuatku harus merelakannya. Padahal, kemeja itu telah menemaniku cukup lama. Tapi mau bagaimana lagi?
Aku tidak tahu dan tidak ingat persis bagaimana kemejaku itu bisa sobek. Hanya meraba-raba ingatanku, mungkin dulu sempat tersangkut di gagang pintu dan sobek ketika aku memaksakan berjalan. Maklum, kemejaku itu berkibar-kibar ketika aku berjalan sehingga mudah tersangkut. Dan parahnya, aku tidak memedulikan robek yang ada di kemejaku itu, hingga kemudian menjadi semakin besar. Aku pikir robek pada kemejaku tergolong biasa. Mengingat aku memang suka memakai pakaian apa adanya tanpa memedulikan tanggapan orang lain.
Tapi itu semua berubah ketika orang-orang di kantor dan tetanggaku mengkritisi kemejaku itu ketika aku memakainya. Mereka mencibirku yang tetap menggunakan kemeja robek. Dan mengasihaniku seolah aku tidak punya uang atau tidak punya kemeja pakaian yang lain. Mereka bilang:
"Apa gak malu pakai kemeja robek seperti itu?"
"Kamu bikin malu kantor saja. Masa' wartawan pakai baju sobek kayak gitu? Orang pasti mikir yang jelek?"
"Mbok ya diganti kemeja kamu itu, sudah sobek kayak gitu. Dibuang saja, beli yang baru."
Hiks... mereka kejam sekali. Kemeja itu kemeja favoritku yang telah banyak mengikuti perjalananku selama ini. Aku ingat, kemeja itu dibelikan oleh ibuku saat aku masih di Jawa. Aku lupa kapan aku mendapat kemeja itu, kalau tidak salah sebelum aku masuk kuliah. Karena warnanya yang bagus dan bahannya yang nyaman, membuatnya menjadi pilihanku setiap kali bepergian. Karena itu aku sayang sekali kalau sampai aku buang atau tidak akuk pakai lagi. Aku masih ingin memakai kemeja itu untuk bertugas sebagai wartawan.
Salah satu pengalaman menarik mengenakan kemeja itu adalah ketika aku jatuh di kampung atas air Bontang Kuala dan nyaris masuk ke laut. Aku ingat waktu itu malam hari ketika Lurah Bontang Kuala meneleponku, memintaku meliput rapat persiapan pesta laut. Setelah pada rapat sebelumnya aku menulis berita yang cukup membuatnya kesal. Sebenarnya malam itu aku malas pergi liputan, namun karena aku telah masuk pada rapat sebelumnya, membuatku memiliki semacam tanggung jawab untuk melanjutkannya. Jadi, angin malam yang dingin ditambah hujan rintik-rintik kutembus begitu saja untuk segera datang meliput. Karena sebenarnya aku sudah begitu lelah dan masih harus menghadiri rapat redaksi malam itu.
Awalnya semua berjalan baik-baik saja ketika aku menyusuri jalanan ulin di Bontang Kuala, menuju Balai Pertemuan Umum (BPU) tempat warga melakukan rapat kedua setelah rapat sebelumnya berlangsung panas. Aku sudah tiba di depan BPU, hendak memarkirkan sepeda motorku ketika tiba-tiba motorku tergelincir dan aku terjatuh dengan keras. Saking kagetnya, gas motor tetap menyala dengan tanganku erat menggenggam stang. Aku mencoba bangkit dan mempertahankan posisiku. Karena kalau aku tetap dalam posisiku saat itu, aku bisa masuk ke laut, mengingat aku jatuh tepat di pinggir jembatan ulin Bontang Kuala.
Warga yang ada di luar BPU dan yang telah berkumpul di dalam BPU sontak terkejut mendengar suara keras ketika sepeda motorku jatuh. Sontak saja sekira dua warga di depan BPU langsung menghampiri membantuku dengan berteriak, "Matikan gasnya!"
Dan yeah, akhirnya aku terselamatkan. Aku berhasil bangkit dan merasakan sakit pada bagian kakiku. Rupanya saat terjatuh tadi aku terhantam potongan kayu jembatan ulin. Dengan tertatih aku menggerakkan sepeda motorku dan memarkirkannya di depan gedung. Aku lantas berjalan dengan gontainya memasuki ruang BPU, dengan para warga di dalamnya memandangiku dengan wajah ingin tahu. Yeah, itu pengalaman nyaris mati pertamaku sebagai wartawan.
