Bulan Oktober seolah menjadi bulan yang membahagiakan bagiku, kakakku, dan adikku. Karena di bulan ini, kami tiga bersaudara melangsungkan resepsi pernikahan kami. Kakakku Ika melangsungkan pernikahannya Senin tanggal 10 Oktober 2004; pernikahanku terjadi pada Rabu tanggal 30 Oktober 2013; dan yang terbaru, adikku Nurul melangsungkan pernikahan pada Senin tanggal 20 Oktober 2014 lalu. Kesamaan hari pernikahan kami bukan hanya pada bulan, tapi juga pada tanggal, di mana kami sama-sama menikah pada tanggal kelipatan sepuluh, namun dengan bilangan puluhan yang berbeda-beda.
Kesamaan bulan dan pecahan tanggal ini bukanlah hal yang disengaja. Ini terlihat dari jarak pernikahan kakakku dengan pernikahanku dengan rentang waktu sembilan tahun. Aku tak tahu persis bagaimana proses penentuan tanggal pernikahan kakakku. Seingatku, tanggal pernikahan kakakku, 10 Oktober, berada di pertengahan antara tanggal lahir kakakku dan suaminya. Kakakku lahir pada November, sementara suaminya pada September. Pernikahan kakakku mengawali pernikahan anak-anak keluraga Almarhum Sunaji. Aku ingat saat itu aku masih duduk di bangku kelas dua SMA saat kakakku melangsungkan pernikahan. Dan kakekku masih hidup untuk menjadi wali pernikahannya.
Kakakku menjalin hubungan dengan suaminya sejak mereka berdua duduk di bangku SMA, berlanjut hingga keduanya lulus. Pernikahan mereka sendiri terjadi dikarenakan banyaknya desakan dari berbagai pihak, khususnya kedua orang tua suami kakakku. Kedua mertua kakakku mendesak kakakku segera menikah, agar dapat menghindari fitnah. Padahal saat itu keduanya masih terbilang muda, kakakku berumur 20 tahun sementara suaminya berumur 22 tahun. Meski begitu anak pertama kakakku baru lahir tiga tahun kemudian. Di tahun ini, kakakku merayakan hari jadi pernikahan mereka yang ke-10.
Tanggal 30 Oktober 2013, hari Rabu, sembilan tahun setelah pernikahan kakakku, giliranku yang duduk di pelaminan. Aku meminang gadis pujaanku, teman masa kecilku saat duduk di bangku SD. Umurku 25 tahun saat melangsungkan pernikahan ini, sama dengan umur ayahku saat menikahi ibuku dulu. Memang, setahun sebelum menginjak umur 25, aku berkeinginan dapat menikah di umur tersebut. Meniru ayahku, dan Nabi Muhammad. Padahal saat itu aku tidak memiliki calon pengantin untuk kunikahi. Bahkan menjelang umur 25, ketika aku bekerja menjadi wartawan, aku belum memiliki kekasih atau calon.
Namun Tuhan seolah menunjukkan jalannya bagi dia yang memang berniat tulus membina rumah tangga. Kira-kira sebulan sebelum ulang tahunku yang ke-25, aku menemukan gadis idamanku itu. Seorang gadis yang juga berumur 25 tahun, dengan keinginan yang sama denganku, menikah di umur tersebut. Gadis yang tak lain adalah teman sekolahku saat duduk di bangku SD itu pun mengiyakan ketika aku mengajaknya menikah melalui telepon (baca kisahnya di sini). Tetapi karena posisi kami yang terpisahkan ruang dan waktu, aku tak bisa hadir dalam prosesi lamaran yang menentukan tanggal pernikahan kami.
Dalam prosesi lamaran yang terjadi di tanggak 18 September itu, para orang tua saling berembuk menentukan hari baik bagi pernikahan kami. Dan kemudian, ditentukan Rabu, tanggal 30 Oktober 2013 sebagai hari pernikahan kami. Hari itu bertepatan bulan Dzulhijjah atau Besar, di mana dianggap sebagai bulan baik untuk melaksanakan pernikahan. Penentuan tanggal ini membuat kami mesti menunggu 40 hari hingga tanggal tersebut. Saat itu waktu terasa berjalan begitu lambat, mungkin dikarenakan keinginanku untuk menikah yang begitu menggebu-gebu.
