Menulis cerita adalah salah satu kegemaranku sejak masih remaja. Bahkan sejak aku duduk di bangku SMA, aku telah merencanakan sebuah novel panjang. Novel yang awalnya kuberi judul Kota Intan itu nyaris selesai kukerjakan, ketika komputer pemberian tanteku rusak dan melenyapkan novel ambisius pertamaku. Hilangnya novel sekira 300-an halaman itu lantas membuatku berhenti menulis novel untuk sementara waktu. Yang kukerjakan kemudian sebatas cerpen-cerpen yang kemudian diterbitkan di majalah sekolah.
Dua tahun kemudian, ketika aku duduk di bangku kuliah, terpikir untukku menulis kembali kisah dalam novel tersebut. Saat itu aku baru saja keluar dari kampusku, Politeknik Negeri Jakarta. Karena memiliki banyak waktu luang, aku lantas memanfaatkannya untuk menulis kembali novel tersebut. Setelah sebelumnya aku sempat menyelesaikan novel pertamaku yang berjudul Ladang Kematian menjelang masuk perguruan tinggi. Menulis ulang sebuah novel yang pernah nyaris diselesaikan bukanlah hal yang mudah. Aku butuh mengembalikan sedikit demi sedikit memoriku. Tak heran bila penulisan novel yang judulnya kemudian kuubah menjadi Senandung Senja tersebut sempat tertunda, namun toh bisa kuselesaikan dalam waktu 4 bulan.
Novel ini sebenarnya kubuat dalam kegalauan. Dan aku tidak menyangka bisa menyelesaikannya dalam waktu yang relatif singkat, 4 bulan saja. Dengan berbekal sebuah komputer yang dipinjamkan tanteku dan referensi dari internet, aku mulai merangkai satu persatu kisah novel ini yang mengisahkan tentang perjalanan Anas Budiman menghadapi masa lalu dan masa depannya. Maaf, aku tidak mau mengisahkan detil cerita novel ini, karena kalian bisa membacanya langsung dengan mengunduhnya pada lampiran artikel ini.
Senandung Senja kutulis dengan bentuk seperti kumpulan cerpen. Terbagi dalam 20 bab yang saling mengisi satu sama lain, walaupun masing-masing babnya dapat berdiri sebagai satu kesatuan cerita sendiri. Selain itu, genre masing-masing babnya berbeda-beda. Mulai dari genre drama, misteri, petualangan, horor, cinta, hingga aksi, semuanya tersaji dari awal sampai akhir kisah novel ini. Ditambah cerita pelengkap di akhir cerita, yang masih berkaitan dengan event dalam ceritanya secara keseluruhan.
Aku menulis novel ini berdasarkan kisah nyata yang kualami saat masih kecil dulu. Yang kemudian kukembangkan menjadi fiksi, yang selama ini menjadi harapanku bisa terwujud di dunia nyata. Yeah, bagiku sebagai penulis, apa saja yang tidak dapat diraih di dunia nyata, bisa diwujudkan di dalam dunia tulisan. Itulah kenapa aku menjadi seorang penulis. Untuk mewujudkan fantasiku dalam bentuk yang dapat dibaca, dinikmati oleh orang lain.
Sayangnya, dalam menulis novel ini aku hanya mengandalkan kenangan buram di masa lalu. Tanpa memikirkan fakta yang terjadi di masa kini. Ya, sebagian besar setting dalam novel ini mengambil lokasi di Bontang, tanah kelahiranku. Sayangnya, saat aku menulis novel ini di tahun 2007, aku masih berada di Jakarta. Saat itu, aku belum mengetahui kondisi nyata lingkungan Bontang. Padahal, di sepanjang novel menceritakan tentang kondisi kota ini.
So, aku meraba-raba sendiri bagaimana situasi Bontang melalui ingatan dan juga melalui cerita tanteku yang lama bermukim disana. Jadi jangan heran bagi warga Bontang yang membaca novel ini, akan menemukan hal-hal yang tidak sesuai dengan kenyataan. Misalnya, ada salah satu adegan mengambil lokasi di bioskop. Padahal, saat cerita ini ditulis, sudah tidak ada lagi bioskop di Bontang. Karena itulah aku merencanakan untuk memperbaiki novel ini sesuai dengan kondisi riil yang ada di Bontang saat ini, terutama saat aku akhirnya kembali ke Bontang pada 2011. Sayangnya, semangatku sudah tidak ada lagi dan kesibukankuk membuatku tidak bisa berpikir jernih untuk memperbaiki novel ini.
Selain masalah setting, masalah lain yang ditemukan dalam novel ini menurutku adalah banyaknya kebetulan yang terjadi. Misalnya, adegan pertemuan Budiman dengan Layin, atau adegan pertemuannya dengan Ridwan. Kebetulan memang boleh saja, dan itu sering juga kutemukan di alam nyata saat ini. Tapi terlalu banyak kebetulan tentunya bukan merupakan hal yang baik dan terlalu mengada-ada. Tapi inilah ceritaku bagaimanapun. Minimnya pengalaman yang kumiliki tentang dunia sesungguhnya membuatku kesulitan menyajikan realita kehidpan senyata mungkin. Membuatku ingin mengalami petualangan-petulangan tersebut secara langsung, yang bisa kujadikan referensi dalam menulis novelku.
