Ya Allah... cobaanMu begitu indah...
Bantu kami untuk lebih dekat denganMu...
Hidup kami di dunia hanya seruas jari...
Sedangkan kekal hanya di AkhiratMu...
Terima kasih atas teguranMu...
Bentuk kasih sayangMu, cinta kasihMu...
-- Suci Surya Dewi--
Awal Ramadan ini aku mendapat kabar duka dari rekan jurnalisku di Kaltim Post. Di hari pertama Ramadan, dalam perjalanan ke Jakarta, aku mendapat pesan singkat dari temanku Rera di Bontang, yang mengabarkan bahwa Suci, rekan sesama wartawan mengalami musibah kebakaran pada Selasa, 16 Juni 2015, sehari sebelum malam Ramadan. Dalam wartanya, si jago merah melahap habis rumah keluarga Suci hingga rata dengan tanah tak ada yang tersisa. Beruntung Suci beserta keluarganya berhasil menyelamatkan diri dari peristiwa nahas itu.
Tentu saja kabar ini membuatku sedih. Sebelumnya aku sempat membaca sekilas di koran Bontang Post tentang sebuah rumah yang terbakar di daerah Tanjung Laut. Aku tidak menyangka bila rumah itu adalah rumahnya Suci. Aku lantas membuka akun facebook Suci, yang membuatku semakin bertambah sedih. Dia mengunggah foto-foto rumahnya yang habis dilalap api, dan beberapa kali menulis status penuh makna yang menggambarkan kesedihannya sekaligus upayanya untuk dapat tegar menghadapi cobaan yang menimpanya. Dari setiap status dan juga ingatanku akan sosok Suci, aku merasa layak menyebutnya sebagai perempuan yang tegar.
Sulung dari tiga bersaudara ini sudah merasakan kesedihan jauh-jauh hari sebelum kebakaran meluluhlantahkan kediamannya. Permasalahan finansial yang menimpa orangtuanya membuatnya merasa menjadi tumpuan utama keluarga. Gadis 23 tahun ini bekerja keras untuk membantu kehidupan keluarganya. Khususnya untuk membantu pendidikan kedua adiknya yang masih kecil. Mulai dari bekerja di gudang, menjadi wartawan, dan di konsultan psikologi pernah dirasakannya. Hingga kini naluri kuli tintanya membawanya kembali menjadi seorang jurnalis.
Perkenalanku dengan Suci terjadi sekira dua bulan pertamaku bekerja sebagai wartawan di harian Bontang Post. Kala itu sekira September 2012, Suci diajak Redaktur Pelaksanaku (Redpel) untuk bergabung menjadi wartawan halaman anak muda, Ekspresi. Saat pertama kali melihatnya, aku merasa Suci begitu menikmati pekerjaannya sebagai wartawan muda. Meskipun dia cuma lulusan SMA, tapi semangatnya untuk bekerja mencari dan menulis berita terbilang tinggi. Semangatnya itu yang membuatku tak ingin kalah darinya, apalagi saat itu Suci begitu disanjung-sanjung oleh redaksi berkat produktivitasnya yang tinggi di antara yang lain. Wajar saja, berita yang disajikannya terbilang berita santai.
Tak butuh waktu lama baginya untuk berbaur dengan wartawan-wartawan lain di redaksi. Potensinya begitu terlihat dan namanya segera menjadi buah bibir di antara karyawan berkat karya-karyanya. Bahkan ide halaman buatannya membawa koran kami memenangkan penghargaan desain cetak surat kabar tingkat nasional. Dia menjadi salah satu wartawan andalan kami dan itu semua dilakoninya dengan penuh perjuangan. Berapa banyak waktu yang dilewatkannya demi membesarkan perusahaan, hingga dia melupakan waktu untuk keluarganya dan juga kehidupan pribadinya. Berapa banyak juga air mata dan luapan emosi yang dikeluarkannya demi memuaskan hasrat media kami yang seakan tak pernah cukup sampai kapanpun.
