Namanya Rachman Wahid, dia teman satu letingku sebagai wartawan di Bontang Post, surat kabar harian di Bontang. Mungkin dia teman satu leting pertamaku selama bekerja di perusahaan, karena pada perusahaan tempatku bekerja sebelumnya di salah satu bank swasta di Samarinda, aku bekerja seorang diri. Aku ingat pertama kali bertemu dengannya hari Sabtu, 28 Juli 2012. Saat itu bersama dua pelamar lainnya, aku dan Rachman mengikuti wawancara kerja di Bontang Post. Rachman mendapat giliran pertama sementara aku mendapat giliran terakhir. Sempat kulihat tubuh gemuknya keluar dari ruang redaksi dengan tersenyum-senyum, selepas dia selesai wawancara.
Setelah menunggu, akhirnya tibalah giliranku menjalani wawancara. Aku menemui bos Bontang Post, dan setelah wawancara dilakukan, aku dinyatakan diterima bekerja di Bontang Post dan dapat mulai bekerja Senin lusa. Namun, karena saat itu statusku masih bekerja di bank, maka aku meminta waktu selama sepekan untuk mengurus pemunduran diri di bank sebelum bekerja di Bontang Post. Permintaanku dikabulkan dan aku dipersilakan datang sepekan berikutnya, Senin tanggal 6 Agustus 2012. Saat itu kuketahui kalau dari empat pelamar yang hadir siang itu, hanya dua yang diterima bekerja yaitu Rachman dan diriku. Rachman diterima sebagai fotografer, sementara aku menjadi wartawan. Tak kusangka kami berdua bakal menjalani pengalaman jurnalistik penuh emosi di harian yang penuh dilema.
Tanggal 6 Agustus 2012, sesuai yang dijanjikan, aku mulai bekerja menjadi wartawan. Sementara Rachman sudah mengawali pekerjaan sepekan sebelumnya. Aku pun kembali bertemu dengannya saat rapat redaksi, Jumat (10/2). Semenjak itu, kami pun berteman, dan sebagai teman satu leting, perlahan kami mulai akrab. Kami bahkan sempat dipilih oleh bos untuk meliput advetorial PT Badak NGL bersama. Rachman bertindak sebagai fotografer, sementara aku bertindak sebagai wartawan. Walaupun kemudian aku sendiri yang menangani advetorial tersebut karena bos menyatakan berita itu dapat kutangani seorang diri.
Namun dalam perjalanan, Rachman diarahkan untuk menjadi wartawan, bukan fotografer sebagaimana keinginannya saat melamar kerja dulu. Redaksi menilai kemampuan fotografi Rachman masih kurang baik, serta saat itu redaksi kekurangan tenaga wartawan. Mulailah saat itu, kira-kira sebulan sejak bergabung dengan Bontang Post, Rachman mulai menjalani profesi sebagai wartawan. Dia pertama kali ditempatkan di halaman anak muda Bontang Post, Pensi yang kini berganti nama menjadi ekspresi.
Kinerja Rachman sebagai wartawan menurutku sebenarnya tidak terlalu buruk. Namun tampaknya dia tak memenuhi target redaktur. Sehingga, di kemudian hari desk atau pos liputannya kerap berpindah. Mulai dari desk halaman olahraga daerah, pindah ke halaman lokal Bontang Bessai Berinta, lalu ke halaman kontrak Pemkot yaitu Prolita, ke halaman kesehatan, hingga saat ini kembali meliput berita olahraga daerah. Bisa dibilang Rachman pernah 'mencicipi' setiap halaman yang ada di Bontang Post. Dalam perjalanannya tersebut, dia sempat menjadi bawahanku saat dia ditempatkan di halaman kontrak Pemkot.
Ya, meskipun kami satu leting, prestasiku lebih cemerlang dibandingkan Rachman. Cukup masuk akal mengingat aku memiliki kemampuan dan dasar-dasar jurnalistik sebelum bergabung dengan Bontang Post. tujuanku bergabung dengan Bontang Post pun memang untuk menjadi wartawan. Sementara Rachman sama sekali tidak pernah bersentuhan dengan jurnalistik sebelumnya. Dia adalah lulusan ekonomi dan juga sekolah keperawatan. Bahkan dia sempat menjadi perawat di sebuah rumah sakit. Tujuannya bergabung dengan Bontang Post untuk menjadi fotografer, sebagaimana hobi fotografi yang digemarinya. Rachman memang hobi memotret, sementara aku hobi menulis.
