Seminggu yang lalu aku melakukan perjalanan mendadak ke Jakarta, menumpang kereta api ekonomi Krakatau. Sebenarnya aku ingin menumpang Brantas, namun karena tiket kereta favoritku itu sudah keburu ludes, aku tidak punya pilihan kecuali menumpang Krakatau yang harga tiketnya jauh lebih mahal walaupun sudah mengalami pemotongan harga. Yeah, harga tiket kereta api sejak era Jonan memang cukup membuat orang merogoh kocek lebih dalam.
Sudah lama aku tidak menumpang kereta api dan ini adalah perjalanan pertamaku sejak terakhir kali menumpanginya empat tahun yang lalu, sebelum aku pergi ke Kalimantan. Aku tidak menyangka bila dalam rentang waktu tersebut, sangat banyak pembenahan dilakukan manajemen PT Kereta Api Indonesia (KAI) guna memaksimalkan pelayanan, khususnya di bawah pimpinan Jonan yang kini menjadi menteri perhubungan. Sebenarnya aku kerap mendengar revolusi pelayanan kereta api ini dari adikku dan juga kubaca di surat kabar. Namun baru kali ini aku merasakannya langsung bagaimana perubahan drastis yang terjadi pada transportasi ular besi ini.
Itu semua dimulai dari pembelian tiket, yang kini mesti mencantumkan identitas diri sebagaimana tertera dalam KTP atau kartu identitas lainnya yang sah. Mungkin tujuannya untuk menghindari calo, distribusi tiket menjadi efektif dan efisien. Berikutnya, kini hanya penumpang yang diperbolehkan memasuki ruang tunggu, sementara akses pengantar hanya sampai lobi stasiun. Situasi ini tentunya membuat momen haru melepas kepergian kerabat (atau mungkin kekasih) dengan melambaikan tangan saat kereta berangkat tak terlihat lagi. Meski begitu peraturan ini membuat suasana area tunggu kereta menjadi lebih rapi dan teratur.
Saat kereta telah datang, siap mengangkut penumpang, muncullah wajah-wajah canti berpakaian serba biru di depan pintu gerbong. Mereka membantu para penumpang mencari gerbong masing-masing sebagaimana yang tertera di tiket. Mereka juga turut serta dalam perjalanan, bertugas layaknya pramugari di pesawat terbang. Sepertinya KAI ingin menampilkan imej bersahabat dengan mempekerjakan pramugari-pramugari tersebut, meniru konsep pelayanan yang ada di pesawat terbang komersil. Kehadiran pramugari tersebut tentunya merupakan hal yang positif, membuat penumpang tak lagi kebingungan mencari gerbongnya. Tentu ini berbeda dengan gambaran lima tahun yang lalu, saat para penumpang berdesakan ingin masuk ke dalam gerbong, yang memungkinkan peluang munculnya aksi pencopetan.
Masuk ke dalam gerbong kereta api membuatku terpana. Kini AC gerbongnya benar-benar berfungsi dengan optimal. AC-nya menyala sepanjang perjalanan, dan gerbongnya pun kini memiliki pintu bagian dalam, memastikan udara AC tak terhambur sia-sia. Sementara jendela di tiap tempat duduk kulihat semuanya tertutup rapat, dengan peringatan untuk segera menutup kembali jendela usai digunakan, peringatan yang sama untuk pintu bagian dalam gerbong. Keberadaan AC ini tentu sangat menyenangkan, sehingga para penumpang tak khawatir untuk merasa kepanasan. Padahal kereta yang kutumpangi ini cuma kereta ekonomi (walaupun menurutku harga tiketnya tidak ekonomis). Sebelumnya, suasana sejuk full-AC hanya bisa dirasakan di kereta-kereta eksekutif bernama depan Argo. Kini, semua penumpang kereta api bisa merasakan kenyamanan itu.