Ya, itu salah satu pengalaman berkesan yang kualami bersama kemeja biru itu. Saking sayangnya, aku sempat kesal saat kemeja itu dipakai oleh sepupuku tanpa izin. Sungguh, aku benar-benar sayang pada kemeja itu. Dan aku tidak mau berpisah dengan kemeja itu. Apalagi jepretan fotografer Bontang Post, M Jumri saat aku mengenakan kemeja itu begitu bagus, sebagaimana yang bisa kalian lihat pada home weblogku ini. Potret itu diambil kala aku meliput golf di padang Sintuk Golf Bontang. Karena itu, aku selalu ingin memakainya pergi liputan walaupun telah kudengar ucapan-ucapan dari teman kerja dan tetanggaku.
Tapi ucapan mereka memang benar. Tidak sepantasnya aku mengenakan kemeja itu dalam kapasitasku sebagai seorang wartwan. Kalau aku masih di kebun dan menganggur sih tidak masalah. Tapi penampilanku mewakili perusahaan tempatku bekerja. Dan itu mempengaruhi penilaian orang padaku. Akhirnya aku pun menuruti saran dari manajer pemasaran, untuk menjahit kemejaku tersebut.
Kemarin, aku pergi ke penjahit terdekat. Kusodorkan kemeja itu pada sang penjahit untuk diperbaiki. Namun apa yang kudengar? Penjahit itu bilang kemejaku tidak bisa diperbaiki. Tidak bisa ditambal. Kalaupun mau diperbaiki, yaitu dengan memotong bagianyang sobek. Yang artinya, memperpendek kemejaku tersebut. Kalau terpaksa dijahit, bakal merusak kemeja itu sendiri. Selain itu ada bagian kain yang hilang yang tidak memungkinkan untuk dijahit.
Meski begitu aku tetap bersikeras. Tapi tetap saja sang penjahit menyatakan, riwayat kemejaku sudah selesai. Itu membuatku sedih dan tidak dapat berlaku apa-apa lagi. Kubawa pulang kemeja itu dan kupandanginya dengan nanar di dalam kamarku yang sempit. Well, memang sudah saatnya kemeja yang telah menemaniku lama itu pensiun. Sudah saatnya kemeja itu beristirahat, tidak lagi menemaniku liputan mencari berita. Kucium kemeja itu syahdu, dan kuletakkan pelan. Saatnya beli kemeja baru. Saatnya untuk pengalaman baru. Andai aku bisa lebih peduli. (luk)
Aku tidak tahu dan tidak ingat persis bagaimana kemejaku itu bisa sobek. Hanya meraba-raba ingatanku, mungkin dulu sempat tersangkut di gagang pintu dan sobek ketika aku memaksakan berjalan. Maklum, kemejaku itu berkibar-kibar ketika aku berjalan sehingga mudah tersangkut. Dan parahnya, aku tidak memedulikan robek yang ada di kemejaku itu, hingga kemudian menjadi semakin besar. Aku pikir robek pada kemejaku tergolong biasa. Mengingat aku memang suka memakai pakaian apa adanya tanpa memedulikan tanggapan orang lain.
Tapi itu semua berubah ketika orang-orang di kantor dan tetanggaku mengkritisi kemejaku itu ketika aku memakainya. Mereka mencibirku yang tetap menggunakan kemeja robek. Dan mengasihaniku seolah aku tidak punya uang atau tidak punya kemeja pakaian yang lain. Mereka bilang:
"Apa gak malu pakai kemeja robek seperti itu?"
"Kamu bikin malu kantor saja. Masa' wartawan pakai baju sobek kayak gitu? Orang pasti mikir yang jelek?"
"Mbok ya diganti kemeja kamu itu, sudah sobek kayak gitu. Dibuang saja, beli yang baru."
Hiks... mereka kejam sekali. Kemeja itu kemeja favoritku yang telah banyak mengikuti perjalananku selama ini. Aku ingat, kemeja itu dibelikan oleh ibuku saat aku masih di Jawa. Aku lupa kapan aku mendapat kemeja itu, kalau tidak salah sebelum aku masuk kuliah. Karena warnanya yang bagus dan bahannya yang nyaman, membuatnya menjadi pilihanku setiap kali bepergian. Karena itu aku sayang sekali kalau sampai aku buang atau tidak akuk pakai lagi. Aku masih ingin memakai kemeja itu untuk bertugas sebagai wartawan.