Menjalani hari-hari bersama sebagai juru tinta membuat kami menjadi semakin akrab. Terlebih di awal 2013 kami sama-sama dipromosikan menjadi redaktur dan asisten redaktur. Meja kerja kami saling berdampingan, menciptakan begitu banyak obrolan dan curahan hati di antara kami berdua. Membuatku sedikit mengenalnya, apalagi beberapa kali aku mengedit beritanya dan mengajarinya teknik-teknik penulisan berita yang lebih tepat. Kami pernah bekerja bersama, baik melakukan peliputan bersama-sama atau bekerja sebagai tim untuk halaman Ekspresi. Dan menurutku kami adalah tim yang hebat.
Tapi semuanya sebatas rekan kerja, sebatas sesama wartawan, dan antara redaktur dengan asisten redakturnya, tidak lebih. Aku senang pernah mengenalnya, pernah bekerja bersama dengannya. Kepadaku dia sering mencurahkan isi hatinya, tentang permasalahannya dengan para redaktur, hingga tentang permasalahannya dengan keluarga dan kekasih-kekasihnya. Sebagai seorang wartawan, dia memegang beban yang lebih berat dari yang bisa dipikulnya. Pun sebagai seorang anak dan sebagai seorang kakak, dia memegang beban yang sama di keluarganya. Perjalanan cintanya cukup berliku, hingga pilihan akhirnya jatuh pada seorang pria baik hati yang akan segera dinikahinya. Dan aku bahagia untuk itu.
Menjadi tempatnya berkeluh kesah membuatku kerap memberikannya nasihat, motivasi, dan semangat. Di antaranya aku menasihatinya agar menjadi lebih berani bersuara dan lebih pandai mengatur waktu. Dengan segala kesusahan yang dialaminya, aku tak ingin melihatnya bersedih. Dia sudah seperti adikku sendiri, karenanya aku begitu menyayanginya. Dan ketika dia memutuskan berhenti menjadi wartawan, tak lama sebelum aku pergi, kupikir itu adalah keputusan yang terbaik baginya. Walaupun kemudian dia kembali bekerja di dunia jurnalis namun dengan beban yang berbeda. Dia perempuan yang pantang menyerah.
Meski kami sudah berpisah namun beberapa kali kami sempat menjalin komunikasi. Baik sekadar menanyakan kabar dan obrolan tentang masa-masa menjadi wartawan, maupun obrolan tentang pendidikan tinggi. Suci memang ingin melanjutkan pendidikannya ke pendidikan tinggi di universitas, dan dia tertarik dengan almamaterku, Universitas Terbuka. Karenanya dia sering berkonsultasi tentang bagaimana pendidikan di sana. Sayangnya, keadaan tak memungkinkannya untuk mewujudkan hal tersebut. Membuatku merasa sedih karena aku selalu ingin teman-temanku yang berbakat untuk dapat melanjutkan pendidikan tinggi.
Hampir setahun berlalu sejak komunikasi terakhir kami dan aku mendapatkan kabar yang tidak menyenangkan. Aku begitu sedih saat mendengarnya dan sangat ingin membantu. Namun apa daya kemampuanku saat ini tak memungkinkan untuk itu. Aku memang sengaja tidak menghubunginya, karena aku yakin ada begitu banyak cinta di sana untuk menghiburnya. Aku hanya menulis komentar pendek di jejaring sosialnya untuk menunjukkan empatiku. Yang bisa kulakukan hanya berdoa, mendoakan agar dia diberikan ketabahan dan semoga Tuhan memberikan yang terbaik untuknya.
Uci, begitu biasanya dia disapa, seperti yang kukenal, adalah perempuan yang tegar atas semua masalah yang menimpanya. Dia tak pernah menyerah meskipun berbagai kesulitan menerpanya. Alih-alih mengeluh, dia justru berpikir positif atas segala masalah yang dihadapinya. Kejadian ini, seperti yang diyakininya, adalah ujian dari Tuhan agar dia menjadi lebih baik lagi. Kebakaran ini, katanya, menandakan bahwa Tuhan masih sayang padanya dan keluarganya. Ya, aku yakin itu. Tuhan menyayangimu Suci. Bangkitlah dan jadilah yang terbaik yang bisa kamu lakukan, dan buatlah keluargamu bangga. Doaku bersamamu. Aamiin. (luk)
Bantu kami untuk lebih dekat denganMu...
