Setiap tahunnya di bulan November, digelar event besar di Kota Kediri dalam rangka memperingati perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Yaitu gerak jalan sepanjang sekira 60 kilometer dari Kota Kediri menuju Desa Bajulan, Nganjuk. Rute ini, yang melewati pegunungan dan perbukitan, adalah rute yang dulu dilewati rombongan Panglima Besar Jenderal Sudirman dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dengan strategi gerilya yang dijalankannya. Gerak Jalan inilah yang dikenal dengan nama ‘Napak Tilas Jenderal Sudirman’.
Aku tidak tahu persis bagaimana mulanya acara ini mulai diselenggarakan. Tapi, menurutku event ini adalah event yang sangat menarik. Aku pernah mengikutinya sekali, ketika aku masih duduk di bangku SMA. Aku ikut dalam gerak jalan tahun ke-22, November 2003. Saat itu aku ikut dalam rombongan pencak silat Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) yang ada di sekolahku. Awalnya, pembina kami mengumpulkan kami semua, menanyakan apakah ada yang berminat untuk mengikuti gerak jalan ini. Karena aku penasaran, aku lantas ikut mengajukan diri. Sebelumnya, kakakku dulu juga pernah mengikutinya saat menjadi OSIS. Karena itu aku pun ingin mencobanya.
Kabar keikutsertaanku ini lantas didengar kakakku yang menjelaskan bahwa perjalanan Kediri-Bajulan bukanlah perjalanan yang mudah. Medannya sangat sulit, bahkan kakakku dulu sempat hampir menabrak pohon. Dia sempat memintaku membatalkan rencana tersebut. Namun aku bersikeras untuk tetap mengikuti gerak jalan ini apapun yang terjadi. Hingga kemudian, tanpa disangka seminggu sebelum hari gerak jalan dimulai, aku jatuh sakit dan tidak masuk sekolah. Dokter mengatakan aku terkena gejala tipes dan memintaku untuk banyak istirahat.
Saat sakit itulah terbayang di benakku aku bakal batal mengikuti gerak jalan ini. Apalagi aku baru masuk sekolah lagi pada hari Kamis, dua hari sebelum Gerak Jalan yang digelar hari Sabtu. Sebenarnya, oleh ibuku aku diminta untuk mengatakan pada bapak pembina bahwa aku mengurungkan keikutsertaanku karena sakit. Namun, aku merasa tidak enak bila mesti mengatakannya pada guruku tersebut, yang menurutku saat itu bakal mengganggu rencana tim yang sudah dibuat. Karenanya, aku memutuskan untuk tetap mengikuti gerak jalan ini apapun risikonya. Apalagi saat itu aku merasa kondisi tubuhku sudah membaik seperti sedia kala, walaupun masih terasa sedikit lemas. Aku ingin mengetahui seperti apa gerak jalan ini, dan membuktikan bahwa aku bisa seperti kakakku.
Sontak saja rencanaku ini mendapat tentangan dari kakakku, ibuku, dan teman-temanku. Mereka khawatir terjadi hal yang buruk bila aku tetap memaksakan ikut. Namun aku meyakinkan mereka semua bahwa aku pasti bisa. Aku akan baik-baik saja karena aku ini kuat, begitu pikirku. Akhirnya mereka dapat menerima keputusanku itu walaupun dengan berat hati. Sayangnya, nenekku tetap tidak mengizinkanku untuk pergi. Karenanya, saat berangkat di hari H-nya, aku tidak berpamitan pada nenekku. Sementara ibuku, meski telah mengizinkanku pergi, namun sebagai seorang ibu, tetap ada rasa khawatir. Karenanya, beliau memintaku untuk terus membaca sholawat nabi.
Perjalanan Kediri-Bajulan pun dimulai. Kami berkumpul sangat pagi sekira pukul 05.00 WIB di luar Stadion Brawijaya. Setelah dilepas pejabat Pemkot, kami pun mulai melakukan perjalanan mencari kitab suci... eh, maksudnya napak tilas Panglima Sudirman. Aku tergabung dalam sebuah regu yang terdiri dari sepuluh orang. Termasuk dalam grup itu adalah sahabatku, Huda yang juga sekelas denganku, rumahnya di Bedali. Pada awal-awal perjalanan, aku selalu berjalan beriiringan dengannya. Kami bahkan sempat naik kendaraan umum sebentar saat medannya masih berupa jalan aspal yang begitu panjang dan membosankan.
