Nah, dalam kondisi seperti ini, yang bisa kulakukan hanya berdoa, berharap tiba-tiba muncul berita. Atau bahasa kiasannya, berharap berita turun dari langit. Terkadang harapanku ini terjawab, tapi terkadang juga tidak terjawab. Saat terjawab, betapa senang rasa hatiku mendapatkan anugerah berita yang kunantikan. Biasanya ada banyak cara Tuhan menurunkan berita itu. Sementara bila Tuhan tidak menjawab harapanku, maka aku mesti bersiap mendapat amarah dari redakturku. Yeah.
Salah satu 'berharap berita turun dari langit' yang sukses, misalnya saat Bang Imet, wartawan senior Samarinda Pos memberikan beritanya tentang keberhasilan Pemkot meraih Adipura Kencana. Kamis itu, aku memang sedang kesulitan berita. Dan Bang Imet yang duduk mengetik di sampingku lantas menawariku berita keberhasilan Pemkot meraih Adipura Kencana, seraya menyodorkan dokumen yang menyatakan hal itu. Aku hanya tersentak, "Luar biasa! Bontang akhirnya meraih Adipura Kencana!"
Kupinjam dokumen itu untuk kufotokopi dan kutelaah lebih dalam. Lantas kuolah menjadi beritaku sendiri, dengan hasil wawancara yang kudapatkan dari Bang Imet. Menurut Bang Imet, hal seperti ini diperbolehkan, karena kami berada dalam satu grup Kaltim Post. Bang Imet sendiri sering menyadur beritaku dan mengirimkannya ke Samarinda Pos dengan menggunakan inisialnya. Tapi bagiku, hal seperti ini harus kuhindari. Meminta berita dari wartawan lain bukanlah hal yang terpuji. Dan aku tidak akan melakukannya kecuali memang terpaksa dan wartawan yang kumintrai berita tersebut berasal dari grup yang sama. Walaupun aku juga pernah meminta berita dari wartawan media lain, yang sempat membuatku waswas.
Dan, satu berita kuselesaikan siang itu, menjadikannya berita opening atau headline pada edisi Jumat. Tanpa kuduga, beritaku ini menjadi berita yang menghebohkan, dan membuatku diundang Pemkot Bontang untuk ikut ke Istana Negara Jakarta, untuk meliput pemberian Piala Adipura Kencana dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kepada Wali Kota Bontang Adi Darma.
Sayangnya, permintaan itu ditolak oleh Pak Bos, dengan alasan keberadaanku sedang dibutuhkan di redaksi. Mengingat jabatanku bukan lagi wartawan murni, melainkan merangkap menjadi asisten redaktur. Selain itu, aku juga sudah mencicipi rasanya dinas keluar daerah. So, kesempatan langka itu diserahkan pada wartawan lain, yang menurutku layak menerimanya. Walaupun menurut Bang Imet semestinya akulah yang berangkat karena akulah yang menulis berita itu.
Well, lupakan berita Adipura Kencana. Beralih ke cerita lain tentang harapan yang menjadi kenyataan. Sebagai wartawan utama halaman 1, tentunya aku harus menulis berita-berita yang menjual dan keras. Ini bukan hal yang mudah bila dibandingkan berita lain khususnya berita advetorial yang berciri khas pencitraan. Kadang saat tengah galau terduduk di meja kerjaku, ada saja berita yang datang menghampiri. entah itu Pak Bos yang menyuruhku menulis berita advetorial atau berita kaki kegiatan perusahaan, atau ada pihak-pihak yang datang atau menelepon padaku, menyampaikan berita yang menarik.
Sebenarnya, wartawan tidak selamanya mencari berita. Terkadang, justru beritalah yang mencari wartawan. Hal ini biasa terjadi pada wartawan-wartawan lapangan yang telah memiliki banyak relasi. Sehingga, ketika terjadi peristiwa penting dan menarik, relasi tersebut lantas menghubungi sang wartawan untuk menyampaikan informasi, untuk kemudian langsung dieksekusi oleh wartawan. Hal ini kerap kali terjadi padaku. Misalnya seperti berita kebakaran, banjir, politik, dan kejadian-kejadian lainnya yang disampaikan oleh relasi-relasiku. Biasanya, aku langsung antusias bila informasi yang disampaikan tersebut memiliki nilai jual berita. Sebaliknya, aku menjadi kesal bila ternyata informasi tersebut sebatas pencitraan. Tapi ini tidak berlaku apabila berita yang ingin disampaikan berupa advetorial atau society, yang tentunya ada bayarannya. Hehehe.
Namun, seorang wartawan dianggap wartawan sejati bila dia terjun langsung ke lapangan dan meliput secara langsung momen-momen yang terjadi. Sehingga, dia bisa menuliskan berita dengan sekomprehensif mungkin. Berbeda bila wartawan hanya mengandalkan wawancara telepon, dan malas beranjak dari meja kerjanya, sembari menghabiskan waktu berselancar gak jelas di dunia maya (well, itu aku... terkadang). Karena kekuatan seorang wartawan adalah melukiskan suasana, ke dalam berita yang ditulisnya sehingga pembaca dapat memahami dan merasakan atmosfer yang ada. Hanya saja, berharap berita turun dari langit terkadang mujarab. Tapi seringnya, harapan itu tidak terwujud dan membuat sang wartawan kena omel redaktur. Kalau (luk)