Digunakannya AC secara maksimal ini tentu berimplikasi pada peraturan baru, yaitu dilarang merokok di dalam gerbong. Sebenarnya sih ini bukan peraturan baru bagi transportasi umum, namun sebagaimana fakta yang terjadi sebelum-sebelumnya, banyak perokok yang mengabaikannya dengan menghisap rokok tanpa ba-bi-bu di dalam gerbong kereta. Tak peduli ada penumpang anak-anak atau ibu hamil, para perokok itu terus saja merokok hingga berjam-jam lamanya, menghasilkan asap besar yang memuakkan yang siap membunuhi para perokok pasif di sekitarnya. Kini dalam revolusi KAI, tak ada lagi asap rokok di dalam gerbong. KAI telah memberikan sebuah larangan yang tegas dan tak main-main. Bagaimana tidak, dalam salah satu pengumuman di speaker kereta, masinis mengatakan bakal menurunkan siapa saja penumpang yang kedapatan merokok pada stasiun terdekat. Jadi buat para perokok, mesti bisa menahan hasratnya ngebul-ngebul gak jelas di sepanjang perjalanan (Yeah! Dendamku akhirnya terbalas!).
Penambahan fasilitas bukan berhenti pada AC, melainkan terdapat pula fasilitas-fasilitas lain yang semakin menambah kenyamanan berada di gerbong. Fasilitas tersebut yaitu adanya dua colokan stopkontak yang sangat bermanfaat untuk mengisi ulang daya batere ponsel atau perlengkapan listrik portabel lainnya. Para penumpang pun tak perlu khawatir kehabisan daya batere, karena tinggal colokin charger saja. Makanya kemarin itu seharian penuh aku bisa internetan dengan ponselku untuk mengisi waktu yang membosankan.
Dalam perjalanan, dikarenakan sering minum air putih dan juga udara dingin AC, keinginan untuk buang air kecil pun muncul. Dan aku begitu terkejut saat masuk ke toilet yang ada di gerbong. Toiletnya begitu bersih, dengan kloset model duduk dan wastafel lengkap dengan sabun cuci tangan, cermin, dan tisu toilet. Air di toilet ini mengalir lancar, lantainya pun bersih. Ini tentu berbeda dengan kenanganku sejak aku masih kecil dulu, di mana hampir selalu tidak ada air di toilet, membuat para penumpang mesti membawa botol aqua berisi air untuk cebok dan menyiram. Belum lagi baunya yang pesing berikut pernak-pernik kotoran menghiasi lantainya. Perubahan pada toilet ini membuatku terkesan, karena kini aku tak malas untuk masuk ke dalamnya bila ingin buang air. Aku bahkan beberapa kali buang air di toilet hari itu.
Kebersihan toilet itu rupanya dikarenakan adanya petugas on trip cleaning (OTC), begitu tulisan yang kubaca di seragam mereka. Mereka semacam cleaning service yang berjaga dan berpatroli di sepanjang kereta api untuk membersihkan toilet ataupun lantai gerbong. Penumpang kini tak perlu khawatir mengenai kebersihan gerbong, karena secara berkala para OTC ini berjalan melintasi para penumpang, membersihkan lantai dan menanyakan kepada penumpang apakah ada sampah yang perlu dibuang. Kebersihan kereta pun menjadi terjamin dan penumpang tak perlu membayar pada orang lewat yang tiba-tiba menyapu bawah kursi penumpang lantas menengadahkan tangan meminta bayaran.
Berkat kebijakan yang diambil KAI, orang-orang yang biasanya muncul begitu saja dengan pakaian ala kadarnya itu kini tak ada lagi di atas kereta. Bukan hanya para pembersih dadakan, para penjual dan penjaja makanan minuman serta souvenir pun tak lagi bisa ditemukan di atas gerbong. Rupanya revolusi KAI ini meliputi peraturan yang melarang para pedagang asongan dan sejenis itu berjualan di atas kereta. Aku tak tahu apa alasannya, tapi mungkin itu merupaka langkah untuk menciptakan kenyamanan bagi para penumpang. Kubaca sekilas di media massa, kebijakan ini rupanya ditentang oleh para pedagang asongan tersebut. Namun tampaknya para pedagang yang kehadirannya sudah begitu lekat dengan kehidupan kereta api itu tak punya pilihan lain. Kudengar dari adikku bila para pedagang itu mendapat semacam kompensasi dari KAI.
