Waktu berjalan dan perlahan aku mulai bisa melupakan Ria. Walaupun saat itu sesekali Ria menghubungiku melalui SMS/pesan singkat, sekadar basa-basi. Tak ada lagi perasaanku padanya, maka aku membalas sekadarnya. Aku bahkan pernah menghindari pertemuannya secara langsung ketika tidak sengaja bertemu di depan PDAM. Aku sengaja menghindarinya, karena dia sendiri yang waktu itu bilang tidak mau bertemu langsung denganku. Dia lalu menanyakan kenapa aku menghindarinya, melalui pertanyaan di SMS.
Di lain sisi, komunikasiku dengan Binti kembali aktif. Seringnya kami berkomunikasi melalui SMS, walaupun beberapa kali aku sempat meneleponnya langsung. Frekuensi hubungan inilah yang membuat kami begitu terbuka satu sama lain. Kami saling menceritakan diri kami, keseharian kami, hingga harapan-harapan kami masing-masing. Di satu sisi, aku senang bisa menjadi teman bagi Binti dalam kesendiriannya, untuk mengobati hatinya yang dua kali terluka secara beruntun. Kurasakan, sejak kehadiranku, Binti menjadi kembali ceria. Meskipun terkadang dia merasa kesal karena aku menjawab SMS-nya ala kadarnya.
Senin 13 Mei, merupakan hari yang berarti untuk Binti. Ya, itu hari ulang tahunnya yang ke-25. Dan seperti tahun-tahun sebelumnya, aku tak lupa mengucapkan selamat ulang tahun padanya. Rupanya, aku selalu menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun kepadanya. Ini membuat Binti merasa sangat senang. Bahkan dulu ketika masih menjalin hubungan dengan Aqym, aku tetap yang lebih dulu meneleponnya untuk mengucapkan selamat ulang tahun. Ini membuatnya selalu menunggu ucapan selamat dariku pada ulang tahunnya yang ke-25, yang sayangnya untuk kali ini mengucapkannya melalui SMS. Meski begitu aku tetap menjadi orang pertama yang mengucapkannya dan dia merasa sangat senang.
Hubungan kami kembali akrab. Komunikasi melalui telepon terus terjalin walaupun tidak sering. Waktu pun terus berjalan. Hingga entah kenapa pada 6 Juni 2013, aku kembali teringat pada keinginannya saat ulang tahunku ke-24, di tahun 2012 lalu. Saat itu aku berharap dapat menikah di umur 25. Artinya, dua bulan lagi aku harus sudah mulai menentukan langkah, untuk segera menikah. Karena itu, entah kenapa pada bulan itu aku menulis sebuah status, yang menyatakan bahwa dua bulan berikutnya aku akan melamar seorang perempuan. Saat itulah, banyak komentar yang masuk yang menanyakan siapa perempuan yang kumaksud. Padahal, aku sendiri saat itu hanya asal bicara, mengingat keinginanku di ulang tahun ke-24. Jadi, saat itu aku sama sekali tidak memiliki calon untuk kulamar.
Mungkin karena niatku yang tulus untuk membina rumah tangga, sehingga Tuhan memberiku jalan. Saat itu, aku terpikirkan Binti. Sahabatku masa kecil. Entah kenapa aku merasa dekat dengannya. Entah kenapa kurasakan perasaan yang sebelumnya pernah kurasakan. Tapi, aku tidak tahu perasaan apa itu. Dari situlah aku merasa bahwa mungkin, Binti adalah jodohku. Karena ada banyak kesamaan yang terjadi. Karena kami seolah selalu 'bertemu', walaupun tidak pernah bertemu (?). Lagipula, aku ingin melihatnya bahagia setelah pengalaman pahit yang dialaminya, dua kali gagal menikah.
Saat itu terpikir, bila belum ada laki-laki yang bisa membahagiakannya, kenapa bukan aku sendiri yang melakukannya? Apalagi Binti memenuhi ciri-ciri perempuan idamanku. Dia solehah, sederhana, dan baik hati. Walaupun terkadang dia sangat cerewet. Terpikir olehku untuk melamar Binti. Terpikir olehku untuk menjadikannya istri. Mungkin, dialah jodohku, setelah sebelumnya Tuhan berkali-kali menunjukkan banyak sekali pertanda yang olehku tidak pernah kusadari. Apakah perasaan yang kurasakan tersebut adalah perasaan cinta?
Kupikir inilah waktunya untuk menentukan sikap. Ya, aku akan melamar Binti. Aku ingin membuatnya bahagia. Walaupun Binti pernah mengatakan kalau seorang wartawan bukanlah pria yang diharapkannya, tapi apa salahnya mencoba? Lagipula Binti pernah bilang padaku, bila nanti ada seorang laki-laki yang datang padanya, yang tulus mencintainya, dia pasti bisa melupakan masa lalunya yang pahit. Maka kutetapkan, dua bulan lagi tepatnya 6 Agustus 2013, dua hari sebelum Idulfitri 1434 Hijriah, aku akan menyatakan perasaanku pada Binti. Bukan, bukan hanya menyatakan perasaanku, tapi aku juga akan langsung mengajaknya menikah!
Karena itu aku banyak memberikan pertanda pada Binti bahwa aku menyukainya. Di antaranya, melalui status-status di Facebook, melalui SMS, atau ucapan-ucapanku saat meneleponnya. Tapi sepertinya dia tak menyadari pertanda-pertanda yang kuberikan. Hingga kemudian, dia bercerita bahwa ada seorang laki-laki bernama Mahmudi, teman dari rekan kerjanya Dyah, yang ingin menjadikan Binti sebagai istri. Mahmudi mengajak Binti untuk mengadakan taaruf. Meski begitu, Binti belum menanggapinya. Dia bahkan takut, karena sebelumnya sama sekali tidak mengenal siapa Mahmudi. Diceritakannya, Mahmudi mengetahui Binti melalui foto di Facebook dan langsung menyatakan suka. Kontan saja Binti merasa takut.
