Tanggal 7 Februari 2015, tepat dua puluh tahun telah berlalu sejak kematian ayahku. Aku mencoba mengenangnya kembali melalui tulisan di blog ini. Tak banyak yang bisa kuingat dari sosok ayahku mengingat aku masih sangat kecil saat beliau meninggal dunia. Tapi ada satu kenangan yang sekilas membuatku bisa mengingat sosok beliau, yaitu kenangan akan permainan video game.
Malam itu, aku ingat ibu menyuruhku dan kakakku untuk tidur, tapi kami tidak bisa (atau tepatnya tidak tidur) karena melihat ayahku bermain game di kamar. Ibuku pun marah-marah pada ayah dan memintanya untuk mematikan game, tapi ayahku tetap asyik memainkan Mario menginjak pasukan kura-kura Koopa. Televisi kecil 14 inchi kami memang diletakkan di dalam kamar, sehingga aku dan kakakku bisa melihat ayah bermain game. Melihat ayah bermain game, tentu saja kami menjadi tertarik dan sulit untuk memejamkan mata. Ya, ayahku adalah seorang gamer.
Ayah adalah seorang polisi dengan jadwal kerja yang ketat seperti family man lainnya, berangkat pagi pulang malam. Dengan beban pekerjaan yang dipikulnya sebagai penegak hukum, tentunya pekerjaannya begitu melelahkan sehingga sudah sewajarnya bila beliau akan langsung beristirahat sepulang kerja. Tapi yang dilakukan ayahku bukannya beristirahat, melainkan justru menyalakan mesin Nintendo Entertainment System (NES) atau yang sering disebut Nintendo milik kami.
Segera saja ayah tenggelam dalam permainan Super Mario Bros. atau Tetris, dua judul game yang kemudian menjadi judul favoritku itu. Dan bila ayah sudah asyik bermain, perhatiannya akan terfokus penuh pada layar televisi, tidak bisa diganggu. Tak hanya mesin game rumahan, ayah juga pemain Game Watch (biasa disebut gimbot/Brick Game) yang hebat. Aku ingat saat ayah pergi ke Samarinda dulu dan pulangnya membawa dua buah Game Watch untuk kami mainkan. Aku ingat betapa senangnya aku keluar rumah menyambut kedatangan ayah sore itu. Aku bahkan sangat antusias saat menerima Game Watch dari ayah hingga aku bernyanyi-nyanyi senang, sebagaimana yang dikatakan oleh pamanku yang mengingat kejadian itu.
Malam itu, aku ingat ibu menyuruhku dan kakakku untuk tidur, tapi kami tidak bisa (atau tepatnya tidak tidur) karena melihat ayahku bermain game di kamar. Ibuku pun marah-marah pada ayah dan memintanya untuk mematikan game, tapi ayahku tetap asyik memainkan Mario menginjak pasukan kura-kura Koopa. Televisi kecil 14 inchi kami memang diletakkan di dalam kamar, sehingga aku dan kakakku bisa melihat ayah bermain game. Melihat ayah bermain game, tentu saja kami menjadi tertarik dan sulit untuk memejamkan mata. Ya, ayahku adalah seorang gamer.
Ayah adalah seorang polisi dengan jadwal kerja yang ketat seperti family man lainnya, berangkat pagi pulang malam. Dengan beban pekerjaan yang dipikulnya sebagai penegak hukum, tentunya pekerjaannya begitu melelahkan sehingga sudah sewajarnya bila beliau akan langsung beristirahat sepulang kerja. Tapi yang dilakukan ayahku bukannya beristirahat, melainkan justru menyalakan mesin Nintendo Entertainment System (NES) atau yang sering disebut Nintendo milik kami.
Segera saja ayah tenggelam dalam permainan Super Mario Bros. atau Tetris, dua judul game yang kemudian menjadi judul favoritku itu. Dan bila ayah sudah asyik bermain, perhatiannya akan terfokus penuh pada layar televisi, tidak bisa diganggu. Tak hanya mesin game rumahan, ayah juga pemain Game Watch (biasa disebut gimbot/Brick Game) yang hebat. Aku ingat saat ayah pergi ke Samarinda dulu dan pulangnya membawa dua buah Game Watch untuk kami mainkan. Aku ingat betapa senangnya aku keluar rumah menyambut kedatangan ayah sore itu. Aku bahkan sangat antusias saat menerima Game Watch dari ayah hingga aku bernyanyi-nyanyi senang, sebagaimana yang dikatakan oleh pamanku yang mengingat kejadian itu.
