(sambungan dari bagian 1)
Dengan susah payah aku berhasil naik ke kelas dua SMA. Tapi toh kelas baru tidak melenyapkan masalah-masalahku. Justru masalahku bertambah. Selama ini aku selalu berusaha menghindari permasalahan dengan guru-guru. Aku trauma dengan permasalahanku dengan wali kelas dan pihak BP saat SMP dulu. Namun sepertinya takdir menginginkanku untuk bermasalah dengan guru kembali. Tak tanggung-tanggung, aku bermasalah dengan guru Agama! Betapa aku dikutuk olehnya hingga seratus hari lamanya aku tak bisa tidur nyenyak. Memang, semua adalah kesalahanku, tapi kenapa harus terjadi lagi Tuhan? Saat itulah aku merasa Tuhan benar-benar tidak adil. Aku stres memikirkan masalah-masalahku hingga nilaiku pun tidak konsisten. Aku kembali gagal di tahun keduaku. Kegagalanku semakin sempurna kala aku ditolak oleh seorang gadis yang kusukai. Duh, betapa malangnya nasibku...
Kelas tiga, tahun terakhir dengan seragam putih abu-abu. Aku sudah pasrah menghadapi apa yang akan terjadi di tahun terakhirku itu. Masalah-masalah pada dua tahun pertama benar-benar tidak menyenangkan hati. Apakah akan kembali aku alami?
Hari-hari pertama di kelas tiga, aku sudah membuat masalah hingga diolok-olok oleh teman-teman. Apakah aku harus selalu mendapat hinaan. Aku pun mulai mendekatkan diri kepada Tuhan. Aku tak tahu apalagai yang akan kuhadapi, karena itulah aku pasrahkan diriku kepada Tuhan.
Tahun terakhirku di SMA adalah episode terakhir angkatan kurikulum 1994. Karena itulah, diharapkan agar para siswa bisa lulus semua. Grade syarat kelulusan pun dinaikkan. Betapa malangnya angkatan terakhir ini. Tekanan-tekanan itu membuatku kehilangan percaya diri dan menjadi pesimistis. Bisakah aku lulus?
Terkadang, masalah-masalah yang kita hadapi membuat kita ingat akan Tuhan. Padahal, di kala kita senang atau berada dalam kelapangan, kita suka melupakan-Nya.
Aku pun mendalami ilmu agama. Aku belajar mengaji, belajar tafsir kitab suci, yang intinya seolah ingin menebus dosa-dosaku. Aku tak peduli lagi dengan masalah-masalah yang akan datang. Aku juga tidak peduli lagi dengan ambisiku meraih gelar juara. Semuanya akan aku lakukan dengan biasa-biasa saja, nyaris tanpa warna.
Dikatakan begitu, takdir rupanya memaksakan agar tahun terakhirku penuh warna. Di kelas tiga, aku kembali bertemu dengan teman sebangkuku saat kelas satu dulu. Dia kembali memilih duduk di sampingku, padahal tak ada yang mau duduk bersamaku. Saat itu aku memilih duduk di depan meja guru, bangku yang selalu dihindari oleh anak-anak. Dari temanku itulah aku mulai menyadari bahwa teman sejati itu ternyata ada. Bahwa teman ada, bukan hanya bila mereka memiliki kepentingan, tetapi juga saat kita membutuhkan pertolongan.
Dan, aku pun kembali percaya pada apa yang disebut dengan teman. Tentang apa artinya teman. Kami berdua hampir selalu membantu bila ada masalah. Keberadaannya, membuatku berani menghadapi masalah. Keberadaan dirinya membuatku berani menghadapi bahkan semua peraturan-peraturan yang selama ini membelengguku. Terima kasih temanku.
