Bagaimana ya Bin, kalau ternyata kita berjodoh? Hahaha...
Wallahualam ... aku juga tidak tahu tu, hahahaha
Kalimat di atas adalah kalimat komentar yang ditulis olehku di facebook, yang kemudian dibalas dengan sebaris kalimat oleh Binti, teman masa kecilku yang saat itu belum menjadi istriku. Tanpa kuduga, komentar iseng itu kini menjadi nyata, di mana aku kini telah menikah dengannya, dan dikaruniai seorang anak perempuan yang sangat lucu, Lathifah. Di usia pernikahan kami yang telah melewati satu tahun pernikahan ini, aku mengenang kembali saat-saat terdahulu, bagaimana kami berdua bertemu kembali dan membuat janji suci sehidup semati...
Komentar yang tertulis di awal tulisan ini sendiri merupakan komentar yang ada pada status Binti. Status bertanggal 16 Juni 2013 itu sendiri bertuliskan ‘Jodoh Pasti Bertemu...’. Saat itu aku tidak tahu pasti apa maksud Binti menulis status tersebut, kupikir dia berharap segera menemukan jodohnya setelah hubungan asmaranya dengan kekasihnya, Hakim, yang telah berjalan selama empat tahun lamanya kandas di awal 2013. Rupa-rupanya, aku baru mengetahui bila status itu adalah judul lagu yang dinyanyikan Afgan, yang kala itu baru didengarkannya.
Status itu seakan menjadi pembuka pendekatanku padanya untuk menyatakan perasaanku, sekaligus mengajaknya menikah. Saat itu, di sekitar bulan Juni 2013, hubunganku dengannya kembali berjalan akrab. Walaupun sebatas hubungan jarak jauh melalui telepon karena lokasi kami yang dipisahkan Laut Jawa. Aku tengah bekerja di Kalimantan Timur sedangkan dia bekerja di Jawa Timur. Keakraban yang terjadi kala itu, memunculkan kembali rasa suka yang pernah ada, dan kali ini lebih kuat dari sebelumnya.
Saat itu, dua tahun lamanya kami tak bertemu sejak kepergianku kembali ke tanah kelahiranku, Bontang. Komunikasiku dengannya pun sebatas komunikasi lewat telepon yang sangat jarang kami lakukan, mengingat kesibukan masing-masing. Namun pada bulan itu, komunikasi kami kembali menjadi begitu intens. Dia sering meneleponku, dan aku pun demikian. Saat itu, Binti yang kukenal sejak kami bersekolah di SD yang sama itu seakan memberiku harapan. Apalagi saat itu aku sebelumnya juga tengah dirudung patah hati setelah diputuskan oleh pacarku, yang oleh teman dunia mayaku disebut perempuan alay.
Sementara, hubungan Binti dengan kekasihnya yang telah berjalan empat tahun lamanya kandas di awal tahun. Bukan itu saja, tak lama setelah kandasnya hubungannya tersebut, dia kembali dikhianati pria yang tak lain adalah sahabatku sendiri. Kegagalan cinta dua kali berturut-turut itu tentunya membuat Binti menjadi begitu sedih, dan saat itulah secara kebetulan aku hadir untuknya dalam komunikasi antar ruang dan waktu.
Kondisi sama-sama patah hati ini seakan menyatukan kami. Dalam komunikasi lewat telepon, kami saling bercerita mengenai perasaan kami masing-masing. Mengenai pengkhianatan yang sama-sama kami rasakan, mengenai rasa sakit diputuskan kekasih. Mungkin, hal inilah yang kembali mengakrabkan kami berdua. Dalam komunikasi tersebut, kami sama-sama berkisah tentang masa lalu. Kami pun turut mengungkapkan keinginan-keinginan kami masing-masing tentang pasangan ideal, dan rencana pernikahan. Dan di sini, kami sama-sama memiliki keinginan untuk menikah di usia 25. Sementara di tahun 2013, umur kami sama-sama beranjak 25 tahun.