Mendengar hal itu, membuatku khawatir. Aku khawatir bila rencanaku gagal karena didului oleh laki-laki lain. Karena itu aku terpaksa mempercepat lamaranku. Malam itu juga melalui telepon, ketika dia mengisahkan tentang Mahmudi, akhirnya aku menyatakan keinginanku menikahinya. Awalnya aku tergagap, tapi perlahan aku mengatakannya dengan lancar. Binti tampaknya terkejut dengan lamaranku. Meski begitu, dari suaranya, tampak dia menanggapinya santai. Walaupun, dia beberapa kali menanyakan keseriusan ucapanku. Aku menjawabnya bahwa aku yakin dengan keputusanku. Aku pun membeberkan alasan-alasanku. Lantas, dia meminta waktu untuk memberikan jawaban.
Hanya dalam hitungan menit, Binti akhirnya menerima pinanganku. Dia bersedia menikah denganku. 26 Juni 2013, menjadi tanggal pernyataan cintaku. Hubungan kami pun semakin mesra dari waktu ke waktu, ditandai dengan komunikasi yang begitu intens, baik melalui telepon, SMS, atau Facebook. Walaupun, hubungan kami terpisahkan oleh ruang dan waktu. Bagaimana tidak, terpisah ruang karena aku berada di Bontang, sementara dia berada di Kediri. Sementara terpisahkan waktu karena aku berada dalam zona Wita, sementara dia berada dalam zona WIB. Kami pun bersama-sama memikirkan rencana pernikahan. Kurencanakan, aku akan melamar dan menikahinya selepas Idulfitri. Aku bahkan sempat merencanakan berhenti menjadi wartawan, kembali ke Kediri selepas Idulfitri.
Namun rencana itu urung kulakukan. Padahal aku sudah mengatakan niat pensiunku pada bosku. Aku batal mengundurkan diri karena, kupikir terlalu dini bagiku untuk mengakhiri karirku sebagai wartawan. Karenanya, aku pun tetap bertahan sebagai wartawan. Berarti, setelah menikah nanti, aku akan memboyong Binti untuk hidup di Bontang. Aku menyampaikan keinginanku tersebut pada Binti, dan dia menyetujuinya. Dia mengatakan, selepas menikah, dia akan mengikuti suaminya. Meskipun, dia merasa berat karena mesti berhenti mengikuti pendidikan guru pengajar quran (PGPQ) dari Kementerian Agama, yang baru saja diikutinya. Dia juga mesti berhenti bekerja di fotokopi, dan merelakan berpisah dari keluarganya, berpisah dengan murid-murid Tempat Pendidikan Alquran tempatnya mengajar.
Karena kendala ruang dan waktu, akhirnya aku tidak turut dalam lamaran yang dilakukan 18 September 2013. Ibuku dan ayah tiriku, beserta kerabatku datang ke rumah Binti untuk melamar. Dari situ, lantas ditentukan tanggal pernikahan yang sempat membuatku terkejut: 30 Oktober 2013. Keinginanku untuk segera menikah kembali harus menunggu waktu. Saat-saat itu merupakan saat-saat terberat, karena aku sudah tidak sabar menikahi Binti. Bagiku saat itu, satu bulan terasa seperti satu tahun. Meski begitu aku berusaha sabar menanti hari-H, sembari mengurus surat-surat pengantar pernikahan. Yaitu surat numpang nikah, karena aku menikah di luar Bontang. Terdapat pengalaman menarik dalam pengurusan surat pengantar nikah ini, dimana terjadi beberapa kali kesalahan penulisan nama, yang membuatku emosi (baca kisahnya di: Salah Tulis Nama Itu Fatal).
Memang, ada banyak hal yang membuatku menjadi gampang emosi selama menantikan hari pernikahan. Apalagi, sempat terjadi konflik dalam persiapan pernikahan. Bahkan di kantor, aku sempat bersitegang dengan satpam. Entah kenapa, menjelang hari pernikahan, ada banyak hal tidak menyenangkan yang membuatku kesal. Namun akhirnya, hari itu datang juga. Aku mengambil cuti kerja, dan pergi ke Jawa menggunakan pesawat terbang. Akhirnya, aku kembali lagi ke Kota Kediri, setelah hampir tiga tahun lamanya aku meninggalkan kota ini. Dan untuk pertama kalinya setelah hampir tiga tahun pula, aku kembali bertemu Binti.
Sore itu, di hari pertama kedatanganku di Kediri, 28 Oktober 2013, aku datang ke rumah Binti dengan sepeda motor. Rupanya, Binti memperhatikanku dari halaman rumahnya. Begitu menyadari aku datang ke rumahnya, dia spontan kaget dan langsung berlari masuk ke dalam rumah. Akhirnya, kami bertemu kembali, dan saling melepaskan kerinduan. Lantas lusa keesokan harinya, 30 Oktober 2013, kami resmi menikah. Meskipun sempat membuat penghulu menunggu, akhirnya kami berdua berikrar hidup bersama. Kulihat betapa cantiknya Binti dalam balutan busana pengantinnya. Keinginannya untuk menikah pun akhirnya terwujud, dan akulah yang rupanya mewujudkan impian tersebut. Benar-benar sesuatu yang sangat tidak disangka-disangka. Jodoh memang tak kemana. (luk-HABIS)