(sambungan dari bagian 2)
Aku tak yakin bisa menggapai impianku menjadi juara kelas di tahun terakhirku di SMA. Pasalnya, banyak anak yang menurutku jauh lebih pintar dariku. Yang aku heran, ada seorang teman yang justru menjagokanku menjadi juara satu. Aku sih menanggapinya dengan dingin. Ya...masa lalu yang membuatku seperti itu. Aku berpikir, kalaupun menjadi juara, paling-paling hanya juara dua, dan juara satunya adalah anak perempuan, seperti yang pernah dua kali kualami. Aku berpikiran seperti itu karena anak-anak pintar di kelasku didominasi oleh anak-anak perempuan.
Dugaanku salah! Justru...justru di tahun terakhir itulah aku meraih mimpiku. Justru di tahun terakhir yang penuh warna itulah aku berhasil meraih apa yang selama ini selalu luput. Aku berhasil menjadi juara pertama. Aku berhasil meraih gelar juara di kelas. Aku berhasil, aku berhasil!
Ibuku begitu gembira kala mengetahuinya, apalagi aku! Teman-temanku pun gembira mengetahui hal itu. Inilah yang tidak aku sangka, teman-temanku merasa senang dengan keberhasilanku! Aku benar-benar merasa memiliki teman-teman terbaik di dunia. Bahkan, sainganku atau musuhku pun merasa senang dan salut atas keberhasilanku. Ini...ini benar-benar episode sang juara.
Ya...bagaimanapun suatu keberhasilan pastilah ada ujiannya. Dan itulah yang aku dapati. Aku baru merasakan kalau tidak selamanya menjadi juara itu menyenangkan. Teman-temanku ternyata sangat berharap pada bantuanku. Mereka hampir selalu meminta bantuan padaku. Aku sih oke-oke saja, selama aku bisa membantu teman-teman, apa salahnya? Namun, lama kelamaan mereka keluar dari batasnya. Mereka lebih memilih cara cepat dengan menyontek dariku daripada belajar bersamaku. Inilah yang sangat menggangguku. Bukannya aku tidak mau membantu teman-teman, bukannya aku pelit ataupun sombong, tapi membiarkan teman-temanku menyontek dan tidak mau belajar, apakah itu yang disebut teman?
Aku pun mulai berubah. Aku mulai menahan diri. Sikapku ini rupanya tidak disukai teman-temanku. Mereka menganggapku sombong, pelit, atau apalah yang mereka sebut itu. Biar, biarkan saja, batinku. Tapi-tapi aku tidak kuat menahan semua cercaan dan ejekan-ejekan itu. Aku merasa bersalah. Di satu sisi aku ingin membantu teman-temanku, tapi di sisi lain aku tidak ingin teman-temanku menyontek. Ditambah lagi, musuhku semakin membenciku. Dia bahkan berani mengumpatku kasar saat ujian berlangsung karena aku tidak membantunya.
Saat itu aku merasa jatuh. Aku tak menyangka menjadi juara harus menghadapi masalah seperti ini. Beruntung, aku memiliki sahabat dan juga saudara. Mereka selalu mendukungku. Mereka selalu memberiku motivasi untuk menjadi diri sendiri. Motivasi yang terakhir kudapatkan dari cinta pertamaku, kini datang lagi. Terima kasih sahabat dan adikku tersayang. Untunglah, walaupun tidak semuanya, teman-temanku mulai belajar bersamaku dan memutuskan untuk tidak menyontek padaku.
Satu masalah selesai, muncul masalah lain. Statusku sebagai juara kelas membuatku merasa takut. Seolah, tanggung jawab besar ada di pundakku. Entah kenapa, aku sangat takut. Aku takut kalau aku tidak berhasil lulus dari SMA. Ketakutan ini datang kembali dan terasa sangat mengerikan. Apa jadinya kalau seorang juara kelas tidak lulus ujian nasional? Pastilah sangat memalukan. Akhirnya kusadari, inilah risiko memegang nama besar. Aku pun bersyukur ketakutanku ini hilang setelah aku berkonsultasi dengan temanku di kelas satu SMA yang juga seorang juara kelas. Yang aku lakukan kemudian hanyalah belajar dengan tekun dan juga berdoa kepada Tuhan. Bukankah seperti itu, manusia yang berusaha, Tuhan yang menentukan. Setelah kita berusaha, barulah kita menyerahkan semuanya kepada Tuhan. Bila ada usaha kita yang tidak berhasil, Tuhan pasti memiliki rencana lain.