Di kelas ini juga aku menemukan arti dari persaudaraan dari seorang gadis berjilbab. Awalnya, aku sangat membencinya. Aku menganggap gadis ini mempermalukan agama. Bagaimana tidak? Dia memakai jilbab, tapi kelakuannya jauh berbeda. Dia suka sekali gonta-ganti pacar, suka bermanja-manja pada lelaki, dan benar-benar memuakkan. Aku makin membencinya kala aku tak sengaja menemukan sebuah surat curahan hati miliknya yang isinya...hiiyyy, mengerikan! Aku berusaha menahan perasan benciku, tapi entah kenapa aku tidak bisa membendungnya. Entah kenapa aku lalu menulis sebuah surat yang intinya mengingatkannya akan kesalahan-kesalahan yang dilakukannya. Harusnya aku tak berani melakukannya karena aku sadari bahwa aku pun bukan orang yang sempurna, yang tak luput dari dosa, tapi nuraniku tidak bisa dibohongi. Entah kenapa, aku ingin menyelamatkan gadis yang baru kusadari berwajah manis itu.
Di luar dugaan, gadis itu memberikan reaksi berlebih pada surat yang kuberikan itu. Di luar dugaan gadis itu menafsirkan lebih. Dia sangat berterima kasih padaku karena telah mengingatkannya. Bahkan, dia mulai menganggapku sebagai kakak. Ya, dia mengangkatku sebagai kakak. Dia lalu mengubah sikapnya yang menyebalkan itu. Dia menceritakan kepadaku, apa yang membuatnya menjadi seperti itu. Sungguh, aku benar-benar tidak menyangka dia akan merespon kebencianku dengan seperti Itu. Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia-Nya. Aku berhasil menyadarkan seseorang! Aku pun tahu alasan perbuatannya yang menyebalkan. Sebuah alasan yang masuk akal, pikirku. Entah kenapa, mulai saat itu aku menganggapnya sebagai adik. Mungkin karena saat itu dia menganggapku sebagai kakak.
Persahabatan dengan teman sebangkuku, dan juga persaudaraan dengan gadis berjilbab itu benar-benar menyenangkan. Aku tak menyangka akan mendapatkannya setelah masa-masa sulit sebelumnya. Meskipun begitu, aku merasa ada sesuatu yang kurang. Sesuatu yang kemudian aku dapatkan. Persaingan dan permusuhan.
Jujur, aku tak pernah berharap sekalipun untuk bermusuhan dengan temanku. Tapi takdir harus menjadikannya. Dia adalah anak yang cukup populer, mungkin bisa juga disebut paling populer. Hampir seisi sekolah mengenalnya. Tubuhnya kekar, besar, pendekar lulusan perguruan silat terkenal, dan semua kelebihannya. Kaya, punya pacar cantik, punya bisnis yang sukses, punya teman banyak, gaul, jago olahraga, dan semua kelebihan yang tidak aku punya, ada pada dirinya. Siapa sih yang gak mau jadi temannya?
Tapi takdir sepertinya mengharuskanku untuk bermusuhan dengannya. Semuanya hanya karena masalah yang sangat sepele bagiku. Cuma masalah prinsip dan masa lalu yang diungkit kembali. Cuma?
Kuakui, salah satu penyebab permusuhan kami adalah kesalahanku. Dulu, sewaktu kelas satu, saat kami mengikuti gerak jalan melintasi pegunungan tinggi mengenang jenderal besar Sudirman, aku meninggalkannya. Padahal, dia justru menemaniku saat aku sendirian dan terpisah dari rombongan kala itu. Benar-benar bodoh! Itulah pikirku. Saat itu aku memang hanya memikirkan diriku saja. Tak kusangka, saat kami kembali bertemu di kelas tiga, dia kembali mengungkitnya. Itu hanya salah satu penyebab permusuhan kami. Selebihnya, karena masalah prinsip yang sangat mengganggu.
Saat-saat penuh warna di semester ganjil kelas tiga membuatku memikirkan kembali impianku yang belum terwujud di masa sekolah. Menjadi juara! Tapi aku segera memikirkannya kembali. Apakah aku bisa? Di kelasku saat itu ada banyak anak-anak pintar. Tiga di antaranya adalah tiga teman yang sudah kuceritakan tadi, sahabatku, saudaraku, dan musuhku, walaupun aku tak pernah menganggapnya demikian. Ketiga anak itu adalah anak-anak yang pintar. Apakah aku bisa?