Aku senang mengobrol dengan Binti. Menurutku, dia adalah tipe perempuan yang menyenangkan bila diajak bicara. Dari setiap perkataannya menggambarkan bagaimana kepribadiannya, membuatku mengerti seperti apa watak dan sifatnya walaupun tak bertemu dengannya secara langsung. Setiap ucapannya menyiratkan sebuah kejujuran, sebuah kepolosan sehingga tidak ada sesuatu yang dibuat-buat. Dengan kemampuanku di bidang ilmu komunikasi, membuatku menyimpulkan bahwa apa yang diungkapkannya kepadaku adalah benar-benar dirinya yang sebenarnya.
Kepolosan dan kejujuran ini mungkin juga dikarenakan aku adalah sahabatnya. Walaupun kami tak akrab saat masih bersekolah dulu, namun kami menjadi sahabat karib setelah dewasa. Kami tak banyak bertemu, tapi kami banyak mengobrol di telepon. Kala itu, ketika aku masih kuliah, sempat muncul perasaan suka padanya, namun tak lama rasa itu memudar seiring berjalannya waktu. Setelah sebelumnya aku sempat menuliskan perasaanku tersebut pada salah satu situs lomba operator telepon di internet, dengan lagu tema ‘Ajari Aku’ yang dipopulerkan Adrian Martadinata.
Kemudian, di awal 2013, saat perasaan itu kembali muncul, kembali terpikir olehku untuk menyatakan perasaan ini. Namun aku masih terlalu takut mengutarakannya. Aku takut dia menolakku, atau aku takut akan membuatnya sedih mengingat kegagalannya pada dua kekasih sebelumnya. Pun yang bisa kulakukan saat itu sekadar memancing informasi mengenai tipe pria idamannya. Dan kusadari bahwa aku bukanlah pria idamannya, mengingat pekerjaanku waktu itu adalah seorang wartawan. Dalam salah satu curhatnya, dia tidak mau menikah dengan wartawan, karena pasti akan sering ditinggal pergi.
Namun perasaan suka padanya perlahan menjadi semakin kuat dan bergolak di dalam dada. Aku tak bisa memendamnya lagi, membuatku perlahan mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengatakannya. Terlebih dipicu kisah sedihnya dikecewakan lelaki, membuatku semakin ingin menghilangkan kesedihan itu. Bagiku saat itu, bila orang lain tak bisa membahagiakannya, tak bisa memegang komitmen dengannya, maka biarkan aku saja yang melakukannya. Biarkan aku yang menunjukkan padanya bahwa masih ada pria yang setia, tegas, dan berani bertanggung jawab.
Komunikasi intens dengannya membuatku merasakan semacam ikatan atau chemistry padanya. Karenanya, aku tak memedulikan seberapa sempurna penampilan fisik Binti. Bagiku, kecantikan yang muncul dari dalam jauh lebih berharga daripada kecantikan yang tampak di luar. Dan itu yang kutemukan pada Binti, pun dengan wajah manis yang begitu membuatku tak bisa tidur nyenyak karena terus membayangkannya. Karenanya, meski aku bukan tipe pria idamannya, tapi tak membuatku putus asa. Paling tidak aku mesti mencobanya terlebih dahulu. Apalagi, Binti pernah mengatakan, bila dia bertemu dengan pria yang benar-benar mencintainya, maka dia pun akan berusaha mencintainya pula.
Meski begitu aku tak berani langsung mengutarakannya. Aku melakukannya secara bertahap, dengan cara menggodanya baik lewat telepon atau melalui status dan komentar di jejaring sosial. Salah satu komentarku itu adalah yang kutulis pada statusnya ‘Jodoh Pasti Bertemu’ itu. Hingga pada akhirnya, pada 26 Juni 2013, kuberanikan diriku untuk mengajaknya menikah. Ya, aku memintanya melalui telepon untuk bersedia menjadi istriku, bukan pacarku. Dan dia menyambut baik keinginan kami tersebut, meskipun awalnya tak percaya dan meragukan komitmenku. Wajar, mengingat kami lama tak bertemu dan hanya berkomunikasi melalui telepon (baca kisah lengkapnya di Dari Jendela Sekolah Dasar).
