"Mimpi adalah kunci untuk kita menaklukkan dunia."
Sepenggal lirik dari lagu Laskar Pelangi yang dipopulerkan Nidji tersebut memang benar adanya. Semuanya memang berawal dari mimpi. Dan hal tersebut sudah kualami langsung. Salah satunya, impianku untuk menjadi wartawan, dan bekerja di harian lokal di kotaku, Bontang.
Semuanya berawal dari mimpi, dari cita-citaku saat masih duduk di bangku sekolah dasar, menjadi wartawan. Lantas aku kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi, dimana aku mempelajari teknik-teknik mencari dan menulis berita. Setelah lulus kuliah, aku berniat untuk menggunakannya melamar menjadi wartawan. Namun mengingat kemampuan lisanku yang buruk dan juga IP serta almamaterku, aku pun ragu untuk menggunakannya melamar pekerjaan sebagai wartawan. Karena yang dibutuhkan untuk menjadi wartawan bukan sekadar keahlian menulis sebagaimana yang kumiliki. So, sempat terpikir bagiku untuk tidak menggunakan ijazahku dan membuka usaha sendiri.
Namun ketika aku 'terpaksa' mencari kerja di tanah kelahiranku, di Bontang, maka aku menggunakannya untuk melamar di sebuah bank swasta di Samarinda. Aku diterima dan ditempatkan di PLN Area Bontang sebagai petugas yang menghubungkan bankku dengan kepentingan PLN. Saat berada di Bontang itulah aku menyadari bahwa di kota ini terdapat sebuah surat kabar lokal bernama Bontang Post. Gedungnya, yang juga menjadi satu dengan gedung Kaltim Post, surat kabar harian terbesar se-Kaltim berada di dekat gedung PLN Area Bontang.
Kebetulan lokasinya searah dengan jalanku pulang ke rumah pamanku, tempatku menumpang hidup di Bontang. Sehingga setiap kali aku pulang ke rumah, aku selalu melewati gedung Bontang Post yang dari luar terlihat megah tersebut. Setiap kali aku melewatinya, aku selalu terkenang pada impianku menjadi wartawan. Bahkan terbersit keinginan untuk bisa bekerja di surat kabar yang mengklaim sebagai media konten lokal nomor satu di Bontang. Apalagi setelah kutelusuri, kuketahui bahwa surat kabar itu belum lama berdiri, yaitu pada November 2010.
PLN Area Bontang berlangganan Bontang Post, yang seringkali kubaca di waktuku senggang bekerja. Saat aku membacanya, kulihat ada banyak kesalahan penulisan dan penggunaan tanda baca dalam berita-berita yang ditampilkan. Sebagai pemerhati bahasa, tentu membuat kesal dan 'sakit mata' melihat kesalahan-kesalahan tersebut. Maka keinginanku untuk bekerja di surat kabar itu kembali mencuat. Tujuanku, selain mewujudkan impianku, juga ingin memperbaiki kesalahan-kesalahan yang kerap terjadi di media itu.
Peluang itu muncul saat kubaca lowongan wartawan di media tersebut pada akhir 2011. Membuatku tertarik untuk mencoba melamarnya. Namun, saat itu usia kerjaku di bank baru setengah tahun, membuatku ragu-ragu untuk melamar. Karena walaupun keluargaku selalu menyebut pekerjaanku itu bisa sebagai batu loncatan, tapi aku enggan keluar bila belum sesuai kontrak kerja. Karena dalam perjanjian kerjaku selama satu tahun. Maka, kuabaikan lowongan tersebut.
Meski begitu pada hari-hari berikutnya aku terus mengharapkan lowongan tersebut ada. Bahkan aku sempat membeli surat kabar tersebut, namun rupanya lowongan itu sudah tidak ada. So, keinginanku pun kembali terlupakan dan aku sibuk dengan pekerjaanku di PLN Area Bontang.
Waktu terus berjalan hinggamendekati waktu satu tahun aku bekerja di bank. Aku sudah mulai bosan bekerja di bank yang menurutku kurang memberikan tantangan. Aku bahkan sempat mencurahkan kebosananku tersebut pada teman PLN, dan secara tidak sengaja aku mengatakan keinginanku untuk menjadi wartawan.