(bersambung ke bagian 3)
Dengan susah payah aku berhasil naik ke kelas dua SMA. Tapi toh kelas baru tidak melenyapkan masalah-masalahku. Justru masalahku bertambah. Selama ini aku selalu berusaha menghindari permasalahan dengan guru-guru. Aku trauma dengan permasalahanku dengan wali kelas dan pihak BP saat SMP dulu. Namun sepertinya takdir menginginkanku untuk bermasalah dengan guru kembali. Tak tanggung-tanggung, aku bermasalah dengan guru Agama! Betapa aku dikutuk olehnya hingga seratus hari lamanya aku tak bisa tidur nyenyak. Memang, semua adalah kesalahanku, tapi kenapa harus terjadi lagi Tuhan? Saat itulah aku merasa Tuhan benar-benar tidak adil. Aku stres memikirkan masalah-masalahku hingga nilaiku pun tidak konsisten. Aku kembali gagal di tahun keduaku. Kegagalanku semakin sempurna kala aku ditolak oleh seorang gadis yang kusukai. Duh, betapa malangnya nasibku...
Kelas tiga, tahun terakhir dengan seragam putih abu-abu. Aku sudah pasrah menghadapi apa yang akan terjadi di tahun terakhirku itu. Masalah-masalah pada dua tahun pertama benar-benar tidak menyenangkan hati. Apakah akan kembali aku alami?
Hari-hari pertama di kelas tiga, aku sudah membuat masalah hingga diolok-olok oleh teman-teman. Apakah aku harus selalu mendapat hinaan. Aku pun mulai mendekatkan diri kepada Tuhan. Aku tak tahu apalagai yang akan kuhadapi, karena itulah aku pasrahkan diriku kepada Tuhan.
Tahun terakhirku di SMA adalah episode terakhir angkatan kurikulum 1994. Karena itulah, diharapkan agar para siswa bisa lulus semua. Grade syarat kelulusan pun dinaikkan. Betapa malangnya angkatan terakhir ini. Tekanan-tekanan itu membuatku kehilangan percaya diri dan menjadi pesimistis. Bisakah aku lulus?
Terkadang, masalah-masalah yang kita hadapi membuat kita ingat akan Tuhan. Padahal, di kala kita senang atau berada dalam kelapangan, kita suka melupakan-Nya.
Aku pun mendalami ilmu agama. Aku belajar mengaji, belajar tafsir kitab suci, yang intinya seolah ingin menebus dosa-dosaku. Aku tak peduli lagi dengan masalah-masalah yang akan datang. Aku juga tidak peduli lagi dengan ambisiku meraih gelar juara. Semuanya akan aku lakukan dengan biasa-biasa saja, nyaris tanpa warna.
Dikatakan begitu, takdir rupanya memaksakan agar tahun terakhirku penuh warna. Di kelas tiga, aku kembali bertemu dengan teman sebangkuku saat kelas satu dulu. Dia kembali memilih duduk di sampingku, padahal tak ada yang mau duduk bersamaku. Saat itu aku memilih duduk di depan meja guru, bangku yang selalu dihindari oleh anak-anak. Dari temanku itulah aku mulai menyadari bahwa teman sejati itu ternyata ada. Bahwa teman ada, bukan hanya bila mereka memiliki kepentingan, tetapi juga saat kita membutuhkan pertolongan.
Dan, aku pun kembali percaya pada apa yang disebut dengan teman. Tentang apa artinya teman. Kami berdua hampir selalu membantu bila ada masalah. Keberadaannya, membuatku berani menghadapi masalah. Keberadaan dirinya membuatku berani menghadapi bahkan semua peraturan-peraturan yang selama ini membelengguku. Terima kasih temanku.