Hidup kami di dunia hanya seruas jari...
Sedangkan kekal hanya di AkhiratMu...
Terima kasih atas teguranMu...
Bentuk kasih sayangMu, cinta kasihMu...
-- Suci Surya Dewi--
Awal Ramadan ini aku mendapat kabar duka dari rekan jurnalisku di Kaltim Post. Di hari pertama Ramadan, dalam perjalanan ke Jakarta, aku mendapat pesan singkat dari temanku Rera di Bontang, yang mengabarkan bahwa Suci, rekan sesama wartawan mengalami musibah kebakaran pada Selasa, 16 Juni 2015, sehari sebelum malam Ramadan. Dalam wartanya, si jago merah melahap habis rumah keluarga Suci hingga rata dengan tanah tak ada yang tersisa. Beruntung Suci beserta keluarganya berhasil menyelamatkan diri dari peristiwa nahas itu.
Tentu saja kabar ini membuatku sedih. Sebelumnya aku sempat membaca sekilas di koran Bontang Post tentang sebuah rumah yang terbakar di daerah Tanjung Laut. Aku tidak menyangka bila rumah itu adalah rumahnya Suci. Aku lantas membuka akun facebook Suci, yang membuatku semakin bertambah sedih. Dia mengunggah foto-foto rumahnya yang habis dilalap api, dan beberapa kali menulis status penuh makna yang menggambarkan kesedihannya sekaligus upayanya untuk dapat tegar menghadapi cobaan yang menimpanya. Dari setiap status dan juga ingatanku akan sosok Suci, aku merasa layak menyebutnya sebagai perempuan yang tegar.
Sulung dari tiga bersaudara ini sudah merasakan kesedihan jauh-jauh hari sebelum kebakaran meluluhlantahkan kediamannya. Permasalahan finansial yang menimpa orangtuanya membuatnya merasa menjadi tumpuan utama keluarga. Gadis 23 tahun ini bekerja keras untuk membantu kehidupan keluarganya. Khususnya untuk membantu pendidikan kedua adiknya yang masih kecil. Mulai dari bekerja di gudang, menjadi wartawan, dan di konsultan psikologi pernah dirasakannya. Hingga kini naluri kuli tintanya membawanya kembali menjadi seorang jurnalis.
Perkenalanku dengan Suci terjadi sekira dua bulan pertamaku bekerja sebagai wartawan di harian Bontang Post. Kala itu sekira September 2012, Suci diajak Redaktur Pelaksanaku (Redpel) untuk bergabung menjadi wartawan halaman anak muda, Ekspresi. Saat pertama kali melihatnya, aku merasa Suci begitu menikmati pekerjaannya sebagai wartawan muda. Meskipun dia cuma lulusan SMA, tapi semangatnya untuk bekerja mencari dan menulis berita terbilang tinggi. Semangatnya itu yang membuatku tak ingin kalah darinya, apalagi saat itu Suci begitu disanjung-sanjung oleh redaksi berkat produktivitasnya yang tinggi di antara yang lain. Wajar saja, berita yang disajikannya terbilang berita santai.
Tak butuh waktu lama baginya untuk berbaur dengan wartawan-wartawan lain di redaksi. Potensinya begitu terlihat dan namanya segera menjadi buah bibir di antara karyawan berkat karya-karyanya. Bahkan ide halaman buatannya membawa koran kami memenangkan penghargaan desain cetak surat kabar tingkat nasional. Dia menjadi salah satu wartawan andalan kami dan itu semua dilakoninya dengan penuh perjuangan. Berapa banyak waktu yang dilewatkannya demi membesarkan perusahaan, hingga dia melupakan waktu untuk keluarganya dan juga kehidupan pribadinya. Berapa banyak juga air mata dan luapan emosi yang dikeluarkannya demi memuaskan hasrat media kami yang seakan tak pernah cukup sampai kapanpun.
