Aku tak ingat persisnya, tapi saat aku masih kecil, mungkin di umurku yang keenam, keluargaku merayakan ulang tahunku dengan makan-makan di resto ini. Saat itulah memori tentang rumah makan yang menurutku paling mewah di Bontang ini (sebelum kemunculan KMBU) mulai tercipta, tertanam dalam ingatanku, sebelum akhirnya aku meninggalkan Kota Taman. Meski tak jelas dan hanya satu kali makan di sana, namun aku memiliki bayangan tentang tempat ini yang kubawa hingga beranjak dewasa. Yaitu bayangan tentang sebuah rumah makan bernuansa alam, dengan suasana begitu asri, deretan saung, dan kolam-kolam ikan.
Sekira dua puluh tahun kemudian, saat aku kembali ke Bontang, aku mendapati resto ini masih berdiri. Segera saja ingatanku terbawa ke masa lalu, saat acara makan-makan ulang tahunku dulu. Terbersit keinginan untuk bisa makan kembali di resto ini, membayangkan seperti apa rasa makanan di tempat ini setelah bertahun-tahun berlalu. Aku sendiri tak punya memori yang kuat tentang rasa makanan di Bontang Kuring, yang khas dengan kuliner ikan bakar dan goreng. Yang kuingat hanya rasa ikan bakarnya yang begitu enak, itu saja, ingatan anak kecil biasa. Aku pun penasaran seperti apa suasana di dalam Bontang Kuring.
Namun, bukan hal mudah untuk mewujudkan keinginanku makan di resto ini karena harganya yang mahal. Padahal, aku ingin bisa mengajak orang yang aku sayangi untuk makan di sini. Memang, saat pertama kali datang dan bekerja di Bontang, gajiku terbilang pas-pasan. Selain itu, tak ada keluarga yang bisa kuajak makan di tempat ini. Aku pun belum memiliki kekasih. Sehingga, keinginan untuk bisa makan di tempat ini pun mesti kuurungkan.
Barulah pada saat aku bekerja sebagai wartawan, keinginan untuk bisa makan di tempat ini terwujud. Yaitu, saat awak redaksi Bontang Post, harian tempatku bekerja, mengadakan acara makan-makan di tempat ini. Itulah pertama kalinya aku menginjakkan kaki di Bontang Kuring, setelah bertahun-tahun lamanya tak masuk ke resto ini. Entah kenapa rasanya ada yang berubah dari suasana resto ini bila dibandingkan saat aku masih kecil dulu, atau mungkin hanya perasaanku saja.
Bontang Kuring saat ini, menawarkan meja makan utama, dengan sebuah panggung, mungkin ditujukan untuk keperluan suatu acara atau kegiatan makan-makan para pejabat. Di sisi lain, terdapat sebuah ruangan dengan beberapa tempat makan, mungkin ditujukan untuk makan-makan keluarga. Sementara beberapa saung kecil berdiri di samping kolam besar, dan ada kolam pemancangan di belakang saung itu. Entahlah apa banyak yang berubah di Bontang Kuring, tapi seingatku dulu saat masih kecil, resto ini memiliki area yang lebih luas.
Makan-makan bersama awak redaksi sebenarnya telah mewujudkan keinginanku untuk bisa makan di tempat ini bersama orang-orang yang kusayang. Namun, rasanya ada yang kurang. Mungkin karena aku makan-makan bersama rekan-rekan kerjaku, dan makan di meja besar dengan kursi. Sementara, keinginanku dulu yaitu makan bersama keluarga atau kekasih secara lesehan di saung. Aku sendiri dulu pernah berencana makan bersama kekasihku (kini mantan), namun dia menolak dengan alasan takut (alasan yang aneh). Keinginan itu tak pernah terwujud karena kemudian hubungan kami berakhir dalam waktu yang singkat.