Temanku tersebut, namanya Cepi, bagian SDM PLN memahami kebosananku tersebut. Dia melihat bila aku tetap bekerja di bank sebagai SAMSAT (sistem administrasi satu atap) penghubung dengan PLN, aku akan sulit berkembang. Karenanya, dia beberapa kali menyarankanku untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Dia bahkan menunjukkanku beberapa lowongan yang bisa dicoba. Bahkan, justru dia yang bersemangat agar aku mendapatkan pekerjaan baru. Sering sekali dia menegurku untuk mencari lowongan di internet, daripada browsing tidak jelas. Saking seringnya, kupikir dia berniat mengusirku dari PLN Area Bontang.
Lalu di akhir Juli, satu pekan sebelum aku memasuki usia satu tahun bekerja di bank, aku menemukan peluang itu kembali. Ketika iseng membuka koran Bontang Post, kutemukan kembali lowongan menjadi wartawan di media tersebut. Kubaca persyaratan yang tertulis dalam lowongan tersebut. Ada beberapa persyaratan yang menurutku tidak kumiliki, yaitu inisiatif dan kemampuan komunikasi yang baik. Membuatku sempat berniat untuk kembali mengabaikan lowongan tersebut. Namun kali ini aku memutuskan untuk mencobanya. Selain desakan Cepi yang cuku besar agar aku mencari pekerjaan yang lebih baik, juga dikarenakan saat itu masa kontrakku akan habis. Sehingga, bila aku diterima, prosesnya akan mudah tanpa perpanjangan kontrak.
Maka kuputuskan untuk menulis surat lamaran, dengan dibantu akuntan PLN yang menjadi sahabatku, namanya Catur. Saat itu tujuanku hanya sekadar mencoba, sehingga tidak masalah bila lamaranku ditolak. Karena kupikir, aku tidak akan mendapatkan kembali peluang tersebut. Ketika peluang untuk mewujudkan impian itu ada, kenapa kita tidak mencobanya?
Setelah semua persyaratan terpenuhi, aku mengantarkan surat lamaran ke kantor Bontang Post dengan berjalan kaki, karena memang jaraknya dengan kantor PLN relatif dekat. Bodohnya, kopi ijazah dan transkrip nilaiku tertinggal di dalam tas, terlupa kumasukkan di dalam amplop lamaran. Namun toh pada sore itu, aku tetap ditelepon untuk datang interview kerja di Bontang Post. Aku pun datang dan melihat tiga kandidat pelamar lainnya.
Dan, giliranku interview tiba. Yang mengherankan, bos Bontang Post yang langsung mewawancaraiku waktu itu tidak mempermasalahkan bahkan tidak menyebut ketiadaan kopi ijazah dan transkirp nilaiku. Dia bahkan memuji contoh tulisanku yang kusertakan di dalam amplop lamaran. Dan, aku pun diterima. Beliau menyebut, aku memiliki potensi menjadi wartawan. Aku pun diberikan kesempatan untuk mengundurkan diri dari pekerjaanku di bank, untuk magang terlebih dulu selama tiga bulan.
Saat mengetahui aku diterima bekerja di Bontang Post, aku dilanda kebimbangan. Di satu sisi aku sudah merasa nyaman bekerja di bank, yang menurutku sangat mudah kulakukan. Sementara bila aku menjadi wartawan, maka aku akan keluar dari zona nyaman, menghadapi profesi wartawan yang penuh misteri. Apalagi saat pertama-tama, pendapatanku di bank jauh lebih besar dibandingkan pendapatan sebagai wartawan. Sebuah taruhan yang berat, namun akhirnya kuputuskan untuk keluar dari zona nyaman dan menerima pekerjaan baruku sebagai wartawan, meskipun beberapa anggota keluargaku merasa keberatan.
Karena menjadi wartawan adalah impianku. Dan ketika kesempatan untuk mewujudukan impianku itu datang, aku tidak akan menyia-nyiakannya. Aku tidak ingin menyesalinya di kemudian hari karena terkadang kesempatan tidak datang dua kali. Paling tidak, aku pernah merasakan mewujudkan impianku. Merasakan mimpiku menjadi kenyataan.