Meski seorang gamer, namun ayah sangat peduli terhadap pendidikan anak-anaknya. Beliau memang mengizinkan aku dan kakakku bermain game pada waktu-waktu bermain. Sebaliknya, beliau akan melarang keras kami berdua bermain game bila tiba waktu belajar. Ayahku sangat keras mengenai hal ini, dan itu meninggalkan bekas yang dalam pada diri kakakku dan juga diriku. Aku ingat jelas bagaimana ayahku dulu membekap mulutku keras hingga aku menangis meronta-ronta dulu. Aku tahu, ayahku hanya menjalankan tugasnya sebagai seorang ayah, yang baru bisa kami pahami saat kami dewasa.
Ada kalanya kami bermain game bersama, menciptakan kenangan indah di dalam keluarga. Super Mario Bros. dan Battle City (Tank 1990) adalah game yang sering kami mainkan bersama, karena memiliki fitur multiplayer. Kami bahkan memainkan Battle City dengan sangat serius, saling bekerja sama antara ayah dan anak untuk menghancurkan setiap tank lawan sekaligus mencegah mereka menghancurkan markas kami yang kami sebut Garuda karena bentuknya seperti burung Garuda. Karenanya, setiap kali aku dan kakakku memainkan dua game ini, kami akan selalu teringat kenangan saat memainkannya bersama ayah. Selain bermain video game bersama, kami juga seringkali bermain game papan seperti monopoli bersama-sama. Itulah kenapa video game dan monopoli begitu dekat dengan kami.
Saat-saat indah itu memang telah hilang begitu saja, berbekas kenangan di dalam memoriku. Kematian memisahkan kami selamanya, menghentikan momen bermain bersama ayah. Ayah meninggal di tahun 1995, saat aku masih berumur tujuh tahun. Sejak itu kami tidak pernah bermain bersama lagi. Tapi memang benar, bahwa orang yang kita cintai selalu hidup di hati kita biarpun raga mereka telah mati. Kenangan indah akan kehadiran merekalah yang menjadikannya senantiasa hidup abadi. Dalam hal ini, video game yang mengingatkanku pada kenangan indah bersama ayah itu.
Beberapa tahun setelah kematian ayah, terkadang aku dan kakakku memainkan kembali game Super Mario Bros. dan Battle City secara bersama-sama. Kami bermain bersama dengan asyiknya, sebagaimana yang dulu kami lakukan bersama ayah. Pada sela-sela permainan itu, kakak biasanya bercerita betapa dia sangat menikmati permainan bersama ayah dulu. Kami berdua pun akan selalu terkenang pada masa-masa itu apabila kami memainkan dua game itu bersama-sama. Entah mengapa kami seperti merasakan kebaradaan ayah di antara kami berdua saat kami memainkan dua game itu kembali. Seolah ayah ingin mendampingi kami berdua memainkan game favorit kami tersebut.
Ada kalanya kami bermain game bersama, menciptakan kenangan indah di dalam keluarga. Super Mario Bros. dan Battle City (Tank 1990) adalah game yang sering kami mainkan bersama, karena memiliki fitur multiplayer. Kami bahkan memainkan Battle City dengan sangat serius, saling bekerja sama antara ayah dan anak untuk menghancurkan setiap tank lawan sekaligus mencegah mereka menghancurkan markas kami yang kami sebut Garuda karena bentuknya seperti burung Garuda. Karenanya, setiap kali aku dan kakakku memainkan dua game ini, kami akan selalu teringat kenangan saat memainkannya bersama ayah. Selain bermain video game bersama, kami juga seringkali bermain game papan seperti monopoli bersama-sama. Itulah kenapa video game dan monopoli begitu dekat dengan kami.
Saat-saat indah itu memang telah hilang begitu saja, berbekas kenangan di dalam memoriku. Kematian memisahkan kami selamanya, menghentikan momen bermain bersama ayah. Ayah meninggal di tahun 1995, saat aku masih berumur tujuh tahun. Sejak itu kami tidak pernah bermain bersama lagi. Tapi memang benar, bahwa orang yang kita cintai selalu hidup di hati kita biarpun raga mereka telah mati. Kenangan indah akan kehadiran merekalah yang menjadikannya senantiasa hidup abadi. Dalam hal ini, video game yang mengingatkanku pada kenangan indah bersama ayah itu.
Beberapa tahun setelah kematian ayah, terkadang aku dan kakakku memainkan kembali game Super Mario Bros. dan Battle City secara bersama-sama. Kami bermain bersama dengan asyiknya, sebagaimana yang dulu kami lakukan bersama ayah. Pada sela-sela permainan itu, kakak biasanya bercerita betapa dia sangat menikmati permainan bersama ayah dulu. Kami berdua pun akan selalu terkenang pada masa-masa itu apabila kami memainkan dua game itu bersama-sama. Entah mengapa kami seperti merasakan kebaradaan ayah di antara kami berdua saat kami memainkan dua game itu kembali. Seolah ayah ingin mendampingi kami berdua memainkan game favorit kami tersebut.
