Ini cerita tentang laptopku. Sebenarnya, sudah sejak lama aku ingin memiliki laptopku sendiri. Yang kemudian kugunakan untuk menulis cerita-ceritaku, novel, atau sekadar bermain game. Karenanya, ketika pertama kali bekerja, yaitu di sebuah bank swasta di Samarinda, aku berupaya menabung untuk membeli laptop. Kala itu, aku memiliki banyak waktu luang seusai pulang kerja jam lima sore. Aku ingin menggunakan waktu luangku untuk menulis cerita. Karena belum memiliki laptop, membuatku sering pulang larut malam untuk menulis ceritaku dengan komputer kantor. Di saat pegawai-pegawai kantor PLN tempatku menumpang kerja sudah pulang, aku justru masih berkutat di depan layar monitor.
Selama bekerja di bank, aku berupaya menabung untuk bisa membeli laptop. Karena, terlalu sering menggunakan komputer kantor di luar jam kerja membuatku merasa tidak enak dengan para pegawai lainnya. Aku lalu iseng datang ke salah satu toko komputer untuk menanyakan harga laptop, baik yang ukuran 14 inch (notebook) atau 10 inch (netbook). Aku memang sengaja memilih untuk membeli laptop karena kuanggap lebih fleksibel dan gampang dibawa. Sehingga, aku bisa menyalurkan hobiku menulis atau bermain game dimanapun aku mau.
Ketika kutanya, penjaga toko menyebut harga laptop netbook paling murah sekira Rp 3 juta. Ini lantas membuatku mulai berhitung untuk mulai menabung setiap bulannya. Sayangnya, banyaknya kebutuhan termasuk membantu saudara-saudaraku, membuat aku tidak kunjung bisa mengumpulkan uang sebanyak itu. Maklum, gajiku kala itu bisa dibilang pas-pasan (walaupun sekarang pun gajiku masih pasa-pasan. Hehehe). Apalagi saat itu aku memutuskan untuk hidup mandiri tinggal di rumah kos, sehingga anggaran yang kurencanakan untuk ditabung demi membeli laptop pun terpaksa teralihkan untuk membayar sewa kos.
Sementara aku belum berani membeli secara kredit. Ya, aku memang lebih suka membeli tunai karena tidak ada tanggungan yang perlu kubayar lagi. Meski dengan kondisi seperti itu, aku tetap bermimpi bisa membeli laptop dari jerih payahku sendiri. Sayangnya, sampai aku berhenti bekerja di bank tersebut pada Agustus 2012, laptop idamanku itu tak kunjung terbeli.
Seiring kesibukanku menggeluti profesi baruku sebagai wartawan, keinginan membeli laptop perlahan memudar. Apalagi di awal-awal aku bekerja sebagai wartawan, kondisi keuanganku tidak stabil. Memang ada bonus-bonus tertentu, namun itu pun habis untuk kebutuhan sehari-hari. Apalagi waktu itu aku juga memikirkan untuk membayar uang sewa kos. Dengan kesibukanku tersebut, seolah tidak ada waktu luang untuk sekadar menulis cerita atau bermain game.
Namun keinginan itu kembali muncul ketika jam terbangku sebagai wartawan meninggi. Terutama ketika aku ditempatkan di DPRD Bontang, mengawal berita advetorial. Lokasinya yang jauh, membuatku harus pandai membagi waktu. Terlebih dalam menulis cerita. Ditambah minimnya komputer di kantor untuk kugunakan menulis berita, membuat muncul keinginan untuk memiliki laptop sendiri, sehingga aku bisa menulis berita tanpa kesulitan dan dimana pun aku berada. Dengan kondisi keuangan yang membaik, impianku untuk memiliki laptop bangkit kembali. Karena memang dengan memiliki laptop sendiri, bakal menunjang pekerjaanku sebagai pewarta berita.
Lantas keinginan itu terwujud di awal 2013. Aku mendapatkan rezeki yang tidak terduga-duga dari seseorang. Walaupun nilainya belum mampu untuk membeli sebuah laptop, tapi tekadku untuk memiliki sebuah laptop telah mengeras. Bagaimanapun aku mesti mewujudkannya, karena kalau tidak sekarang, lantas kapanlagi? Apakah memiliki sebuah laptop hanya akan jadi sebatas impian semu? Daripada aku menyesalinya kelak, selagi aku mampu, kenapa aku tidak mewujudkan keinginanku?