Peraturan yang secara tegas melarang pedagang asongan berjualan di dalam gerbong maupun di ruang tunggu kereta ini sendiri terbilang kontroversial. Pendapatku terbelah untuk peraturan ini. Di satu sisi keberadaan mereka dibutuhkan oleh para penumpang yang ingin mendapatkan makanan dan minuman (serta suvenir) dengan harga yang relatif terjangkau, mengingat makanan dan minuman yang dijual pihak KAI harganya sangat mahal (Aku tak tahu daftar harga teranyar di KAI, tapi ada yang bilang Rp 25 ribu untuk seporsi nasi goreng). Namun di satu sisi, terkadang keberadaan para pedagang itu, yang biasanya diikuti kemunculkan para pengemis, pengamen, dan pembersih dadakan itu cukup menganggu kenyamanan penumpang.
Aku sendiri tak punya pengalaman buruk dengan para pedagang, walaupun beberapa di antara mereka ada yang menjual produknya dengan harga yang terbilang mahal dibandingkan harga standarnya. Hanya saja aku bermasalah dengan keberadaan para pengamen, yang kerapkali menganggu kenyamananku menumpang moda transportasi massal yang dulunya terkenal murah meriah ini. Bahkan salah seorang pengamen perempuan dengan dandanan anak punk pernah mengancam akan merampas dompetku bila aku tidak memberinya uang. Karenanya, bila yang dilarang adalah para pengamen tak tahu sopan-santun itu, maka aku setuju.
Tapi tetap saja aku bakal merindukan keberadaan para pedagang asongan di atas kereta api. Aku akan rindu bagaimana mereka meneriakkan merek dagangan mereka seperti, “Yang aus-yang aus.... Mijon-Mijon-Mijon... Pokari-Pokari-Pokari... Akua-Akua-Akua...” atau “Kipas-kipas... Panas-panas... tepas-tepas...” atau “Jajan awet-jajan awet... Batik asli Pekalongan, silakan dipilih Bu, bisa ditawar,” atau “Makan-makan... Nasi rames ikan ayam, masih hangat...” atau bahkan yang ini, “Kolonyet-kolonyet... buat cuci muka... seribu dapat tiga...”
Aku sendiri biasanya membeli makanan atau minuman, permen atau tisu dari para pedagang ini. Setiap kali berangkat naik kereta, ibuku biasanya membawakan bekal untuk satu kali makan. Nah, untuk makan kali kedua, aku biasanya membeli nasi rames dari pedagang asongan tersebut, walaupun kehigienisannya diragukan (aku selalu membayangkan bagaimana bila suatu ketika perutku sakit gara-gara makan nasi tersebut, tapi aku tidak tahu mau protes ke mana karena penjualnya sudah pergi).
Larangan pedagang asongan memasuki gerbong ini pun mau tidak mau bakal melenyapkan kenikmatanku setiap kali melewati Stasiun Madiun ketika pergi ke Kediri dari Jakarta. Pasalnya, dulu setiap kali melewati stasiun utama kota brem ini, aku hampir selalu membeli sebungkus nasi pecel khas Madiun yang biasa dijajakan para pedagang berseragam di sana. Rasanya enak dan murah, dengan sayuran khas daun turi. Nasi pecel ini bisa dibilang higienis,dengan rempeyek dan sambalnya yang dibungkus dalam plastik terikat. Saking nikmatnya membuatku pernah membeli dua bungkus yang awalnya kutujukan untuk diriku sendiri. Namun salah satunya kemudian kuberikan pada seorang pengemis anak-anak yang menghampiriku.
