Senin kemarin, seluruh sekolah menengah atas (SMA) menggelar ujian akhir nasional (UAN) serentak di seluruh Indonesia. Beberapa hari ke depan, tingkat di bawahnya yaitu SMP dan SD bakal menyusul. Memang sudah sangat lama aku meninggalkan bangku sekolah, hampir satu dekade. Tetapi, kenangan akan UAS atau UN atau EBTANAS, masih tersimpan baik di memoriku. Karena bagiku, ujian nasional bukan sekadar mengejar kelulusan, namun juga mengejar predikat bergengsi, juara kelas.
Pada akhirnya, di penghujung masa sekolahku dengan seragam putih abu-abu, aku berhasil mendapatkan gelar ini. Sebuah penantian yang panjang, yang baru benar-benar bisa kurasakan di saat-saat terakhir. Ya, itulah. Terkadang dalam meraih sebuah impian atau cita-cita, kita bisa saja tak menyadari usaha apa yang telah kita lakukan. Ini dikarenakan kita terlalu terfokus pada hasil, sehingga kita melupakan bagaimana proses perjuangan dalam meraihnya.
Awal-awal SD, aku bukanlah anak yang cemerlang. Aku hanyalah anak biasa yang sangat suka main dan jajan. Saking suka jajannya, pernah suatu kali aku membeli jajan yang tanpa kusadari kalau aku tidak punya uang. Terpaksa deh aku pinjam uang teman. Di kelas, mungkin aku bukan anak yang bandel, tapi aku adalah anak yang serampangan. Pernah aku keluar dari kelas padahal guru dan teman-teman yang lain sedang berdoa untuk pulang. Pernah juga aku memukul teman hingga mimisan gara-gara ia suka menggangguku. Bisakah itu disebut kenakalan anak-anak? Bisalah.
Masa SD-ku habis dengan berpindah-pindah sekolah dikarenakan kepindahan orang tuaku dari Kalimantan ke Jawa. Barulah aku bertahan lama sejak kelas empat SD, di SD Mojoroto IV Kediri, dimana aku bertemu dengan seorang teman yang di kemudian hari bakal menjadi istriku. Pada sekolah-sekolah sebelumnya, prestasiku tak ada apa-apanya. Namun di kelas empat SD itulah aku mulai menyadari kemampuanku. Aku menyadari potensiku. Dan untuk pertama kalinya aku masuk lima besar di kelas. Bahkan, aku berhasil mengalahkan teman-temanku dalam ujian bahasa daerah dengan nilai tertinggi. Padahal, aku baru pindah sekolah dan belum begitu bisa dengan bahasa daerah setempat. Itulah yang membuatku bangun. Itulah yang membuatku bangkit. Itulah yang membuatku rajin belajar.
Di kelas lima, aku berhasil meraih juara kedua di kelas. Saat itu juara satunya dipegang oleh temanku, anak perempuan. Aku bersyukur untuk keberhasilanku ini, walaupun aku tidak puas. Kalau bisa juara satu, kenapa harus juara dua? Dan, kenapa aku bisa kalah dengan anak perempuan?
Saat itulah aku lengah. Saat aku merasa menjadi juara, walaupun bukan juara satu, aku mulai lengah. Aku pun gagal saat mewakili sekolahku dalam lomba pelajar teladan tingkat kota. Aku kalah, kalah dengan memalukan. Sungguh-sungguh bukan episode yang kuharapkan. Mungkin juara dua adalah prestasi tertinggiku di hingga aku lulus dari SD.
Karena nilaiku yang lumayan bagus, aku berhasil masuk salah satu SMP favorit di kotaku, SMP Negeri IV Kediri. Mungkin karena sekolah favorit dan banyak anak-anak pintarnya, kemampuanku tak muncul. Aku selalu gagal masuk lima besar dalam dua tahun pertamaku. Bukan itu saja, sifat-sifat burukku sewaktu SD kembali muncul yang membuatku menjadi seperti berada di bawah. Nilaiku jatuh bebas, absensiku bertambah banyak hingga dipanggil BP, hingga permasalahanku dengan guru-guru. Sungguh...ironis untuk seorang juara. Mungkin juara lima saat hari-hari terakhir di kelas dua saja yang bisa menghiburku. Itupun juara lima dari beberapa orang anak.
Karena prestasiku yang buruk itu, aku pun terusir ke kelas anak-anak nakal pada kenaikan ke kelas tiga. Aku masuk di kelas yang selalu menjadi bahan perbincangan guru-guru, kelas 3D. Betapa tersiksanya aku di awal-awal kelas tiga. Fisikku yang kurang membuat anak-anak yang nakal itu suka menggangguku. Membuatku minder. Aku menjadi anak yang pemalu dan rendah diri. Hal ini tentu tidak baik. Namun, aku seolah pasrah dan menjadi bulan-bulanan anak-anak nakal yang suka mengganggu itu.