Dan ujian nasional pun datang. Aku melepas semua beban agar bisa mengerjakan ujian. Beruntung, sainganku atau musuhku itu tak berada dalam satu ruangan. Aku pun bisa lega walaupun tentu saja aku masih harus membantu teman-temanku yang lain. Bagaimanapun, aku tak ingin melihat teman-temanku gagal dalam ujian mereka. Aku tidak mau melihat teman-temanku tidak lulus sementara aku lulus. Untunglah, teman-teman mengerti. Mereka tidak seliar dulu ketika meminta bantuan. Inilah yang membuatku senang. Aku pun bisa membantu mereka dengan perasaan yang senang, tenang, lega, dan tanpa tekanan seperti yang kualami dulu.
Menunggu pengumuman hasil ujian adalah saat-saat paling tidak menyenangkan. Betapa aku merasa tidak pasti dengan apa yang akan terjadi. Hingga akhirnya hari penentuan itu pun datang.
Aku lulus! Aku lulus! Aku berhasil! Betapa gembiranya aku mengetahui kelulusanku. Apalagi aku lulus dengan nilai terbaik, terbaik ketiga di sekolah bahkan. Benar-benar prestasi yang membanggakan. Tapi kebahagiaanku itu bercampur dengan kesedihan. Hal ini dikarenakan ada dua teman baikku yang tidak lulus. Satu teman sekelasku dan satunya teman lain kelas. Aku tak menyangka kalau keduanya akan gagal. Mereka dikenal sebagai anak-anak yang pintar, karena itulah aku tak percaya saat mendengar mereka tidak lulus. Aku ingin sekali membantu, tapi apa yang aku bisa? Kita memang tidak bisa melawan ketentuan Tuhan.
Itulah, itulah episode sang juara yang telah ku alami. Sebuah episode yang sangat indah, yang akan selalu ada dalam kenangan. Di tahun terakhir...di tahun terakhirku selama dua belas tahun bersekolah, dari SD hingga SMA, aku berhasil meraihnya. Episode yang sangat misterius, yang mana kita tidak dapat menebak kapan episode ini datang.
Aku pun menggakhiri episode ini dengan sangat manis. Aku meminta maaf pada teman yang tak pernah sekalipun aku ingin bermusuhan dengannya. Kami saling menjabat tangan erat. Ya, persaingan memang selalu dirindukan, tapi siapa sih yang menginginkan permusuhan?
Saudaraku, gadis berjilbab yang sudah kuanggap sebagai adikku itu, ternyata menghasilkan sebuah perasaan tersendiri di hatiku. Memang aku kalah dari dia karena dia berhasil lulus terbaik kedua di sekolah, tapi aku senang. Aku pun senang kala mengetahui kami sama-sama meraih juara kedua di semester genap. Karena dialah aku mengerti apa itu arti saudara. Karena dialah aku mengerti bagaimana mengasihi itu walaupun terlihat sulit. Karena dia pula aku mengerti bagaimana memahami. Dan bagaimanapun perasaanku kepadanya, aku hanya bisa menjadi kakaknya. Tak lebih...
Dan untuk temanku yang telah kuanggap sebagai sahabat, kenangan pertandingan bulutangkis itu takkan pernah aku lupa. Aku mungkin kalah saat dia berhasil merebut gelar juara kelasku di semester genap. Aku mungkin kalah dalam pertandingan bulutangkis melawannya. Namun, kehadirannya telah memberikan arti tersendiri di hatiku. Bahwa kita tak bisa sendiri. Kita membutuhkan apa yang disebut dengan teman.
