Profesi wartawan dikenal sebagai suatu profesi yang mesti siap 24 jam. Dalam hal ini, pagi, siang, malam, harus siap bila ada peristiwa-peristiwa penting berbau berita. Apalagi untuk wartawan surat kabar harian, dituntut seminggu penuh membuka mata dan telinga atas setiap kejadian di sekitarnya. Pekerjaan wartawan pun di luar jam pekerjaan biasa, atau tak terikat waktu.
Termasuk dalam hal libur, seorang wartawan khususnya di media tempatku bekerja, tidak memiliki hari libur seperti pekereja kantoran biasa. Hari liburnya pun cuma sehari dalam sepekan, sesuai kesepakatan redaksi. Bahkan saat libur pun seorang wartawan masih diwajibkan menulis berita, walaupun jumlahnya tidak wajib tiga berita sebagaimana target setiap hari.
Karenanya, bagi seorang wartawan, hari libur begitu berharga. Termasuk diriku, yang kini bukan lagi wartawan murni, melainkan seorang redaktur. Karena keterbatasan wartawan di mediaku, aku pun masih turun ke lapangan untuk mencari berita di pagi dan siang hari. Sementara, di senja hari hingga malam hari, aku masih harus berkutat dengan layar komputer, mencarikan berita-berita tarikan, mengatur bagaimana sebuah halaman, dan mengedit, memodifikasi berita-berita dari wartawan yang berada dalam tanggung jawabku. Sehingga, halaman yang kupegang, dan berita wartawanku dapat bernilai jual.
Saat masih bujang dulu, beban kerja seharian bukanlah masalah bagiku. Namun, menjadi masalah ketika aku sudah menikah, apalagi istriku tengah mengandung buah hati kami yang pertama. Sehingga, aku mesti dapat membagi waktu dengan baik, walaupun kuakui sangat sulit bagiku dapat membagi waktu antara keluarga dengan pekerjaan, apalagi aku menyukai pekerjaanku, mudah terbawa suasana kerja dan bisa melupakan segalanya. Tak jarang istriku kerap marah dan kesal karena aku mengabaikannya. Atau karena aku pulang malam, berangkat pagi.
Karena itu, hari libur adalah suatu kebutuhan bagiku. Biasanya, aku akan memanfaatkan seharian libur dengan sebaik-baiknya. Dulu, saat aku masih bujang, biasanyta libur kugunakan untuk tidur seharian, menggantikan waktu istirahatku yang telah hilang selama sibuk bekerja. Atau kalau tidak, libur kugunakan untuk jalan-jalan, bersilaturahmi ke rumah kerabat, atau berkunjung ke tempat wisata. Selain itu, waktu liburku juga kerap kugunakan untuk main internet, berselancar di dunia maya sepuasnya, atau bermain video game. Yang pasti, harus benar-benar kugunakan untuk mengistirahatkan diri dari pekerjaan-pekerjaan yang sehari-harinya selalu membuat kepalaku penat.
Namun kini, setelah menikah, tentu hari libur harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk keluarga. Aku pun mesti bijak, tak lagi egois sekadar memikirkan refreshing diriku saja. Salah satunya yaitu, dengan mengajak istri jalan-jalan ke tempat wisata terdekat, makan di rumah makan istimewa, berbelanja, atau sekadar menghabiskan waktu berdua saja di rumah menonton film bersama. Dan ya, hari libur memang harus digunakan dengan berkualitas. Pernah aku mengajak istriku makan di Cafe Singapore, pernah pula aku mengajak dia menginap semalam di Hotel Bintang Sintuk, hotel bintang tiga yang ada di kotaku merayakan tiga bulan pernikahan kami.
Tapi liburan kami tidak selalu begitu. Kadang istriku harus juga mengalah pada waktuku untuk tidur atau kebiasaanku bermain video game saat libur. Selain itu, hari libur yang kuambil yaitu pada hari Jumat, bertepatan dengan saat rapat lintas divisi, yang menyita waktuku sekira tiga jam sebelum akhirnya benar-benar punya waktu dengan istriku. Karenanya, aku mesti pandai-pandai mengatur hari libur. Atau kalau tidak, istriku akan mengeluh, menyampaikan kekesalannya.
Misalnya pada Minggu (27/4) kemarin, saat liburku bertukar dengan rekanku. Sabtu malam sebelumnya, aku main video game hingga pagi, hingga tak tidur. Praktis, paginya setelah salat Subuh berjemaah, aku takluk di kasur, dan baru bangun di tengah hari. Terang saja istriku marah dan mempertanyakan kenapa aku tidak tidur. Dia mengkhawatirkan kesehatanku.
