Satu tahun ini bukan hal yang mudah bagiku. Banyak hal yang berubah dalam hidupku. Garis besarnya, bila dulu aku hidup seorang diri dan semau gue, kini aku hidup berdua dengan istriku. Kami berdua mesti menjalani hidup bersama, dalam membentuk keluarga baru yang kami harapkan berjalan Sakinah, Mawaddah, Warrohmah. Tentu bukan hal yang mudah, karena dalam membina rumah tangga dibutuhkan kerja sama satu sama lain. Tak boleh ada yang egois, harus saling mengayomi.
Di tahun pertama pernikahan kami bukan sekadar diisi dengan kegembiraan, namun juga penuh dengan permasalahan rumah tangga. Cara pikir dan sikap kami berdua yang berbeda, terkadang menimbulkan perselisihan atau pertengkaran. Namun begitu, kami berdua dapat mengatasinya. Terkadang aku yang mengalah, terkadang istriku yang mengalah, atau kami berdua sama-sama mengalah, saling mengakui kesalahan masing-masing. Di sinilah seni pernikahan, di mana masing-masing pihak mesti bisa saling mendengarkan keinginan yang dimiliki.
Berada dalam ikatan pernikahan membuat kami bisa saling menyalurkan rasa kasih dan sayang dengan leluasa. Tak ada dosa, karena setiap perilaku sayang yang kami lakukan bernilai ibadah. Sangat menyenangkan, begitu membahagiakan. Kami menghabiskan banyak waktu berdua bersama. Menikmati kehangatan rumah bersama, berlibur bersama, hingga saling mencurahkan perasaan masing-masing dengan nyaman. Rasanya begitu membahagiakan, seakan dunia hanya milik kami berdua, yang lainnya ngekost.
Tahun pertama ini merupakan tahun di mana aku benar-benar belajar tentang tanggung jawab. Dalam kesendirianku sebelumnya, aku bisa saja begitu asyik dan terbawa dengan pekerjaanku. Namun sebagai seorang suami, aku harus memikirkan istri. Aku harus selalu ingat bahwa ada seorang perempuan yang kusayang, yang menyayangiku, yang menungguku kepulanganku. Sehingga, aku mesti pandai membawa diri, dan membagi porsi seimbang antara keluarga dengan pekerjaan.
Hal ini awalnya sulit untuk kulakukan, dan aku belum terbiasa. Apalagi pekerjaanku kala itu sebagai wartawan merangkap redaktur, yang menuntutku untuk siaga kapan saja dan kerap pulang hingga larut malam. Pekerjaanku ini membuat istriku kerap menungguku pulang hingga larut malam. Bukan itu saja, dia merasa kesepian di kala malam karena tak ada yang menemaninya, mengingat kami hidup mandiri jauh dari keluarga. Meski begitu, terkadang istriku mencari kesibukan sembari menunggu kepulanganku, misalnya dengan berkumpul bersama tetangga, membaca Alquran, atau menonton film di laptop.
Kepulanganku yang sampai pukul 12 malam, membuatnya hampir selalu tertidur saat aku datang. Namun suara sepeda motorku seolah membangunkannya, untuk membukakan pintu menyambut kedatanganku. Terkadang aku merasa sedih dengan kenyataan ini, tapi memang inilah resiko bagi istri pekerja media. Ini berbeda dengan keinginanku menikah saat masih bekerja di bank sebelumnya. Saat itu aku selalu berharap ada seseorang yang menyambut kepulanganku di sore hari, dengan menyunggingkan senyum dan membuatkan minuman. Memang hal itu juga dilakukan istriku, namun dengan kondisinya yang lelah dan mengantuk, membuatku merasa bersalah.
Kini kami berdua telah pindah dari Kota Taman, Bontang ke Kota Tahu, Kediri, kampung halaman istriku. Kami tak lagi hidup berdua, melainkan bersama dengan buah hati kami, putri pertama kami yang kami berni nama Lathifah yang lahir sebulan sebelum peringatan satu tahun pernikahan kami ini. Ya, dalam usia pernikahan kami yang baru setahun, Tuhan telah menganugerahkan karunianya kepada kami berdua. Istriku mengandung pada bulan kedua pernikahan kami, memberikan kebahagiaan tiada tara bagi kami berdua. Dan kini, putri kami tersebut telah menghiasi rumah tangga yang kami landasi ketulusan tersebut.
Pernikahan ini juga mengajarkanku tentang pengorbanan. Bahwa, sebagai seorang suami, aku tidak bisa egois hanya memikirkan kepentinganku saja. Aku mesti mendahulukan kepentingan keluarga, dalam hal ini istriku dan juga anakku. Waktu yang biasanya kugunakan untuk bersenang-senang sendiri, mesti kualihkan untuk mencurahkan kasih sayangku kepada keluarga. Aku pun jadi berpikir dua kali bila ingin mengeluarkan uang untuk suatu keinginanku. Aku mesti mendahulukan keperluan keluargaku, termasuk mesti mengorbankan tenagaku.
Tentunya satu tahun pernikahan belumlah apa-apa bagi pernikahan kami. Tahun pertama ini adalah tahun pemanasan, langkah pertama kami menuju samudera kehidupan yang penuh riak dan ombak. Begitu banyak misteri kehidupan telah menanti kami saat ini, demi beribadah dengan membentuk sebuah keluarga. Dan kami harus siap, bersama menghadapinya. Kami yakin kami bisa menciptakan keluarga kami yang penuh cinta, kasih sayang, dan rahmat. Sebagaimana doa yang kami panjatkan dalam salat berjemaah yang hampir selalu kami lakukan bersama. Semoga Tuhan memberkahi pernikahan kami langgeng selamanya. Aamiin. (bersambung ke 'Jodoh Pasti Bertemu')