Itulah...itulah episode sang juaraku. Episode yang penuh dengan perjuangan dan lelehan keringat. Episode yang sangat menenangkan hati. Aku berharap episode ini akan datang kembali, suatu saat. Namun meskipun episode ini tak terulang, aku sudah cukup bahagia mengingatnya. (luk/selesai)
Aku tak yakin bisa menggapai impianku menjadi juara kelas di tahun terakhirku di SMA. Pasalnya, banyak anak yang menurutku jauh lebih pintar dariku. Yang aku heran, ada seorang teman yang justru menjagokanku menjadi juara satu. Aku sih menanggapinya dengan dingin. Ya...masa lalu yang membuatku seperti itu. Aku berpikir, kalaupun menjadi juara, paling-paling hanya juara dua, dan juara satunya adalah anak perempuan, seperti yang pernah dua kali kualami. Aku berpikiran seperti itu karena anak-anak pintar di kelasku didominasi oleh anak-anak perempuan.
Dugaanku salah! Justru...justru di tahun terakhir itulah aku meraih mimpiku. Justru di tahun terakhir yang penuh warna itulah aku berhasil meraih apa yang selama ini selalu luput. Aku berhasil menjadi juara pertama. Aku berhasil meraih gelar juara di kelas. Aku berhasil, aku berhasil!
Ibuku begitu gembira kala mengetahuinya, apalagi aku! Teman-temanku pun gembira mengetahui hal itu. Inilah yang tidak aku sangka, teman-temanku merasa senang dengan keberhasilanku! Aku benar-benar merasa memiliki teman-teman terbaik di dunia. Bahkan, sainganku atau musuhku pun merasa senang dan salut atas keberhasilanku. Ini...ini benar-benar episode sang juara.
Ya...bagaimanapun suatu keberhasilan pastilah ada ujiannya. Dan itulah yang aku dapati. Aku baru merasakan kalau tidak selamanya menjadi juara itu menyenangkan. Teman-temanku ternyata sangat berharap pada bantuanku. Mereka hampir selalu meminta bantuan padaku. Aku sih oke-oke saja, selama aku bisa membantu teman-teman, apa salahnya? Namun, lama kelamaan mereka keluar dari batasnya. Mereka lebih memilih cara cepat dengan menyontek dariku daripada belajar bersamaku. Inilah yang sangat menggangguku. Bukannya aku tidak mau membantu teman-teman, bukannya aku pelit ataupun sombong, tapi membiarkan teman-temanku menyontek dan tidak mau belajar, apakah itu yang disebut teman?
Aku pun mulai berubah. Aku mulai menahan diri. Sikapku ini rupanya tidak disukai teman-temanku. Mereka menganggapku sombong, pelit, atau apalah yang mereka sebut itu. Biar, biarkan saja, batinku. Tapi-tapi aku tidak kuat menahan semua cercaan dan ejekan-ejekan itu. Aku merasa bersalah. Di satu sisi aku ingin membantu teman-temanku, tapi di sisi lain aku tidak ingin teman-temanku menyontek. Ditambah lagi, musuhku semakin membenciku. Dia bahkan berani mengumpatku kasar saat ujian berlangsung karena aku tidak membantunya.
Saat itu aku merasa jatuh. Aku tak menyangka menjadi juara harus menghadapi masalah seperti ini. Beruntung, aku memiliki sahabat dan juga saudara. Mereka selalu mendukungku. Mereka selalu memberiku motivasi untuk menjadi diri sendiri. Motivasi yang terakhir kudapatkan dari cinta pertamaku, kini datang lagi. Terima kasih sahabat dan adikku tersayang. Untunglah, walaupun tidak semuanya, teman-temanku mulai belajar bersamaku dan memutuskan untuk tidak menyontek padaku.
Satu masalah selesai, muncul masalah lain. Statusku sebagai juara kelas membuatku merasa takut. Seolah, tanggung jawab besar ada di pundakku. Entah kenapa, aku sangat takut. Aku takut kalau aku tidak berhasil lulus dari SMA. Ketakutan ini datang kembali dan terasa sangat mengerikan. Apa jadinya kalau seorang juara kelas tidak lulus ujian nasional? Pastilah sangat memalukan. Akhirnya kusadari, inilah risiko memegang nama besar. Aku pun bersyukur ketakutanku ini hilang setelah aku berkonsultasi dengan temanku di kelas satu SMA yang juga seorang juara kelas. Yang aku lakukan kemudian hanyalah belajar dengan tekun dan juga berdoa kepada Tuhan. Bukankah seperti itu, manusia yang berusaha, Tuhan yang menentukan. Setelah kita berusaha, barulah kita menyerahkan semuanya kepada Tuhan. Bila ada usaha kita yang tidak berhasil, Tuhan pasti memiliki rencana lain.