Di balik larangan itu, aku percaya bahwa apa yang KAI lakukan murni semata-mata untuk menciptakan keamanan dan kenyamanan bagi para penumpangnya. Dengan larangan tersebut, tidak semua orang bisa masuk ke dalam gerbong, sehingga menghindari terjadinya kriminalitas seperti pencopetan yang dulu kerap menghantui para penumpang. Sehingga penumpang pun merasa lebih aman walaupun masih harus tetap waspada. Aku mengatakan hal ini bukan tanpa dasar. Aku melihat sendiri bagaimana para pencopet spesialis kereta api ini beraksi. Salah satu dari mereka bahkan sempat hendak menarik dompet dari sakuku saat aku berdesak-desakan hendak keluar dari gerbong di Stasiun Jatinegara. Beruntung aku segera menyadarinya dan membuatnya urung terjadi.
Penandaan tiket berdasarkan kartu identitas resmi sendiri semakin menguatkan rasa aman penumpang tersebut. Dalam hal ini, KAI dapat melacak siapa saja para penumpang kereta karena datanya terekam dari pembelian tiket. Hal ini pun membuat para penumpang tak harus mengeluarkan tiketnya berkali-kali setiap kondektur muncul dan memeriksa tiket. Berdasar pengalamanku kemarin, kondektur hanya sekali memeriksa tiketku yaitu pada saat kereta baru berangkat. Pada kesempatan berikutnya kondektur memang muncul kembali untuk memeriksa tiket, namun pemeriksaan dilakukan hanya pada penumpang-penumpang yang baru saja naik dari stasiun terakhir. Itu artinya kondektur telah memiliki data kursi-kursi mana saja yang baru saja ditempati, sehingga dia tidak harus memeriksa seluruh penumpang.
Kesimpulannya, revolusi pembenahan yang dilakukan KAI (termasuk perubahan logo perusahaan ini) merupakan hal positif bagi dunia transportasi Indonesia. Sekarang, kita bisa merasakan pelayanan maksimal yang aman dan nyaman, bebas asap rokok sebagaimana pelayanan di pesawat terbang komersil. Hal ini membuatku berpikir, kenapa tidak dari dulu manajemen KAI melakukan pembenahan seperti ini. Ya walaupun di sisi lain harga tiketnya melambung tinggi serta aku tidak lagi menemukan pedagang nasi pecel favoritku. Langkah yang dilakukan manajemen KAI bisa dibilang sebuah langkah revolusioner membangun, yang tentunya patut untuk dilakukan moda transportasi lain di Indonesia. Hidup kereta api Indonesia! (luk)
Sudah lama aku tidak menumpang kereta api dan ini adalah perjalanan pertamaku sejak terakhir kali menumpanginya empat tahun yang lalu, sebelum aku pergi ke Kalimantan. Aku tidak menyangka bila dalam rentang waktu tersebut, sangat banyak pembenahan dilakukan manajemen PT Kereta Api Indonesia (KAI) guna memaksimalkan pelayanan, khususnya di bawah pimpinan Jonan yang kini menjadi menteri perhubungan. Sebenarnya aku kerap mendengar revolusi pelayanan kereta api ini dari adikku dan juga kubaca di surat kabar. Namun baru kali ini aku merasakannya langsung bagaimana perubahan drastis yang terjadi pada transportasi ular besi ini.
Itu semua dimulai dari pembelian tiket, yang kini mesti mencantumkan identitas diri sebagaimana tertera dalam KTP atau kartu identitas lainnya yang sah. Mungkin tujuannya untuk menghindari calo, distribusi tiket menjadi efektif dan efisien. Berikutnya, kini hanya penumpang yang diperbolehkan memasuki ruang tunggu, sementara akses pengantar hanya sampai lobi stasiun. Situasi ini tentunya membuat momen haru melepas kepergian kerabat (atau mungkin kekasih) dengan melambaikan tangan saat kereta berangkat tak terlihat lagi. Meski begitu peraturan ini membuat suasana area tunggu kereta menjadi lebih rapi dan teratur.