Empat bulan kemudian, pernikahan kami digelar, meskipun sempat mendapat pertentangan dari orang tuaku, dan sempat terjadi perselisihan dalam rencana persiapan pernikahan. Aku sendiri baru tiba di Jawa, tepatnya Kota Kediri, tanggal 28 Oktober 2013, dua hari sebelum pernikahan digelar. Dan dua hari sebelum pernikahan itulah, aku kembali melihat secara langsung Binti dengan tubuhnya yang kurus tertutup hijab. Dia berlari saat pertama kali aku datang ke rumahnya, namun segera saja menemuiku. Hari itu aku merasa sangat bahagia, dan itulah kencan resmi pertama kami, menikmati santap malam bebek goreng di pinggiran jalan Kota Tahu.
Dua hari kemudian, 30 Oktober 2013, aku resmi menikah dengan Binti, dengan resepsi pernikahan yang sederhana dan disambut guyuran hujan yang cukup deras. Rasanya begitu bahagia bisa duduk bersanding di pelaminan dengan perempuan yang kusayang, yang hari itu tampak begitu cantik dan anggun dalam balutan busana pengantin. Baru pertama kali bertemu dan duduk begitu dekat membuat kami berdua sangat canggung. Aku belum pernah menyentuh perempuan dengan mesra sebelumnya, dan memegang pinggangnya memunculkan perasaan yang sangat canggung.
Pun dengan Binti yang tampak malu-malu saat berdekatan denganku, menjadi bukti betapa polos dan terjaganya dia. Sama-sama canggung, membuat kami saling senyum saat saling memandang satu sama lain. Kami merasa begitu bahagia duduk bersama di pelaminan. Tangan kami saling berpegangan satu sama lain. Saking bahagianya, saat orang-orang sibuk menyelamatkan diri dan barang-barang dari guyuran hujan, kami berdua tetap bertahan di atas pelaminan, saling berpandangan, saling tersenyum. Kami tak memedulikan hujan yang turun begitu deras di tengah hari tersebut. Yang kami pikirkan hanya kemesraan kami berdua, yang akhirnya dapat tersampaikan dengan halal.
Lagu Afgan yang berjudul ‘Jodoh Pasti Bertemu’ sendiri rasanya sangat mewakili hubungan kami berdua. Sejauh apapun kami berpisah, selama apapun kami tak bertemu, sebanyak apapun hubungan yang kami lalui, bila memang sudah jodohnya pasti akan bertemu lagi, pasti akan bersatu. Aku dan Binti satu sekolah saat SD, berpisah selepas lulus, bertemu lagi saat remaja. Saat itu aku sempat memiliki perasaan padanya, namun kuurungkan keinginanku menyatakan perasaan karena kupikir Binti tak mau berpacaran, serta berpikir dia terlalu sempurna untukku. Selain itu, aku masih belum yakin dengan perasaanku saat itu.
Beberapa kali aku berniat menyatakan perasaanku, namun semuanya kuurungkan. Hanya, aku selalu bercanda bahwa aku akan selalu setia menunggunya, setiap kali dia menanyakan siapa kekasihku. Nyatanya, aku memang selalu setia menunggunya, walaupun aku hampir tak merasa menunggunya. Walaupun kami telah terpisah jarak, ruang, dan waktu. Meskipun dia tengah bersama pria lain, meskipun banyak pria yang melamarnya, namun aku tetap setia menunggunya. Dan penantianku berakhir sudah, saat kusadari akulah yang memenangkan hatinya. Sebagaimana lirik dalam lagu yang dinyanyikan Afgan tersebut...
“Bila aku bukan jalanmu… ku berhenti mengharapkanmu…
Bila aku memang tercipta untukmu… ku kan memilikimu…
jodoh pasti bertemu….”