Prestasi cemerlang membuatku diangkat menjadi asisten redaktur saat masa kerjaku enam bulan. Berbeda dengan Rachman yang tetap menjadi wartawan murni. Meskipun posisi kami berbeda pangkat, namun kami tetap akrab seperti biasanya, seperti tidak ada batas jenjang pekerjaan. Termasuk ketika dia berada di bawah kendaliku saat mengisi halaman kontrak Pemkot. Hubungan kami tetap seperti teman satu leting, dimana aku kerapkali curhat padanya, pun Rachman kerap kali curhat kepadaku. Namun tetap, terkadang aku bersikap tegas ketika Rachman membuat kesalahan atau tidak menjalankan perintahku terkait penulisan berita. Tapi aku bersikap profesional, aku tidak mencampuradukkan hubungan pertemanan kami dengan urusan pekerjaan.
Hubunganku dengan Rachman relatif baik-baik saja. Hal ini dikarenakan, baik aku maupun Rachman sama-sama orang yang low profile. Beberapa kali tingkah bodohnya membuatku tertawa, pun beberapa kali tingkahku membuatnya tertawa. Kami sering berbagi kisah, terutama ketika kami liputan bersama atau bepergian bersama, atau makan bersama. Terkadang aku yang mentraktirnya, terkadang dia yang mentraktirku. Banyak kisah yang kami bagikan, mulai dari masa lalu kami, kisah cinta kami, pengalaman-pengalaman kami. Aku bahkan sempat menjanjikan padanya untuk menuliskan kisah cintanya bersama kekasihnya, Mayang yang kini resmi menjadi istrinya. Kuharap aku bisa menepati janjiku itu.
Dari berbagi kisah, aku dapat mengetahui masa lalu Rachman yang merupakan anak salah saeorang pekerja Pt Badak NGL tersebut. Rupanya, tubuhnya dulu tak segemuk sekarang. Saat melihat foto lamanya, aku terkejut karena mendapati tubuhnya yang kurus dan juga tampan. Rupanya, Rachman terkena sebuah penyakit yang membuatnya sempat beradu dengan malaikat maut, yang kemudian membuat tubuhnya menjadi begitu gemuk. Kuketahui juga masa lalu Rachman yang rupanya dulu tergolong anak bengal dan suka balapan liar. Mendengar kisah-kisahnya membuatku respect padanya. Rachman memang tipe teman yang baik, yang baik, suka bercanda, meski terkadang serius.
Namun hubungan kami pernah memburuk, saat dia membuatku begitu marah, entah itu karena masalah pribadi atau masalah pekerjaan. Dia memotret sepatuku yang berlubang dan memunculkan jariku pada lubang sepatu itu, lalu menyebarkannya ke teman-teman di BBM. Aku marah, dan mungkin itu pertama kalinya Rachman menyadariku marah. Kemudian, saat Rachman memberikan berita yang sudah pernah terbit kepadaku. Aku begitu marah, karena merasa kepercayaanku telah disalahgunakan. Tapi toh, kemarahan itu hanya berlangsung sebentar dan kami kembali akrab seperti biasanya.
Banyak moment indah terjalin dalam persahabatan kami berdua. Memiliki akhiran nama yang sama, membuat kami sama-sama memanggil masing-masing dengan panggilan "MAN". Kami menghabiskan hari-hari liputan bersama, menghabiskan suasana kerja di kantor bersama, merasakan dinamika dunia jurnalistik bersama-sama. Kami pun turut membina rumah tangga masing-masing di dunia jurnalistik, meskipun Rachman lebih dulu melepas masa lajangnya pada 7 April 2013, sementara aku pada 30 Oktober 2013. Aku ingat betapa bahagia aku saat menghadiri resepsi pernikahannya, dan membuatku ingin juga menikah.
Sebagai teman satu leting, Rachman menjadi salah satu alasan kenapa aku masih bertahan menjadi wartawan. Aku ingat, perjalananku sebagai wartawan tidak seorang diri, melainkan bersama dirinya. Karena itu, aku merasa sangat sedih ketika dia sempat bilang akan mencari pekerjaan lain di humas PT Badak NGL. Aku sedih, tapi aku tidak bisa memaksanya bertahan, karena bagaimanapun dia memulai bukan sebagai wartawan. Hingga kemudian, di awal 2014, ketika kami kembali berbincang setelah sekian lama, dia mengungkapkan keinginannya untuk tetap bertahan di Bontang Post. Dia menyatakan ingin terus menjalani kariernya sebagai wartawan, pada posisinya saat ini sebagai wartawan olahraga daerah Bontang Post. Sementara aku sendiri mulai goyah.