Salah satu pengalaman menarik mengenakan kemeja itu adalah ketika aku jatuh di kampung atas air Bontang Kuala dan nyaris masuk ke laut. Aku ingat waktu itu malam hari ketika Lurah Bontang Kuala meneleponku, memintaku meliput rapat persiapan pesta laut. Setelah pada rapat sebelumnya aku menulis berita yang cukup membuatnya kesal. Sebenarnya malam itu aku malas pergi liputan, namun karena aku telah masuk pada rapat sebelumnya, membuatku memiliki semacam tanggung jawab untuk melanjutkannya. Jadi, angin malam yang dingin ditambah hujan rintik-rintik kutembus begitu saja untuk segera datang meliput. Karena sebenarnya aku sudah begitu lelah dan masih harus menghadiri rapat redaksi malam itu.
Awalnya semua berjalan baik-baik saja ketika aku menyusuri jalanan ulin di Bontang Kuala, menuju Balai Pertemuan Umum (BPU) tempat warga melakukan rapat kedua setelah rapat sebelumnya berlangsung panas. Aku sudah tiba di depan BPU, hendak memarkirkan sepeda motorku ketika tiba-tiba motorku tergelincir dan aku terjatuh dengan keras. Saking kagetnya, gas motor tetap menyala dengan tanganku erat menggenggam stang. Aku mencoba bangkit dan mempertahankan posisiku. Karena kalau aku tetap dalam posisiku saat itu, aku bisa masuk ke laut, mengingat aku jatuh tepat di pinggir jembatan ulin Bontang Kuala.
Warga yang ada di luar BPU dan yang telah berkumpul di dalam BPU sontak terkejut mendengar suara keras ketika sepeda motorku jatuh. Sontak saja sekira dua warga di depan BPU langsung menghampiri membantuku dengan berteriak, "Matikan gasnya!"
Dan yeah, akhirnya aku terselamatkan. Aku berhasil bangkit dan merasakan sakit pada bagian kakiku. Rupanya saat terjatuh tadi aku terhantam potongan kayu jembatan ulin. Dengan tertatih aku menggerakkan sepeda motorku dan memarkirkannya di depan gedung. Aku lantas berjalan dengan gontainya memasuki ruang BPU, dengan para warga di dalamnya memandangiku dengan wajah ingin tahu. Yeah, itu pengalaman nyaris mati pertamaku sebagai wartawan.
Ya, itu salah satu pengalaman berkesan yang kualami bersama kemeja biru itu. Saking sayangnya, aku sempat kesal saat kemeja itu dipakai oleh sepupuku tanpa izin. Sungguh, aku benar-benar sayang pada kemeja itu. Dan aku tidak mau berpisah dengan kemeja itu. Apalagi jepretan fotografer Bontang Post, M Jumri saat aku mengenakan kemeja itu begitu bagus, sebagaimana yang bisa kalian lihat pada home weblogku ini. Potret itu diambil kala aku meliput golf di padang Sintuk Golf Bontang. Karena itu, aku selalu ingin memakainya pergi liputan walaupun telah kudengar ucapan-ucapan dari teman kerja dan tetanggaku.
Tapi ucapan mereka memang benar. Tidak sepantasnya aku mengenakan kemeja itu dalam kapasitasku sebagai seorang wartwan. Kalau aku masih di kebun dan menganggur sih tidak masalah. Tapi penampilanku mewakili perusahaan tempatku bekerja. Dan itu mempengaruhi penilaian orang padaku. Akhirnya aku pun menuruti saran dari manajer pemasaran, untuk menjahit kemejaku tersebut.
Kemarin, aku pergi ke penjahit terdekat. Kusodorkan kemeja itu pada sang penjahit untuk diperbaiki. Namun apa yang kudengar? Penjahit itu bilang kemejaku tidak bisa diperbaiki. Tidak bisa ditambal. Kalaupun mau diperbaiki, yaitu dengan memotong bagianyang sobek. Yang artinya, memperpendek kemejaku tersebut. Kalau terpaksa dijahit, bakal merusak kemeja itu sendiri. Selain itu ada bagian kain yang hilang yang tidak memungkinkan untuk dijahit.
Meski begitu aku tetap bersikeras. Tapi tetap saja sang penjahit menyatakan, riwayat kemejaku sudah selesai. Itu membuatku sedih dan tidak dapat berlaku apa-apa lagi. Kubawa pulang kemeja itu dan kupandanginya dengan nanar di dalam kamarku yang sempit. Well, memang sudah saatnya kemeja yang telah menemaniku lama itu pensiun. Sudah saatnya kemeja itu beristirahat, tidak lagi menemaniku liputan mencari berita. Kucium kemeja itu syahdu, dan kuletakkan pelan. Saatnya beli kemeja baru. Saatnya untuk pengalaman baru. Andai aku bisa lebih peduli. (luk)