(luk)
Wallahualam ... aku juga tidak tahu tu, hahahaha
Kalimat di atas adalah kalimat komentar yang ditulis olehku di facebook, yang kemudian dibalas dengan sebaris kalimat oleh Binti, teman masa kecilku yang saat itu belum menjadi istriku. Tanpa kuduga, komentar iseng itu kini menjadi nyata, di mana aku kini telah menikah dengannya, dan dikaruniai seorang anak perempuan yang sangat lucu, Lathifah. Di usia pernikahan kami yang telah melewati satu tahun pernikahan ini, aku mengenang kembali saat-saat terdahulu, bagaimana kami berdua bertemu kembali dan membuat janji suci sehidup semati...
Komentar yang tertulis di awal tulisan ini sendiri merupakan komentar yang ada pada status Binti. Status bertanggal 16 Juni 2013 itu sendiri bertuliskan ‘Jodoh Pasti Bertemu...’. Saat itu aku tidak tahu pasti apa maksud Binti menulis status tersebut, kupikir dia berharap segera menemukan jodohnya setelah hubungan asmaranya dengan kekasihnya, Hakim, yang telah berjalan selama empat tahun lamanya kandas di awal 2013. Rupa-rupanya, aku baru mengetahui bila status itu adalah judul lagu yang dinyanyikan Afgan, yang kala itu baru didengarkannya.
Status itu seakan menjadi pembuka pendekatanku padanya untuk menyatakan perasaanku, sekaligus mengajaknya menikah. Saat itu, di sekitar bulan Juni 2013, hubunganku dengannya kembali berjalan akrab. Walaupun sebatas hubungan jarak jauh melalui telepon karena lokasi kami yang dipisahkan Laut Jawa. Aku tengah bekerja di Kalimantan Timur sedangkan dia bekerja di Jawa Timur. Keakraban yang terjadi kala itu, memunculkan kembali rasa suka yang pernah ada, dan kali ini lebih kuat dari sebelumnya.
Saat itu, dua tahun lamanya kami tak bertemu sejak kepergianku kembali ke tanah kelahiranku, Bontang. Komunikasiku dengannya pun sebatas komunikasi lewat telepon yang sangat jarang kami lakukan, mengingat kesibukan masing-masing. Namun pada bulan itu, komunikasi kami kembali menjadi begitu intens. Dia sering meneleponku, dan aku pun demikian. Saat itu, Binti yang kukenal sejak kami bersekolah di SD yang sama itu seakan memberiku harapan. Apalagi saat itu aku sebelumnya juga tengah dirudung patah hati setelah diputuskan oleh pacarku, yang oleh teman dunia mayaku disebut perempuan alay.
Sementara, hubungan Binti dengan kekasihnya yang telah berjalan empat tahun lamanya kandas di awal tahun. Bukan itu saja, tak lama setelah kandasnya hubungannya tersebut, dia kembali dikhianati pria yang tak lain adalah sahabatku sendiri. Kegagalan cinta dua kali berturut-turut itu tentunya membuat Binti menjadi begitu sedih, dan saat itulah secara kebetulan aku hadir untuknya dalam komunikasi antar ruang dan waktu.
Kondisi sama-sama patah hati ini seakan menyatukan kami. Dalam komunikasi lewat telepon, kami saling bercerita mengenai perasaan kami masing-masing. Mengenai pengkhianatan yang sama-sama kami rasakan, mengenai rasa sakit diputuskan kekasih. Mungkin, hal inilah yang kembali mengakrabkan kami berdua. Dalam komunikasi tersebut, kami sama-sama berkisah tentang masa lalu. Kami pun turut mengungkapkan keinginan-keinginan kami masing-masing tentang pasangan ideal, dan rencana pernikahan. Dan di sini, kami sama-sama memiliki keinginan untuk menikah di usia 25. Sementara di tahun 2013, umur kami sama-sama beranjak 25 tahun.