Namun, perjalanan yang berat menguji persahabatan kami. Rupanya, jalan terjal pegunungan Wilis membuatku cepat kelelahan. Bagaimana tidak? Jalannya begitu naik turun tak karuan. Belum lagi berbagai rintangan yang menghadang kami selama perjalanan. Seperti bebatuan besar, jurang, hingga pepohonan hutan yang begitu rimbun. Melakukan perjalanan di daerah pegunungan yang masih begitu ‘perawan’ memang mesti hati-hati. Karena kalau tidak, bisa-bisa jatuh ke dalam jurang yang menganga di samping kita. Akibatnya, aku kerap kali berhenti berjalan. Selain karena kecapekan, badanku juga beberapa kali mengalami kram.
Karena sering berhenti itulah, rekan-rekanku dalam satu regu perlahan meninggalkanku satu per satu. Mungkin mereka tidak sabar dan sudah lelah menungguku sampai sanggup melanjutkan perjalanan. Meski ditinggal begitu, namun bukan masalah bagiku selama Huda masih bersamaku. Tapi ternyata, Huda pun meninggalkanku. Sehingga, aku pun benar-benar ditinggal seorang diri, tak ada anggota regu yang menemaniku. Aku menjadi anggota reguku yang paling tertinggal di belakang. Meski begitu aku tak patah arang. Aku terus bertekad untuk menyelesaikan perjalanan ini, bagaimanapun keadaannya!
Aku terus melangkahkan kakiku meski dengan napas yang tersengal-sengal di sepanjang perjalanan. Beberapa kali langkahku terhenti, bahkan aku ditolong oleh salah seorang peserta yang berasal dari Blitar saat perutku kram. Dalam kesendirian perjalananku itu, aku bertemu dengan orang-orang baru. Mereka terus menyemangatiku sehingga aku merasa tidak sendirian. Ada banyak orang yang juga mengikuti gerak jalan ini dengan menuju tujuan yang sama. Membuatku terus berjuang, walau pelan yang penting sampai tujuan.
Namun kekhawatiran sempat menyelimuti hatiku ketika hari telah beranjak senja dan peserta yang tampak di sekitarku semakin menipis. Hal ini membuatku takut bila-bila aku berada di posisi paling belakang. Aku jadi takut tertinggal. Untuk itu, aku selalu berusaha dapat mendahului seseorang, dan terus melihat ke belakang, memastikan masih ada peserta di belakang. Kekhawatiran ini juga dikarenakan kondisi tubuhku yang sebenarnya kupaksakan berjalan. Aku khawatir bila tiba-tiba aku pingsan, lantas tak ada orang yang menolongku di tengah hutan yang begitu gelap.
Hingga dalam keputusasaan ketika aku tengah duduk beristirahat, dari belakang datang regu pramuka dari sekolahku, dengan pimpinannya bernama Erick. Mendapati aku kelelahan, Erick meminta regunya berhenti untuk beristirahat bersamaku. Sepertinya dia ingin menemaniku yang telah bagaikan anak ayam kehilangan induknya. Aku cukup menikmati masa istirahatku dengan regu Erick, hingga kemudian rasa cemas akan tertinggal kembali menggelayuti. Lantas secara diam-diam aku meninggalkan regu Erick dan melanjutkan perjalanan. Hal ini kulakukan agar nantinya mereka masih di belakangku ketika aku kelelahan atau aku berada dalam masalah. Keputusan yang di kemudian hari kusesali...
Akhirnya, setelah melalui perjalanan yang begitu panjang, aku berhasil keluar dari hutan dan tiba di Bajulan sekira menjelang Maghrib. Aku merasa begitu lega mendapati semua orang telah berkumpul di sana. Setelah melapor ke regu, kugunakan waktuku sebaik mungkin untuk beristirahat dengan memakan cemilan kacang kedele Garuda yang kubawa sebagai bekal. Tak kusangka aku berhasil menaklukkan rute ini. Kini aku dapat merasakan betapa beratnya perjalanan Panglima Sudirman beserta rombongannya dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Jelas bukan perjalanan yang mudah, dan kita patut bersyukur dapat hidup di zaman kemerdekaan sekarang ini.