Saat kereta telah datang, siap mengangkut penumpang, muncullah wajah-wajah canti berpakaian serba biru di depan pintu gerbong. Mereka membantu para penumpang mencari gerbong masing-masing sebagaimana yang tertera di tiket. Mereka juga turut serta dalam perjalanan, bertugas layaknya pramugari di pesawat terbang. Sepertinya KAI ingin menampilkan imej bersahabat dengan mempekerjakan pramugari-pramugari tersebut, meniru konsep pelayanan yang ada di pesawat terbang komersil. Kehadiran pramugari tersebut tentunya merupakan hal yang positif, membuat penumpang tak lagi kebingungan mencari gerbongnya. Tentu ini berbeda dengan gambaran lima tahun yang lalu, saat para penumpang berdesakan ingin masuk ke dalam gerbong, yang memungkinkan peluang munculnya aksi pencopetan.
Masuk ke dalam gerbong kereta api membuatku terpana. Kini AC gerbongnya benar-benar berfungsi dengan optimal. AC-nya menyala sepanjang perjalanan, dan gerbongnya pun kini memiliki pintu bagian dalam, memastikan udara AC tak terhambur sia-sia. Sementara jendela di tiap tempat duduk kulihat semuanya tertutup rapat, dengan peringatan untuk segera menutup kembali jendela usai digunakan, peringatan yang sama untuk pintu bagian dalam gerbong. Keberadaan AC ini tentu sangat menyenangkan, sehingga para penumpang tak khawatir untuk merasa kepanasan. Padahal kereta yang kutumpangi ini cuma kereta ekonomi (walaupun menurutku harga tiketnya tidak ekonomis). Sebelumnya, suasana sejuk full-AC hanya bisa dirasakan di kereta-kereta eksekutif bernama depan Argo. Kini, semua penumpang kereta api bisa merasakan kenyamanan itu.
Digunakannya AC secara maksimal ini tentu berimplikasi pada peraturan baru, yaitu dilarang merokok di dalam gerbong. Sebenarnya sih ini bukan peraturan baru bagi transportasi umum, namun sebagaimana fakta yang terjadi sebelum-sebelumnya, banyak perokok yang mengabaikannya dengan menghisap rokok tanpa ba-bi-bu di dalam gerbong kereta. Tak peduli ada penumpang anak-anak atau ibu hamil, para perokok itu terus saja merokok hingga berjam-jam lamanya, menghasilkan asap besar yang memuakkan yang siap membunuhi para perokok pasif di sekitarnya. Kini dalam revolusi KAI, tak ada lagi asap rokok di dalam gerbong. KAI telah memberikan sebuah larangan yang tegas dan tak main-main. Bagaimana tidak, dalam salah satu pengumuman di speaker kereta, masinis mengatakan bakal menurunkan siapa saja penumpang yang kedapatan merokok pada stasiun terdekat. Jadi buat para perokok, mesti bisa menahan hasratnya ngebul-ngebul gak jelas di sepanjang perjalanan (Yeah! Dendamku akhirnya terbalas!).
Penambahan fasilitas bukan berhenti pada AC, melainkan terdapat pula fasilitas-fasilitas lain yang semakin menambah kenyamanan berada di gerbong. Fasilitas tersebut yaitu adanya dua colokan stopkontak yang sangat bermanfaat untuk mengisi ulang daya batere ponsel atau perlengkapan listrik portabel lainnya. Para penumpang pun tak perlu khawatir kehabisan daya batere, karena tinggal colokin charger saja. Makanya kemarin itu seharian penuh aku bisa internetan dengan ponselku untuk mengisi waktu yang membosankan.
Dalam perjalanan, dikarenakan sering minum air putih dan juga udara dingin AC, keinginan untuk buang air kecil pun muncul. Dan aku begitu terkejut saat masuk ke toilet yang ada di gerbong. Toiletnya begitu bersih, dengan kloset model duduk dan wastafel lengkap dengan sabun cuci tangan, cermin, dan tisu toilet. Air di toilet ini mengalir lancar, lantainya pun bersih. Ini tentu berbeda dengan kenanganku sejak aku masih kecil dulu, di mana hampir selalu tidak ada air di toilet, membuat para penumpang mesti membawa botol aqua berisi air untuk cebok dan menyiram. Belum lagi baunya yang pesing berikut pernak-pernik kotoran menghiasi lantainya. Perubahan pada toilet ini membuatku terkesan, karena kini aku tak malas untuk masuk ke dalamnya bila ingin buang air. Aku bahkan beberapa kali buang air di toilet hari itu.
