Momen pemotretan ini menjadi momen penting bagiku. Karena, bakal menjadi momen foto bersamaku yang terakhir dengan karyawan dan manajemen Bontang Post. Mengingat selepas Idulfitri aku akan mengundurkan diri dari Bontang (mungkin akan kuceritakan dalam kisah lainnya). Selain itu, entah kenapa foto bersama untuk ucapan selamat Idulfitri menjadi momen yang kutunggu-tunggu.
Foto bersama kali ini sendiri menjadi kali kedua setelah kali pertama di 2012, saat aku baru bekerja di Bontang Post. Di 2013 sendiri aku tak ikut sesi pemotretan ini karena terlambat datang usai wawancara di kediaman Sekretaris Daerah terkait gerbong mutasi PNS yang santer terdengar bakal terjadi usai Idulfitri. Luputnya aku pada sesi pemotretan di 2013 tersebut membuatku sangat menyesal, mengingat kala itu aku merencanakan bakal mengundurkan diri, walaupun kemudian batal. Karenanya, di pemotretan 2014, aku mesti ikut.
Selama berada di Bontang, aku cuma punya satu baju muslim (koko). Itu pun baju pemberian tanteku saat Idulfitri di 2006, saat keluarga besar kami mengadakan reuni dan berkumpul (berfoto bersama) untuk terakhir kalinya. Baju berwarna putih itu lantas kubawa ke Bontang, seiring kepergianku mencari penghidupan di Benua Etam. Sebenarnya, masih ada satu baju muslim berwarna hitam dan biru pemberian ibuku, namun hanya baju putih yang kubawa ke Bontang.
Memang sejak kecil aku tak pernah meributkan baju baru saat Idulfitri. Biasanya, keluargaku yang membelikanku baju baru, meskipun aku tak pernah meminta. Tahun 2009 mungkin menjadi tahun terakhir aku mendapatkan baju baru untuk Idulfitri. Karena sejak saat itu, aku tak pernah mendapat baju baru. Bahkan ketika aku sudah memiliki penghasilan sendiri di Bontang, baju muslimku hanya satu, yang kubawa dari Jawa.
Untuk Idulfitri, aku memang tidak mensyaratkan ada baju baru. Selama tiga tahun melakoni 1 Syawal di Kota Taman, aku tak pernah mengenakan baju baru. Pakaian yang kukenakan pun hanya baju putih itu, atau kemeja-kemeja, yang penting terlihat rapi. Memang, sebagai seorang wartawan, aku tak terlalu memedulikan penampilan, yang penting rapi (versi diriku sendiri). Baju putih itu pun menjadi baju yang kerap kupakai setiap kali menghadiri acara-acara keagamaan, atau salat jemaah.
Tapi riwayat tiga tahun tanpa baju baru saat Idulfitri itu tampaknya berakhir tahun ini, tepatnya setelah aku membina rumah tangga. Pasalnya, istriku sangat perhatian pada penampilanku, pada pakaian-pakaian yang aku gunakan. Termasuk baju muslim itu, yang selalu kukenakan saat salat jemaah bersama istriku. Begitu mengetahui aku akan mengenakan baju ‘legendaris’ itu untuk sesi pemotretan, istriku langsung menentang. Katanya, baju itu sudah terlihat dekil dan juga tak layak kugunakan. Karena, pada sisi kanan dan kirinya sudah robek, tak mampu memuat tubuhku yang semakin ‘melar’.
Akhirnya aku pun menuruti istriku, yang memintaku untuk membeli baju baru. Lagipula hari Jumat itu juga merupakan hari ulang tahunku yang ke Selepas salat Jumat, sebelum rapat divisi digelar, kami berdua pergi ke toko Balita, yang katanya menjual baju-baju muslim dengan harga murah. Sesampainya di sana, istriku mencarikan baju yang cocok untukku. Setelah kucoba, aku pun memutuskan membeli baju putih, seharga Rp 65 ribu. Kata istriku, baju ini terlihat bagus di tubuhku, dan dia menyebutnya sebagai hadiah ulang tahun untukku.
Dia lantas menyetrika baju itu, memberinya wewangian. Aku pun mengenakannya hari itu juga untuk sesi pemotretan ucapan selamat Idulfitri. Sesi pemotretan ini segera saja mengingatkanku pada sesi pemotretan yang pertama kulewati, dua tahun silam. Aku ingat saat itu kami melakukan pemotretan di masjid Baiturrahman PKT. Saat itu tubuhku begitu kurus, berbeda jauh bila dibandingkan saat ini. Perbedaan itu sangat terlihat di bagian wajah, membuatku terkadang tak percaya aku dulu begitu kurus.
Menariknya, belum terhitung satu hari aku mengenakan baju baru ini, aku kembali mendapat baju muslim baru. Saat menghadiri buka bersama Badak LNG dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI), aku mendapat bingkisan. Saat kulihat, rupanya baju muslim berwarna perak. Baju ini melengkapi sarung Gajah Duduk asli yang kudapatkan dari Badak LNG tiga hari sebelumnya, saat buka bersama dengan mitra binaan. Jadinya, untuk Idulfitri kali ini aku punya dua baju muslim, dan satu sarung baru. Kalau kata Dhea Ananda, “Baju baru, Alhamdulillah….” (luk)