Pada akhirnya hari itu tiba, dan pernikahan yang kami harapkan terjadi. Pernikahan diselenggarakan di kediaman istriku di Kota Kediri, sedangkan aku tinggal di Kota Bontang, tempatku bekerja sebagai wartawan. Karena tuntutan pekerjaan, aku baru tiba di Kediri dua hari sebelum hari pernikahan, untuk pertama kalinya dalam dua tahun terakhir bertemu kembali dengan gadis idamanku itu. Ya, sebelumnya komunikasi hanya terjadi melalui telepon, tanpa ada pertemuan tatap muka langsung. Bisa dibilang aku baru bertemu dengan pengantinku dua hari sebelum hari pernikahan.
Cuaca yang mendung sempat membuatku khawatir hujan bakal mengganggu pernikahan kami. Apalagi sehari sebelumnya hujan turun dengan derasnya di Kota Tahu. Alhamdulillah, selama acara akad dan temu manten hujan tak turun ke bumi. Hujan baru menampakkan batang hidungnya (emang hujan punya hidung?) dua jam setelah resepsi dimulai. Walaupun waktu resepsi yang dijadwalkan belum selesai, namun hujan yang turun di tengah hari sekira pukul 13.00 Wita itu terpaksa membuat banyak undangan dan pendukung acara menyingkir.
Meski begitu hujan bukan menjadi masalah bagiku dan istri. Kami menganggapnya sebagai berkah, dan bahkan kami tetap duduk bersama di kursi pelaminan meski hujan turun dengan derasnya dan orang-orang berlarian. Setelah hujan turun, acara resepsi kami tetap berlanjut, namun bukan lagi bertempat di pelaminan di bawah tarup dan berjalan lebih santai, tak lagi formil. Undangan yang datang pun tetap banyak, membuat aku dan istri kewalahan meladeni tamu undangan.
Pernikahanku lantas disusul pernikahan adikku, setahun kemudian di umurnya yang ke-23. Tepatnya Senin, tanggal 20 Oktober 2014 kemarin, adikku menggelar resepsi pernikahannya yang sekaligus menutup pernikahan anak-anak keluarga Almarhum Sunaji. Adikku menikah dengan kekasihnya, seorang petugas kereta api. Keduanya bertemu dalam perjalanan di kereta api, yang kemudian berakhir di pelaminan. Sebenarnya akad pernikahan mereka dilakukan tanggal 20 April 2014. Namun baru di bulan Oktober digelar resepsi pernikahan tersebut.
Awalnya oleh ibuku, pernikahan adikku itu direncanakan dilangsungkan bersamaan dengan pernikahanku. Namun mertua adikku tidak menyetujuinya, dengan alasan saat itu adikku sedang mengerjakan skripsi. Dikhawatirkan bila dilakukan sebelum skripsi selesai, dapat mengganggu konsentrasinya mengerjakan skripsi. Atas penolakan tersebut, ibuku pun merencanakan ulang pernikahan adikku, yang rencananya digelar setahun kemudian setelah adikku lulus kuliah. Dari rencana tersebut, Adikku merencanakan tanggal pernikahan 20 Oktober 2014, agar dapat serasi dengan tanggal pernikahan kakak-kakaknya yang menikah tanggal 10 dan 30 Oktober. Saat itu menurut jadwal, sidang akhir kuliah selesai dilakukan.
Namun kenyataannya, sebelum hari itu tiba, kekasih adikku mendadak ingin segera melangsungkan pernikahan. Aku tidak tahu alasan pastinya kenapa dia memajukan tanggal pernikahan. Dengan kondisi keuangan yang saat itu tidak memungkinkan, pernikahan yang berlangsung 20 April 2014 itu sekadar akad nikah, ijab dan qobul. Dengan tanggal resepsi pernikahannya tetap pada rencana semula, 20 Oktober 2014. Aku tak dapat menghadiri akad nikah tersebut karena pemberitahuan yang mendadak dan posisiku yang berada di Kalimantan. Padahal setelah kakekku meninggal, akulah yang menjadi wali nikah adikku. Alhasil, wali nikahnya pun menggunakan wali hakim.