Kebersihan toilet itu rupanya dikarenakan adanya petugas on trip cleaning (OTC), begitu tulisan yang kubaca di seragam mereka. Mereka semacam cleaning service yang berjaga dan berpatroli di sepanjang kereta api untuk membersihkan toilet ataupun lantai gerbong. Penumpang kini tak perlu khawatir mengenai kebersihan gerbong, karena secara berkala para OTC ini berjalan melintasi para penumpang, membersihkan lantai dan menanyakan kepada penumpang apakah ada sampah yang perlu dibuang. Kebersihan kereta pun menjadi terjamin dan penumpang tak perlu membayar pada orang lewat yang tiba-tiba menyapu bawah kursi penumpang lantas menengadahkan tangan meminta bayaran.
Berkat kebijakan yang diambil KAI, orang-orang yang biasanya muncul begitu saja dengan pakaian ala kadarnya itu kini tak ada lagi di atas kereta. Bukan hanya para pembersih dadakan, para penjual dan penjaja makanan minuman serta souvenir pun tak lagi bisa ditemukan di atas gerbong. Rupanya revolusi KAI ini meliputi peraturan yang melarang para pedagang asongan dan sejenis itu berjualan di atas kereta. Aku tak tahu apa alasannya, tapi mungkin itu merupaka langkah untuk menciptakan kenyamanan bagi para penumpang. Kubaca sekilas di media massa, kebijakan ini rupanya ditentang oleh para pedagang asongan tersebut. Namun tampaknya para pedagang yang kehadirannya sudah begitu lekat dengan kehidupan kereta api itu tak punya pilihan lain. Kudengar dari adikku bila para pedagang itu mendapat semacam kompensasi dari KAI.
Peraturan yang secara tegas melarang pedagang asongan berjualan di dalam gerbong maupun di ruang tunggu kereta ini sendiri terbilang kontroversial. Pendapatku terbelah untuk peraturan ini. Di satu sisi keberadaan mereka dibutuhkan oleh para penumpang yang ingin mendapatkan makanan dan minuman (serta suvenir) dengan harga yang relatif terjangkau, mengingat makanan dan minuman yang dijual pihak KAI harganya sangat mahal (Aku tak tahu daftar harga teranyar di KAI, tapi ada yang bilang Rp 25 ribu untuk seporsi nasi goreng). Namun di satu sisi, terkadang keberadaan para pedagang itu, yang biasanya diikuti kemunculkan para pengemis, pengamen, dan pembersih dadakan itu cukup menganggu kenyamanan penumpang.
Aku sendiri tak punya pengalaman buruk dengan para pedagang, walaupun beberapa di antara mereka ada yang menjual produknya dengan harga yang terbilang mahal dibandingkan harga standarnya. Hanya saja aku bermasalah dengan keberadaan para pengamen, yang kerapkali menganggu kenyamananku menumpang moda transportasi massal yang dulunya terkenal murah meriah ini. Bahkan salah seorang pengamen perempuan dengan dandanan anak punk pernah mengancam akan merampas dompetku bila aku tidak memberinya uang. Karenanya, bila yang dilarang adalah para pengamen tak tahu sopan-santun itu, maka aku setuju.
Tapi tetap saja aku bakal merindukan keberadaan para pedagang asongan di atas kereta api. Aku akan rindu bagaimana mereka meneriakkan merek dagangan mereka seperti, “Yang aus-yang aus.... Mijon-Mijon-Mijon... Pokari-Pokari-Pokari... Akua-Akua-Akua...” atau “Kipas-kipas... Panas-panas... tepas-tepas...” atau “Jajan awet-jajan awet... Batik asli Pekalongan, silakan dipilih Bu, bisa ditawar,” atau “Makan-makan... Nasi rames ikan ayam, masih hangat...” atau bahkan yang ini, “Kolonyet-kolonyet... buat cuci muka... seribu dapat tiga...”