So, aku menggabungkan uang pemberian tersebut dengan uang gajiku sebagai wartawan dan tabunganku ketika masih bekerja di bank. Alhasil, terkumpullah uang senilai Rp 3 juta. Kini, tinggal membeli sebuah laptop. Aku lalu bertanya pada temanku pakar komputer di kantorku, menanyakan toko komputer yang menjual komputer dengan harga murah namun kualitasnya baik. Temanku itu menyarankan sebuah toko, membuatku langsung bergerak menuju toko tersebut. Berbekal informasi lama bahwa harga laptop yang paling murah sekira Rp 3 juta, aku yakin bisa mendapatkan laptop yang kuinginkan.
Setibanya di toko, sang penjual menawariku beberapa merek dan tipe laptop. Setelah mendengarkan penjelasan singkat dari sang penjual yang memaparkan kelebihan, kekurangan, dan harga masing-masing tipe tersebut, pilihanku jatuh pada netbook merek ASUS tipe Eee series. Alasannya, harganya relatif murah dibandingkan laptop yang lain. Selain itu, sang penjual mengatakan, batera laptop ASUS tahan lama dibandingkan merek-merek lainnya. Sementara laptop merek Toshiba yang dikenal terbaik, harganya jauh lebih mahal. Maka aku pun memantapkan hati membeli ASUS warna putih. Saat itu ada dua varian warna yaitu merah dan putih. Pilihanku jatuh pada warna putih karena sang penjual mengatakan, warna putih kelihatan keren seperti mobil-mobil masa kini yang kebanyakan berwarna putih. Uang yang kubawa pun bisa dibilang sangat pas, karena dari Rp 3 juta, aku mendapat uang kembalian Rp 10 ribu saja.
Sayangnya, Office yang digunakan dalam ASUS putihku adalah Office 2010. Yang rupanya, tidak kompatibel dengan OS komputer kantor. Sehingga, berita-beritaku yang kutulis pada Microsoft Word menjadi berantakan tanpa spasi ketika dibuka di komputer kantor yang menggunakan Office 2003. Aku menyiasatinya dengan melakukan save as agar kompatibel dan bisa dibaca pada Office 97-2003. Sebenarnya aku punya pilihan untuk mengganti office dengan office yang lama saat membelinya. Aku sempat akan melakukannya ketika melihat tampilan Wordku terlihat tidak nyaman dipandang karena ada iklan gak jelas yang tertampang disana. Tapi aku mengurungkan niatku, karena melihat masa depan komputer yang tentunya akan menggunakan sistem terbaru.
Laptop ini terkadang kubawa ke kantor untuk berjaga apabila tidak ada komputer yang bisa kugunakan untuk menulis. Juga, aku bawa ke daerah perkantoran di Bontang Lestari di antaranya DPRD Bontang bila kuperkirakan aku bakal lama berada disana. Berhubung saat membeli aku tidak mendapatkan tas laptop, maka demi keamanan aku membawanya bersama dengan kotak kardus aslinya. Teman-temanku di kantor lantas tertawa terbahak-bungkusnya ketika melihatku masih tetap membawa kardusnya. Maka setelah itu, aku menggunakan sarung warisan almarhum kakekku untuk membungkusanya dengan rapi. Namun lagi-lagi teman-temanku menertawainya. Aku sendiri berpikir, walaupun sudah kubungkus dengan sarung, tetap saja tidak aman membawa laptop berukuran 10 inch di dalam tas.
Akhirnya aku pun membelikan laptopku tas. Sebelumnya aku memang tidak berniat membeli tas laptop setelah melihat harganya yang mencapai Rp 110 ribu pada toko tempatku membeli ASUS itu. Tapi demi keamanan dan agar mudah dibawa, aku lalu memutuskan membelikannya tas laptop. Tapi kali ini aku tidak membelinya di tempat yang sama dimana aku membeli laptop. Aku memilih toko lain yang ternyata, harga tas laptop disana jauh lebih murah. So, aku membeli tas laptop seharga Rp 85 ribu, yang membuatku mudah membawa laptoku kemana-mana. Tinggal menggantungkannya di bahuku seperti tas selempang, dan aku bisa membawanya kemana-mana.