Perjalananku sebagai wartawan pun dimulai, hingga kini, pada Agustus 2013 ini telah satu tahun lamanya aku menjalani profesiku sebagai seorang wartawan. Bahkan, kini aku menjadi seorang asisten redaktur dan dipercaya memegang halaman. Ya, semuanya berawal dari mimpi. Semuanya berawal dari keinginan. Aku membuktikan, bahwa mimpi merupakan awal dari suatu keberhasilan. Kini aku tidak lagi melewati gedung Bontang Post. Melainkan memasukinya sebagai wartawan, dan bekerja menulis berita di dalamnya. Karenanya, kalaupun nantinya aku berhenti bekerja sebagai wartawan, aku tidak akan pernah menyesal karena aku pernah merasakan menjadi seorang wartawan sebagaimana yang kuimpikan.
Singkatnya, jangan ragu untuk bermimpi. Jangan ragu untuk terus berusaha mewujudkannya. Dan ketika ketika kesempatan itu datang di depan mata, jangan ragu untuk mengambilnya. Apalagi bila tekadmu untuk impianmu itu sudah begitu kuat. Kita tidak pernah tahu apakah Tuhan bakal memberikan kesempatan itu kembali di masa depan. Jangan sampai kita menyesalinya di kemudian hari, karena penyesalan yang datang terlambat tidak ada gunanya.
Aku sering mendengar seseorang yang memiliki suatu impian atau cita-cita. Namun ketika kesempatan untuk mewujudkan impian tersebut ada, dia justru menolaknya. Alasannya mungkin karena saat itu dia sudah mendapat pekerjaan atau berada dalam posisi yang nyaman, sehingga dia tidak berani mengambil risiko untuk keluar dari zona nyaman. Atau mungkin dikarenakan faktor-faktor lain, misalnya tanggapan orang yang mencibir impiannya sehingga meruntuhkan tekadnya. Akibatnya, di hari tua mereka hanya bisa menyesali keputusannya tidak mewujudkan impiannya tersebut. Bagaimanapun, perasaan menyesal sangatlah tidak menyenangkan. (luk)
~Baca juga: Melawan Keterbatasan, Menjadi Wartawan
Sepenggal lirik dari lagu Laskar Pelangi yang dipopulerkan Nidji tersebut memang benar adanya. Semuanya memang berawal dari mimpi. Dan hal tersebut sudah kualami langsung. Salah satunya, impianku untuk menjadi wartawan, dan bekerja di harian lokal di kotaku, Bontang.
Semuanya berawal dari mimpi, dari cita-citaku saat masih duduk di bangku sekolah dasar, menjadi wartawan. Lantas aku kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi, dimana aku mempelajari teknik-teknik mencari dan menulis berita. Setelah lulus kuliah, aku berniat untuk menggunakannya melamar menjadi wartawan. Namun mengingat kemampuan lisanku yang buruk dan juga IP serta almamaterku, aku pun ragu untuk menggunakannya melamar pekerjaan sebagai wartawan. Karena yang dibutuhkan untuk menjadi wartawan bukan sekadar keahlian menulis sebagaimana yang kumiliki. So, sempat terpikir bagiku untuk tidak menggunakan ijazahku dan membuka usaha sendiri.
Namun ketika aku 'terpaksa' mencari kerja di tanah kelahiranku, di Bontang, maka aku menggunakannya untuk melamar di sebuah bank swasta di Samarinda. Aku diterima dan ditempatkan di PLN Area Bontang sebagai petugas yang menghubungkan bankku dengan kepentingan PLN. Saat berada di Bontang itulah aku menyadari bahwa di kota ini terdapat sebuah surat kabar lokal bernama Bontang Post. Gedungnya, yang juga menjadi satu dengan gedung Kaltim Post, surat kabar harian terbesar se-Kaltim berada di dekat gedung PLN Area Bontang.
Kebetulan lokasinya searah dengan jalanku pulang ke rumah pamanku, tempatku menumpang hidup di Bontang. Sehingga setiap kali aku pulang ke rumah, aku selalu melewati gedung Bontang Post yang dari luar terlihat megah tersebut. Setiap kali aku melewatinya, aku selalu terkenang pada impianku menjadi wartawan. Bahkan terbersit keinginan untuk bisa bekerja di surat kabar yang mengklaim sebagai media konten lokal nomor satu di Bontang. Apalagi setelah kutelusuri, kuketahui bahwa surat kabar itu belum lama berdiri, yaitu pada November 2010.