Menjalani hari-hari bersama sebagai juru tinta membuat kami menjadi semakin akrab. Terlebih di awal 2013 kami sama-sama dipromosikan menjadi redaktur dan asisten redaktur. Meja kerja kami saling berdampingan, menciptakan begitu banyak obrolan dan curahan hati di antara kami berdua. Membuatku sedikit mengenalnya, apalagi beberapa kali aku mengedit beritanya dan mengajarinya teknik-teknik penulisan berita yang lebih tepat. Kami pernah bekerja bersama, baik melakukan peliputan bersama-sama atau bekerja sebagai tim untuk halaman Ekspresi. Dan menurutku kami adalah tim yang hebat.
Tapi semuanya sebatas rekan kerja, sebatas sesama wartawan, dan antara redaktur dengan asisten redakturnya, tidak lebih. Aku senang pernah mengenalnya, pernah bekerja bersama dengannya. Kepadaku dia sering mencurahkan isi hatinya, tentang permasalahannya dengan para redaktur, hingga tentang permasalahannya dengan keluarga dan kekasih-kekasihnya. Sebagai seorang wartawan, dia memegang beban yang lebih berat dari yang bisa dipikulnya. Pun sebagai seorang anak dan sebagai seorang kakak, dia memegang beban yang sama di keluarganya. Perjalanan cintanya cukup berliku, hingga pilihan akhirnya jatuh pada seorang pria baik hati yang akan segera dinikahinya. Dan aku bahagia untuk itu.
Menjadi tempatnya berkeluh kesah membuatku kerap memberikannya nasihat, motivasi, dan semangat. Di antaranya aku menasihatinya agar menjadi lebih berani bersuara dan lebih pandai mengatur waktu. Dengan segala kesusahan yang dialaminya, aku tak ingin melihatnya bersedih. Dia sudah seperti adikku sendiri, karenanya aku begitu menyayanginya. Dan ketika dia memutuskan berhenti menjadi wartawan, tak lama sebelum aku pergi, kupikir itu adalah keputusan yang terbaik baginya. Walaupun kemudian dia kembali bekerja di dunia jurnalis namun dengan beban yang berbeda. Dia perempuan yang pantang menyerah.
Meski kami sudah berpisah namun beberapa kali kami sempat menjalin komunikasi. Baik sekadar menanyakan kabar dan obrolan tentang masa-masa menjadi wartawan, maupun obrolan tentang pendidikan tinggi. Suci memang ingin melanjutkan pendidikannya ke pendidikan tinggi di universitas, dan dia tertarik dengan almamaterku, Universitas Terbuka. Karenanya dia sering berkonsultasi tentang bagaimana pendidikan di sana. Sayangnya, keadaan tak memungkinkannya untuk mewujudkan hal tersebut. Membuatku merasa sedih karena aku selalu ingin teman-temanku yang berbakat untuk dapat melanjutkan pendidikan tinggi.
Hampir setahun berlalu sejak komunikasi terakhir kami dan aku mendapatkan kabar yang tidak menyenangkan. Aku begitu sedih saat mendengarnya dan sangat ingin membantu. Namun apa daya kemampuanku saat ini tak memungkinkan untuk itu. Aku memang sengaja tidak menghubunginya, karena aku yakin ada begitu banyak cinta di sana untuk menghiburnya. Aku hanya menulis komentar pendek di jejaring sosialnya untuk menunjukkan empatiku. Yang bisa kulakukan hanya berdoa, mendoakan agar dia diberikan ketabahan dan semoga Tuhan memberikan yang terbaik untuknya.
Uci, begitu biasanya dia disapa, seperti yang kukenal, adalah perempuan yang tegar atas semua masalah yang menimpanya. Dia tak pernah menyerah meskipun berbagai kesulitan menerpanya. Alih-alih mengeluh, dia justru berpikir positif atas segala masalah yang dihadapinya. Kejadian ini, seperti yang diyakininya, adalah ujian dari Tuhan agar dia menjadi lebih baik lagi. Kebakaran ini, katanya, menandakan bahwa Tuhan masih sayang padanya dan keluarganya. Ya, aku yakin itu. Tuhan menyayangimu Suci. Bangkitlah dan jadilah yang terbaik yang bisa kamu lakukan, dan buatlah keluargamu bangga. Doaku bersamamu. Aamiin. (luk)