Sayangnya, walaupun sudah memiliki laptop sendiri, namun tujuan awalku memiliki laptop tidak terwujud. Yaitu menulis cerita-ceritaku. Pasalnya, sebagai wartawan aku sudah begitu sakit kepala menulis berita. Tidak ada waktu untuk menulis hal-hal lainnya. Kalaupun ada waktu, sulit untuk bisa fokus memikirkan ide cerita. Ironis memang, ketika aku dulu belum punya laptop dan masih bekerja di bank, aku punya banyak waktu luang untuk menulis cerita. Namun kini setelah memiliki laptop, aku sama sekali tidak memiliki waktu untuk itu. Rencana-rencana ceritaku pun terpaksa terhenti karena ketiadaan waktu ini. Habisnya mau bagaimana, sebagai asisten redaktur, aku pulang begitu larut malam, paling cepat pukul 00.00 Wita. Sesampainya di rumah pun rasanya begitu lelah, pikiran sudah sangat terkuras. Yang ada hanya keinginan untuk beristirahat, tidur.
Tapi toh ASUS putihku kemudian berguna untuk tujuan lainnya, yaitu sekadar bermain game. ASUS putihku bisa kugunakan sebagai sarana refreshing setelah lelah seharian bekerja. Kumasukkan berbagai judul game favoritku ketika masih kuliah dulu dan memainkannya. Meskipun sayangnya, spesifikasi laptopku itu membuatku tidak bisa memainkan game-game yang sangat ingin kumainkan seperti Pokemon White 2 atau game Nintendo DS lainnya menggunakan emulator. Tapi tetap saja game-game klasik favoritku bisa kumainkan. Apalagi belum lama ini aku membeli sepasang stik game, yang membuatnya semakin menyenangkan bermain game. Biasanya sepulang kerja, aku menyempatkan satu hingga dua jam untuk bermain game. Sehingga, aku terkadang tidur larut malam pukul 03.00 Wita atau 04.00 Wita dini hari. Imbasnya, aku pun bangun kesiangan! (jangan ditiru).
Sebenarnya aku tidak tertarik untuk membeli sepasang stik game, namun karena aku kesal, aku lantas membelinya. Yaitu ketika ibuku melarangku membeli Nintendo 3DS, sementara aku begitu menginginkannya. Ibuku bilang, untuk bermain game, leih baik menggunakan laptop yang sudah kumiliki. Dan, aku pun membeli sepasang stik tersebut dan hanya bisa memainkan game-game jadul. Meski hanya bisa memainkan game-game jadul melalui emulator, bukan menjadi masalah bagiku. Karena memang, sebagai pekerja yang sibuk, aku tidak punya waktu untuk game-game terbaru yang tentunya lebih rumit.
Game-game jadul macam era 16 bit dan 64 bit-lah yang cocok untukku. Toh masa kecilku juga berada dalam era-era tersebut. Selain itu aku juga merencanakan stik itu untuk kugunakan bermain multiplayer bersama istriku kelak. Aku memang suka bermain video game bersama-sama, sebagaimana saat aku bermain bersama sepupuku Akio Rahmat Shigeno waktu masih kuliah dulu, atau saat ini ketika aku bermain bersama wartawan baru yang berada di bawah tanggungjawabku, Anwar si Bebek. Dan game yang sangat ingin kumainkan bersama-sama adalah game Tetris atau yang sejenis itu.
Selain untuk bekerja dan bermain game, aku juga menggunakan laptopku untuk menonton film. Biasanya film-film itu kuunduh dari internet atau kuminta dari desainer iklan yang mesum, Ady (bercanda Dy, hehehe). Ketika menyaksikan film-film inilah, aku menemukan cacat pada ASUS putihku yang kata penjualnya bagus. Ya, laptopku sering nge-hang tidak jelas ketika tengah asyik menonton film. Kemudian hang ini terjadi bukan hanya ketika sedang menonton film, tapi juga ketika sedang mengetik. Saat hang, terkadang mengeluarkan suara berdenging yang keras. Bagi temanku yang belum terbiasa dengan ASUS punyaku ini mungkin akan panik karena tidak ada yang bisa dilakukan, termasuk mengeluarkan Windows Task Manager. Sehingga, mereka mungkin akan mematikanlaptopku dengan kasar. Tapi aku yang sudah terbiasa, hanya butuh menunggu sebentar hingga laptopku kembali berfungsi seperti sedia kala. Well, masalah ini mungkin karena....forget it! Yang pasti, semoga laptopku ini berumur panjang dan tak tergantikan. Aku begitu menyayanginya karena menjadi kenang-kenangan hasil kerjaku. Tak jarang aku memeluknya ketika tidur, sebagai ganti bantal guling. Aku memang aneh. (luk)