Tapi Tuhan tidak akan membiarkan umat-Nya terus-menerus dalam ketidakpastian. Saat itu muncullah seorang gadis manis. Gadis manis teman sekelasku yang di luar dugaan menolongku. Menolongku sehingga aku bisa menemukan potensi diriku kembali. Gadis itulah yang mengajarkanku untuk mencintai diriku. Mencintai apa yang kau miliki, dan menerima segala kekurangan yang ada. Gadis itu adalah cinta pertamaku, yang takkan pernah kumiliki. Kini dia telah menjadi seorang ibu rumah tangga dengan tiga orang anak. Ah, nostalgia.
Aku termotivasi. Aku bangkit. Dan pastinya, aku keluar dari masalahku. Aku berhasil, aku berhasil kembali. Aku berhasil meraih gelarku kembali. Gelar juara dua. Tapi kenyataannya, lagi-lagi anak perempuanlah yang memegang gelar juara pertama. Kenapa? Kenapa aku selalu dikalahkan oleh anak perempuan? Kenapa pula aku tidak bisa meraih gelar juara pertama yang merupakan gelar tertinggi?
Keberhasilanku meraih juara dua membuat teman-teman yang awalnya membenci dan suka menggangguku berubah. Mereka mulai mendekatiku, bersikap baik padaku. Namun ternyata itu hanyalah kedok agar bisa meminjam catatan PR ataupun agar bisa menyontek saat ulangan. Karena itulah aku mulai tidak percaya pada apa yang disebut dengan teman. Bagiku, teman ada hanya bila sedang memiliki kepentingan. Selebihnya, mereka akan kembali mengganggu dan tidak peduli padaku. Bagiku, tidak ada yang namanya teman.
Lulus SMP, aku mengikuti ujian masuk SMA favorit. Tapi hasilnya aku gagal. Aku gagal dan terlempar ke sebuah sekolah yang berada jauh dari rumahku, SMA Negeri 3 Kediri. Sekolah yang tidak diinginkan ibuku. Mau bagaimana lagi? Masih untung masuk sekolah negeri.
Lagi-lagi hari-hari tak menyenangkan kembali aku alami di dunia putih abu-abu. Aku mengalami kebuntuan. Nilai-nilaiku turun drastis. Bahkan, ada angka empat dan dua angka lima di raporku. Betapa sedihnya aku. Aku bahkan sempat putus asa dapat naik kelas dan ingin masuk pesantren saja. Ditambah lagi saat itu aku tampil sangat memalukan dalam sebuah lomba yang kuikuti dimana aku gagal sepenuhnya.
(bersambung ke bagian kedua)
Pada akhirnya, di penghujung masa sekolahku dengan seragam putih abu-abu, aku berhasil mendapatkan gelar ini. Sebuah penantian yang panjang, yang baru benar-benar bisa kurasakan di saat-saat terakhir. Ya, itulah. Terkadang dalam meraih sebuah impian atau cita-cita, kita bisa saja tak menyadari usaha apa yang telah kita lakukan. Ini dikarenakan kita terlalu terfokus pada hasil, sehingga kita melupakan bagaimana proses perjuangan dalam meraihnya.
Awal-awal SD, aku bukanlah anak yang cemerlang. Aku hanyalah anak biasa yang sangat suka main dan jajan. Saking suka jajannya, pernah suatu kali aku membeli jajan yang tanpa kusadari kalau aku tidak punya uang. Terpaksa deh aku pinjam uang teman. Di kelas, mungkin aku bukan anak yang bandel, tapi aku adalah anak yang serampangan. Pernah aku keluar dari kelas padahal guru dan teman-teman yang lain sedang berdoa untuk pulang. Pernah juga aku memukul teman hingga mimisan gara-gara ia suka menggangguku. Bisakah itu disebut kenakalan anak-anak? Bisalah.
Masa SD-ku habis dengan berpindah-pindah sekolah dikarenakan kepindahan orang tuaku dari Kalimantan ke Jawa. Barulah aku bertahan lama sejak kelas empat SD, di SD Mojoroto IV Kediri, dimana aku bertemu dengan seorang teman yang di kemudian hari bakal menjadi istriku. Pada sekolah-sekolah sebelumnya, prestasiku tak ada apa-apanya. Namun di kelas empat SD itulah aku mulai menyadari kemampuanku. Aku menyadari potensiku. Dan untuk pertama kalinya aku masuk lima besar di kelas. Bahkan, aku berhasil mengalahkan teman-temanku dalam ujian bahasa daerah dengan nilai tertinggi. Padahal, aku baru pindah sekolah dan belum begitu bisa dengan bahasa daerah setempat. Itulah yang membuatku bangun. Itulah yang membuatku bangkit. Itulah yang membuatku rajin belajar.