Like father like son, mungkin pepatah itu tepat diberikan untukku. Ayahku seorang gamer, dan darah gamer itu juga mengalir dalam darahku. Saat aku beranjak dewasa, video game mewarnai hidupku dan menjadi salah satu kegemaranku. Meski begitu aku bukanlah maniak game seperti anak-anak zaman sekarang yang bisa memainkannya hingga berjam-jam. Aku bermain game pada waktu-waktu senggang, menjadikannya benar-benar sebagai hiburan yang melepaskan kepenatan.
Perjalananku dalam memainkan video game sendiri penuh dengan warna-warni. Ada kalanya video game memberikan dampak negatif padaku, yang sempat membuat nilai ujianku anjlok gara-gara aku keranjingan main game di rental. Ibu pun marah dan aku sangat menyesal. Namun ada kalanya video game memberikan dampak positif padaku, membantuku mencapai puncak prestasi di sekolah dengan menjadi juara kelas. Yaitu melalui game bergenre real-time strategy (RTS) di komputer, yang kala itu membantu mengasah kemampuan otakku.
Tentunya tidak selamanya aku akan bermain game. Aku menyadari bahwa usiaku semakin bertambah, bukan lagi remaja atau anak-anak. Sekarang aku sudah menikah dan memiliki seorang anak. Setelah menikah, apa yang sebelumnya terjadi pada ayahku pun berulang terjadi pada diriku. Istriku kerap memarahiku bila aku main game hingga larut malam, memintaku untuk segera tidur. Bedanya, istriku juga seorang gamer kasual, yang biasanya bermain game untuk mengisi waktu luang. Terkadang kami berdua memainkan video game bersama-sama. Bahkan dia lebih ahli dariku pada beberapa game, di antaranya Rocket Mania, Magic Ball 2, dan The New Tetris.
Semakin dewasa seseorang, semestinya memikirkan hal yang lebih penting dari sekadar bermain game. Inikan hanya sekedar hiburan, bagi mereka yang mampu memahaminya dengan baik. Karenanya, apa yang dilakukan ibu dan istriku sebenarnya merupakan bentuk kepedulian dan rasa sayang. Menjaga kesehatan tubuh setelah seharian bekerja jauh lebih utama daripada memaksakan diri bermain video game. Dan kenyataannya, memainkan video game dalam kondisi tubuh yang lelah, tidak fit, atau sedang sakit, sebenarnya berakibat buruk bagi kesehatan.
Sebagaimana yang kukatakan sebelumnya, Aku memainkan game sebagai penghilang suntuk, sarana hiburan, media refreshing melepas kepenatan setelah bekerja. Karenanya aku memainkannya hanya bila aku butuh, bukan karena aku ingin. Meski begitu terkadang aku memainkannya dengan serius sekadar penasaran dengan kualitas suatu game atau penasaran dengan jalan ceritanya. Tapi aku tidak memaksakan diri, mesti melihat situasi dan kondisi. Well, bagaimanapun aku adalah seorang gamer. Bagiku, gamer sejati adalah mereka yang menikmati waktu bermainnya, yang dapat berlaku bijak pada waktu kehidupannya.
Dan sebagaimana kegemaran ayahku yang turun padaku, bukan tidak mungkin bila kelak anakku pun menggemari permainan video ini. Tapi tak ada jaminan bahwa anakku kelak juga akan menjadi seorang gamer seperti ayah dan kakeknya, mewarisi darah gamer dari kami berdua. Mungkin pula dia tidak akan bangga karena ayahnya seorang gamer dikarenakan tudingan negatif kebanyakan orang pada para gamer. Namun bila dia juga seorang gamer, sudah menjadi tugasku untuk memperhatikan langkahnya, agar di bermain seperlunya, tanpa melupakan ibadah, pendidikan, dan lingkungan sekitar. Aku mungkin akan mengajaknya bermain bersama sesekali.