Tapi yang paling sering adalah saat aku meliput berita-berita terkait Pemkot Bontang, khususnya dengan narasumber Wakil Wali Kota Bontang Isro Umarghani. Bontang Kuring seolah menjadi resto favorit Pak Isro, beliau hampir selalu mengadakan jumpa pers dengan rekan wartawan di resto ini. Mulai dari kisruh APBD Bontang, pembangunan Water Treatment Plant (WTP) dan power plant, hingga fitnah yang menyebut Pak Isro menghamili PNS. Semua klarifikasi mengenai isu-isu tersebut disampaikannya melalui jumpa pers yang digelar di resto ini. Di luar jumpa pers itu, aku pernah melakukan wawancara ekslusif di resto ini dengan Pak Isro terkait advetorial yang beliau pasang.
Setelah aku menikah, keinginan untuk bisa makan malam bersama orang yang aku sayang kembali muncul. Aku berkeinginan bisa menikmati makan malam di resto ini bersama istriku. Namun karena kesibukan sebagai wartawan, sulit sekali bagiku untuk bisa menemukan waktu untuk makan malam di sana. Selain itu, seolah ada saja alasan yang membuat keinginanku tersebut urung terlaksana. Misalnya pada Ramadan 1435 H lalu, aku berencana buka puasa di resto ini (apalagi ada promo buka puasa).
Sayangnya, semua tempat telah dipesan, membuat aku dan istri hanya gigit jari dan beralih berbuka di koperasi PKT. Kegagalan ini mengulang kegagalan di tahun sebelumnya, ketika aku ingin mengajak Mbak Nita, rekan kerja yang sudah kuanggap seperti kakak sendiri untuk makan di Bontang Kuring. Saat itu pun kami mengurungkan keinginan itu karena semua tempat telah dipesan. Pada akhirnya kami memilih berbuka puasa di koperasi PKT. Kegagalan-kegagalan ini seolah mengisyaratkan kalau aku takkan bisa makan di tempat ini.
Meski begitu keinginan untuk bisa makan malam bersama orang yang kusayang, dalam hal ini istriku, tak pernah hilang. Apalagi di masa-masa terakhirku di Bontang. Waktu itu, mengingat aku akan segera meninggalkan Bontang, keinginan untuk makan malam bersama istriku semakin kuat. Paling tidak sebelum aku pergi, aku bisa menyempatkan waktu sekali saja makan di tempat ini bersama istriku. Sekali lagi, ada saja alasan yang seolah menghalangiku untuk mewujudkan keinginan tersebut. Bahkan di di penghujung hariku di Bontang, aku tetap dilanda kesibukan.
Melihat harga di menu yang diberikan pelayanan membuatku berpikir keras untuk memilih. Ya, harga makanan di Bontang Kuring terbilang mahal bagiku, tapi menurutku harga tersebut sebanding. Meski begitu kami tetap memesan, hitung-hitung makan malam perpisahan di Bontang. Istriku memesan terlebih dulu, yaitu menu bebek bakar dengan jus sirsak. Dia penasaran seperti apa rasa bebek yang dibakar. Sementara aku memesan ikan mas bakar, menu ikan paling murah ditemani segelas jus buah naga. Makan malam yang begitu kunantikan itu pun terjadi, dan kuabadikan dalam lensa kameraku.
Makan malam terakhir di Bontang itu begitu romantis, sebagaimana yang kuidam-idamkan selama ini. Walaupun bumbu ikan mas bakar terasa kurang meresap, serta masih ada darah di dalam kepala ikan, tapi aku sudah puas. Penantianku selama tiga tahun sejak menginjakkan kaki kembali ke Bontang telah selesai. Karenanya, benar-benar kunikmati momen malam itu, yang mungkin bakal jadi momen indah yang akan selalu kami ingat.
Setelah makam malam selesai, rasanya begitu kenyang dan puas. Apalagi istriku yang pada malam itu makan begitu lahap dan menambah nasi. Padahal biasanya, setiap kali kuajak makan di luar, dia tidak banyak makan. Kami pun menghabiskan Rp 103 ribu malam itu, namun bagiku harga itu adalah harga yang paling murah dan pantas. Aku pun bisa tenang meninggalkan Bontang, tanpa rasa penasaran. Makan malam itu menjadi makan malam terindah yang pernah kualami di Bontang. Tepatnya di Bontang Kuring, di legenda kuliner Kota Taman. (luk)