Sekarang, walaupun aku telah menjabat redaktur, sementara dia sebagai wartawan, hubungan pertemanan kami tetap terjalin baik. Ini adalah pertama kalinya aku memiliki teman satu leting, yang entah kenapa rasanya begitu menyenangkan, begitu berarti. Aku tahu suatu hari nanti aku akan berpisah dengannya di dunia kerja, namun kenangan bersama Rachman sebagai teman satu perjuangan takkan pernah bisa terlupakan. Sebagaimana ucapannya saat meminjam uang atau meminta bantuanku, yaitu:
"Nanti akan kuceritakan kepada anakku, kalau dulu ayahnya punya seorang teman yang begitu baik dan suka membantuku. " (luk)
Setelah menunggu, akhirnya tibalah giliranku menjalani wawancara. Aku menemui bos Bontang Post, dan setelah wawancara dilakukan, aku dinyatakan diterima bekerja di Bontang Post dan dapat mulai bekerja Senin lusa. Namun, karena saat itu statusku masih bekerja di bank, maka aku meminta waktu selama sepekan untuk mengurus pemunduran diri di bank sebelum bekerja di Bontang Post. Permintaanku dikabulkan dan aku dipersilakan datang sepekan berikutnya, Senin tanggal 6 Agustus 2012. Saat itu kuketahui kalau dari empat pelamar yang hadir siang itu, hanya dua yang diterima bekerja yaitu Rachman dan diriku. Rachman diterima sebagai fotografer, sementara aku menjadi wartawan. Tak kusangka kami berdua bakal menjalani pengalaman jurnalistik penuh emosi di harian yang penuh dilema.
Tanggal 6 Agustus 2012, sesuai yang dijanjikan, aku mulai bekerja menjadi wartawan. Sementara Rachman sudah mengawali pekerjaan sepekan sebelumnya. Aku pun kembali bertemu dengannya saat rapat redaksi, Jumat (10/2). Semenjak itu, kami pun berteman, dan sebagai teman satu leting, perlahan kami mulai akrab. Kami bahkan sempat dipilih oleh bos untuk meliput advetorial PT Badak NGL bersama. Rachman bertindak sebagai fotografer, sementara aku bertindak sebagai wartawan. Walaupun kemudian aku sendiri yang menangani advetorial tersebut karena bos menyatakan berita itu dapat kutangani seorang diri.
Namun dalam perjalanan, Rachman diarahkan untuk menjadi wartawan, bukan fotografer sebagaimana keinginannya saat melamar kerja dulu. Redaksi menilai kemampuan fotografi Rachman masih kurang baik, serta saat itu redaksi kekurangan tenaga wartawan. Mulailah saat itu, kira-kira sebulan sejak bergabung dengan Bontang Post, Rachman mulai menjalani profesi sebagai wartawan. Dia pertama kali ditempatkan di halaman anak muda Bontang Post, Pensi yang kini berganti nama menjadi ekspresi.
Kinerja Rachman sebagai wartawan menurutku sebenarnya tidak terlalu buruk. Namun tampaknya dia tak memenuhi target redaktur. Sehingga, di kemudian hari desk atau pos liputannya kerap berpindah. Mulai dari desk halaman olahraga daerah, pindah ke halaman lokal Bontang Bessai Berinta, lalu ke halaman kontrak Pemkot yaitu Prolita, ke halaman kesehatan, hingga saat ini kembali meliput berita olahraga daerah. Bisa dibilang Rachman pernah 'mencicipi' setiap halaman yang ada di Bontang Post. Dalam perjalanannya tersebut, dia sempat menjadi bawahanku saat dia ditempatkan di halaman kontrak Pemkot.
Ya, meskipun kami satu leting, prestasiku lebih cemerlang dibandingkan Rachman. Cukup masuk akal mengingat aku memiliki kemampuan dan dasar-dasar jurnalistik sebelum bergabung dengan Bontang Post. tujuanku bergabung dengan Bontang Post pun memang untuk menjadi wartawan. Sementara Rachman sama sekali tidak pernah bersentuhan dengan jurnalistik sebelumnya. Dia adalah lulusan ekonomi dan juga sekolah keperawatan. Bahkan dia sempat menjadi perawat di sebuah rumah sakit. Tujuannya bergabung dengan Bontang Post untuk menjadi fotografer, sebagaimana hobi fotografi yang digemarinya. Rachman memang hobi memotret, sementara aku hobi menulis.
Prestasi cemerlang membuatku diangkat menjadi asisten redaktur saat masa kerjaku enam bulan. Berbeda dengan Rachman yang tetap menjadi wartawan murni. Meskipun posisi kami berbeda pangkat, namun kami tetap akrab seperti biasanya, seperti tidak ada batas jenjang pekerjaan. Termasuk ketika dia berada di bawah kendaliku saat mengisi halaman kontrak Pemkot. Hubungan kami tetap seperti teman satu leting, dimana aku kerapkali curhat padanya, pun Rachman kerap kali curhat kepadaku. Namun tetap, terkadang aku bersikap tegas ketika Rachman membuat kesalahan atau tidak menjalankan perintahku terkait penulisan berita. Tapi aku bersikap profesional, aku tidak mencampuradukkan hubungan pertemanan kami dengan urusan pekerjaan.