PLN Area Bontang berlangganan Bontang Post, yang seringkali kubaca di waktuku senggang bekerja. Saat aku membacanya, kulihat ada banyak kesalahan penulisan dan penggunaan tanda baca dalam berita-berita yang ditampilkan. Sebagai pemerhati bahasa, tentu membuat kesal dan 'sakit mata' melihat kesalahan-kesalahan tersebut. Maka keinginanku untuk bekerja di surat kabar itu kembali mencuat. Tujuanku, selain mewujudkan impianku, juga ingin memperbaiki kesalahan-kesalahan yang kerap terjadi di media itu.
Peluang itu muncul saat kubaca lowongan wartawan di media tersebut pada akhir 2011. Membuatku tertarik untuk mencoba melamarnya. Namun, saat itu usia kerjaku di bank baru setengah tahun, membuatku ragu-ragu untuk melamar. Karena walaupun keluargaku selalu menyebut pekerjaanku itu bisa sebagai batu loncatan, tapi aku enggan keluar bila belum sesuai kontrak kerja. Karena dalam perjanjian kerjaku selama satu tahun. Maka, kuabaikan lowongan tersebut.
Meski begitu pada hari-hari berikutnya aku terus mengharapkan lowongan tersebut ada. Bahkan aku sempat membeli surat kabar tersebut, namun rupanya lowongan itu sudah tidak ada. So, keinginanku pun kembali terlupakan dan aku sibuk dengan pekerjaanku di PLN Area Bontang.
Waktu terus berjalan hinggamendekati waktu satu tahun aku bekerja di bank. Aku sudah mulai bosan bekerja di bank yang menurutku kurang memberikan tantangan. Aku bahkan sempat mencurahkan kebosananku tersebut pada teman PLN, dan secara tidak sengaja aku mengatakan keinginanku untuk menjadi wartawan.
Temanku tersebut, namanya Cepi, bagian SDM PLN memahami kebosananku tersebut. Dia melihat bila aku tetap bekerja di bank sebagai SAMSAT (sistem administrasi satu atap) penghubung dengan PLN, aku akan sulit berkembang. Karenanya, dia beberapa kali menyarankanku untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Dia bahkan menunjukkanku beberapa lowongan yang bisa dicoba. Bahkan, justru dia yang bersemangat agar aku mendapatkan pekerjaan baru. Sering sekali dia menegurku untuk mencari lowongan di internet, daripada browsing tidak jelas. Saking seringnya, kupikir dia berniat mengusirku dari PLN Area Bontang.
Lalu di akhir Juli, satu pekan sebelum aku memasuki usia satu tahun bekerja di bank, aku menemukan peluang itu kembali. Ketika iseng membuka koran Bontang Post, kutemukan kembali lowongan menjadi wartawan di media tersebut. Kubaca persyaratan yang tertulis dalam lowongan tersebut. Ada beberapa persyaratan yang menurutku tidak kumiliki, yaitu inisiatif dan kemampuan komunikasi yang baik. Membuatku sempat berniat untuk kembali mengabaikan lowongan tersebut. Namun kali ini aku memutuskan untuk mencobanya. Selain desakan Cepi yang cuku besar agar aku mencari pekerjaan yang lebih baik, juga dikarenakan saat itu masa kontrakku akan habis. Sehingga, bila aku diterima, prosesnya akan mudah tanpa perpanjangan kontrak.
Maka kuputuskan untuk menulis surat lamaran, dengan dibantu akuntan PLN yang menjadi sahabatku, namanya Catur. Saat itu tujuanku hanya sekadar mencoba, sehingga tidak masalah bila lamaranku ditolak. Karena kupikir, aku tidak akan mendapatkan kembali peluang tersebut. Ketika peluang untuk mewujudkan impian itu ada, kenapa kita tidak mencobanya?