Setelah membangunkanku, istriku mengajak untuk makan di luar, di bakwan Idola Malang. Kami pun makan siang di sana, memesan bakso. Kami sama-sama menikmati bakso yang begitu lezat siang itu. Kemudian, aku pun terpikir untuk mengajak istriku jalan-jalan ke Bontang Lestari, sebuah kelurahan yang diproyeksikan menjadi pusat pemerintahan baru Kota Bontang. Agar, dia tidak penasaran lagi seperti apa Bontang Lestari yang dulunya dikenal dengan nama Sekambing. Selain itu, sebelumnya dia sempat mengeluhkan kalau bosan di rumah, ingin pergi jalan-jalan.
Karenanya, setelah selesai makan, kami mampir sejenak di rumah, mengambil jaket dan tustel untuk kemudian meluncur ke Bontang Lestari dengan sepeda motor merahku yang membutuhkan waktu setengah jam perjalanan. Kami berkeliling Bontang Lestari, melintasi hutan lindung, melihat kantor wali kota, gadung gabungan dinas, gedung DPRD, stadion, balai latihan kerja, lembaga pemasyarakatan, hingga perumahan KORPRI. Jauhnya rute yang kami lewati rupanya membuat istriku lelah dan meminta segera kembali ke rumah, apalagi setelah kami nyaris bertabrakan dengan motor pembalap liar di sekitar gedung gabungan dinas dan gedung DPRD senja itu.
Namun, sebelum pulang, aku memutuskan untuk mampir sejenak ke Lembah Hijau Lestari, wahana pariwisata wisata milik mantan Wali Kota Bontang Sofyan Hasdam. Di sana ada beberapa wahana wisata yang kerap didatangi warga Bontang. Walaupun hanya berjalan-jalan dan mengabadikan gambar di dalamnya, namun kami sudah cukup puas. Kami pun kembali ke rumah dan sangat kelelahan, karena dari tadi berjalan kaki di Lembah Hijau Lestari.
Malamnya, setelah salat Maghrib berjemaah, kami menyantap sate ayam yang dibeli dari warung terdekat. Setelah itu kami bersama-sama menonton film di laptop ASUS milikku, Finding Srimulat dan Hello Stranger hingga larut malam. Mungkin saking panjangnya film Hello Stranger, istriku sampai ketiduran. Aku hanya tersenyum melihatnya tertidur pulas, walaupun kemudian istriku kembali terbangun. Rasanya, hari Minggu itu begitu memuaskan. Kulihat dia begitu senang hari itu bersamaku. Ya, hari libur yang sangat berkualitas. Memang sudah seharusnya seperti itu, menghabiskan waktu bersama keluarga di hari libur. Kira-kira begitulah liburnya wartawan, eh... redaktur merangkap wartawan dink. Hehehe. (luk)
Termasuk dalam hal libur, seorang wartawan khususnya di media tempatku bekerja, tidak memiliki hari libur seperti pekereja kantoran biasa. Hari liburnya pun cuma sehari dalam sepekan, sesuai kesepakatan redaksi. Bahkan saat libur pun seorang wartawan masih diwajibkan menulis berita, walaupun jumlahnya tidak wajib tiga berita sebagaimana target setiap hari.
Karenanya, bagi seorang wartawan, hari libur begitu berharga. Termasuk diriku, yang kini bukan lagi wartawan murni, melainkan seorang redaktur. Karena keterbatasan wartawan di mediaku, aku pun masih turun ke lapangan untuk mencari berita di pagi dan siang hari. Sementara, di senja hari hingga malam hari, aku masih harus berkutat dengan layar komputer, mencarikan berita-berita tarikan, mengatur bagaimana sebuah halaman, dan mengedit, memodifikasi berita-berita dari wartawan yang berada dalam tanggung jawabku. Sehingga, halaman yang kupegang, dan berita wartawanku dapat bernilai jual.
Saat masih bujang dulu, beban kerja seharian bukanlah masalah bagiku. Namun, menjadi masalah ketika aku sudah menikah, apalagi istriku tengah mengandung buah hati kami yang pertama. Sehingga, aku mesti dapat membagi waktu dengan baik, walaupun kuakui sangat sulit bagiku dapat membagi waktu antara keluarga dengan pekerjaan, apalagi aku menyukai pekerjaanku, mudah terbawa suasana kerja dan bisa melupakan segalanya. Tak jarang istriku kerap marah dan kesal karena aku mengabaikannya. Atau karena aku pulang malam, berangkat pagi.
Karena itu, hari libur adalah suatu kebutuhan bagiku. Biasanya, aku akan memanfaatkan seharian libur dengan sebaik-baiknya. Dulu, saat aku masih bujang, biasanyta libur kugunakan untuk tidur seharian, menggantikan waktu istirahatku yang telah hilang selama sibuk bekerja. Atau kalau tidak, libur kugunakan untuk jalan-jalan, bersilaturahmi ke rumah kerabat, atau berkunjung ke tempat wisata. Selain itu, waktu liburku juga kerap kugunakan untuk main internet, berselancar di dunia maya sepuasnya, atau bermain video game. Yang pasti, harus benar-benar kugunakan untuk mengistirahatkan diri dari pekerjaan-pekerjaan yang sehari-harinya selalu membuat kepalaku penat.