Setelah beristirahat, rombongan kami kemudian pulang kembali ke Kota Kediri dengan menumpang pada truk. Perjalanan dengan truk cukup lama, namun kami semua sama-sama menikmatinya. Sayangnya, ada salah seorang penumpang yang buang angin, sehingga kami semua terpaksa mencium aroma yang tidak sedap (HUEKKK!!!). Tanpa terasa, kami telah tiba di Kota Kediri. Aku minta diturunkan di persimpangan Mrican, di mana ibuku menjemputku. Aku senang akhirnya bisa kembali ke rumah dan membaringkan tubuhku di kasur empukku. Rasanya begitu melelahkan, namun rasanya sangat menyenangkan.
Di sekolah, Huda meminta maaf karena telah meninggalkanku saat gerak jalan. Dia merasa menyesal, karena sebagai seorang teman, dia tidak semestinya meninggalkanku. Sementara dua tahun kemudian saat aku duduk di bangku kelas tiga SMA, aku kembali bertemu dengan Erick yang menjadi teman sekelasku. Saat kami kembali bertemu, Erick menceritakan kepada teman-teman sekelas bahwa aku dulu meninggalkannya saat Gerak Jalan Kediri-Bajulan. Padahal, dia menolongku dengan menemaniku beristirahat. Rupanya Erick masih terus mengingat ‘pengkhianatan’ itu, yang membuatku merasa bersalah dibuatnya.
Well, banyak pelajaran kudapatkan dari napak tilas ini. Bukan hanya merasakan betapa beratnya perjuangan Panglima Sudirman dan para pejuang kemerdekaan, aku juga banyak belajar tentang persahabatan. Aku belajar bahwa tekad yang kuat dapat mengalahkan keterbatasan fisik. Selain itu, aku juga dapat merasakan pemandangan alam pegunungan dan hutan yang begitu alami. Walaupun, aku juga telah merasakan betapa tangan-tangan jahat manusia perlahan mulai merambah daerah-daerah tersebut. Ini tampak dari beberapa bagian yang tampak gundul dengan pepohonan yang telah ditebangi. Pun dengan sampah-sampah yang berserakan yang mengotori hutan.
Dengan pengalaman dan petualangan yang kurasakan tersebut, terkadang ada keinginan untuk bisa kembali merasakan Napak Tilas Kediri-Bajulan. Apalagi setelah bertahun-tahun berlalu, tentu telah ada banyak perubahan yang terjadi pada rute ini. Aku pun ingin kembali menguji daya tahan tubuhku setelah kini aku tak lagi muda (dengan perut buncit). Tapi melakoni Kediri-Bajulan takkan seru bila tidak bersama teman-teman. Bisa jadi aku akan kembali menaklukkan Gunung Wilis dan menyentuh Desa Bajulan. Siapa yang tahu? (luk)
Aku tidak tahu persis bagaimana mulanya acara ini mulai diselenggarakan. Tapi, menurutku event ini adalah event yang sangat menarik. Aku pernah mengikutinya sekali, ketika aku masih duduk di bangku SMA. Aku ikut dalam gerak jalan tahun ke-22, November 2003. Saat itu aku ikut dalam rombongan pencak silat Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) yang ada di sekolahku. Awalnya, pembina kami mengumpulkan kami semua, menanyakan apakah ada yang berminat untuk mengikuti gerak jalan ini. Karena aku penasaran, aku lantas ikut mengajukan diri. Sebelumnya, kakakku dulu juga pernah mengikutinya saat menjadi OSIS. Karena itu aku pun ingin mencobanya.
Kabar keikutsertaanku ini lantas didengar kakakku yang menjelaskan bahwa perjalanan Kediri-Bajulan bukanlah perjalanan yang mudah. Medannya sangat sulit, bahkan kakakku dulu sempat hampir menabrak pohon. Dia sempat memintaku membatalkan rencana tersebut. Namun aku bersikeras untuk tetap mengikuti gerak jalan ini apapun yang terjadi. Hingga kemudian, tanpa disangka seminggu sebelum hari gerak jalan dimulai, aku jatuh sakit dan tidak masuk sekolah. Dokter mengatakan aku terkena gejala tipes dan memintaku untuk banyak istirahat.
Saat sakit itulah terbayang di benakku aku bakal batal mengikuti gerak jalan ini. Apalagi aku baru masuk sekolah lagi pada hari Kamis, dua hari sebelum Gerak Jalan yang digelar hari Sabtu. Sebenarnya, oleh ibuku aku diminta untuk mengatakan pada bapak pembina bahwa aku mengurungkan keikutsertaanku karena sakit. Namun, aku merasa tidak enak bila mesti mengatakannya pada guruku tersebut, yang menurutku saat itu bakal mengganggu rencana tim yang sudah dibuat. Karenanya, aku memutuskan untuk tetap mengikuti gerak jalan ini apapun risikonya. Apalagi saat itu aku merasa kondisi tubuhku sudah membaik seperti sedia kala, walaupun masih terasa sedikit lemas. Aku ingin mengetahui seperti apa gerak jalan ini, dan membuktikan bahwa aku bisa seperti kakakku.