Setelah menyelesaikan novelku ini, aku berencana untuk membawanya pada penerbit lokal. Sayangnya, karena antusiasme yang tinggi dalam mengerjakan kembali novel ini, aku menghabiskan sekira 400 halaman Word. Yang tentunya membutuhkan banyak biaya untuk mencetaknya menjadi hard copy. Apalagi saat itu aku tidak punya printer. Karena itu aku hanya bisa mengirimkannya ke penerbit yang memperbolehkan pengiriman soft copy melalui email. Sayangnya, penerbit-penerbit tersebut menolak novelku. Saat kutanya alasan kenapa novelku ditolak, mereka tidak memberikan jawaban yang memuaskan. Penolakan itulah yang sempat membuatku down dan kehilangan semangat menulis.
Tapi penolakan itu kupikir wajar bila melihat materi ceritaku yang menurutku memang kurang masuk akal. Ada beberapa bagian cerita di novel ini yang terlalu kebetulan dan terasa aneh. Atau, ada juga bagian dari novel ini yang menurutku begitu rumit. Mungkin itu yang membuat pihak penerbit pikir-pikir kembali untuk menerbitkan novelku ini. Walaupun, sahabat dan teman-temanku yang kuminta untuk membaca novelku ini bilang kalau cerita yang kusajikan dalam novel ini sangat bagus dan berharap novel ini dapat diterbitkan. Well, aku memang masih butuh pembaca untuk memperbaiki novelku ini.
Kini aku belum tahu apa yang akan kulakukan dengan novel ini. Ada dua opsi yang mungkin kulakukan, yaitu memperbaiki novel ini dengan setting riil sebagaimana yang terjadi di Bontang dan juga pengalamanku dalam dua tahun ini. Atau membuat novel yang benar-benar baru dengan setting Bontang, namun masih menyisipkan beberapa bagian dari novel ini. Opsi yang terakhir mungkin menjadi opsi yang paling memungkinkan. Karena ada banyak pengalaman menarik yang kualami sekembalinya ke Bontang. Yang tentunya sayang untuk tidak disajikan kembali dalam bentuk novel. Apalagi sekarang pengalamanku tentang dunia luar sudah cukup banyak, terutama melalui pekerjaanku sebagai wartawan. Mungkin aku akan menulis novel baru yang kuberi judul Kota Taman. Siapa tahu? (luk)
Klik link di bawah ini untuk mengunduh novel Senandung Senja.
Dua tahun kemudian, ketika aku duduk di bangku kuliah, terpikir untukku menulis kembali kisah dalam novel tersebut. Saat itu aku baru saja keluar dari kampusku, Politeknik Negeri Jakarta. Karena memiliki banyak waktu luang, aku lantas memanfaatkannya untuk menulis kembali novel tersebut. Setelah sebelumnya aku sempat menyelesaikan novel pertamaku yang berjudul Ladang Kematian menjelang masuk perguruan tinggi. Menulis ulang sebuah novel yang pernah nyaris diselesaikan bukanlah hal yang mudah. Aku butuh mengembalikan sedikit demi sedikit memoriku. Tak heran bila penulisan novel yang judulnya kemudian kuubah menjadi Senandung Senja tersebut sempat tertunda, namun toh bisa kuselesaikan dalam waktu 4 bulan.
Novel ini sebenarnya kubuat dalam kegalauan. Dan aku tidak menyangka bisa menyelesaikannya dalam waktu yang relatif singkat, 4 bulan saja. Dengan berbekal sebuah komputer yang dipinjamkan tanteku dan referensi dari internet, aku mulai merangkai satu persatu kisah novel ini yang mengisahkan tentang perjalanan Anas Budiman menghadapi masa lalu dan masa depannya. Maaf, aku tidak mau mengisahkan detil cerita novel ini, karena kalian bisa membacanya langsung dengan mengunduhnya pada lampiran artikel ini.
Senandung Senja kutulis dengan bentuk seperti kumpulan cerpen. Terbagi dalam 20 bab yang saling mengisi satu sama lain, walaupun masing-masing babnya dapat berdiri sebagai satu kesatuan cerita sendiri. Selain itu, genre masing-masing babnya berbeda-beda. Mulai dari genre drama, misteri, petualangan, horor, cinta, hingga aksi, semuanya tersaji dari awal sampai akhir kisah novel ini. Ditambah cerita pelengkap di akhir cerita, yang masih berkaitan dengan event dalam ceritanya secara keseluruhan.