Aku sendiri biasanya membeli makanan atau minuman, permen atau tisu dari para pedagang ini. Setiap kali berangkat naik kereta, ibuku biasanya membawakan bekal untuk satu kali makan. Nah, untuk makan kali kedua, aku biasanya membeli nasi rames dari pedagang asongan tersebut, walaupun kehigienisannya diragukan (aku selalu membayangkan bagaimana bila suatu ketika perutku sakit gara-gara makan nasi tersebut, tapi aku tidak tahu mau protes ke mana karena penjualnya sudah pergi).
Larangan pedagang asongan memasuki gerbong ini pun mau tidak mau bakal melenyapkan kenikmatanku setiap kali melewati Stasiun Madiun ketika pergi ke Kediri dari Jakarta. Pasalnya, dulu setiap kali melewati stasiun utama kota brem ini, aku hampir selalu membeli sebungkus nasi pecel khas Madiun yang biasa dijajakan para pedagang berseragam di sana. Rasanya enak dan murah, dengan sayuran khas daun turi. Nasi pecel ini bisa dibilang higienis,dengan rempeyek dan sambalnya yang dibungkus dalam plastik terikat. Saking nikmatnya membuatku pernah membeli dua bungkus yang awalnya kutujukan untuk diriku sendiri. Namun salah satunya kemudian kuberikan pada seorang pengemis anak-anak yang menghampiriku.
Di balik larangan itu, aku percaya bahwa apa yang KAI lakukan murni semata-mata untuk menciptakan keamanan dan kenyamanan bagi para penumpangnya. Dengan larangan tersebut, tidak semua orang bisa masuk ke dalam gerbong, sehingga menghindari terjadinya kriminalitas seperti pencopetan yang dulu kerap menghantui para penumpang. Sehingga penumpang pun merasa lebih aman walaupun masih harus tetap waspada. Aku mengatakan hal ini bukan tanpa dasar. Aku melihat sendiri bagaimana para pencopet spesialis kereta api ini beraksi. Salah satu dari mereka bahkan sempat hendak menarik dompet dari sakuku saat aku berdesak-desakan hendak keluar dari gerbong di Stasiun Jatinegara. Beruntung aku segera menyadarinya dan membuatnya urung terjadi.
Penandaan tiket berdasarkan kartu identitas resmi sendiri semakin menguatkan rasa aman penumpang tersebut. Dalam hal ini, KAI dapat melacak siapa saja para penumpang kereta karena datanya terekam dari pembelian tiket. Hal ini pun membuat para penumpang tak harus mengeluarkan tiketnya berkali-kali setiap kondektur muncul dan memeriksa tiket. Berdasar pengalamanku kemarin, kondektur hanya sekali memeriksa tiketku yaitu pada saat kereta baru berangkat. Pada kesempatan berikutnya kondektur memang muncul kembali untuk memeriksa tiket, namun pemeriksaan dilakukan hanya pada penumpang-penumpang yang baru saja naik dari stasiun terakhir. Itu artinya kondektur telah memiliki data kursi-kursi mana saja yang baru saja ditempati, sehingga dia tidak harus memeriksa seluruh penumpang.
Kesimpulannya, revolusi pembenahan yang dilakukan KAI (termasuk perubahan logo perusahaan ini) merupakan hal positif bagi dunia transportasi Indonesia. Sekarang, kita bisa merasakan pelayanan maksimal yang aman dan nyaman, bebas asap rokok sebagaimana pelayanan di pesawat terbang komersil. Hal ini membuatku berpikir, kenapa tidak dari dulu manajemen KAI melakukan pembenahan seperti ini. Ya walaupun di sisi lain harga tiketnya melambung tinggi serta aku tidak lagi menemukan pedagang nasi pecel favoritku. Langkah yang dilakukan manajemen KAI bisa dibilang sebuah langkah revolusioner membangun, yang tentunya patut untuk dilakukan moda transportasi lain di Indonesia. Hidup kereta api Indonesia! (luk)