Namun kini, setelah menikah, tentu hari libur harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk keluarga. Aku pun mesti bijak, tak lagi egois sekadar memikirkan refreshing diriku saja. Salah satunya yaitu, dengan mengajak istri jalan-jalan ke tempat wisata terdekat, makan di rumah makan istimewa, berbelanja, atau sekadar menghabiskan waktu berdua saja di rumah menonton film bersama. Dan ya, hari libur memang harus digunakan dengan berkualitas. Pernah aku mengajak istriku makan di Cafe Singapore, pernah pula aku mengajak dia menginap semalam di Hotel Bintang Sintuk, hotel bintang tiga yang ada di kotaku merayakan tiga bulan pernikahan kami.
Tapi liburan kami tidak selalu begitu. Kadang istriku harus juga mengalah pada waktuku untuk tidur atau kebiasaanku bermain video game saat libur. Selain itu, hari libur yang kuambil yaitu pada hari Jumat, bertepatan dengan saat rapat lintas divisi, yang menyita waktuku sekira tiga jam sebelum akhirnya benar-benar punya waktu dengan istriku. Karenanya, aku mesti pandai-pandai mengatur hari libur. Atau kalau tidak, istriku akan mengeluh, menyampaikan kekesalannya.
Misalnya pada Minggu (27/4) kemarin, saat liburku bertukar dengan rekanku. Sabtu malam sebelumnya, aku main video game hingga pagi, hingga tak tidur. Praktis, paginya setelah salat Subuh berjemaah, aku takluk di kasur, dan baru bangun di tengah hari. Terang saja istriku marah dan mempertanyakan kenapa aku tidak tidur. Dia mengkhawatirkan kesehatanku.
Setelah membangunkanku, istriku mengajak untuk makan di luar, di bakwan Idola Malang. Kami pun makan siang di sana, memesan bakso. Kami sama-sama menikmati bakso yang begitu lezat siang itu. Kemudian, aku pun terpikir untuk mengajak istriku jalan-jalan ke Bontang Lestari, sebuah kelurahan yang diproyeksikan menjadi pusat pemerintahan baru Kota Bontang. Agar, dia tidak penasaran lagi seperti apa Bontang Lestari yang dulunya dikenal dengan nama Sekambing. Selain itu, sebelumnya dia sempat mengeluhkan kalau bosan di rumah, ingin pergi jalan-jalan.
Karenanya, setelah selesai makan, kami mampir sejenak di rumah, mengambil jaket dan tustel untuk kemudian meluncur ke Bontang Lestari dengan sepeda motor merahku yang membutuhkan waktu setengah jam perjalanan. Kami berkeliling Bontang Lestari, melintasi hutan lindung, melihat kantor wali kota, gadung gabungan dinas, gedung DPRD, stadion, balai latihan kerja, lembaga pemasyarakatan, hingga perumahan KORPRI. Jauhnya rute yang kami lewati rupanya membuat istriku lelah dan meminta segera kembali ke rumah, apalagi setelah kami nyaris bertabrakan dengan motor pembalap liar di sekitar gedung gabungan dinas dan gedung DPRD senja itu.
Namun, sebelum pulang, aku memutuskan untuk mampir sejenak ke Lembah Hijau Lestari, wahana pariwisata wisata milik mantan Wali Kota Bontang Sofyan Hasdam. Di sana ada beberapa wahana wisata yang kerap didatangi warga Bontang. Walaupun hanya berjalan-jalan dan mengabadikan gambar di dalamnya, namun kami sudah cukup puas. Kami pun kembali ke rumah dan sangat kelelahan, karena dari tadi berjalan kaki di Lembah Hijau Lestari.
Malamnya, setelah salat Maghrib berjemaah, kami menyantap sate ayam yang dibeli dari warung terdekat. Setelah itu kami bersama-sama menonton film di laptop ASUS milikku, Finding Srimulat dan Hello Stranger hingga larut malam. Mungkin saking panjangnya film Hello Stranger, istriku sampai ketiduran. Aku hanya tersenyum melihatnya tertidur pulas, walaupun kemudian istriku kembali terbangun. Rasanya, hari Minggu itu begitu memuaskan. Kulihat dia begitu senang hari itu bersamaku. Ya, hari libur yang sangat berkualitas. Memang sudah seharusnya seperti itu, menghabiskan waktu bersama keluarga di hari libur. Kira-kira begitulah liburnya wartawan, eh... redaktur merangkap wartawan dink. Hehehe. (luk)