Sontak saja rencanaku ini mendapat tentangan dari kakakku, ibuku, dan teman-temanku. Mereka khawatir terjadi hal yang buruk bila aku tetap memaksakan ikut. Namun aku meyakinkan mereka semua bahwa aku pasti bisa. Aku akan baik-baik saja karena aku ini kuat, begitu pikirku. Akhirnya mereka dapat menerima keputusanku itu walaupun dengan berat hati. Sayangnya, nenekku tetap tidak mengizinkanku untuk pergi. Karenanya, saat berangkat di hari H-nya, aku tidak berpamitan pada nenekku. Sementara ibuku, meski telah mengizinkanku pergi, namun sebagai seorang ibu, tetap ada rasa khawatir. Karenanya, beliau memintaku untuk terus membaca sholawat nabi.
Perjalanan Kediri-Bajulan pun dimulai. Kami berkumpul sangat pagi sekira pukul 05.00 WIB di luar Stadion Brawijaya. Setelah dilepas pejabat Pemkot, kami pun mulai melakukan perjalanan mencari kitab suci... eh, maksudnya napak tilas Panglima Sudirman. Aku tergabung dalam sebuah regu yang terdiri dari sepuluh orang. Termasuk dalam grup itu adalah sahabatku, Huda yang juga sekelas denganku, rumahnya di Bedali. Pada awal-awal perjalanan, aku selalu berjalan beriiringan dengannya. Kami bahkan sempat naik kendaraan umum sebentar saat medannya masih berupa jalan aspal yang begitu panjang dan membosankan.
Namun, perjalanan yang berat menguji persahabatan kami. Rupanya, jalan terjal pegunungan Wilis membuatku cepat kelelahan. Bagaimana tidak? Jalannya begitu naik turun tak karuan. Belum lagi berbagai rintangan yang menghadang kami selama perjalanan. Seperti bebatuan besar, jurang, hingga pepohonan hutan yang begitu rimbun. Melakukan perjalanan di daerah pegunungan yang masih begitu ‘perawan’ memang mesti hati-hati. Karena kalau tidak, bisa-bisa jatuh ke dalam jurang yang menganga di samping kita. Akibatnya, aku kerap kali berhenti berjalan. Selain karena kecapekan, badanku juga beberapa kali mengalami kram.
Karena sering berhenti itulah, rekan-rekanku dalam satu regu perlahan meninggalkanku satu per satu. Mungkin mereka tidak sabar dan sudah lelah menungguku sampai sanggup melanjutkan perjalanan. Meski ditinggal begitu, namun bukan masalah bagiku selama Huda masih bersamaku. Tapi ternyata, Huda pun meninggalkanku. Sehingga, aku pun benar-benar ditinggal seorang diri, tak ada anggota regu yang menemaniku. Aku menjadi anggota reguku yang paling tertinggal di belakang. Meski begitu aku tak patah arang. Aku terus bertekad untuk menyelesaikan perjalanan ini, bagaimanapun keadaannya!
Aku terus melangkahkan kakiku meski dengan napas yang tersengal-sengal di sepanjang perjalanan. Beberapa kali langkahku terhenti, bahkan aku ditolong oleh salah seorang peserta yang berasal dari Blitar saat perutku kram. Dalam kesendirian perjalananku itu, aku bertemu dengan orang-orang baru. Mereka terus menyemangatiku sehingga aku merasa tidak sendirian. Ada banyak orang yang juga mengikuti gerak jalan ini dengan menuju tujuan yang sama. Membuatku terus berjuang, walau pelan yang penting sampai tujuan.
Namun kekhawatiran sempat menyelimuti hatiku ketika hari telah beranjak senja dan peserta yang tampak di sekitarku semakin menipis. Hal ini membuatku takut bila-bila aku berada di posisi paling belakang. Aku jadi takut tertinggal. Untuk itu, aku selalu berusaha dapat mendahului seseorang, dan terus melihat ke belakang, memastikan masih ada peserta di belakang. Kekhawatiran ini juga dikarenakan kondisi tubuhku yang sebenarnya kupaksakan berjalan. Aku khawatir bila tiba-tiba aku pingsan, lantas tak ada orang yang menolongku di tengah hutan yang begitu gelap.