Di kelas lima, aku berhasil meraih juara kedua di kelas. Saat itu juara satunya dipegang oleh temanku, anak perempuan. Aku bersyukur untuk keberhasilanku ini, walaupun aku tidak puas. Kalau bisa juara satu, kenapa harus juara dua? Dan, kenapa aku bisa kalah dengan anak perempuan?
Saat itulah aku lengah. Saat aku merasa menjadi juara, walaupun bukan juara satu, aku mulai lengah. Aku pun gagal saat mewakili sekolahku dalam lomba pelajar teladan tingkat kota. Aku kalah, kalah dengan memalukan. Sungguh-sungguh bukan episode yang kuharapkan. Mungkin juara dua adalah prestasi tertinggiku di hingga aku lulus dari SD.
Karena nilaiku yang lumayan bagus, aku berhasil masuk salah satu SMP favorit di kotaku, SMP Negeri IV Kediri. Mungkin karena sekolah favorit dan banyak anak-anak pintarnya, kemampuanku tak muncul. Aku selalu gagal masuk lima besar dalam dua tahun pertamaku. Bukan itu saja, sifat-sifat burukku sewaktu SD kembali muncul yang membuatku menjadi seperti berada di bawah. Nilaiku jatuh bebas, absensiku bertambah banyak hingga dipanggil BP, hingga permasalahanku dengan guru-guru. Sungguh...ironis untuk seorang juara. Mungkin juara lima saat hari-hari terakhir di kelas dua saja yang bisa menghiburku. Itupun juara lima dari beberapa orang anak.
Karena prestasiku yang buruk itu, aku pun terusir ke kelas anak-anak nakal pada kenaikan ke kelas tiga. Aku masuk di kelas yang selalu menjadi bahan perbincangan guru-guru, kelas 3D. Betapa tersiksanya aku di awal-awal kelas tiga. Fisikku yang kurang membuat anak-anak yang nakal itu suka menggangguku. Membuatku minder. Aku menjadi anak yang pemalu dan rendah diri. Hal ini tentu tidak baik. Namun, aku seolah pasrah dan menjadi bulan-bulanan anak-anak nakal yang suka mengganggu itu.
Tapi Tuhan tidak akan membiarkan umat-Nya terus-menerus dalam ketidakpastian. Saat itu muncullah seorang gadis manis. Gadis manis teman sekelasku yang di luar dugaan menolongku. Menolongku sehingga aku bisa menemukan potensi diriku kembali. Gadis itulah yang mengajarkanku untuk mencintai diriku. Mencintai apa yang kau miliki, dan menerima segala kekurangan yang ada. Gadis itu adalah cinta pertamaku, yang takkan pernah kumiliki. Kini dia telah menjadi seorang ibu rumah tangga dengan tiga orang anak. Ah, nostalgia.
Aku termotivasi. Aku bangkit. Dan pastinya, aku keluar dari masalahku. Aku berhasil, aku berhasil kembali. Aku berhasil meraih gelarku kembali. Gelar juara dua. Tapi kenyataannya, lagi-lagi anak perempuanlah yang memegang gelar juara pertama. Kenapa? Kenapa aku selalu dikalahkan oleh anak perempuan? Kenapa pula aku tidak bisa meraih gelar juara pertama yang merupakan gelar tertinggi?
Keberhasilanku meraih juara dua membuat teman-teman yang awalnya membenci dan suka menggangguku berubah. Mereka mulai mendekatiku, bersikap baik padaku. Namun ternyata itu hanyalah kedok agar bisa meminjam catatan PR ataupun agar bisa menyontek saat ulangan. Karena itulah aku mulai tidak percaya pada apa yang disebut dengan teman. Bagiku, teman ada hanya bila sedang memiliki kepentingan. Selebihnya, mereka akan kembali mengganggu dan tidak peduli padaku. Bagiku, tidak ada yang namanya teman.
Lulus SMP, aku mengikuti ujian masuk SMA favorit. Tapi hasilnya aku gagal. Aku gagal dan terlempar ke sebuah sekolah yang berada jauh dari rumahku, SMA Negeri 3 Kediri. Sekolah yang tidak diinginkan ibuku. Mau bagaimana lagi? Masih untung masuk sekolah negeri.
Lagi-lagi hari-hari tak menyenangkan kembali aku alami di dunia putih abu-abu. Aku mengalami kebuntuan. Nilai-nilaiku turun drastis. Bahkan, ada angka empat dan dua angka lima di raporku. Betapa sedihnya aku. Aku bahkan sempat putus asa dapat naik kelas dan ingin masuk pesantren saja. Ditambah lagi saat itu aku tampil sangat memalukan dalam sebuah lomba yang kuikuti dimana aku gagal sepenuhnya.
(bersambung ke bagian kedua)