Hubunganku dengan Rachman relatif baik-baik saja. Hal ini dikarenakan, baik aku maupun Rachman sama-sama orang yang low profile. Beberapa kali tingkah bodohnya membuatku tertawa, pun beberapa kali tingkahku membuatnya tertawa. Kami sering berbagi kisah, terutama ketika kami liputan bersama atau bepergian bersama, atau makan bersama. Terkadang aku yang mentraktirnya, terkadang dia yang mentraktirku. Banyak kisah yang kami bagikan, mulai dari masa lalu kami, kisah cinta kami, pengalaman-pengalaman kami. Aku bahkan sempat menjanjikan padanya untuk menuliskan kisah cintanya bersama kekasihnya, Mayang yang kini resmi menjadi istrinya. Kuharap aku bisa menepati janjiku itu.
Dari berbagi kisah, aku dapat mengetahui masa lalu Rachman yang merupakan anak salah saeorang pekerja Pt Badak NGL tersebut. Rupanya, tubuhnya dulu tak segemuk sekarang. Saat melihat foto lamanya, aku terkejut karena mendapati tubuhnya yang kurus dan juga tampan. Rupanya, Rachman terkena sebuah penyakit yang membuatnya sempat beradu dengan malaikat maut, yang kemudian membuat tubuhnya menjadi begitu gemuk. Kuketahui juga masa lalu Rachman yang rupanya dulu tergolong anak bengal dan suka balapan liar. Mendengar kisah-kisahnya membuatku respect padanya. Rachman memang tipe teman yang baik, yang baik, suka bercanda, meski terkadang serius.
Namun hubungan kami pernah memburuk, saat dia membuatku begitu marah, entah itu karena masalah pribadi atau masalah pekerjaan. Dia memotret sepatuku yang berlubang dan memunculkan jariku pada lubang sepatu itu, lalu menyebarkannya ke teman-teman di BBM. Aku marah, dan mungkin itu pertama kalinya Rachman menyadariku marah. Kemudian, saat Rachman memberikan berita yang sudah pernah terbit kepadaku. Aku begitu marah, karena merasa kepercayaanku telah disalahgunakan. Tapi toh, kemarahan itu hanya berlangsung sebentar dan kami kembali akrab seperti biasanya.
Banyak moment indah terjalin dalam persahabatan kami berdua. Memiliki akhiran nama yang sama, membuat kami sama-sama memanggil masing-masing dengan panggilan "MAN". Kami menghabiskan hari-hari liputan bersama, menghabiskan suasana kerja di kantor bersama, merasakan dinamika dunia jurnalistik bersama-sama. Kami pun turut membina rumah tangga masing-masing di dunia jurnalistik, meskipun Rachman lebih dulu melepas masa lajangnya pada 7 April 2013, sementara aku pada 30 Oktober 2013. Aku ingat betapa bahagia aku saat menghadiri resepsi pernikahannya, dan membuatku ingin juga menikah.
Sebagai teman satu leting, Rachman menjadi salah satu alasan kenapa aku masih bertahan menjadi wartawan. Aku ingat, perjalananku sebagai wartawan tidak seorang diri, melainkan bersama dirinya. Karena itu, aku merasa sangat sedih ketika dia sempat bilang akan mencari pekerjaan lain di humas PT Badak NGL. Aku sedih, tapi aku tidak bisa memaksanya bertahan, karena bagaimanapun dia memulai bukan sebagai wartawan. Hingga kemudian, di awal 2014, ketika kami kembali berbincang setelah sekian lama, dia mengungkapkan keinginannya untuk tetap bertahan di Bontang Post. Dia menyatakan ingin terus menjalani kariernya sebagai wartawan, pada posisinya saat ini sebagai wartawan olahraga daerah Bontang Post. Sementara aku sendiri mulai goyah.
Sekarang, walaupun aku telah menjabat redaktur, sementara dia sebagai wartawan, hubungan pertemanan kami tetap terjalin baik. Ini adalah pertama kalinya aku memiliki teman satu leting, yang entah kenapa rasanya begitu menyenangkan, begitu berarti. Aku tahu suatu hari nanti aku akan berpisah dengannya di dunia kerja, namun kenangan bersama Rachman sebagai teman satu perjuangan takkan pernah bisa terlupakan. Sebagaimana ucapannya saat meminjam uang atau meminta bantuanku, yaitu:
"Nanti akan kuceritakan kepada anakku, kalau dulu ayahnya punya seorang teman yang begitu baik dan suka membantuku. " (luk)