Aku senang mengobrol dengan Binti. Menurutku, dia adalah tipe perempuan yang menyenangkan bila diajak bicara. Dari setiap perkataannya menggambarkan bagaimana kepribadiannya, membuatku mengerti seperti apa watak dan sifatnya walaupun tak bertemu dengannya secara langsung. Setiap ucapannya menyiratkan sebuah kejujuran, sebuah kepolosan sehingga tidak ada sesuatu yang dibuat-buat. Dengan kemampuanku di bidang ilmu komunikasi, membuatku menyimpulkan bahwa apa yang diungkapkannya kepadaku adalah benar-benar dirinya yang sebenarnya.
Kepolosan dan kejujuran ini mungkin juga dikarenakan aku adalah sahabatnya. Walaupun kami tak akrab saat masih bersekolah dulu, namun kami menjadi sahabat karib setelah dewasa. Kami tak banyak bertemu, tapi kami banyak mengobrol di telepon. Kala itu, ketika aku masih kuliah, sempat muncul perasaan suka padanya, namun tak lama rasa itu memudar seiring berjalannya waktu. Setelah sebelumnya aku sempat menuliskan perasaanku tersebut pada salah satu situs lomba operator telepon di internet, dengan lagu tema ‘Ajari Aku’ yang dipopulerkan Adrian Martadinata.
Kemudian, di awal 2013, saat perasaan itu kembali muncul, kembali terpikir olehku untuk menyatakan perasaan ini. Namun aku masih terlalu takut mengutarakannya. Aku takut dia menolakku, atau aku takut akan membuatnya sedih mengingat kegagalannya pada dua kekasih sebelumnya. Pun yang bisa kulakukan saat itu sekadar memancing informasi mengenai tipe pria idamannya. Dan kusadari bahwa aku bukanlah pria idamannya, mengingat pekerjaanku waktu itu adalah seorang wartawan. Dalam salah satu curhatnya, dia tidak mau menikah dengan wartawan, karena pasti akan sering ditinggal pergi.
Namun perasaan suka padanya perlahan menjadi semakin kuat dan bergolak di dalam dada. Aku tak bisa memendamnya lagi, membuatku perlahan mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengatakannya. Terlebih dipicu kisah sedihnya dikecewakan lelaki, membuatku semakin ingin menghilangkan kesedihan itu. Bagiku saat itu, bila orang lain tak bisa membahagiakannya, tak bisa memegang komitmen dengannya, maka biarkan aku saja yang melakukannya. Biarkan aku yang menunjukkan padanya bahwa masih ada pria yang setia, tegas, dan berani bertanggung jawab.
Komunikasi intens dengannya membuatku merasakan semacam ikatan atau chemistry padanya. Karenanya, aku tak memedulikan seberapa sempurna penampilan fisik Binti. Bagiku, kecantikan yang muncul dari dalam jauh lebih berharga daripada kecantikan yang tampak di luar. Dan itu yang kutemukan pada Binti, pun dengan wajah manis yang begitu membuatku tak bisa tidur nyenyak karena terus membayangkannya. Karenanya, meski aku bukan tipe pria idamannya, tapi tak membuatku putus asa. Paling tidak aku mesti mencobanya terlebih dahulu. Apalagi, Binti pernah mengatakan, bila dia bertemu dengan pria yang benar-benar mencintainya, maka dia pun akan berusaha mencintainya pula.
Meski begitu aku tak berani langsung mengutarakannya. Aku melakukannya secara bertahap, dengan cara menggodanya baik lewat telepon atau melalui status dan komentar di jejaring sosial. Salah satu komentarku itu adalah yang kutulis pada statusnya ‘Jodoh Pasti Bertemu’ itu. Hingga pada akhirnya, pada 26 Juni 2013, kuberanikan diriku untuk mengajaknya menikah. Ya, aku memintanya melalui telepon untuk bersedia menjadi istriku, bukan pacarku. Dan dia menyambut baik keinginan kami tersebut, meskipun awalnya tak percaya dan meragukan komitmenku. Wajar, mengingat kami lama tak bertemu dan hanya berkomunikasi melalui telepon (baca kisah lengkapnya di Dari Jendela Sekolah Dasar).