Hingga dalam keputusasaan ketika aku tengah duduk beristirahat, dari belakang datang regu pramuka dari sekolahku, dengan pimpinannya bernama Erick. Mendapati aku kelelahan, Erick meminta regunya berhenti untuk beristirahat bersamaku. Sepertinya dia ingin menemaniku yang telah bagaikan anak ayam kehilangan induknya. Aku cukup menikmati masa istirahatku dengan regu Erick, hingga kemudian rasa cemas akan tertinggal kembali menggelayuti. Lantas secara diam-diam aku meninggalkan regu Erick dan melanjutkan perjalanan. Hal ini kulakukan agar nantinya mereka masih di belakangku ketika aku kelelahan atau aku berada dalam masalah. Keputusan yang di kemudian hari kusesali...
Akhirnya, setelah melalui perjalanan yang begitu panjang, aku berhasil keluar dari hutan dan tiba di Bajulan sekira menjelang Maghrib. Aku merasa begitu lega mendapati semua orang telah berkumpul di sana. Setelah melapor ke regu, kugunakan waktuku sebaik mungkin untuk beristirahat dengan memakan cemilan kacang kedele Garuda yang kubawa sebagai bekal. Tak kusangka aku berhasil menaklukkan rute ini. Kini aku dapat merasakan betapa beratnya perjalanan Panglima Sudirman beserta rombongannya dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Jelas bukan perjalanan yang mudah, dan kita patut bersyukur dapat hidup di zaman kemerdekaan sekarang ini.
Setelah beristirahat, rombongan kami kemudian pulang kembali ke Kota Kediri dengan menumpang pada truk. Perjalanan dengan truk cukup lama, namun kami semua sama-sama menikmatinya. Sayangnya, ada salah seorang penumpang yang buang angin, sehingga kami semua terpaksa mencium aroma yang tidak sedap (HUEKKK!!!). Tanpa terasa, kami telah tiba di Kota Kediri. Aku minta diturunkan di persimpangan Mrican, di mana ibuku menjemputku. Aku senang akhirnya bisa kembali ke rumah dan membaringkan tubuhku di kasur empukku. Rasanya begitu melelahkan, namun rasanya sangat menyenangkan.
Di sekolah, Huda meminta maaf karena telah meninggalkanku saat gerak jalan. Dia merasa menyesal, karena sebagai seorang teman, dia tidak semestinya meninggalkanku. Sementara dua tahun kemudian saat aku duduk di bangku kelas tiga SMA, aku kembali bertemu dengan Erick yang menjadi teman sekelasku. Saat kami kembali bertemu, Erick menceritakan kepada teman-teman sekelas bahwa aku dulu meninggalkannya saat Gerak Jalan Kediri-Bajulan. Padahal, dia menolongku dengan menemaniku beristirahat. Rupanya Erick masih terus mengingat ‘pengkhianatan’ itu, yang membuatku merasa bersalah dibuatnya.
Well, banyak pelajaran kudapatkan dari napak tilas ini. Bukan hanya merasakan betapa beratnya perjuangan Panglima Sudirman dan para pejuang kemerdekaan, aku juga banyak belajar tentang persahabatan. Aku belajar bahwa tekad yang kuat dapat mengalahkan keterbatasan fisik. Selain itu, aku juga dapat merasakan pemandangan alam pegunungan dan hutan yang begitu alami. Walaupun, aku juga telah merasakan betapa tangan-tangan jahat manusia perlahan mulai merambah daerah-daerah tersebut. Ini tampak dari beberapa bagian yang tampak gundul dengan pepohonan yang telah ditebangi. Pun dengan sampah-sampah yang berserakan yang mengotori hutan.
Dengan pengalaman dan petualangan yang kurasakan tersebut, terkadang ada keinginan untuk bisa kembali merasakan Napak Tilas Kediri-Bajulan. Apalagi setelah bertahun-tahun berlalu, tentu telah ada banyak perubahan yang terjadi pada rute ini. Aku pun ingin kembali menguji daya tahan tubuhku setelah kini aku tak lagi muda (dengan perut buncit). Tapi melakoni Kediri-Bajulan takkan seru bila tidak bersama teman-teman. Bisa jadi aku akan kembali menaklukkan Gunung Wilis dan menyentuh Desa Bajulan. Siapa yang tahu? (luk)