Setelah menunggu enam bulan, akhirnya resepsi pernikahan adikku digelar., 20 Oktober 2014 lalu di kediaman nenekku di Kediri. Tanggal pernikahan ini sempat akan dimajukan menjadi tanggal 19 Oktober, mengingat tanggal 20 Oktober adalah hari Senin. Dikhawatirkan undangan akan tidak datang karena itu hari sibuk. Namun resepsi tetap diadakan tanggal 20 Oktober, karena tak ada lagi dekor untuk hari Minggu serta ibuku meyakinkan kalau hari Senin pun bukan masalah untuk menggelar resepsi, mengingat resepsi kakakku pun digelar hari Senin, sementara resepsiku digelar di hari Rabu yang notabene hari sibuk. Tapi toh tetap saja banyak undangan yang datang.
Kali ini aku dapat menghadiri resepsi pernikahan adikku mengingat aku sudah pindah ke Kediri. Dibandingkan pernikahanku dan pernikahan kakakku, pernikahan adikku terbilang lebih bagus. Resepsi pernikahan adikku digelar selama sehari semalam penuh. Berbeda dengan pernikahanku dan pernikahan kakakku yang tak sampai setengah hari. Dekorasi pernikahan adikku pun lebih megah, dengan panggung yang belum pernah ada sebelumnya di desa kami, Desa Gayam. Dari pagi sampai malam, banyak tamu undangan yang datang, dengan puncak acara hiburan electune.
Dengan selesainya pernikahan adikku, maka ibuku telah sukses mengawal pernikahan ketiga anaknya. Dengan ketiga anaknya yang telah melepas masa lajangnya masing-masing itu, ibuku dapat merasa tenang. Kebahagiaan dirasakan ibuku karena kini anak-anaknya yang ditinggal mati sang ayah sejak kecil, telah beranjak dewasa dan membina rumah tangga sendiri. Kini, masing-masing anaknya telah memiliki tanggung jawabnya sendiri, dan masa depan baru yang mesti dijalani.
Selain menjadi bulan pernikahan, Oktober juga menjadi bulan kelahiran bagi keluarga kami. Pada 12 Oktober 2007, dua hari setelah peringatan pernikahan kakakku tahun ketiga, anak pertama kakakku, Nikita Shaquilla lahir ke dunia. Pun di bulan ini pada 2 Oktober 2014, anak pertamaku, Lathifah Shabrina lahir ke dunia. Masing-masing memiliki kesamaan pada suku kata awal di nama kedua. Dengan pola yang sama pada angka satuan ini, bukan tidak mungkin bila nantinya anak pertama adikku lahir di bulan Oktober, tanggal 22. Siapa yang tahu? Yang pasti bulan ini menjadi bulan yang membahagiakan bagi kami bersaudara bertiga. (luk)
Kesamaan bulan dan pecahan tanggal ini bukanlah hal yang disengaja. Ini terlihat dari jarak pernikahan kakakku dengan pernikahanku dengan rentang waktu sembilan tahun. Aku tak tahu persis bagaimana proses penentuan tanggal pernikahan kakakku. Seingatku, tanggal pernikahan kakakku, 10 Oktober, berada di pertengahan antara tanggal lahir kakakku dan suaminya. Kakakku lahir pada November, sementara suaminya pada September. Pernikahan kakakku mengawali pernikahan anak-anak keluraga Almarhum Sunaji. Aku ingat saat itu aku masih duduk di bangku kelas dua SMA saat kakakku melangsungkan pernikahan. Dan kakekku masih hidup untuk menjadi wali pernikahannya.
Kakakku menjalin hubungan dengan suaminya sejak mereka berdua duduk di bangku SMA, berlanjut hingga keduanya lulus. Pernikahan mereka sendiri terjadi dikarenakan banyaknya desakan dari berbagai pihak, khususnya kedua orang tua suami kakakku. Kedua mertua kakakku mendesak kakakku segera menikah, agar dapat menghindari fitnah. Padahal saat itu keduanya masih terbilang muda, kakakku berumur 20 tahun sementara suaminya berumur 22 tahun. Meski begitu anak pertama kakakku baru lahir tiga tahun kemudian. Di tahun ini, kakakku merayakan hari jadi pernikahan mereka yang ke-10.