Setelah semua persyaratan terpenuhi, aku mengantarkan surat lamaran ke kantor Bontang Post dengan berjalan kaki, karena memang jaraknya dengan kantor PLN relatif dekat. Bodohnya, kopi ijazah dan transkrip nilaiku tertinggal di dalam tas, terlupa kumasukkan di dalam amplop lamaran. Namun toh pada sore itu, aku tetap ditelepon untuk datang interview kerja di Bontang Post. Aku pun datang dan melihat tiga kandidat pelamar lainnya.
Dan, giliranku interview tiba. Yang mengherankan, bos Bontang Post yang langsung mewawancaraiku waktu itu tidak mempermasalahkan bahkan tidak menyebut ketiadaan kopi ijazah dan transkirp nilaiku. Dia bahkan memuji contoh tulisanku yang kusertakan di dalam amplop lamaran. Dan, aku pun diterima. Beliau menyebut, aku memiliki potensi menjadi wartawan. Aku pun diberikan kesempatan untuk mengundurkan diri dari pekerjaanku di bank, untuk magang terlebih dulu selama tiga bulan.
Saat mengetahui aku diterima bekerja di Bontang Post, aku dilanda kebimbangan. Di satu sisi aku sudah merasa nyaman bekerja di bank, yang menurutku sangat mudah kulakukan. Sementara bila aku menjadi wartawan, maka aku akan keluar dari zona nyaman, menghadapi profesi wartawan yang penuh misteri. Apalagi saat pertama-tama, pendapatanku di bank jauh lebih besar dibandingkan pendapatan sebagai wartawan. Sebuah taruhan yang berat, namun akhirnya kuputuskan untuk keluar dari zona nyaman dan menerima pekerjaan baruku sebagai wartawan, meskipun beberapa anggota keluargaku merasa keberatan.
Karena menjadi wartawan adalah impianku. Dan ketika kesempatan untuk mewujudukan impianku itu datang, aku tidak akan menyia-nyiakannya. Aku tidak ingin menyesalinya di kemudian hari karena terkadang kesempatan tidak datang dua kali. Paling tidak, aku pernah merasakan mewujudkan impianku. Merasakan mimpiku menjadi kenyataan.
Perjalananku sebagai wartawan pun dimulai, hingga kini, pada Agustus 2013 ini telah satu tahun lamanya aku menjalani profesiku sebagai seorang wartawan. Bahkan, kini aku menjadi seorang asisten redaktur dan dipercaya memegang halaman. Ya, semuanya berawal dari mimpi. Semuanya berawal dari keinginan. Aku membuktikan, bahwa mimpi merupakan awal dari suatu keberhasilan. Kini aku tidak lagi melewati gedung Bontang Post. Melainkan memasukinya sebagai wartawan, dan bekerja menulis berita di dalamnya. Karenanya, kalaupun nantinya aku berhenti bekerja sebagai wartawan, aku tidak akan pernah menyesal karena aku pernah merasakan menjadi seorang wartawan sebagaimana yang kuimpikan.
Singkatnya, jangan ragu untuk bermimpi. Jangan ragu untuk terus berusaha mewujudkannya. Dan ketika ketika kesempatan itu datang di depan mata, jangan ragu untuk mengambilnya. Apalagi bila tekadmu untuk impianmu itu sudah begitu kuat. Kita tidak pernah tahu apakah Tuhan bakal memberikan kesempatan itu kembali di masa depan. Jangan sampai kita menyesalinya di kemudian hari, karena penyesalan yang datang terlambat tidak ada gunanya.
Aku sering mendengar seseorang yang memiliki suatu impian atau cita-cita. Namun ketika kesempatan untuk mewujudkan impian tersebut ada, dia justru menolaknya. Alasannya mungkin karena saat itu dia sudah mendapat pekerjaan atau berada dalam posisi yang nyaman, sehingga dia tidak berani mengambil risiko untuk keluar dari zona nyaman. Atau mungkin dikarenakan faktor-faktor lain, misalnya tanggapan orang yang mencibir impiannya sehingga meruntuhkan tekadnya. Akibatnya, di hari tua mereka hanya bisa menyesali keputusannya tidak mewujudkan impiannya tersebut. Bagaimanapun, perasaan menyesal sangatlah tidak menyenangkan. (luk)
~Baca juga: Melawan Keterbatasan, Menjadi Wartawan