Like father, like son… seperti ayah, demikian pula putranya. Kenangan akan video game itu tentunya takkan pernah kulupa. Karena kenangan itulah yang membantuku mengingat sosok ayahku yang begitu cepatnya meninggalkanku. Dengan berbekal kenangan indah dalam waktu singkat itu, aku akan selalu berusaha melakukan yang terbaik untuk membuat beliau bangga. Bukan dalam bermain video game, namun dalam hal kehidupan. Video game hanya merupakan sarana bagiku untuk memunculkan kembali kenangan itu, dan mengingatkanku pada sebuah permainan yang harus kumenangkan, sebuah permainan bernama kehidupan. Terima kasih, ayah. Doaku untukmu. (luk)
NB: tulisan ini merupakan revisi tulisanku tahun 2012 yang ada di blog lamaku, typercat18.
Perjalananku dalam memainkan video game sendiri penuh dengan warna-warni. Ada kalanya video game memberikan dampak negatif padaku, yang sempat membuat nilai ujianku anjlok gara-gara aku keranjingan main game di rental. Ibu pun marah dan aku sangat menyesal. Namun ada kalanya video game memberikan dampak positif padaku, membantuku mencapai puncak prestasi di sekolah dengan menjadi juara kelas. Yaitu melalui game bergenre real-time strategy (RTS) di komputer, yang kala itu membantu mengasah kemampuan otakku.
Tentunya tidak selamanya aku akan bermain game. Aku menyadari bahwa usiaku semakin bertambah, bukan lagi remaja atau anak-anak. Sekarang aku sudah menikah dan memiliki seorang anak. Setelah menikah, apa yang sebelumnya terjadi pada ayahku pun berulang terjadi pada diriku. Istriku kerap memarahiku bila aku main game hingga larut malam, memintaku untuk segera tidur. Bedanya, istriku juga seorang gamer kasual, yang biasanya bermain game untuk mengisi waktu luang. Terkadang kami berdua memainkan video game bersama-sama. Bahkan dia lebih ahli dariku pada beberapa game, di antaranya Rocket Mania, Magic Ball 2, dan The New Tetris.
Semakin dewasa seseorang, semestinya memikirkan hal yang lebih penting dari sekadar bermain game. Inikan hanya sekedar hiburan, bagi mereka yang mampu memahaminya dengan baik. Karenanya, apa yang dilakukan ibu dan istriku sebenarnya merupakan bentuk kepedulian dan rasa sayang. Menjaga kesehatan tubuh setelah seharian bekerja jauh lebih utama daripada memaksakan diri bermain video game. Dan kenyataannya, memainkan video game dalam kondisi tubuh yang lelah, tidak fit, atau sedang sakit, sebenarnya berakibat buruk bagi kesehatan.
Sebagaimana yang kukatakan sebelumnya, Aku memainkan game sebagai penghilang suntuk, sarana hiburan, media refreshing melepas kepenatan setelah bekerja. Karenanya aku memainkannya hanya bila aku butuh, bukan karena aku ingin. Meski begitu terkadang aku memainkannya dengan serius sekadar penasaran dengan kualitas suatu game atau penasaran dengan jalan ceritanya. Tapi aku tidak memaksakan diri, mesti melihat situasi dan kondisi. Well, bagaimanapun aku adalah seorang gamer. Bagiku, gamer sejati adalah mereka yang menikmati waktu bermainnya, yang dapat berlaku bijak pada waktu kehidupannya.
Dan sebagaimana kegemaran ayahku yang turun padaku, bukan tidak mungkin bila kelak anakku pun menggemari permainan video ini. Tapi tak ada jaminan bahwa anakku kelak juga akan menjadi seorang gamer seperti ayah dan kakeknya, mewarisi darah gamer dari kami berdua. Mungkin pula dia tidak akan bangga karena ayahnya seorang gamer dikarenakan tudingan negatif kebanyakan orang pada para gamer. Namun bila dia juga seorang gamer, sudah menjadi tugasku untuk memperhatikan langkahnya, agar di bermain seperlunya, tanpa melupakan ibadah, pendidikan, dan lingkungan sekitar. Aku mungkin akan mengajaknya bermain bersama sesekali.
Like father, like son… seperti ayah, demikian pula putranya. Kenangan akan video game itu tentunya takkan pernah kulupa. Karena kenangan itulah yang membantuku mengingat sosok ayahku yang begitu cepatnya meninggalkanku. Dengan berbekal kenangan indah dalam waktu singkat itu, aku akan selalu berusaha melakukan yang terbaik untuk membuat beliau bangga. Bukan dalam bermain video game, namun dalam hal kehidupan. Video game hanya merupakan sarana bagiku untuk memunculkan kembali kenangan itu, dan mengingatkanku pada sebuah permainan yang harus kumenangkan, sebuah permainan bernama kehidupan. Terima kasih, ayah. Doaku untukmu. (luk)
NB: tulisan ini merupakan revisi tulisanku tahun 2012 yang ada di blog lamaku, typercat18.