Tanggal 30 Oktober 2013, hari Rabu, sembilan tahun setelah pernikahan kakakku, giliranku yang duduk di pelaminan. Aku meminang gadis pujaanku, teman masa kecilku saat duduk di bangku SD. Umurku 25 tahun saat melangsungkan pernikahan ini, sama dengan umur ayahku saat menikahi ibuku dulu. Memang, setahun sebelum menginjak umur 25, aku berkeinginan dapat menikah di umur tersebut. Meniru ayahku, dan Nabi Muhammad. Padahal saat itu aku tidak memiliki calon pengantin untuk kunikahi. Bahkan menjelang umur 25, ketika aku bekerja menjadi wartawan, aku belum memiliki kekasih atau calon.
Namun Tuhan seolah menunjukkan jalannya bagi dia yang memang berniat tulus membina rumah tangga. Kira-kira sebulan sebelum ulang tahunku yang ke-25, aku menemukan gadis idamanku itu. Seorang gadis yang juga berumur 25 tahun, dengan keinginan yang sama denganku, menikah di umur tersebut. Gadis yang tak lain adalah teman sekolahku saat duduk di bangku SD itu pun mengiyakan ketika aku mengajaknya menikah melalui telepon (baca kisahnya di sini). Tetapi karena posisi kami yang terpisahkan ruang dan waktu, aku tak bisa hadir dalam prosesi lamaran yang menentukan tanggal pernikahan kami.
Dalam prosesi lamaran yang terjadi di tanggak 18 September itu, para orang tua saling berembuk menentukan hari baik bagi pernikahan kami. Dan kemudian, ditentukan Rabu, tanggal 30 Oktober 2013 sebagai hari pernikahan kami. Hari itu bertepatan bulan Dzulhijjah atau Besar, di mana dianggap sebagai bulan baik untuk melaksanakan pernikahan. Penentuan tanggal ini membuat kami mesti menunggu 40 hari hingga tanggal tersebut. Saat itu waktu terasa berjalan begitu lambat, mungkin dikarenakan keinginanku untuk menikah yang begitu menggebu-gebu.
Pada akhirnya hari itu tiba, dan pernikahan yang kami harapkan terjadi. Pernikahan diselenggarakan di kediaman istriku di Kota Kediri, sedangkan aku tinggal di Kota Bontang, tempatku bekerja sebagai wartawan. Karena tuntutan pekerjaan, aku baru tiba di Kediri dua hari sebelum hari pernikahan, untuk pertama kalinya dalam dua tahun terakhir bertemu kembali dengan gadis idamanku itu. Ya, sebelumnya komunikasi hanya terjadi melalui telepon, tanpa ada pertemuan tatap muka langsung. Bisa dibilang aku baru bertemu dengan pengantinku dua hari sebelum hari pernikahan.
Cuaca yang mendung sempat membuatku khawatir hujan bakal mengganggu pernikahan kami. Apalagi sehari sebelumnya hujan turun dengan derasnya di Kota Tahu. Alhamdulillah, selama acara akad dan temu manten hujan tak turun ke bumi. Hujan baru menampakkan batang hidungnya (emang hujan punya hidung?) dua jam setelah resepsi dimulai. Walaupun waktu resepsi yang dijadwalkan belum selesai, namun hujan yang turun di tengah hari sekira pukul 13.00 Wita itu terpaksa membuat banyak undangan dan pendukung acara menyingkir.
Meski begitu hujan bukan menjadi masalah bagiku dan istri. Kami menganggapnya sebagai berkah, dan bahkan kami tetap duduk bersama di kursi pelaminan meski hujan turun dengan derasnya dan orang-orang berlarian. Setelah hujan turun, acara resepsi kami tetap berlanjut, namun bukan lagi bertempat di pelaminan di bawah tarup dan berjalan lebih santai, tak lagi formil. Undangan yang datang pun tetap banyak, membuat aku dan istri kewalahan meladeni tamu undangan.
Pernikahanku lantas disusul pernikahan adikku, setahun kemudian di umurnya yang ke-23. Tepatnya Senin, tanggal 20 Oktober 2014 kemarin, adikku menggelar resepsi pernikahannya yang sekaligus menutup pernikahan anak-anak keluarga Almarhum Sunaji. Adikku menikah dengan kekasihnya, seorang petugas kereta api. Keduanya bertemu dalam perjalanan di kereta api, yang kemudian berakhir di pelaminan. Sebenarnya akad pernikahan mereka dilakukan tanggal 20 April 2014. Namun baru di bulan Oktober digelar resepsi pernikahan tersebut.