Empat bulan kemudian, pernikahan kami digelar, meskipun sempat mendapat pertentangan dari orang tuaku, dan sempat terjadi perselisihan dalam rencana persiapan pernikahan. Aku sendiri baru tiba di Jawa, tepatnya Kota Kediri, tanggal 28 Oktober 2013, dua hari sebelum pernikahan digelar. Dan dua hari sebelum pernikahan itulah, aku kembali melihat secara langsung Binti dengan tubuhnya yang kurus tertutup hijab. Dia berlari saat pertama kali aku datang ke rumahnya, namun segera saja menemuiku. Hari itu aku merasa sangat bahagia, dan itulah kencan resmi pertama kami, menikmati santap malam bebek goreng di pinggiran jalan Kota Tahu.
Dua hari kemudian, 30 Oktober 2013, aku resmi menikah dengan Binti, dengan resepsi pernikahan yang sederhana dan disambut guyuran hujan yang cukup deras. Rasanya begitu bahagia bisa duduk bersanding di pelaminan dengan perempuan yang kusayang, yang hari itu tampak begitu cantik dan anggun dalam balutan busana pengantin. Baru pertama kali bertemu dan duduk begitu dekat membuat kami berdua sangat canggung. Aku belum pernah menyentuh perempuan dengan mesra sebelumnya, dan memegang pinggangnya memunculkan perasaan yang sangat canggung.
Pun dengan Binti yang tampak malu-malu saat berdekatan denganku, menjadi bukti betapa polos dan terjaganya dia. Sama-sama canggung, membuat kami saling senyum saat saling memandang satu sama lain. Kami merasa begitu bahagia duduk bersama di pelaminan. Tangan kami saling berpegangan satu sama lain. Saking bahagianya, saat orang-orang sibuk menyelamatkan diri dan barang-barang dari guyuran hujan, kami berdua tetap bertahan di atas pelaminan, saling berpandangan, saling tersenyum. Kami tak memedulikan hujan yang turun begitu deras di tengah hari tersebut. Yang kami pikirkan hanya kemesraan kami berdua, yang akhirnya dapat tersampaikan dengan halal.
Lagu Afgan yang berjudul ‘Jodoh Pasti Bertemu’ sendiri rasanya sangat mewakili hubungan kami berdua. Sejauh apapun kami berpisah, selama apapun kami tak bertemu, sebanyak apapun hubungan yang kami lalui, bila memang sudah jodohnya pasti akan bertemu lagi, pasti akan bersatu. Aku dan Binti satu sekolah saat SD, berpisah selepas lulus, bertemu lagi saat remaja. Saat itu aku sempat memiliki perasaan padanya, namun kuurungkan keinginanku menyatakan perasaan karena kupikir Binti tak mau berpacaran, serta berpikir dia terlalu sempurna untukku. Selain itu, aku masih belum yakin dengan perasaanku saat itu.
Beberapa kali aku berniat menyatakan perasaanku, namun semuanya kuurungkan. Hanya, aku selalu bercanda bahwa aku akan selalu setia menunggunya, setiap kali dia menanyakan siapa kekasihku. Nyatanya, aku memang selalu setia menunggunya, walaupun aku hampir tak merasa menunggunya. Walaupun kami telah terpisah jarak, ruang, dan waktu. Meskipun dia tengah bersama pria lain, meskipun banyak pria yang melamarnya, namun aku tetap setia menunggunya. Dan penantianku berakhir sudah, saat kusadari akulah yang memenangkan hatinya. Sebagaimana lirik dalam lagu yang dinyanyikan Afgan tersebut...
“Bila aku bukan jalanmu… ku berhenti mengharapkanmu…
Bila aku memang tercipta untukmu… ku kan memilikimu…
jodoh pasti bertemu….”
(luk)