Aku menulis novel ini berdasarkan kisah nyata yang kualami saat masih kecil dulu. Yang kemudian kukembangkan menjadi fiksi, yang selama ini menjadi harapanku bisa terwujud di dunia nyata. Yeah, bagiku sebagai penulis, apa saja yang tidak dapat diraih di dunia nyata, bisa diwujudkan di dalam dunia tulisan. Itulah kenapa aku menjadi seorang penulis. Untuk mewujudkan fantasiku dalam bentuk yang dapat dibaca, dinikmati oleh orang lain.
Sayangnya, dalam menulis novel ini aku hanya mengandalkan kenangan buram di masa lalu. Tanpa memikirkan fakta yang terjadi di masa kini. Ya, sebagian besar setting dalam novel ini mengambil lokasi di Bontang, tanah kelahiranku. Sayangnya, saat aku menulis novel ini di tahun 2007, aku masih berada di Jakarta. Saat itu, aku belum mengetahui kondisi nyata lingkungan Bontang. Padahal, di sepanjang novel menceritakan tentang kondisi kota ini.
So, aku meraba-raba sendiri bagaimana situasi Bontang melalui ingatan dan juga melalui cerita tanteku yang lama bermukim disana. Jadi jangan heran bagi warga Bontang yang membaca novel ini, akan menemukan hal-hal yang tidak sesuai dengan kenyataan. Misalnya, ada salah satu adegan mengambil lokasi di bioskop. Padahal, saat cerita ini ditulis, sudah tidak ada lagi bioskop di Bontang. Karena itulah aku merencanakan untuk memperbaiki novel ini sesuai dengan kondisi riil yang ada di Bontang saat ini, terutama saat aku akhirnya kembali ke Bontang pada 2011. Sayangnya, semangatku sudah tidak ada lagi dan kesibukankuk membuatku tidak bisa berpikir jernih untuk memperbaiki novel ini.
Selain masalah setting, masalah lain yang ditemukan dalam novel ini menurutku adalah banyaknya kebetulan yang terjadi. Misalnya, adegan pertemuan Budiman dengan Layin, atau adegan pertemuannya dengan Ridwan. Kebetulan memang boleh saja, dan itu sering juga kutemukan di alam nyata saat ini. Tapi terlalu banyak kebetulan tentunya bukan merupakan hal yang baik dan terlalu mengada-ada. Tapi inilah ceritaku bagaimanapun. Minimnya pengalaman yang kumiliki tentang dunia sesungguhnya membuatku kesulitan menyajikan realita kehidpan senyata mungkin. Membuatku ingin mengalami petualangan-petulangan tersebut secara langsung, yang bisa kujadikan referensi dalam menulis novelku.
Setelah menyelesaikan novelku ini, aku berencana untuk membawanya pada penerbit lokal. Sayangnya, karena antusiasme yang tinggi dalam mengerjakan kembali novel ini, aku menghabiskan sekira 400 halaman Word. Yang tentunya membutuhkan banyak biaya untuk mencetaknya menjadi hard copy. Apalagi saat itu aku tidak punya printer. Karena itu aku hanya bisa mengirimkannya ke penerbit yang memperbolehkan pengiriman soft copy melalui email. Sayangnya, penerbit-penerbit tersebut menolak novelku. Saat kutanya alasan kenapa novelku ditolak, mereka tidak memberikan jawaban yang memuaskan. Penolakan itulah yang sempat membuatku down dan kehilangan semangat menulis.
Tapi penolakan itu kupikir wajar bila melihat materi ceritaku yang menurutku memang kurang masuk akal. Ada beberapa bagian cerita di novel ini yang terlalu kebetulan dan terasa aneh. Atau, ada juga bagian dari novel ini yang menurutku begitu rumit. Mungkin itu yang membuat pihak penerbit pikir-pikir kembali untuk menerbitkan novelku ini. Walaupun, sahabat dan teman-temanku yang kuminta untuk membaca novelku ini bilang kalau cerita yang kusajikan dalam novel ini sangat bagus dan berharap novel ini dapat diterbitkan. Well, aku memang masih butuh pembaca untuk memperbaiki novelku ini.
Kini aku belum tahu apa yang akan kulakukan dengan novel ini. Ada dua opsi yang mungkin kulakukan, yaitu memperbaiki novel ini dengan setting riil sebagaimana yang terjadi di Bontang dan juga pengalamanku dalam dua tahun ini. Atau membuat novel yang benar-benar baru dengan setting Bontang, namun masih menyisipkan beberapa bagian dari novel ini. Opsi yang terakhir mungkin menjadi opsi yang paling memungkinkan. Karena ada banyak pengalaman menarik yang kualami sekembalinya ke Bontang. Yang tentunya sayang untuk tidak disajikan kembali dalam bentuk novel. Apalagi sekarang pengalamanku tentang dunia luar sudah cukup banyak, terutama melalui pekerjaanku sebagai wartawan. Mungkin aku akan menulis novel baru yang kuberi judul Kota Taman. Siapa tahu? (luk)
Klik link di bawah ini untuk mengunduh novel Senandung Senja.
senandung_senja_edisi_memori.pdf |