Di kelas ini juga aku menemukan arti dari persaudaraan dari seorang gadis berjilbab. Awalnya, aku sangat membencinya. Aku menganggap gadis ini mempermalukan agama. Bagaimana tidak? Dia memakai jilbab, tapi kelakuannya jauh berbeda. Dia suka sekali gonta-ganti pacar, suka bermanja-manja pada lelaki, dan benar-benar memuakkan. Aku makin membencinya kala aku tak sengaja menemukan sebuah surat curahan hati miliknya yang isinya...hiiyyy, mengerikan! Aku berusaha menahan perasan benciku, tapi entah kenapa aku tidak bisa membendungnya. Entah kenapa aku lalu menulis sebuah surat yang intinya mengingatkannya akan kesalahan-kesalahan yang dilakukannya. Harusnya aku tak berani melakukannya karena aku sadari bahwa aku pun bukan orang yang sempurna, yang tak luput dari dosa, tapi nuraniku tidak bisa dibohongi. Entah kenapa, aku ingin menyelamatkan gadis yang baru kusadari berwajah manis itu.
Di luar dugaan, gadis itu memberikan reaksi berlebih pada surat yang kuberikan itu. Di luar dugaan gadis itu menafsirkan lebih. Dia sangat berterima kasih padaku karena telah mengingatkannya. Bahkan, dia mulai menganggapku sebagai kakak. Ya, dia mengangkatku sebagai kakak. Dia lalu mengubah sikapnya yang menyebalkan itu. Dia menceritakan kepadaku, apa yang membuatnya menjadi seperti itu. Sungguh, aku benar-benar tidak menyangka dia akan merespon kebencianku dengan seperti Itu. Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia-Nya. Aku berhasil menyadarkan seseorang! Aku pun tahu alasan perbuatannya yang menyebalkan. Sebuah alasan yang masuk akal, pikirku. Entah kenapa, mulai saat itu aku menganggapnya sebagai adik. Mungkin karena saat itu dia menganggapku sebagai kakak.
Persahabatan dengan teman sebangkuku, dan juga persaudaraan dengan gadis berjilbab itu benar-benar menyenangkan. Aku tak menyangka akan mendapatkannya setelah masa-masa sulit sebelumnya. Meskipun begitu, aku merasa ada sesuatu yang kurang. Sesuatu yang kemudian aku dapatkan. Persaingan dan permusuhan.
Jujur, aku tak pernah berharap sekalipun untuk bermusuhan dengan temanku. Tapi takdir harus menjadikannya. Dia adalah anak yang cukup populer, mungkin bisa juga disebut paling populer. Hampir seisi sekolah mengenalnya. Tubuhnya kekar, besar, pendekar lulusan perguruan silat terkenal, dan semua kelebihannya. Kaya, punya pacar cantik, punya bisnis yang sukses, punya teman banyak, gaul, jago olahraga, dan semua kelebihan yang tidak aku punya, ada pada dirinya. Siapa sih yang gak mau jadi temannya?
Tapi takdir sepertinya mengharuskanku untuk bermusuhan dengannya. Semuanya hanya karena masalah yang sangat sepele bagiku. Cuma masalah prinsip dan masa lalu yang diungkit kembali. Cuma?
Kuakui, salah satu penyebab permusuhan kami adalah kesalahanku. Dulu, sewaktu kelas satu, saat kami mengikuti gerak jalan melintasi pegunungan tinggi mengenang jenderal besar Sudirman, aku meninggalkannya. Padahal, dia justru menemaniku saat aku sendirian dan terpisah dari rombongan kala itu. Benar-benar bodoh! Itulah pikirku. Saat itu aku memang hanya memikirkan diriku saja. Tak kusangka, saat kami kembali bertemu di kelas tiga, dia kembali mengungkitnya. Itu hanya salah satu penyebab permusuhan kami. Selebihnya, karena masalah prinsip yang sangat mengganggu.
Saat-saat penuh warna di semester ganjil kelas tiga membuatku memikirkan kembali impianku yang belum terwujud di masa sekolah. Menjadi juara! Tapi aku segera memikirkannya kembali. Apakah aku bisa? Di kelasku saat itu ada banyak anak-anak pintar. Tiga di antaranya adalah tiga teman yang sudah kuceritakan tadi, sahabatku, saudaraku, dan musuhku, walaupun aku tak pernah menganggapnya demikian. Ketiga anak itu adalah anak-anak yang pintar. Apakah aku bisa?
(bersambung ke bagian 3)