Dan ujian nasional pun datang. Aku melepas semua beban agar bisa mengerjakan ujian. Beruntung, sainganku atau musuhku itu tak berada dalam satu ruangan. Aku pun bisa lega walaupun tentu saja aku masih harus membantu teman-temanku yang lain. Bagaimanapun, aku tak ingin melihat teman-temanku gagal dalam ujian mereka. Aku tidak mau melihat teman-temanku tidak lulus sementara aku lulus. Untunglah, teman-teman mengerti. Mereka tidak seliar dulu ketika meminta bantuan. Inilah yang membuatku senang. Aku pun bisa membantu mereka dengan perasaan yang senang, tenang, lega, dan tanpa tekanan seperti yang kualami dulu.
Menunggu pengumuman hasil ujian adalah saat-saat paling tidak menyenangkan. Betapa aku merasa tidak pasti dengan apa yang akan terjadi. Hingga akhirnya hari penentuan itu pun datang.
Aku lulus! Aku lulus! Aku berhasil! Betapa gembiranya aku mengetahui kelulusanku. Apalagi aku lulus dengan nilai terbaik, terbaik ketiga di sekolah bahkan. Benar-benar prestasi yang membanggakan. Tapi kebahagiaanku itu bercampur dengan kesedihan. Hal ini dikarenakan ada dua teman baikku yang tidak lulus. Satu teman sekelasku dan satunya teman lain kelas. Aku tak menyangka kalau keduanya akan gagal. Mereka dikenal sebagai anak-anak yang pintar, karena itulah aku tak percaya saat mendengar mereka tidak lulus. Aku ingin sekali membantu, tapi apa yang aku bisa? Kita memang tidak bisa melawan ketentuan Tuhan.
Itulah, itulah episode sang juara yang telah ku alami. Sebuah episode yang sangat indah, yang akan selalu ada dalam kenangan. Di tahun terakhir...di tahun terakhirku selama dua belas tahun bersekolah, dari SD hingga SMA, aku berhasil meraihnya. Episode yang sangat misterius, yang mana kita tidak dapat menebak kapan episode ini datang.
Aku pun menggakhiri episode ini dengan sangat manis. Aku meminta maaf pada teman yang tak pernah sekalipun aku ingin bermusuhan dengannya. Kami saling menjabat tangan erat. Ya, persaingan memang selalu dirindukan, tapi siapa sih yang menginginkan permusuhan?
Saudaraku, gadis berjilbab yang sudah kuanggap sebagai adikku itu, ternyata menghasilkan sebuah perasaan tersendiri di hatiku. Memang aku kalah dari dia karena dia berhasil lulus terbaik kedua di sekolah, tapi aku senang. Aku pun senang kala mengetahui kami sama-sama meraih juara kedua di semester genap. Karena dialah aku mengerti apa itu arti saudara. Karena dialah aku mengerti bagaimana mengasihi itu walaupun terlihat sulit. Karena dia pula aku mengerti bagaimana memahami. Dan bagaimanapun perasaanku kepadanya, aku hanya bisa menjadi kakaknya. Tak lebih...
Dan untuk temanku yang telah kuanggap sebagai sahabat, kenangan pertandingan bulutangkis itu takkan pernah aku lupa. Aku mungkin kalah saat dia berhasil merebut gelar juara kelasku di semester genap. Aku mungkin kalah dalam pertandingan bulutangkis melawannya. Namun, kehadirannya telah memberikan arti tersendiri di hatiku. Bahwa kita tak bisa sendiri. Kita membutuhkan apa yang disebut dengan teman.
Itulah...itulah episode sang juaraku. Episode yang penuh dengan perjuangan dan lelehan keringat. Episode yang sangat menenangkan hati. Aku berharap episode ini akan datang kembali, suatu saat. Namun meskipun episode ini tak terulang, aku sudah cukup bahagia mengingatnya. (luk/selesai)