Awalnya oleh ibuku, pernikahan adikku itu direncanakan dilangsungkan bersamaan dengan pernikahanku. Namun mertua adikku tidak menyetujuinya, dengan alasan saat itu adikku sedang mengerjakan skripsi. Dikhawatirkan bila dilakukan sebelum skripsi selesai, dapat mengganggu konsentrasinya mengerjakan skripsi. Atas penolakan tersebut, ibuku pun merencanakan ulang pernikahan adikku, yang rencananya digelar setahun kemudian setelah adikku lulus kuliah. Dari rencana tersebut, Adikku merencanakan tanggal pernikahan 20 Oktober 2014, agar dapat serasi dengan tanggal pernikahan kakak-kakaknya yang menikah tanggal 10 dan 30 Oktober. Saat itu menurut jadwal, sidang akhir kuliah selesai dilakukan.
Namun kenyataannya, sebelum hari itu tiba, kekasih adikku mendadak ingin segera melangsungkan pernikahan. Aku tidak tahu alasan pastinya kenapa dia memajukan tanggal pernikahan. Dengan kondisi keuangan yang saat itu tidak memungkinkan, pernikahan yang berlangsung 20 April 2014 itu sekadar akad nikah, ijab dan qobul. Dengan tanggal resepsi pernikahannya tetap pada rencana semula, 20 Oktober 2014. Aku tak dapat menghadiri akad nikah tersebut karena pemberitahuan yang mendadak dan posisiku yang berada di Kalimantan. Padahal setelah kakekku meninggal, akulah yang menjadi wali nikah adikku. Alhasil, wali nikahnya pun menggunakan wali hakim.
Setelah menunggu enam bulan, akhirnya resepsi pernikahan adikku digelar., 20 Oktober 2014 lalu di kediaman nenekku di Kediri. Tanggal pernikahan ini sempat akan dimajukan menjadi tanggal 19 Oktober, mengingat tanggal 20 Oktober adalah hari Senin. Dikhawatirkan undangan akan tidak datang karena itu hari sibuk. Namun resepsi tetap diadakan tanggal 20 Oktober, karena tak ada lagi dekor untuk hari Minggu serta ibuku meyakinkan kalau hari Senin pun bukan masalah untuk menggelar resepsi, mengingat resepsi kakakku pun digelar hari Senin, sementara resepsiku digelar di hari Rabu yang notabene hari sibuk. Tapi toh tetap saja banyak undangan yang datang.
Kali ini aku dapat menghadiri resepsi pernikahan adikku mengingat aku sudah pindah ke Kediri. Dibandingkan pernikahanku dan pernikahan kakakku, pernikahan adikku terbilang lebih bagus. Resepsi pernikahan adikku digelar selama sehari semalam penuh. Berbeda dengan pernikahanku dan pernikahan kakakku yang tak sampai setengah hari. Dekorasi pernikahan adikku pun lebih megah, dengan panggung yang belum pernah ada sebelumnya di desa kami, Desa Gayam. Dari pagi sampai malam, banyak tamu undangan yang datang, dengan puncak acara hiburan electune.
Dengan selesainya pernikahan adikku, maka ibuku telah sukses mengawal pernikahan ketiga anaknya. Dengan ketiga anaknya yang telah melepas masa lajangnya masing-masing itu, ibuku dapat merasa tenang. Kebahagiaan dirasakan ibuku karena kini anak-anaknya yang ditinggal mati sang ayah sejak kecil, telah beranjak dewasa dan membina rumah tangga sendiri. Kini, masing-masing anaknya telah memiliki tanggung jawabnya sendiri, dan masa depan baru yang mesti dijalani.
Selain menjadi bulan pernikahan, Oktober juga menjadi bulan kelahiran bagi keluarga kami. Pada 12 Oktober 2007, dua hari setelah peringatan pernikahan kakakku tahun ketiga, anak pertama kakakku, Nikita Shaquilla lahir ke dunia. Pun di bulan ini pada 2 Oktober 2014, anak pertamaku, Lathifah Shabrina lahir ke dunia. Masing-masing memiliki kesamaan pada suku kata awal di nama kedua. Dengan pola yang sama pada angka satuan ini, bukan tidak mungkin bila nantinya anak pertama adikku lahir di bulan Oktober, tanggal 22. Siapa yang tahu? Yang pasti bulan ini menjadi bulan yang membahagiakan bagi kami bersaudara bertiga. (luk)